Sabtu, 06 Juni 2015

Tangan Kiri Tuhan (Cerber #11-Selesai)

Kawan atau Lawan
Sipinggol-pinggol. Pukul setengah dua dini hari Leo tiba di rumahnya yang berpagar tinggi. Suasana sepi dan hening. Tak satu pun makhluk bergerak tampak. Angin malam di Pematangsiantar selalu menghembuskan udara es. Dingin yang menyengat.
Tanpa diperintah bulu kuduknya merasakan sesuatu ketika ia akan menggembok pagar selesai membawa motor besarnya masuk garasi. Ia menatap berkeliling, hanya gelap yang ia tangkap, tetapi ia merasa ada sesuatu di sana, dan ia tak tahu apa. Ia tetap tenang dan mengurungkan niatnya mengunci gembok. Dengan sengaja ia membiarkan mata gembong terurai.
Tangannya mengunci pintu rumah baik-baik. Perasaan tak enak hatinya kian kuat tetapi ia tak mempedulikannya. Ada hal penting yang harus ia lakukan sekarang, yaitu memberi makan arwanyanya di akuarium. Di beranda belakang ia melihat masih ada pakan cacing darah beku dan ikan kecil-kecil di kotak kaca. Ia mengambil jaring plastik, menangkap beberapa ikan kecil. Ia memang lebih suka memberi ikan atau hewan segar sebagai makanan si Naga. Biasanya ia menyuruh Togi mencari jangkrik atau menangkap kecoa utnuk disimpan di kotak makan ikan dan ia bisa mengambilnya kapan-kapan untuk si suluk merah.
Si Naga seakan tahu tuannya akan memberi makan, berenang lebih cepat dengan gerakan anggun dan berayun, memperlihatkan tubuhnya yang bersisik emas. Ekor merahnya bergerak mempesona. Leo sangat suka ikan jenis suluk merah ini yang menurut mitologi Tionghoa sebagai pembawa hoki yang kuat. Ikan agresif ini pantang disatukan ikan jenis lain. Ia lebih suka berenang sendirian dalam akuarium sebesar. Ia ingin bebas menguasai wilayah tempat tinggalnya. Dan Leo merasa ikan itu sebagai perwujudan karakternya yang cenderung soliter dan penyendiri. 
Tangan kirinya mengangkat pembatas tutup akuarium, dan baru tangan kanannya hendak melemparkan ikan-ikan kecil itu ke dalam akuarium, si Naga keburu melompat, terlalu ceria, sehingga ia terjatuh ke lantas. Bunyinya sangat keras, bruk! Dengan segera ia menuangkan ikan-ikan kecil itu, kemudian memperhatikan si Naga. Lantai basah seketika, Leo mengutuk.
“Apa-apaan kau, Naga? Lapar sih lapar, tetapi jangan begitu caranya!” bentaknya keras sambil menangkap tubuh licin itu dengan saringan lebih besar, lalu menenggelamkannya ke dalam air, membiarkan si Naga berenang keluar dari sana.
Dengan anggun ia menari-nari, mengejar ikan-ikan kecil, lalu dilahapnya. Jelas saja karena dua hari perutnya belum diisi makanan sedikit pun. Mata Leo memandang si Naga puas, menutup penutup akuarium, kemudian dia menunggu. Tubuhnya merasa siap menanti kedatangan siapa pun.
Betul saja. Tak lama terdengar suara klonteng dari arah pagar, kemudian suara pagar didorong sedikit lebar, dan detap-detap kaki melangkah. Ia ingat tadi dibiarkannya pagar tak bergembok. Tetapi dia masih tak peduli.
Ia duduk di ruang tengah menghadap televisi, menghidupkan televisi, menunggu, seakan-akan tak ada sesuatu pun dalam pikirannya. Ia hanya sendirian di rumah. Lalu telinganya seperti mendengar suara-suara orang berbisik, dan sesuai hitungannya.
Terdengar ketukan pada pintu. Mereka yang di luar pastinya sana tahu bahwa orang yang di dalam rumah belum lagi tidur dan lampu masih menyala.
Ia  mengangkat dirinya, berjalan ke pintu depan, menyibak gorden. Ia melihat ada beberapa sosok berdiri di sana. Lampu-lampu taman yang remang menghalanginya melihat jelas.
Ia memutar kunci, membuka pintu. Di depannya seorang laki-laki sekitar 156 meter, agak kerempeng dan berambut ikal. Di belakangnya tiga orang yang berdiri sambil mengangkat sedikit dagunya. Dua orang berkacak pinggang.
Orang yang berdiri paling depan itu sepertinya sang pemimpin dan tampaknya dia sedikit mabuk. Matanya agak sayu. Sebenarnya Leo sudah tahu siapa dia karena pernah melihatnya di pajak Horas. Tetapi dia memutuskan untuk pura-pura tidak tahu.
Derman adalah preman yang ditakuti di Pematangsiantar. Dia dikenal bisa dipakai oleh tokeh-tokeh atau mereka yang punya uang untuk menggertak orang. Kulitnya hitam. Meski tubuhnya kecil tetapi ototnya terlatih. Dia dikenal sakti. Beberapa kali hendak dibacok oleh musuhnya tetapi ia terus selamat. Seharusnya dia sudah mati berkali-kali.
“Siapa kau?” tanyanya tegas.
“Derman aku,” sambut si tamu tak diundang tak kalah tegas.
“Kau bertamu tak pada waktu yang tepat,” ujarnya dingin.
‘Aku mau lihat surat-suratmu dulu, bah! Kau kan baru tinggal di sini.”
“Sudah dua tahun aku di sini. Baru tahu nya kau?”
“Tapi kau kan bukan dari kampung sini.”
“Apa urusanmu?”
Derman yang sedikit mabuk itu tak bahagia dengan dialog panjang itu. Ia melangkah satu dua langkah sampai sekitar satu meter di depan Leo, berhenti, dan dengan gerak menipu, kakinya menendang tungkai Leo namun terlalu lamban, sehingga keburu ditangkis.
Bagaimana pun, jam terbang takkan menipu. Meski sudah agak terhuyung, sempat pula kaki Derman melayang dan mengenai tulang kering kaki lawan. Leo mundur ke belakang. Ketika tangan Derman hendak mengambil sesuatu di balik pinggang, dengan gerak cepat Leo menendang dan mendorongnya keras. Tubuh itu mundur beberapa langkah, ditahan oleh dua anak buahnya. Ketika yang satu akan maju membantu bosnya, dicegah oleh Derman.
“Biarkan dia, tungkik! Kau tunggu balasanku, kurang ajar!”
Kemudian Derman mengajak tiga anak buahnya berlalu dari halaman rumah Leo. Leo memandang Derman dan anak buahnya pergi. Dibiarkannya pintu gerbang terbuka lebar. Ia mengunci pintu dan merasa gembira karena ia tak merasakan sesuatu pun di tulang keringnya.
Ia sudah mendengar bahwa Derman seorang yang sakti. Beberapa kali dia digebuki tetapi tidak mempan. Menurut kabar angin, ia berguru ke gunung, berendam di danau Toba. Ternyata dia tak sesakti yang kukira, pikir Leo sambil mematikan televisi karena tak ada acara yang menghiburnya.
Ia masuk kamar dan memutuskan untuk mansi. Ia suka berada di bawah shower yang menyemprotkan air hangat, panas sebenarnya, untuk memanaskan lehernya sampai kemerahan. Saat itulah dia merasa rileks. Ia menggosok badannya dan mengguyur tubuhnya bersih-bersih dengan air bersuhu sedikit panas.
Sesaat kemudian ia sudah mengeringkan diri, mengenakan baju tidurnya, dan berbaring di tempat tidur dengan sprai rapi berwarna biru muda.
Sejenak ia memikirkan kejadian yang baru menimpanya, tetapi dia tidak mau memikirkannya, dengan cepat ia terlelap seperti bayi. Napasnya halus.    
Esok paginya Leo merasa kakinya sakit. Ditariknya selimut untuk melihat keadaan tulang keringnya. Ia kaget karena ia melihat baret biru di sana dan membengkak. Seketika ia percaya bahwa Derman memang makhluk sakti. Dengan mabuk saja dia bisa menendang dan membuat kakiku biru seperti ini, pikirnya. Siapa yang mengirimnya?
Leo berjalan keluar kamar sambil berpikir-pikir. Ia merasa tidak pernah mencari musuh tetapi orang-orang yang memusuhinya tiap hari kian tampak. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia sedikit heran kenapa orang selalu senang berperkara dengan dia. Ada-ada saja masalahnya.
Sore harinya si Derman muncul lagi. Kali ini dia ditemani abangnya, Bongguk. Leo mengutuk dalam hati. Kenapa mereka tidak bisa membiarkan hidupku tenang. Tetapi diam-diam dia merasa bangga melihat mata Derman tampak lebam. Itu karena bogem mentah kirimannya yang semalam dia layangkan ke pelipis preman pasar itu. Dan sepertinya rahangnya agak mencong. Apa mungkin engselnya lepas dan dia meminta pertanggungjawabanku sekarang, pikir Leo. Seorang preman takkan melakukan itu kecuali dia seorang yang tidak memiliki harga diri.
“Apa yang lakukan semalam itu, Leo?” bentak si Bongguk.
“Apa rupanya?” balik Leo bertanya.
“Si Derman hanya mau lihat surat-surat kau. Kenapa kau malah pukul dia?”
“Kau tak ada urusan denganku, Bongkuk. Ini urusanku aku dengan adik kau. Jangan coba-coba kau ikut campur di sini.”
Karena sore itu masih terang, beberapa tetangga menyaksikan peristiwa itu meski tidak bisa melakukan apa-apa. Bertepatan pula Rico dan Lazuarti dan Mindo Napitupulu mampir ke rumahnya Karena itu mereka berdua langsung kabur.
Tetapi malam berikutnya, Leo pulang ke rumah kira-kira pukul sepuluh. Kedatangannya sudah dinantikan tiga motor dan lima orang. Leo menghentikan motor besarnya di depan pintu gerbang, sementara kelima orang itu mengawasi gerakannya.
Leo mengutuk dalam hati. Apa lagi mereka ini. Tak bisakah mereka membiarkanku hidup tenang, pikirnya sambil menarik kunci motor, dan berdiri menghadap mereka.
“Apa mau kalian?”
“Gini, Lae. Kami tak terima kawan kami kau gimbal,” ujar yang satu.
“Jadi maumu apa? Kau mau main keroyok?” tanya Leo.
Satu orang tampak turun dari motor dan langsung berjalan mendekati Leo. Badan Leo yang besar itu juga tidak menyia-nyiakan waktu, menendang satu orang yang duduk di atas motor dan langsung jatuh ngejoprak. Pertarungan itu adalah pertarungan laki-laki. Bagus juga karena orang Batak biasanya berkelahi dengan cara jentelmen. Mereka berani berkelahi satu lawan satu.
Sampai lurah, camat soleh, turun tangan, sampai asisten 1, walikota turun tangan, untuk mendamaikan. Caranya dinasihati, derman dan kawan2nya. Mereka salahkan kawan2ku. Lebih jahat dan brengsek yang jahat. Aku juga ada pergaulan di luar.
Di siantar ada tokoh masyarakat, tokoh pemuda, orang2. Mereka turun lagi. Artinya, aku melakukan itu karena pembelaan diri. Perkelahian karena dia datang ke rumahku. Yang kedua, ketika aku mau masuk ke jalan rumah. aku naik motor juga. Kota kecil ke aman2 lebih cepat naii motor. Tidak main keroyok. Kalau seorang yang jentelmen. Itu cara2 pengecut tikam2 belakang. Jawa itu. Tangan lawan tangan. Senjata lawan senjata.
Prinsipnya, jangan ganggu dia. Tantang gua. Aku layanin. Mau berantam pukul2an biasa, salah satu cacat atau salah satu mati.
Pukul 8 malam lonceng pagar rumah Leo berbunyi. Dia pikir itu adalah Trisno karena setelah pulang kantor jam 5 tadi, dia sudah mengajak kawannya berenang di Sibatu-batu itu ke luar untuk makan malam. Leo membuka pintu dan melihat segerombolan orang di luar pagar rumah. Ada 13 orang ditambah seorang anak kecil. Siapa mereka? Jangan-jangan mereka salah masuk rumah, pikir Leo.
“Ya, ada apa?”
“Ini, masalah kau dan Derman, Nak Leo. Saya mamaknya Derman,” sahut seorang ibu tua.
“Oh...,” jawab Leo sambil membuka pagar yang belum dikunci. Karena dia seorang Jawa, Leo tak perlu bertanya untuk dipanggil inang, namboru, nantulang, atau ompung.
“Silakan masuk. Aku panggil Ibu saja?
“Ya, ibu saja.”
Mereka semua masuk ke dalam rumah. Sebagian berdiri di halaman. Rupanya mereka datang untuk minta maaf atas perbuatan anaknya, Derman.
“Tidak apa-apa, Bu. Kita manusia ada kesilapan. Manusia sempurna karena ketidaksempurnaannya. Itulah yang diberi tuhan.”
Setelah itu datang lagi delapan orang di antaranya tokoh masyarakat. Ternyata Derman juga ada. Mukanya merah sehabis minum. Usianya sudah 45 tahun dan tidak kawin-kawin. Mamaknya memanggil dia masuk untuk minta maaf. Ada tokoh masyarakat.
Akhirnya mereka berdamai sebagai teman dan saudara. Ibu tak usah kecil hati dengan derman. Abangnya juga bilang, adik saya memang gitu. Residivis.
*
 Selesai - tamat 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar