Kawan atau Lawan
Sipinggol-pinggol.
Pukul setengah dua dini hari Leo tiba di rumahnya yang berpagar tinggi. Suasana
sepi dan hening. Tak satu pun makhluk bergerak tampak. Angin malam di
Pematangsiantar selalu menghembuskan udara es. Dingin yang menyengat.
Tanpa
diperintah bulu kuduknya merasakan sesuatu ketika ia akan menggembok pagar
selesai membawa motor besarnya masuk garasi. Ia menatap berkeliling, hanya
gelap yang ia tangkap, tetapi ia merasa ada sesuatu di sana, dan ia tak tahu
apa. Ia tetap tenang dan mengurungkan niatnya mengunci gembok. Dengan sengaja
ia membiarkan mata gembong terurai.
Tangannya
mengunci pintu rumah baik-baik. Perasaan tak enak hatinya kian kuat tetapi ia
tak mempedulikannya. Ada hal penting yang harus ia lakukan sekarang, yaitu
memberi makan arwanyanya di akuarium. Di beranda belakang ia melihat masih ada
pakan cacing darah beku dan ikan kecil-kecil di kotak kaca. Ia mengambil jaring
plastik, menangkap beberapa ikan kecil. Ia memang lebih suka memberi ikan atau
hewan segar sebagai makanan si Naga. Biasanya ia menyuruh Togi mencari jangkrik
atau menangkap kecoa utnuk disimpan di kotak makan ikan dan ia bisa
mengambilnya kapan-kapan untuk si suluk merah.
Si Naga
seakan tahu tuannya akan memberi makan, berenang lebih cepat dengan gerakan
anggun dan berayun, memperlihatkan tubuhnya yang bersisik emas. Ekor merahnya
bergerak mempesona. Leo sangat suka ikan jenis suluk merah ini yang menurut
mitologi Tionghoa sebagai pembawa hoki yang kuat. Ikan agresif ini pantang
disatukan ikan jenis lain. Ia lebih suka berenang sendirian dalam akuarium
sebesar. Ia ingin bebas menguasai wilayah tempat tinggalnya. Dan Leo merasa
ikan itu sebagai perwujudan karakternya yang cenderung soliter dan
penyendiri.
Tangan
kirinya mengangkat pembatas tutup akuarium, dan baru tangan kanannya hendak
melemparkan ikan-ikan kecil itu ke dalam akuarium, si Naga keburu melompat,
terlalu ceria, sehingga ia terjatuh ke lantas. Bunyinya sangat keras, bruk!
Dengan segera ia menuangkan ikan-ikan kecil itu, kemudian memperhatikan si
Naga. Lantai basah seketika, Leo mengutuk.
“Apa-apaan
kau, Naga? Lapar sih lapar, tetapi jangan begitu caranya!” bentaknya keras
sambil menangkap tubuh licin itu dengan saringan lebih besar, lalu
menenggelamkannya ke dalam air, membiarkan si Naga berenang keluar dari sana.
Dengan
anggun ia menari-nari, mengejar ikan-ikan kecil, lalu dilahapnya. Jelas saja
karena dua hari perutnya belum diisi makanan sedikit pun. Mata Leo memandang si
Naga puas, menutup penutup akuarium, kemudian dia menunggu. Tubuhnya merasa
siap menanti kedatangan siapa pun.
Betul
saja. Tak lama terdengar suara klonteng dari arah pagar, kemudian suara pagar
didorong sedikit lebar, dan detap-detap kaki melangkah. Ia ingat tadi
dibiarkannya pagar tak bergembok. Tetapi dia masih tak peduli.
Ia duduk
di ruang tengah menghadap televisi, menghidupkan televisi, menunggu,
seakan-akan tak ada sesuatu pun dalam pikirannya. Ia hanya sendirian di rumah.
Lalu telinganya seperti mendengar suara-suara orang berbisik, dan sesuai
hitungannya.
Terdengar
ketukan pada pintu. Mereka yang di luar pastinya sana tahu bahwa orang yang di
dalam rumah belum lagi tidur dan lampu masih menyala.
Ia mengangkat dirinya, berjalan ke pintu depan,
menyibak gorden. Ia melihat ada beberapa sosok berdiri di sana. Lampu-lampu
taman yang remang menghalanginya melihat jelas.
Ia memutar
kunci, membuka pintu. Di depannya seorang laki-laki sekitar 156 meter, agak
kerempeng dan berambut ikal. Di belakangnya tiga orang yang berdiri sambil
mengangkat sedikit dagunya. Dua orang berkacak pinggang.
Orang yang
berdiri paling depan itu sepertinya sang pemimpin dan tampaknya dia sedikit
mabuk. Matanya agak sayu. Sebenarnya Leo sudah tahu siapa dia karena pernah
melihatnya di pajak Horas. Tetapi dia memutuskan untuk pura-pura tidak tahu.
Derman
adalah preman yang ditakuti di Pematangsiantar. Dia dikenal bisa dipakai oleh
tokeh-tokeh atau mereka yang punya uang untuk menggertak orang. Kulitnya hitam.
Meski tubuhnya kecil tetapi ototnya terlatih. Dia dikenal sakti. Beberapa kali
hendak dibacok oleh musuhnya tetapi ia terus selamat. Seharusnya dia sudah mati
berkali-kali.
“Siapa
kau?” tanyanya tegas.
“Derman
aku,” sambut si tamu tak diundang tak kalah tegas.
“Kau
bertamu tak pada waktu yang tepat,” ujarnya dingin.
‘Aku mau
lihat surat-suratmu dulu, bah! Kau kan baru tinggal di sini.”
“Sudah dua
tahun aku di sini. Baru tahu nya kau?”
“Tapi kau
kan bukan dari kampung sini.”
“Apa
urusanmu?”
Derman
yang sedikit mabuk itu tak bahagia dengan dialog panjang itu. Ia melangkah satu
dua langkah sampai sekitar satu meter di depan Leo, berhenti, dan dengan gerak
menipu, kakinya menendang tungkai Leo namun terlalu lamban, sehingga keburu
ditangkis.
Bagaimana
pun, jam terbang takkan menipu. Meski sudah agak terhuyung, sempat pula kaki
Derman melayang dan mengenai tulang kering kaki lawan. Leo mundur ke belakang.
Ketika tangan Derman hendak mengambil sesuatu di balik pinggang, dengan gerak
cepat Leo menendang dan mendorongnya keras. Tubuh itu mundur beberapa langkah,
ditahan oleh dua anak buahnya. Ketika yang satu akan maju membantu bosnya,
dicegah oleh Derman.
“Biarkan
dia, tungkik! Kau tunggu balasanku, kurang ajar!”
Kemudian
Derman mengajak tiga anak buahnya berlalu dari halaman rumah Leo. Leo memandang
Derman dan anak buahnya pergi. Dibiarkannya pintu gerbang terbuka lebar. Ia
mengunci pintu dan merasa gembira karena ia tak merasakan sesuatu pun di tulang
keringnya.
Ia sudah
mendengar bahwa Derman seorang yang sakti. Beberapa kali dia digebuki tetapi
tidak mempan. Menurut kabar angin, ia berguru ke gunung, berendam di danau
Toba. Ternyata dia tak sesakti yang kukira, pikir Leo sambil mematikan televisi
karena tak ada acara yang menghiburnya.
Ia masuk
kamar dan memutuskan untuk mansi. Ia suka berada di bawah shower yang
menyemprotkan air hangat, panas sebenarnya, untuk memanaskan lehernya sampai
kemerahan. Saat itulah dia merasa rileks. Ia menggosok badannya dan mengguyur
tubuhnya bersih-bersih dengan air bersuhu sedikit panas.
Sesaat
kemudian ia sudah mengeringkan diri, mengenakan baju tidurnya, dan berbaring di
tempat tidur dengan sprai rapi berwarna biru muda.
Sejenak ia
memikirkan kejadian yang baru menimpanya, tetapi dia tidak mau memikirkannya,
dengan cepat ia terlelap seperti bayi. Napasnya halus.
Esok
paginya Leo merasa kakinya sakit. Ditariknya selimut untuk melihat keadaan
tulang keringnya. Ia kaget karena ia melihat baret biru di sana dan membengkak.
Seketika ia percaya bahwa Derman memang makhluk sakti. Dengan mabuk saja dia
bisa menendang dan membuat kakiku biru seperti ini, pikirnya. Siapa yang mengirimnya?
Leo
berjalan keluar kamar sambil berpikir-pikir. Ia merasa tidak pernah mencari
musuh tetapi orang-orang yang memusuhinya tiap hari kian tampak. Ia
menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia sedikit heran kenapa orang selalu senang
berperkara dengan dia. Ada-ada saja masalahnya.
Sore
harinya si Derman muncul lagi. Kali ini dia ditemani abangnya, Bongguk. Leo
mengutuk dalam hati. Kenapa mereka tidak bisa membiarkan hidupku tenang. Tetapi
diam-diam dia merasa bangga melihat mata Derman tampak lebam. Itu karena bogem
mentah kirimannya yang semalam dia layangkan ke pelipis preman pasar itu. Dan
sepertinya rahangnya agak mencong. Apa mungkin engselnya lepas dan dia meminta
pertanggungjawabanku sekarang, pikir Leo. Seorang preman takkan melakukan itu
kecuali dia seorang yang tidak memiliki harga diri.
“Apa yang
lakukan semalam itu, Leo?” bentak si Bongguk.
“Apa
rupanya?” balik Leo bertanya.
“Si Derman
hanya mau lihat surat-surat kau. Kenapa kau malah pukul dia?”
“Kau tak
ada urusan denganku, Bongkuk. Ini urusanku aku dengan adik kau. Jangan
coba-coba kau ikut campur di sini.”
Karena
sore itu masih terang, beberapa tetangga menyaksikan peristiwa itu meski tidak
bisa melakukan apa-apa. Bertepatan pula Rico dan Lazuarti dan Mindo Napitupulu
mampir ke rumahnya Karena itu mereka berdua langsung kabur.
Tetapi
malam berikutnya, Leo pulang ke rumah kira-kira pukul sepuluh. Kedatangannya
sudah dinantikan tiga motor dan lima orang. Leo menghentikan motor besarnya di
depan pintu gerbang, sementara kelima orang itu mengawasi gerakannya.
Leo
mengutuk dalam hati. Apa lagi mereka ini. Tak bisakah mereka membiarkanku hidup
tenang, pikirnya sambil menarik kunci motor, dan berdiri menghadap mereka.
“Apa mau
kalian?”
“Gini,
Lae. Kami tak terima kawan kami kau gimbal,” ujar yang satu.
“Jadi
maumu apa? Kau mau main keroyok?” tanya Leo.
Satu orang
tampak turun dari motor dan langsung berjalan mendekati Leo. Badan Leo yang
besar itu juga tidak menyia-nyiakan waktu, menendang satu orang yang duduk di
atas motor dan langsung jatuh ngejoprak. Pertarungan itu adalah pertarungan
laki-laki. Bagus juga karena orang Batak biasanya berkelahi dengan cara
jentelmen. Mereka berani berkelahi satu lawan satu.
Sampai
lurah, camat soleh, turun tangan, sampai asisten 1, walikota turun tangan,
untuk mendamaikan. Caranya dinasihati, derman dan kawan2nya. Mereka salahkan
kawan2ku. Lebih jahat dan brengsek yang jahat. Aku juga ada pergaulan di luar.
Di siantar
ada tokoh masyarakat, tokoh pemuda, orang2. Mereka turun lagi. Artinya, aku
melakukan itu karena pembelaan diri. Perkelahian karena dia datang ke rumahku.
Yang kedua, ketika aku mau masuk ke jalan rumah. aku naik motor juga. Kota
kecil ke aman2 lebih cepat naii motor. Tidak main keroyok. Kalau seorang yang
jentelmen. Itu cara2 pengecut tikam2 belakang. Jawa itu. Tangan lawan tangan.
Senjata lawan senjata.
Prinsipnya,
jangan ganggu dia. Tantang gua. Aku layanin. Mau berantam pukul2an biasa, salah
satu cacat atau salah satu mati.
Pukul 8
malam lonceng pagar rumah Leo berbunyi. Dia pikir itu adalah Trisno karena
setelah pulang kantor jam 5 tadi, dia sudah mengajak kawannya berenang di
Sibatu-batu itu ke luar untuk makan malam. Leo membuka pintu dan melihat
segerombolan orang di luar pagar rumah. Ada 13 orang ditambah seorang anak
kecil. Siapa mereka? Jangan-jangan mereka salah masuk rumah, pikir Leo.
“Ya, ada
apa?”
“Ini,
masalah kau dan Derman, Nak Leo. Saya mamaknya Derman,” sahut seorang ibu tua.
“Oh...,”
jawab Leo sambil membuka pagar yang belum dikunci. Karena dia seorang Jawa, Leo
tak perlu bertanya untuk dipanggil inang, namboru, nantulang, atau ompung.
“Silakan
masuk. Aku panggil Ibu saja?
“Ya, ibu
saja.”
Mereka
semua masuk ke dalam rumah. Sebagian berdiri di halaman. Rupanya mereka datang
untuk minta maaf atas perbuatan anaknya, Derman.
“Tidak apa-apa,
Bu. Kita manusia ada kesilapan. Manusia sempurna karena ketidaksempurnaannya.
Itulah yang diberi tuhan.”
Setelah
itu datang lagi delapan orang di antaranya tokoh masyarakat. Ternyata Derman
juga ada. Mukanya merah sehabis minum. Usianya sudah 45 tahun dan tidak
kawin-kawin. Mamaknya memanggil dia masuk untuk minta maaf. Ada tokoh
masyarakat.
Akhirnya
mereka berdamai sebagai teman dan saudara. Ibu tak usah kecil hati dengan
derman. Abangnya juga bilang, adik saya memang gitu. Residivis.
*
Selesai - tamat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar