Senin, 21 Desember 2015

Kisah Lain tentang Orang Majus

Mereka yang mencari surga bagi dirinya sendiri,
Mungkin tidak akan tiba pada tujuannya;
Mereka yang berjalan dalam kasih akan menempuh segala lika-liku ,
Karena Tuhan membawanya ke tempat-tempat rahasia di mana berkat ada.


Tanda di Langit
PADA masa Kaisar Agustus mendominasi banyak kerajaan dan Herodes memerintah di kota Yerusalem, adalah seorang Media bernama Artaban. Ia tinggal di kota Ekbatana, di sekitar pegunungan Persia. Ia seorang muda bestari. Tempat kediamannya dikelilingi tujuh dinding kompleks istana yang indah permai. Dari atap rumahnya, ia dapat memandangi loteng-loteng hitam dan putih dan merah dan biru dan perak dan emas, terus sampai ke bukit kastil musim panas kekaisaran Partia yang berkilau bak mahkota tujuh lapis yang berhiaskan permata.
     Di sana terhampar seluas taman yang rapi tersusun pepohonan bebuahan dan bebungaan, selalu segar karena air dari lereng Gunung Orontes tak berhenti mengalir, menciptakan bebunyian riang seperti nyanyian ratusan burung. Kelembutan aroma malam-malam di penghujung bulan September, seperti bisik-bisik di kedalaman yang sunyi, yang menyimpan percik air yang bersuara antara tangis atau tawa halus di bawah bayang-bayang. Jauh di pepucuk pohon, setitik cahaya bersinar lemah, mengintip lewat keluk tirai kediaman tuan rumah yang sedang mengadakan musyawarah bersama tetamunya.
     Tuan rumah berdiri di dekat pintu masuk, menyambut tamu-tamunya dengan wajah tersenyum sopan. Tubuhnya tinggi langsing, berkulit agak gelap, pada usia 40 tahun. Kedua matanya berdekatan, bersinar di bawah sepasang alis yang lebat, garis bibir tipisnya yang tegas; alis mata dari seorang pemimpi dan mulut seorang tentara. Ia laki-laki berperasaan anteng namun berkemauan keras—seseorang yang di dalam dirinya, pada usia mana pun, senantiasa menyimpan konflik batin yang kentara dan kepala yang tak berhenti bertanya.
     Jubah putih woolnya jatuh mengenai tunik suteranya, dengan tutup kepala meruncing berwarna senada, dengan kerah panjang pada kedua sisi telinga, rebah di rambutnya yang legam. Itulah pakaian yang menandakan ia pendeta Magi kuno, penyembah api.
     "Mari!" katanya dengan suara rendah dan ringan, menyapa tetamunya yang memasuki ruangan—"selamat datang, Abdus; salam damai, Rhodaspes, Tigranes, dan ayahanda Abgarus. Anggaplah di rumah sendiri. Tempat ini menjadi hangat karena kehadiran kalian. Mari!"
     Ada sembilan laki-laki umur beragam, namun berasal dari kelas hartawan dan cendekiawan yang nampak dari beragam sutera halus yang mereka pakai, kerah-kerah keemasan bermotif pada leher mereka, para kaum Partia terhormat, logo lingkaran emas bersayap di dada mereka, menandakan pengikut Zoroaster.
     Mereka duduk mengelilingi sebuah altar hitam kecil di ujung ruang. Api kecil tampak terus menyala. Artaban, kemudian berdiri di samping altar, melambaikan sebuah barsom -ranting tamarisk (yang digunakan pendeta Zoroaster untuk merayakan upacara sakral tertentu) di atas api, menambahkan ranting pinus kering lalu minyak harum ke arah api. Lalu mulutnya mulai melantunkan ayat-ayat Yasna, tetamunya ikut bergumam mengikuti ayat-ayat indah yang dipersembahkan sepenuh hati kepada Ahura-Mazda:
Kami menyembah Roh Suci,
pemilik segala kebijaksanaan dan kebaikan,
Dan para kudus yang abadi,
Pemberi segala berkat dan kelimpahan,
Kami bersukacita atas karya tanganNya,
KebenaranNya dan kekuasaanNya.

Kami memuja segala yang murni,
CiptaanNya;
Pikiran-pikiran yang lurus,
Pekerjaan dan perilaku yang menang atas pencobaan;
Yang ditolong olehNya,
Yang karena itu kami memuji setinggi-tingginya.

Dengarlah kami, O Mazda! Engkau yang berdiam dalam
Kebenaran dan kegembiraan surgawi
Bersihkan kami dari segala kesalahan, dan jagalah kami
Dari kejahatan dan kemelekatan pada kejahatan;
Curahkan terang dan sukacita Kehidupan dariMu
Atas kegelapan dan kesedihan kami.

Bersinarlah atas kebun dan ladang kami,
Bersinarlah atas pekerjaan dan alat tenun kami;
Bersinarlah atas seluruh umat manusia,
Mereka yang percaya dan yang tidak;
Bersinarlah atas kami sepanjang malam,
Bersinarlah sekarang dengan kekuasaanMu,
Engkaulah kobar dalam cinta suci kami
Serta pujian atas penerimaan penyembahan kami.
     
      Api terus menyala bersama lantunan doa, berdenyut seperti musik yang menyala musik, sampai api menyembur sinar terang di seluruh bagian, menyatakan kealamian dan semarak.
     Lantai biru tua bergaris putih dengan pilar-pilar berwarna perak yang berjalin, tegak menghadap dinding-dinding biru; loteng setengah lingkaran dengan jendela-jendela berhiaskan kain halus sutera biru; kubah langit-langit yang ditutupi permata safir berbentuk dadu, serupa tubuh surga dalam puncak kejernihan yang memanen bintang-bintang perak. Pada keempat sudut atap bergantungan lidah-lidah para dewa yang eksotis keemasan. Pada ujung timur, di belakang altar, tampak dua pilar porfiri –batu merah yang dihias ornamen kristal putih; di pucuknya sebuah batu ukir pemanah bersayap, dengan panah yang diarahkan pada benang dan jalinan pita.
     Pintu keluar diapit dua pilar, yang terbuka menghadap teras loteng, bertudung tirai tebal berwarna delima matang, bersulam ratusan garis emas yang seperti muncul dari lantai. Anjungan serupa malam tenang penuh bintang, bernuansa biru perak, matang kemerahan serupa ufuk matahari di sayap timur. Sebuah paduan kemuliaan yang merupakan ekspresi karakter dan semangat tuan rumah.
     Ketika lantunan tiba pada bait terakhir, ia memandang para tamu, mempersilakan mereka pindah dan duduk di sofa ujung barat anjungan.
     "Terimakasih atas kedatangan kalian, para pengikut Zoroater yang setia," katanya sambil mengedarkan pandangan, "Kita berada di sini untuk memperbaharui dan memperbaiki iman kita kepada Allah Segala yang Murni, juga api baru di altar ini. Kita bukan menyembah api tetapi itulah yang termurni dari seluruh benda. Api berbicara kepada kita soal seseorang yang adalah Terang dan Kebenaran. Bukan begitu, ayahanda?"
     "Tepat, ananda," suara Abgarus tegas. "Mereka yang mendapat pencerahan bukanlah para pemuja berhala. Mereka adalah yang mengangkat topi mereka, pergi ke kuil sejati, kepada terang dan kebenaran baru yang sedang datang melalui tanda dan simbol-simbol purba."
     "Ayahanda dan sahabatku sekalian, bila berkenan, mohon kiranya mendengarkan apa yang akan kukatakan ini," kata Artaban pelan, dengan penekanan yang jelas, "aku akan memberitahu kalian tentang terang dan kebenaran baru yang telah datang kepadaku melalui semua tanda yang paling purba. Kami bersama telah meneliti rahasia-rahasia dan mempelajari faedah air dan api dan segala tumbuhan. Kami sudah menekuni buku-buku ramalan masa depan yang ditulis dalam kata-kata yang sulit dipahami. Namun di antara semua yang kami pelajari, yang termulia adalah pengetahuan tentang bintang-bintang. Meneliti jejak-jejak mereka adalah seperti memanasyrihkan benang-benang misteri kehidupan awal hingga akhir. Jika kami mampu mengikuti semua itu dengan sempurna, tak ada satu rahasia pun tersembunyi. Namun, bukankah pengetahuan tentang itu masih belum lengkap? Bukankah masih banyak bintang yang berada diluar pengamatan kita—terang yang hanya dipahami oleh mereka yang tinggal jauh di tanah selatan, di antara pepohonan rempah Punt dan tambang-tambang emas Ophir?"
     Mendengar perkataan Artaban mereka berbisik-bisik, mengiyakan.
     "Bintang-bintang," ujar Tigranes, "adalah akal budi yang Abadi. Mereka tak terhitung jumlahnya. Segala akal budi seorang manusia dapat dihitung, seperti tahun-tahun dalam hidupnya. Kearifan para Magi (majus) adalah yang tertinggi dari semua kemahardikaan bumi, karena ia mampu memahami ketidaktahuan. Itulah rahasia kedigdayaan. Kita memiliki mereka yang senantiasa mengamati dan menantikan fajar baru. Kita memahami kegelapan yang senantiasa setara dengan terang, dan bahwa sengketa di antara keduanya takkan pernah berakhir."
     "Namun kenyataan itu tidak memuaskanku, kawan," sela Artaban, "karena, jika penantian itu tiada berakhir, jika dari semua itu tiada penggenapan, lantas apa makna kearifan dalam merenung dan menanti. Kita semestinya seperti guru-guru Yunani, yang mengatakan tidak ada kebenaran, bahwa hanya para Magi yang menghabiskan hidup mereka demi menemukan dan memperlihatkan kebohongan-kebohongan yang dipercayai dunia. Fajar baru pasti akan terbit pada waktunya. Bukankah buku-buku membuka rahasia kepada kita bahwa ini akan terjadi, bahwa manusia akan melihat cahaya terang yang paling terang?"
     "Benar," kata Abgarus, lalu melanjutkan, "setiap murid Zoroaster yang setia memahami nubuat Avesta dan menyimpan perkataan itu di dalam hatinya. 'Pada hari itu Sosiosh the Victorious (satu dari tiga putra Zoroaster) akan bangkit dari antara para nabi di timur. Di sekelilingnya akan terbit yang paling terang, yang akan membuat kehidupan abadi, tegak bermoral, kekal, yang mati akan hidup kembali.'"
     "Ada kegelapan yang berbicara," tambah Tigranes, "yang mungkin tidak akan pernah bisa kita pahami. Lebih baik kita mempertimbangkan hal-hal yang dekat, meningkatkan pengaruh kita di negeri sendiri, daripada mencari-cari seorang yang mungkin asing bagi kita, dan kita mesti mempertaruhkan kekuasaan kita kepadanya."
     Pemirsa tampak setuju dengan perkataan yang terakhir. Sebuah kesepakatan tak terucap di antara mereka telah nyata; ekspresi yang tak dapat dilukiskan yang telah menenangkan para pendengarnya. Namun Artaban dengan sinar di wajahnya, berpaling ke arah Abgarus, yang tertua di antara mereka, berkata:
     "Ayahanda, aku telah menyimpan nubuat di tempat yang paling rahasia dalam hatiku. Agama tanpa harapan adalah seperti altar tanpa api yang menyala. Dan sekarang api itu telah menyala terang, dan oleh terang itu aku dapat membaca kata-kata lain yang juga berasal dari sumber Kebenaran, dan berkata lebih jelas tentang munculnya Sang Pemenang dalam segala kecemerlangannya."
     Lalu ia mengeluarkan dua gulungan kecil yang terbuat dari kain halus dari tuniknya, dan membukanya hati-hati di atas lututnya.
     "Dalam tahun-tahun yang hilang di masa lalu, lama sebelum leluhur kita tiba di tanah Babilonia, ada para bijaksana dari Chaldea, yang dari mereka para Magi mempelajari rahasia-rahasia surga. Bileam putra Beor adalah satu yang terbesar. Ia mengatakan nubuat ini: 'Kelak akan muncul bintang dari keturunan Yakub, dan tongkat dari Israel.'"
     Tigranes menarik bibirnya ke bawah, berkata:
     "Yehuda telah terpenjara oleh air Babilionia, dan putra Yakub telah takluk kepada raja-raja kita. Suku-suku Israel telah terserak di seluruh gunung-gunung seperti domba-domba yang hilang, dan sisanya yang tinggal di Yehuda, berada di bawah tekanan Romawi, karena itu bintang atau tongkat tak mungkin akan muncul dari sana."
     "Namun," kata Artaban cepat, "Daniel orang Ibrani itu, seorang pengarti mimpi yang wahid, penasihat raja-raja, Beltsazar yang bestari, yang paling dihormati dan disayangi oleh raja agung kita, Koresh. Daniel telah membuktikan dirinya kepada bangsa kita sebagai seorang nabi sejati dan seorang yang dapat membaca pikiran-pikiran Allah. Dan inilah kata-kata yang dia tulis." (Artaban membacanya dari gulungan kedua:) "’Maka ketahuilah bahwa Yerusalem akan dipulihkan, sampai kedatangan Yang Diurapi, Seorang Raja, ada tujuh kali tujuh masa dan enam puluh dan dua kali tujuh masa.'"
     "Tetapi, ananda," sela Abgarus, dengan suara ragu berkata, "angka-angka itu adalah simbol. Siapa yang dapat menafsir, atau siapa yang dapat menemukan kunci untuk mengartikannya?"
     Artaban menjawab: "Ayahanda, telah ditunjukkan kepadaku dan kepada tiga rekanku—Caspar, Melchior, dan Balthazar. Kami telah meneliti loh-loh purba orang Chaldea dan menghitung waktunya. Jatuhnya tahun ini. Kami sudah mempelajari langit, dan pada musim semi tahun ini kami melihat ada dua bintang besar yang berdekatan dalam bentuk Ikan, yang berada di kediaman orang Ibrani. Kami juga melihat satu bintang baru di sana, yang bersinar hanya satu malam setelah itu hilang. Kemudian ada dua planet besar akan bertemu. Dan malam inilah pertemuannya. Ketiga kawanku sedang mengamati tanda-tanda itu di Kuil kuno Tujuh Kubah di Borsippa, di tanah Babilonia, sementara aku mengamatinya di sini. Kami bersepakat, jika bintang itu bersinar kembali, mereka akan menungguku di Kuil selama sepuluh hari, dan dari sana kami akan ke Yerusalem, untuk melihat dan menyembah seorang yang telah dijanjikan lahir sebagai Raja Israel. Aku percaya tanda itu akan datang. Dan aku sudah menyiapkan sebuah perjalanan. Aku sudah menjual rumah dan seluruh harta milikku, dan membeli tiga batu permata ini—batu safir, baru delima, mutiara—untuk kubawa sebagai persembahan untuk Raja itu. Dan aku memintamu untuk pergi bersamaku dalam ziarah ini, agar kita bersama-sama bersukacita ketika menemukan Raja yang layak disembah itu."
     Sementara berkata-kata, ia memasukkan tangannya ke lipatan korset yang paling dalam dan menarik ketiga batu pertama—satu berwarna biru cemerlang seperti langit, satu lebih merah daripada matahari terbit, dan satu putih seperti senja di puncak gunung salju—lalu ia menaruhnya dalam gulungan kain linen.
     Seluruh kawannya menatap ganjil dan mata yang asing. Sebuah purdah seperti telah menyungkup wajah mereka, serupa kabut yang merayap naik ke atas dari rawa-rawa yang menutupi pebukitan. Mereka saling berpandangan dengan penuh syak dan syafakat, seperti sekelompok orang yang baru saja mendengar sesuatu yang mencengangkan, cerita binal tentang penglihatan, atau usulan sebuah upaya yang musykil dilaksanakan.
     Akhirnya Tigranes berkata: "Artaban, ini adalah mimpi yang sia-sia. Mimpi yang disebabkan terlalu banyak menatap bintang dan membesar-besarkan pikiran yang tinggi. Menurutku, lebih bijaksana menghabiskan waktu mengumpulkan uang untuk membangun kuil api baru di Chala. Tidak akan ada yang muncul dari ras bangsa Israel yang sudah menyerah itu, tidak ada akhir bagi keabadian makna terang dan gelap. Orang yang mencari-cari itu hanyalah mengejar bayangan. Karena itu, selamat tinggal, kawan."
     Yang lain berkata: "Artaban, aku tidak tahu-menahu masalah ini, dan kantorku tiap hari sibuk mengurus properti kerajaan. Misi ini bukan untukku. Seandainya engkau akan berangkat juga, persiapkan dirimu dengan baik."
     Yang lain menambahkan: "Aku masih pengantin baru, dan aku tidak dapat meninggalkan dia atau membawanya bersamaku dalam perjalanan ini. Misi ini bukan untukku. Semoga perjalananmu berhasil. Jadi, selamat tinggal."
     Yang lain berkata: "Aku sedang sakit dan tidak siap melakukan perjalanan yang sulit, tetapi aku punya beberapa asisten yang aku bisa kirim untuk menemanimu, untuk membawa kabar tentangmu kepadaku."
     Abgarus, yang tertua dan yang paling mengasihi Artaban, masih berada di sana ketika yang lain pergi, berkata dengan nada murung: "Ananda, mungkin cahaya kebenaran yang muncul di langit akan memimpinmu kepada Raja dan cahaya paling terang itu. Atau itu hanyalah bayangan terang, seperti yang dikatakan Tigranes, dan siapa pun yang mengikuti cahaya itu hanya akan melakukan ziarah panjang tanpa makna. Tetapi, lebih baik mengikuti bayangan yang terbaik daripada merasa puas dengan yang terburuk. Mereka yang akan melihat hal-hal yang menakjubkan seringkali akan siap melakukan perjalanan itu, sendiri. Aku terlalu tua untuk perjalanan ini, tetapi hatiku akan mengikuti ziarah ini siang dan malam, dan aku akan mengetahui akhirnya. Pergilah dalam damai."
     Lalu di ruang biru sublim dengan bintang-bintang perak itu, hanya ada Artaban sendiri.
   Ia mengumpulkan ketiga permata dan menyimpannya di belakang sabuknya. Matanya memandang jentik api yang meletup lalu menghilang di altar. Kemudian dia berjalan melintasi lorong, mengangkat tirai yang berat itu, melewati pilar-pilar porfori di teras loteng.
     Getar digelorakan bumi yang sedang terlelap dan siap terjaga, angin sejuk memberitahu fajar menyingsing dari ketinggian, jejak-jejak salju turun dari Gunung Orontes ke jurang-jurang. Burung-burung, setengah terjaga, bangun dan bersuara riang di antara dedaunan yang berderak, aroma ranum bebuahan anggur tercium samar dari arah rerumah tanaman yang dipenuhi tumbuhan menjalar.
     Jauh di timur kabut putih diam-diam melebar membentuk danau yang mengambang. Di ujung barat puncak cakrawala Zagros yang seperti bergerigi, langit tampak bersih. Planet Yupiter dan Saturnus sedang bergulung-guling bersama dengan sinar lembut yang bergerak perlahan, bersiap menyatu.
     Ketika Artaban memperhatikannya, lihatlah, sebuah sinar biru tampak dalam kegelapan di bawah, mengitari warna ungu, mengitari sebidang merah, lalu bergerak ke atas dengan sinar berwarna safron dan lembayung, lalu menjadi putih cemerlang. Kecil dan nun di sana, namun setiap bagiannya sempurna, berdenyut dalam kubah seolah-olah tiga permata di dada orang Magi itu, bersatu dan berubah diri menjadi sinar yang benderang.
     Dia menundukkan kepalanya. Dia menutupi alis dengan kedua tangannya.
     "Inilah tandanya," gumamnya. "Raja itu sedang datang. Aku akan ke sana untuk melihatnya."


(bersambung)

Kamis, 17 Desember 2015

Bukan Dramaturgi



Bukan Dramaturgi
Suka&Duka 30 tahun persahabatan
Oleh Ita Siregar, dkk. 



Terinspirasi oleh Teori Dramaturgi Erving Goffman, tentang panggung depan dan panggung belakang manusia dalam interaksinya, 10 fikomers 85 (mahasiswa fakultas ilmu komunikasi angkatan 85 Unpad Bandung) menulis cerita perjalanan persahabatan selama 30 tahun. Menampilkan panggung depan apa adanya. Cerita dimulai tahun 1985 di kampus Sekeloa, tingkah polah mahasiswa dan respons terhadap para doses saat itu, yang lucu dan polos, nama-nama yang disebut dalam cerita ini, ada yang menjadi negarawan, tokoh media, dll. Di ujung tahun 2015 mereka bersepakat meluncurkan buku “Bukan Dramaturgi”. Sebuah pengakuan jujur satu sama lain sebagai teman dengan ketulusan hati. Saling membahu untuk kebersamaan. Karir fikomers tersebut kini ada yang sebagai manager, dosen, penulis, PNS Dinas Sosial, pebisnis, EO, ibu yang hebat, pendamping suami, konsultan perpustakaan, dan satu orang jurnalis di antara mereka yang sudah meninggalkan dunia fana ini. Satu fikomers menceritakan kisahnya berjuang membunuh kanker dengan sikap luar biasa. Salah satu yang lain, Ita Siregar, penulis buku ini, mengisahkan jejak kepenulisannya bahkan sebelum ia tahu apa itu menjadi penulis. 
Berikut secuplik seputar kuliah.
Ulani mengaku sering tidak mengerti apa yang dikatakan Pak Onong saat memberi kuliah. Waktu itu beliau baru saja kembali dari Amerika Serikat setelah menamatkan PhD komunikasinya di sana. Apalagi dengan suaranya yang pelan saat berbicara alias ngaheos kalau kata orang Sunda, membelai mata untuk mengantuk. Lisda masih mengingat gaya bicara dengan kedua sudut bibir yang mengumpulkan ludah setelah beberapa waktu berbicara. Buku PIK-nya menjadi buku wajib di kampus Fikom, sampai sekarang

Dosen Pengantar Ilmu Hukum (PIH), seorang Tapanuli, mengajar dengan cara membacakan materi. Ini cocok buat Lisda yang senang mencatat, ngagudrud. Suaranya lantang berdiri di podium kelas. Beliau tidak membiarkan diri berinteraksi dengan mahasiswa. Tubuhnya tinggi langsing, rambutnya keriting seperti rambut Ita. Ulani setiap kali geli melihat tubuh Lisda yang meliuk liuk mengikuti gerakan tangan menulis. Ketika Lisda mendapat nilai B untuk PIH, dia berkomentar, upah mencatat. 

Masih segar dalam ingatan dosen yang gemar mengucapkan kata-kata bijak, early to rise early to bed make a man healthy, wealthy, and wise. Dialah Pak Benyamin, dosen manajemen, asli Ciamis. Mungkin seluruh angkatan tertular dan hapal perkataan itu. Beliau menegur mahasiswa yang menggulung lengan kemeja panjangnya, dan berkata, kamu harus menghargai jasa tukang jahit yang sudah membuat lengan baju yang panjang. Beliau sengaja menyebut nama mahasiswa yang ia rasa aneh, diplesetkan. Ia memanggil Zulfebriges menjadi Zuljabriges. Jabrig dalam bahasa Sunda artinya gondrong.

Terimakasih, Pembaca.
Beberapa komentar ini bikin semangat! Di antara kami pun saling nanggap, apa yang dulu tak jelas, terungkap. Ingatan-ingatan muncul, cerita-cerita baru berkembang. Ahai. Semoga buku BD ini bermanfaat.
Nice book. (Yusak, suami Jenni)
Kok bagian Mamah ngejar-ngejar aku nggak ditulis? (Taufik, suami Wenny).
Menarik. Yang bikin nangis cerita "Michelle". Yang bikin ketawa "RGG". Yang bikin bikin penasaran "mimpi" Ita. Cerita Wenny menjelaskan semua cerita dulu. Saya pikir akan baca dikit-dikit, tapi penasaran, saya baca sampai jam 23.53, selesai. Haha... “(Amy Meilani, Jurusan Humas, Fikom 1985)
Saya baca berkali-kali dan tiap kali masih terharu. Baca bagian Wenny, Dina, Lisda, Jenni aku nangis. Ita bilang Mamanya tak pernah ke Bandung menengok. Tapi aku pernah sekali ketemu Mamanya Ita di Sekeloa. Wajah dan rambutnya mirip Ita. Dari mana perumpamaan seperti ikan itu? Aduh, dalam sekali maknanya. (Ho Lian, salah satu tokoh dalam buku)
Membaca buku BD, senang, sedih dan terharu. Jadi pengen ngobrol. (Teh Yanti, teman Jenni)
Saya malas baca buku tapi penasaran sama BD, mbaca sampai reumbay cipanon. (Ci Pipin, Cici Jenni)
Seru banget. Semalam saya baca sebagai pengantar tidur, eh nggak bisa berhenti sampai tamat jam 2 pagi. Bacanya jadi bisa ikut bernostalgia. Selamat untuk persahabatan yang tetap langgeng selama 30 tahun ini. A precious thing to be grateful. (Wieda, Fikom 85)
Libur pagi ini, segelas teh Tong Tji dan Bukan Dramaturgi yang tamat dibaca. Bukunya keren, hidup na meni berwarna. (Meidina, Penerangan Fikom 85)
You still got the move. Gaya penulisan yang selalu kukagumi. “.... seperti ikan di laut, aku diliputi air asin tapi aku sama sekali tidak asin.” (Mino Situmorang, Jakarta)
Nangis pas cerita Mbak Wenny dan ibunya. Jurusan komunikasi angkatanku juga punya sebutan, unggulers karena kami unggul... hahaha. Narsis poll. Adik tingkat kami mencibir waktu dengar nama ini. Tapi, nama adalah doa. Beberapa sudah membuktikan kami cukup unggul. (Indah Rahma, Solo)
Kisah-kisah kehidupan yang menarik. Betapa banyak kisah menarik di dunia ini. Semoga menjadi berkat bagi yang bersangkutan dan bagi orang lain. Ada kisah asyik, tapi waktu mengalaminya, pastinya nggak asyik. (Setya Budi, Jakarta).
Uing ceurik baca buku BD. Tapi seuri waktu baca soal si Abeh. (Yunus, suami Ulani)
Salam Bukan Dramaturgi.
(Tertarik membeli hubungi 0815-1653447) 

Sabtu, 06 Juni 2015

Tangan Kiri Tuhan (Cerber #11-Selesai)

Kawan atau Lawan
Sipinggol-pinggol. Pukul setengah dua dini hari Leo tiba di rumahnya yang berpagar tinggi. Suasana sepi dan hening. Tak satu pun makhluk bergerak tampak. Angin malam di Pematangsiantar selalu menghembuskan udara es. Dingin yang menyengat.
Tanpa diperintah bulu kuduknya merasakan sesuatu ketika ia akan menggembok pagar selesai membawa motor besarnya masuk garasi. Ia menatap berkeliling, hanya gelap yang ia tangkap, tetapi ia merasa ada sesuatu di sana, dan ia tak tahu apa. Ia tetap tenang dan mengurungkan niatnya mengunci gembok. Dengan sengaja ia membiarkan mata gembong terurai.
Tangannya mengunci pintu rumah baik-baik. Perasaan tak enak hatinya kian kuat tetapi ia tak mempedulikannya. Ada hal penting yang harus ia lakukan sekarang, yaitu memberi makan arwanyanya di akuarium. Di beranda belakang ia melihat masih ada pakan cacing darah beku dan ikan kecil-kecil di kotak kaca. Ia mengambil jaring plastik, menangkap beberapa ikan kecil. Ia memang lebih suka memberi ikan atau hewan segar sebagai makanan si Naga. Biasanya ia menyuruh Togi mencari jangkrik atau menangkap kecoa utnuk disimpan di kotak makan ikan dan ia bisa mengambilnya kapan-kapan untuk si suluk merah.
Si Naga seakan tahu tuannya akan memberi makan, berenang lebih cepat dengan gerakan anggun dan berayun, memperlihatkan tubuhnya yang bersisik emas. Ekor merahnya bergerak mempesona. Leo sangat suka ikan jenis suluk merah ini yang menurut mitologi Tionghoa sebagai pembawa hoki yang kuat. Ikan agresif ini pantang disatukan ikan jenis lain. Ia lebih suka berenang sendirian dalam akuarium sebesar. Ia ingin bebas menguasai wilayah tempat tinggalnya. Dan Leo merasa ikan itu sebagai perwujudan karakternya yang cenderung soliter dan penyendiri. 
Tangan kirinya mengangkat pembatas tutup akuarium, dan baru tangan kanannya hendak melemparkan ikan-ikan kecil itu ke dalam akuarium, si Naga keburu melompat, terlalu ceria, sehingga ia terjatuh ke lantas. Bunyinya sangat keras, bruk! Dengan segera ia menuangkan ikan-ikan kecil itu, kemudian memperhatikan si Naga. Lantai basah seketika, Leo mengutuk.
“Apa-apaan kau, Naga? Lapar sih lapar, tetapi jangan begitu caranya!” bentaknya keras sambil menangkap tubuh licin itu dengan saringan lebih besar, lalu menenggelamkannya ke dalam air, membiarkan si Naga berenang keluar dari sana.
Dengan anggun ia menari-nari, mengejar ikan-ikan kecil, lalu dilahapnya. Jelas saja karena dua hari perutnya belum diisi makanan sedikit pun. Mata Leo memandang si Naga puas, menutup penutup akuarium, kemudian dia menunggu. Tubuhnya merasa siap menanti kedatangan siapa pun.
Betul saja. Tak lama terdengar suara klonteng dari arah pagar, kemudian suara pagar didorong sedikit lebar, dan detap-detap kaki melangkah. Ia ingat tadi dibiarkannya pagar tak bergembok. Tetapi dia masih tak peduli.
Ia duduk di ruang tengah menghadap televisi, menghidupkan televisi, menunggu, seakan-akan tak ada sesuatu pun dalam pikirannya. Ia hanya sendirian di rumah. Lalu telinganya seperti mendengar suara-suara orang berbisik, dan sesuai hitungannya.
Terdengar ketukan pada pintu. Mereka yang di luar pastinya sana tahu bahwa orang yang di dalam rumah belum lagi tidur dan lampu masih menyala.
Ia  mengangkat dirinya, berjalan ke pintu depan, menyibak gorden. Ia melihat ada beberapa sosok berdiri di sana. Lampu-lampu taman yang remang menghalanginya melihat jelas.
Ia memutar kunci, membuka pintu. Di depannya seorang laki-laki sekitar 156 meter, agak kerempeng dan berambut ikal. Di belakangnya tiga orang yang berdiri sambil mengangkat sedikit dagunya. Dua orang berkacak pinggang.
Orang yang berdiri paling depan itu sepertinya sang pemimpin dan tampaknya dia sedikit mabuk. Matanya agak sayu. Sebenarnya Leo sudah tahu siapa dia karena pernah melihatnya di pajak Horas. Tetapi dia memutuskan untuk pura-pura tidak tahu.
Derman adalah preman yang ditakuti di Pematangsiantar. Dia dikenal bisa dipakai oleh tokeh-tokeh atau mereka yang punya uang untuk menggertak orang. Kulitnya hitam. Meski tubuhnya kecil tetapi ototnya terlatih. Dia dikenal sakti. Beberapa kali hendak dibacok oleh musuhnya tetapi ia terus selamat. Seharusnya dia sudah mati berkali-kali.
“Siapa kau?” tanyanya tegas.
“Derman aku,” sambut si tamu tak diundang tak kalah tegas.
“Kau bertamu tak pada waktu yang tepat,” ujarnya dingin.
‘Aku mau lihat surat-suratmu dulu, bah! Kau kan baru tinggal di sini.”
“Sudah dua tahun aku di sini. Baru tahu nya kau?”
“Tapi kau kan bukan dari kampung sini.”
“Apa urusanmu?”
Derman yang sedikit mabuk itu tak bahagia dengan dialog panjang itu. Ia melangkah satu dua langkah sampai sekitar satu meter di depan Leo, berhenti, dan dengan gerak menipu, kakinya menendang tungkai Leo namun terlalu lamban, sehingga keburu ditangkis.
Bagaimana pun, jam terbang takkan menipu. Meski sudah agak terhuyung, sempat pula kaki Derman melayang dan mengenai tulang kering kaki lawan. Leo mundur ke belakang. Ketika tangan Derman hendak mengambil sesuatu di balik pinggang, dengan gerak cepat Leo menendang dan mendorongnya keras. Tubuh itu mundur beberapa langkah, ditahan oleh dua anak buahnya. Ketika yang satu akan maju membantu bosnya, dicegah oleh Derman.
“Biarkan dia, tungkik! Kau tunggu balasanku, kurang ajar!”
Kemudian Derman mengajak tiga anak buahnya berlalu dari halaman rumah Leo. Leo memandang Derman dan anak buahnya pergi. Dibiarkannya pintu gerbang terbuka lebar. Ia mengunci pintu dan merasa gembira karena ia tak merasakan sesuatu pun di tulang keringnya.
Ia sudah mendengar bahwa Derman seorang yang sakti. Beberapa kali dia digebuki tetapi tidak mempan. Menurut kabar angin, ia berguru ke gunung, berendam di danau Toba. Ternyata dia tak sesakti yang kukira, pikir Leo sambil mematikan televisi karena tak ada acara yang menghiburnya.
Ia masuk kamar dan memutuskan untuk mansi. Ia suka berada di bawah shower yang menyemprotkan air hangat, panas sebenarnya, untuk memanaskan lehernya sampai kemerahan. Saat itulah dia merasa rileks. Ia menggosok badannya dan mengguyur tubuhnya bersih-bersih dengan air bersuhu sedikit panas.
Sesaat kemudian ia sudah mengeringkan diri, mengenakan baju tidurnya, dan berbaring di tempat tidur dengan sprai rapi berwarna biru muda.
Sejenak ia memikirkan kejadian yang baru menimpanya, tetapi dia tidak mau memikirkannya, dengan cepat ia terlelap seperti bayi. Napasnya halus.    
Esok paginya Leo merasa kakinya sakit. Ditariknya selimut untuk melihat keadaan tulang keringnya. Ia kaget karena ia melihat baret biru di sana dan membengkak. Seketika ia percaya bahwa Derman memang makhluk sakti. Dengan mabuk saja dia bisa menendang dan membuat kakiku biru seperti ini, pikirnya. Siapa yang mengirimnya?
Leo berjalan keluar kamar sambil berpikir-pikir. Ia merasa tidak pernah mencari musuh tetapi orang-orang yang memusuhinya tiap hari kian tampak. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia sedikit heran kenapa orang selalu senang berperkara dengan dia. Ada-ada saja masalahnya.
Sore harinya si Derman muncul lagi. Kali ini dia ditemani abangnya, Bongguk. Leo mengutuk dalam hati. Kenapa mereka tidak bisa membiarkan hidupku tenang. Tetapi diam-diam dia merasa bangga melihat mata Derman tampak lebam. Itu karena bogem mentah kirimannya yang semalam dia layangkan ke pelipis preman pasar itu. Dan sepertinya rahangnya agak mencong. Apa mungkin engselnya lepas dan dia meminta pertanggungjawabanku sekarang, pikir Leo. Seorang preman takkan melakukan itu kecuali dia seorang yang tidak memiliki harga diri.
“Apa yang lakukan semalam itu, Leo?” bentak si Bongguk.
“Apa rupanya?” balik Leo bertanya.
“Si Derman hanya mau lihat surat-surat kau. Kenapa kau malah pukul dia?”
“Kau tak ada urusan denganku, Bongkuk. Ini urusanku aku dengan adik kau. Jangan coba-coba kau ikut campur di sini.”
Karena sore itu masih terang, beberapa tetangga menyaksikan peristiwa itu meski tidak bisa melakukan apa-apa. Bertepatan pula Rico dan Lazuarti dan Mindo Napitupulu mampir ke rumahnya Karena itu mereka berdua langsung kabur.
Tetapi malam berikutnya, Leo pulang ke rumah kira-kira pukul sepuluh. Kedatangannya sudah dinantikan tiga motor dan lima orang. Leo menghentikan motor besarnya di depan pintu gerbang, sementara kelima orang itu mengawasi gerakannya.
Leo mengutuk dalam hati. Apa lagi mereka ini. Tak bisakah mereka membiarkanku hidup tenang, pikirnya sambil menarik kunci motor, dan berdiri menghadap mereka.
“Apa mau kalian?”
“Gini, Lae. Kami tak terima kawan kami kau gimbal,” ujar yang satu.
“Jadi maumu apa? Kau mau main keroyok?” tanya Leo.
Satu orang tampak turun dari motor dan langsung berjalan mendekati Leo. Badan Leo yang besar itu juga tidak menyia-nyiakan waktu, menendang satu orang yang duduk di atas motor dan langsung jatuh ngejoprak. Pertarungan itu adalah pertarungan laki-laki. Bagus juga karena orang Batak biasanya berkelahi dengan cara jentelmen. Mereka berani berkelahi satu lawan satu.
Sampai lurah, camat soleh, turun tangan, sampai asisten 1, walikota turun tangan, untuk mendamaikan. Caranya dinasihati, derman dan kawan2nya. Mereka salahkan kawan2ku. Lebih jahat dan brengsek yang jahat. Aku juga ada pergaulan di luar.
Di siantar ada tokoh masyarakat, tokoh pemuda, orang2. Mereka turun lagi. Artinya, aku melakukan itu karena pembelaan diri. Perkelahian karena dia datang ke rumahku. Yang kedua, ketika aku mau masuk ke jalan rumah. aku naik motor juga. Kota kecil ke aman2 lebih cepat naii motor. Tidak main keroyok. Kalau seorang yang jentelmen. Itu cara2 pengecut tikam2 belakang. Jawa itu. Tangan lawan tangan. Senjata lawan senjata.
Prinsipnya, jangan ganggu dia. Tantang gua. Aku layanin. Mau berantam pukul2an biasa, salah satu cacat atau salah satu mati.
Pukul 8 malam lonceng pagar rumah Leo berbunyi. Dia pikir itu adalah Trisno karena setelah pulang kantor jam 5 tadi, dia sudah mengajak kawannya berenang di Sibatu-batu itu ke luar untuk makan malam. Leo membuka pintu dan melihat segerombolan orang di luar pagar rumah. Ada 13 orang ditambah seorang anak kecil. Siapa mereka? Jangan-jangan mereka salah masuk rumah, pikir Leo.
“Ya, ada apa?”
“Ini, masalah kau dan Derman, Nak Leo. Saya mamaknya Derman,” sahut seorang ibu tua.
“Oh...,” jawab Leo sambil membuka pagar yang belum dikunci. Karena dia seorang Jawa, Leo tak perlu bertanya untuk dipanggil inang, namboru, nantulang, atau ompung.
“Silakan masuk. Aku panggil Ibu saja?
“Ya, ibu saja.”
Mereka semua masuk ke dalam rumah. Sebagian berdiri di halaman. Rupanya mereka datang untuk minta maaf atas perbuatan anaknya, Derman.
“Tidak apa-apa, Bu. Kita manusia ada kesilapan. Manusia sempurna karena ketidaksempurnaannya. Itulah yang diberi tuhan.”
Setelah itu datang lagi delapan orang di antaranya tokoh masyarakat. Ternyata Derman juga ada. Mukanya merah sehabis minum. Usianya sudah 45 tahun dan tidak kawin-kawin. Mamaknya memanggil dia masuk untuk minta maaf. Ada tokoh masyarakat.
Akhirnya mereka berdamai sebagai teman dan saudara. Ibu tak usah kecil hati dengan derman. Abangnya juga bilang, adik saya memang gitu. Residivis.
*
 Selesai - tamat 


Tangan Kiri Tuhan (Cerber #10)

Catur
Orang Batak pemain ulung dan penggemar fanatik catur se-Tanah Air. Di Siantar orang bermain catur di kedai-kedai. Kedai itu semacam kios kayu, lebar empat dan panjang enam meter ke belakang. Orang menjual teh, kopi, pisang goreng, bubur nasi di kedai. Kalau sarapan tersedia tambahan telur ayam kampung setengah matang. Tak ada mi rebus seperti warung-warung di Jawa. Kedai kadang bernama kadang tidak, biasanya nama pemilik kedai dijadikan nama kedai.
Laki-laki Batak bicara politik lokal kota, nasional, internasional. Mereka pintar mengomentari pejabat di kota mereka, rakan perang antar negara, sepakbola dunia, Mulutnya membahas yang negara yang bermilyar-milyar dimakan oleh koruptor tetapi kadang-kadang untuk segelas kopi pun tak ada uang untuk membayar.
Ibu-ibu dan bapak-bapak kelas tani biasa ke ladang. Siang hari mereka pulang untuk makan di rumah atau di kedai. Setelah itu mereka berangkat lagi ke ladang. Mereka yang bekerja sebagai pegawai negeri pun, jam 10 pagi sudah nampak di kedai, duduk-duduk. Tiap hari begitu. Mereka memahas togel, politik, main catur, marbada.
Pemandangan umum kedai di pajak Horas adalah orang bermain catur. Kedai biasanya menyediakan papan caturnya. Orang kedai senang orang bermain catur di kedainya karena mereka akan duduk berlama-lama sambil terus menambah kopi. Karena Leo punya riwayat asam lambung tinggi, ia tidak minum kopi tetapi teh susu dingin. Air teh kental dicampur susu bendera kental manis dengan batu es.
Kedai berpintu papan-papan kayu yang sudah diberi nomor agar pas saat memasang ulang. Di dalam kedai ada meja dan kursi-kursi bulat dari plastik atau kayu. Selain bermain catur orang bisa ke kedai sekedar baca koran atau menghitung togel.
Satu malam Leo mengajak kawannya ke pajak Horas untuk minum bandrek. Bandrek racikan Pakcik Amar terkenal enaknya di seluruh Siantar. Anaknya, Amar Taufiq, teman baik Leo. Pakcik asli Pakistan-Afganistan. Malam itu Pakcik Anwar bermain catur dengan Makmur Nasution. Leo biasa memanggilnya Om Makmur. Pemain catur kedai biasa menekan mental lawan sambil bercanda, memanfaatkan berita yang sedang hangat di televisi untuk menghantam lawan. 
“Ngapain pula kuda kau itu ngintip-ngintip, Makmur?”
“Ah, jangan bikin barang kau itu ngetem-ngetem, Amar?”
“Oh begitu nya cara kau main? Aku majukan yang ini. Ayo, mainkan.”
“Hancur Kandahar!”
“Hancur Lebanon!”
“Kutembakkan dulu rudal itu, bah!
“Rusak sudah Palestina.”
Om Makmur berani mengorbankan bidak-bidak pentingnya –kuda atau gajah- untuk menghancurkan pertahanan lawan. Strategi permainannya sangat rapat dan tak lengah. Paling biasa Om Makmur menang dalam pertandingan catur melawan Pakcik Amar. 
“Ajari aku main catur, Om!”
“Kau harus bersiap jadi pecundang main catur denganku, anak muda!”
Makmur Nasution seorang yang unik. Ia seniman jalanan yang kelihatannya tak peduli dengan hidupnya. Ia tak pernah menikah sampai setua itu, mencari uang dari menyanyi dari kedai ke kedai di Pajak Horas, tanpa musik. Biasanya kedua tangannya bertepuk sebagai nada mengiringinya menyanyi. Ia seperti orang normal ketika bermain catur, tetapi kurang lurus pikiran atau terganggu jiwanya jika sedang melamun tidak melakukan apa-apa.
Om Makmur senang menyanyikan lagu-lagu Rahmat Kartolo, terutama Patah Hatiku Jadinya, seperti biasanya pria-pria Batak menyanyikan lagu-lagu sendu dengan syair yang mengagungkan kasih ibu. Ketika Rahmat Kartolo diberitakan meninggal dunia, Om Makmur meraung-raung, menyanyikan lagu penyanyi itu berulang-ulang. Tak seorang pun berani menghentikan Om Makmur menyanyi. Dia akan berhenti menyanyi dengan sendirinya ketika keletihan.
Orang di pajak Horas bilang Om Makmur punya kenangan manis dengan perempuan yang disukainya, yaitu Sorta Sitanggang. Sorta adalah pedagang di dekat pajak, yang usianya sudah tidak muda lagi. Satu kali Sorta Sitanggang memandang Om Makmur bermain catur dengan Leo, dan sambil tertawa dia bilang menyukai Leo. Om Makmur kesal mendengar itu tetapi dia tetap memainkan bidak-bidak caturnya. Leo berusaha menghiburnya.
“Om Makmur, Sorta sudah punya umur seperti Om. Dia itu lebih cocok kawin sama Om Makmur daripada aku. Om kawinlah dengan dia.”
Om Makmur senang diberitahu seperti itu tetapi kenyataannya dia tidak pernah bisa merebut hati pedagang perempuan itu.
Karena sering bermain catur bersama sampai jauh malam, Leo mengantar Om Makmur ke rumahnya di ujung jalan. Pertama kali melihat rumah Om Makmur, Leo sedih karena tempatnya kecil dan sumpek. Hiburan Om Makmur selain bermain catur adalah ayam jantan petarungnya yang bagus. Tiap malam dia membawa ayamnya tidur di atas tilamnya.
Leo membelikan tilam baru dari pajak Horas untuk Om Makmur. Beberapa kemejanya yang masih bagus dan celana panjangnya ia berikan kepada Om Makmur. Tiap kali mereka main catur ia yang menraktir makan nasi campur. Sesekali Leo menyelipkan sedikit uang untuk Om Makmur membeli apa saja yang disukainya. Satu hal yang disukai Leo dari Om Makmur adalah orangtua itu tidak pernah rewel meminta sesuatu darinya meski dia sudah merasa dekat.
Satu kali Leo memboncengnya ke Siantar dan ia melarikan motor sampai 90 km per jam. Ia heran karena celana panjangnya basah. Ia pikir hujan turun tetapi ternyata Om Makmur terkencing-kencing di belakangnya.
“Om Makmur kencing di motorku?” teriak Leo.
“Siapa suruh kau ngebut tadi?” sungut Om Makmur.
Leo segera minta maaf ketika menyadari wajah Om Makmur pucat ketakutan. Dia begitu ketakutan di belakang sana sampai tidak bisa mengatakannya kepada Leo. 
Setelah berhasilkan mengalahkan Om Makmur beberapa kali, Leo lebih percaya diri untuk mencari lawan main catur yang baru, yaitu Ali Napiah Siregar, orang pintar yang lahir di India tetapi kembali ke tanah air untuk mengabdi si sini. Pertama main dia kalah tetapi setelah itu dia selalu menang. Leo terus bermain catur dan menantang para jago catur Siantar seperti Lokap Pasaribu, Eston Panjaitan, Simanik dan banyak lagi. Sampai akhirnya dia sendiri dinobatkan sebagai jago catur antar kedai.
Setelah pulang kerja, kalau tidak perlu membersihkan lahannya, Leo akan menghabiskan waktu senja bermain catur. Ia datang saja ke kedai, dan mengintip siapa yang ada di sana. Selain di pajak Horas, Leo mengadu catur di kedai Pajak Hongkong, antara Jalan Diponegoro dan Jalan Surabaya. Tapi ia paling senang mampir ke kedai Si Zul karena dia membuat teh susu yang paling enak.
“Eh, ngapain kau di sana? Ayolah kita main dulu sepukul dua pukul.”
“Kopi dululah, Lae.”
“Ah, gampanglah itu.”
“Leo, lihat pertahananmu itu, bah? Coba rasakan ini kalau kau tak mencret.”
Bagi mereka, memenangkan catur di kedai lebih membanggakan daripada menang antar kecamatan atau kelurahan. Jagoan catur yang sesungguhnya tidak akan ikut perlombaan, tetapi untuk menyenangkan hati sambil sedikit mabuk tuak. 
Leo merasa permainan caturnya yang dulu mengalahkan Prandi belum apa-apatidak sebanding dengan permainan catur jalanan di kedai-kedai kopi di Siantar.
*

Bersambung ke bagian 11 

Tangan Kiri Tuhan (Cerber #9)

Pagar di Rumah Siantar 
Pematang Siantar berjarak 80 km arah selatan dari kota Medan. Pohon palem, lada, teh tumbuh baik di sini. Penduduknya mungkin seperempat juta orang. Tak padat memang. Orang pun berkendara santai di sepanjang sudut kota tanpa menemui kemacetan. Kota kecil yang hujan turun lebih sering dari sebutan kota hujan negeri ini, adalah kampung halaman Adam Malik. Banyak jagoan Medan dan kota besar lain tahu apa artinya jagoan  Siantar. Sebelum tahun 1907, kerajaan Pematang Siantar dipimpin marga Damanik dari Batak Simalungun. Kini wajah-wajah Tionghoa dan Melayu Keling banyak tampak di sini.
Leo memilih tinggal di kota ini meski secara resmi ia berkantor di Medan. Rasa bahagianya kurang memahami keruwetan kota besar. Alasan lain adalah romantisme masa lalu. Ia pernah melewatkan banyak kali liburan semester di sini, bertemu dan berdiskusi dengan para aktivis, pekerja, petani dan siapa pun di jalanan.
Siantar tak banyak berubah sejak terakhir dia tak lagi mampir. Lima tahun dia tinggalkan. Kota ini kerap memanggilnya pulang. Sapaan khas, manusia-manusia unik dan suka berkelakar, membuatnya rindu kembali. Di pajak (pasar) Horas, pemandangan lelaki dewasa bergerombol duduk mengobrol sambil minum kopi atau teh susu sambil mengepulkan asap rokok, adalah sebuah dinamika. Di kedai-kedai pajak, perdebatan dimulai dan diakhiri. Mereka mengutuk atau memuji para pemimpin negeri ini dalam sekali hisap sigaret. Meski tanpa uang di kantong mereka bertahan mengobrol sampai lewat tengah malam. 
Di sudut lain sekumpulan penyanyi setengah matang menarik suara dalam empat nada, menembangkan lagu-lagu sendu yang bersyair tentang ibu, kekasih, atau hidup yang tak lagi berpihak kepadanya, dengan petikan gitar seadanya. Penjual martabak india, bandrek, mi dan bihun goreng, sibuk melayani pelanggan. Becak menaik-turunkan penumpang.  
Beberapa minggu setelah kedatangannya, ia sudah memikirkan akan menuruti saran ayahnya: membangun rumahnya sendiri di sini. Pikirannya berkata ia akan tinggal lama di kota ini. Itu sebabnya dia perlu sebidang tanah kosong untuk mewujudkannya. 
Ditemani Udan dan sebagai navigator, dengan motor besarnya, mereka melintas masuk-keluar jalan-jalan kecil, daerah kota sampai pinggiran, jalanan menaik dan menurun, dari kampung ke kampung. Ia memperhatikan air dan pepohonan, orang-orang di sekitarnya. Dua minggu ia berkeliling belum juga didapatinya tanah yang kena di hati.
Satu kali Udan mengajaknya bertemu seorang kawan di daerah Dipinggol-pinggol. Di sana ia terpikat seluas tanah perladangan milik Ompung Siburian. Kakek tua itu bukan seorang yang ramah tetapi hatinya lurus. Ia juragan tanah.
“Aku tak menjual tanah ini. Aku akan kasih kepada anakku nanti,” ujar Ompung Siburian ketus.
Leo sedikit kecewa. Ia merasakan kimia yang menarik ketika melihat dan melintasi tanah itu. Kalau Ompung Siburian mau menjual tanahnya, ia akan bertetangga dengan PNS, teman Udan itu, seorang pengarang, dan keluarga Ompung Siburian.   
Leo belum menyerah. Beberapa kali berkunjung ke sana dan berbincang dengan Ompung Siburian dan mengobrol apa saja. Si Ompung mulai terpikat ceritanya ketika ia bilang kedatangannya ke Siantar untuk menetap dan bahwa beberapa tahun ke belakang dia rutin ke Siantar tiap kali liburan semester. Mereka berbagi sigaret. Si Kakek tertarik mencoba rokok putih anak muda itu. Tanah sudah hampir dilepas. Dan pada waktu yang tak disangka-sangka orangtua itu melepas tanah dan ladangnya kepada anak muda yang diajaknya bicara itu. Bukan main senangnya Leo.
Ia meminta tolong kawan arsitek membuatkan gambar rumah yang diingininya. Tak perlu rumit. Ia hanya perlu semua keperluan sebuah rumah terakomodir di sana. Ia memilih jenis bahan. Setahun lamanya rumah itu didirikan, molor dari yang direncanakan, karena beberapa kali ia berubah pikiran.
Rumah itu cukup luas dengan tiga kamar tidur, dua kamar mandi, satu ruang tamu yang indah. Di ruang ini ada lemari kaca indah yang memajang piring-piring antik zaman Belanda yang pinggirannya berlapis emas murni. Dia punya dapur yang cukup luas dan halaman belakang yang beratap langit. Dinding dibuat tebal dengan maksud pengamanan yang kemudian dirasanya terlalu berlebihan untuk kota sekecil Siantar. Tak banyak laporan kejahatan di sini. Di ruang tamu ia menempatkan televisi ukuran cukup besar dengan sudut yang pas agar dia bisa berselonjor dari sofa panjangnya. Ia melengkapi kamar mandinya dengan pemanas air dan pancuran buatan.
Dapurnya bersih dan rapi. Ada penghisap uap panas, kompor listrik, dan pemanggang. Dia sangat bangga dengan sebuah kamar khusus di belakang, tempatnya menyimpan segala perkakas kerja laki-laki seperti obeng, gergaji, pemotong listrik. Lampu-lampu taman dan lampu sorot bersinar kuning pada malam yang gelap. Halaman bisa memuat dua mobil parkir bersisian.
Ibunya menanam mawar di rumah mereka di Jakarta. Dan tak sengaja ia pun membuat kotak berdiameter lebar yang diisi tanah dan bibit. Di sanalah ia menumbuhkan mawar kuning, merah, putih, yang berbunga lebar. Pada bagian dalam pagar berjejer bunga kertas, kawinan warna antara fuschia dan putih. Seakan belum puas dengan tanaman mawar, di halaman belakang ia buat kotak dua panjang berisi tanah untuk ditanami mawar. Ia berburu bibit mawar terbaik dari kota Berastagi, di sisi danau Toba.
Tetangga-tetangganya tiap kali melihatnya memandangi rumah itu, berseru sambil tertawa, belum siap kau menghiasi rumahmu, lae. Di sekitarnya, baru rumah itulah yang seluruhnya berdinding beton.    
Lalu bangunan itu selesailah. Ia puas. Rumah pertama yang dia inginkan. Bila tak sedang bertugas ke luar kota, ia akan tinggal di rumahnya, memeriksa apa saja tanpa istirahat. Kadang-kadang ia merasa seperti laki-laki rumahan. Tetapi ia pun bisa menjadi orang jalanan saat menyusuri jalan dengan motor atau mobilnya. 
Pada sisi kiri rumah masih ada lahan seluas 400 meter. Pada sisi tanah yang berbatasan dengan rumah, ia tutupi dengan rumput gajah yang selalu pendek dan hijau. Telah lama ia pelajari segala hal bercocok tanam dari seorang petani, ketika ia dulu bolak-balik ke dana. Ia masih ingat petani itu memotong rumput dengan cara mengikis dengan cangkul. Dan ia bangga bisa meniru cara itu dengan baik.
Sesuai dengan harapannya, ia menanami tanah itu dengan tetumbuhan jahe, serai, lengkuas, kunyit, jeruk limau, jeruk nipis, beberapa bumbu dapur. Pada barisan depan ia menanam kopi dan jagung.
Bercocok tanam memberinya keseimbangan yang lain. Ia berkomunikasi dengan makhluk hidup itu. Ketika tumbuhan itu sudah ajeg di tempatnya masing-masing, setiap bulan pasti ia panen jahe, lengkuas, cabai merah, atau tomat. Tiap tiga atau empat bulan kopi atau jagung. Itulah masa paling membuatnya bahagia. Ia selalu tak sabar memanen hasil tanah, dibantu atau tidak dibantu dua asistennya, lalu membagi-bagikan panen merata ke tetangga-tetangga terdekat.
Bila didekati ketika sedang mengerjakan tanahnya, Ompung Siburian akan dengan murah hati memberi saran-saran praktis untuk bercocok tanam atau membersihkan tumbuhan yang tidak lagi tumbuh dengan baik. Sehabis pulang kerja tangannya sudah gatal untuk membersihkan kebun kopinya dengan cangkul. Ia tahu betul apa yang ada dan terjadi di dalam rumah dan halaman rumahnya.
Sore-sore ia akan duduk di beranda depan, sendirian, menunggu sekumpulan elang terbang pulang. Ia takjub melihat rombongan makhluk hidup itu melintas di atas rumahnya. Ia anggap itu sebagai bonus ia tinggal di sana karena hal itu tak pernah diketahuinya.
“Sudah lama nya mereka terbang kayak itu tiap sore. Sebelah selatan rumah, dua ratus meter dari sini, ada sarang burung elang. Sekarang tak ada lagi orang yang menyadari kehadiran mereka kecuali kau,” kata Ompung Siburian sambil menghembuskan asap rokoknya tak peduli.
Sebelum langit menggelap, mereka terbang rendah dengan anggun, melewati atas teras depan rumahnya, seolah menyapa. Sore itu ia bisa membaui rumput dan ilalang yang dibakar oleh petani. Baunya khas. Suara anak-anak yang bermain di halaman rumah. Jeritan ibu-ibu yang memanggil anak-anaknya masuk ke rumah. Semua itu memberinya perasaan dekat dan nyaman. Ia berada di rumah.
Malam turun, langit sudah benar-benar gelap, suasana berganti lengang. Sesekali telinganya masih mendengar suara seorang bapak yang memarahi anggota keluarga, mungkin anaknya yang malas belajar, yang disahut malas oleh bunyi jangkrik yang ramai dalam kegelapan. Hujan tak bosan turun di Siantar. Ramah dan akrab. Kalau dihitung-hitung, seluruhnya hujan turun selama sebelas bulan dari dua belas bulan tiap tahun. Dan malam akan menjadi sangat dingin ketika angin menghembuskan rinainya.
Ompung Siburian membantunya mencari dua pemuda untuk membersihkan rumah tiap dua kali seminggu. Satu orang membersihkan bagian dalam rumah. Yang lain menyapu halaman dan kebun, dari daun-daun yang jatuh dan ranting-ranting yang patah.  
Kegiatannya sehari-hari selain bekerja adalah bersosialisasi dengan tetangga atau pengunjung kedai. Setiap hari temannya bertambah karena ia tidak pilih-pilih dalam berteman. Teman akan memperkenalkan kepada teman yang lain, begitu seterusnya.
Tujuh kilometer dari rumahnya di Sipinggol-pinggol, ada mata air Sibatu-batu. Mata airnya keluar dari sumur alam, berdiameter satu setengah meter. Airnya bening dan jernih. Segala apa di bawahnya tampak seperti kaca. Uniknya, mata air keluar dari tanah lebih atas, seperti air terjun, lalu turun ke bawah seperti kolam. Orang boleh berenang di luar sumur sumur dan meminum airnya. Air belum pernah dikabarkan habis atau keruh. Musim hujan atau musim panas airnya tidak berkurang atau bertambah.
Trisno, seorang Jawa yang sudah lama merantau di Siantar, orang pertama yang memberitahu mata air itu kepada Leo. Setelah itu mereka berenang bersama, disusul oleh Amirudin Barus yang rumahnya dekat dengan rumahnya. Setelah itu mereka akan makan malam dengan nikmatnya sehabis merasa dingin di dalam air. Mata air itu seperti candu bagi mereka yang pernah datang meninjau ke sana
Makanan khas Tapanuli seperti sangsang, arsik ikan mas, dekke na niura, umum disediakan di sini. Leo paling gembar babi panggang Karo yang dicuil dengan sambal hijau andaliman. Beberapa kedai menjual soto ikan gurami yang dagingnya manis dan segar. Bosan menyusur kedai-kedai itu, dia akan makan ayam goreng Kentucky atau masak sendiri di dapurnya. Tiap kali ia bisa membeli telur dan telur asin ke tetangganya.
Sayuran di pajak-pajak Siantar segar dan tidak memakai zat kimia. Ikan mas dan segala ikan hidup dijual dan rasanya manis setelah dimasak. Pertama kali dulu, tiap hari ia makan ikan gurami dan mujair yang beratnya satu kilo seekor. Air diminum langsung dari keran. Hidup sederhana mendekat ke surga.  
Sesekali ia memanggil kawan-kawannya untuk masak di rumahnya dan makan bersama. Setelah perut kenyang mereka duduk-duduk di beranda belakang, menunggu burung-burung elang pulang. Bunga-bunga mawar bergantian berbunga dengan indahnya yang meruapkan harum yang lembut di sekitar ruangan. Ia punya banyak persediaan teh, kopi, biskuit. Tak ada kesibukan lain setelah itu selain mengobrol, tertawa lucu saling menertawakan, dan mengawal sore berganti malam.
Malam-malam sendirian ia akan membaca atau menulis atau menonton. Ia meminta buku-buku baru dikirim dari Jakarta. Kekurangan di Siantar adalah tidak adanya toko buku sastra atau buku-buku penting lain untuk dibacanya kala senggang. Ia seorang soliter sejati yang bahagia bisa menikmati malam di halaman rumahnya, memandangi kebun mawar atau ladangnya atau langit hitam bertaburan bintang.
Ketika ia memandangi bentuk rumah yang sudah dibangunnya, tiba-tiba ia sadar bahwa rumah itu persis rumah mereka di Jakarta. Ayahnya membangun rumah itu dengan sistem pengamanan yang tinggi. Dinding halaman rumah mereka ditaruh kawat gulung yang menyulitkan keisengan orang masuk ke dalam rumahnya. Ia menjadi lebih sadar ketika melihat sekelilingnya, rumahnya tergolong mewah dan megah.
Apakah perlu seperti ini, pikirnya sambil tersenyum menyeringai lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.

*

Bersambung ke bagian 10