Kamis, 16 Februari 2012

Tentang Ita Siregar dan “Emeritus”

Catatan Nusya Kuswantin *)
Tentang Ita Siregar dan “Emeritus”

Emeritus (Penerbit Inspirasi, 2011) ibarat teka-teki silang yang menantang. Tidak terlalu gampang yang bisa cepat membuat orang bosan, namun tidak juga terlalu sulit yang bisa membuat orang mudah patah semangat dan lantas menggeletakkannya begitu saja. Memoar seorang pendeta yang ditulis dalam bentuk novel oleh Ita Siregar ini, ibarat teka-teki silang yang menantang itu, telah memaksa saya membacanya hingga tuntas tanpa ingin menundanya.

Seringkali saya tidak lekas-lekas menyelesaikan sebuah buku oleh karena misalnya kalimatnya terasa berat, atau pernah juga saya batal membaca karena buku tersebut terkesan ecek-ecek. Emeritus tidak termasuk kedua kategori tersebut. Di tangan Ita pergolakan batin manusia seolah bisa difoto dengan kamera sehingga tampak jelas wujud dan rupanya. Caranya memenggal cerita dalam bab-per-bab, kalimatnya yang pendek-pendek, membuat kisah tentang perasaan frustrasi seorang manusia yang campur-aduk penuh amarah yang seolah tanpa pengharapan ini menjadi tampak fotografis. Saya sebagai pembaca bisa ‘melihat’ betapa riuhnya hati tokoh novel ini.

Beberapa bab awal novel ini dimulai dengan kalimat yang menarik, yang berbunyi: Atau saya bisa juga memulainya dari titik ini. Seolah ini adalah ‘mantera’ yang digunakan oleh Ita Siregar agar pembaca tersihir oleh, dan sekaligus menjadi mudah mencerna, kisah tentang kekalutan batin seorang ambisius yang perfeksionis di usianya yang paling produktif yang lantas terjerembab dalam suatu kehidupan yang jauh dari reputasi awal kehidupannya: Dari seorang pendeta menjadi pengunjung kawasan remang-remang Jakarta.

Memanglah masa depan adalah misteri. Sama sekali tak bisa ditebak arahnya. Semasa mahasiswa di awal tahun 1980-an, ia adalah pemuda yang penuh gairah, yang sembari kuliah arsitektur di Universitas Trisakti aktif dalam persekutuan doa. Itu adalah era munculnya istilah pendeta penuh urapan yang kata-katanya bisa memengaruhi emosi pendengar, dirasa memberi pencerahan dan membuat perubahan revolusioner dalam diri jemaat. Dan Dem, si aku dalam Emeritus, ibarat iklan kosmetik dengan konsep “sebelum” dan “sesudah”. Ia menjadi pribadi yang berbeda. Ia merasa punya alasan untuk hidup. Dalam dua dasawarsa kemudian, bersama beberapa teman sepersekutuannya, ia telah berhasil membangun gereja dengan jemaat ribuan orang, dan ia sendiri terpilih sebagai salah satu dari tiga penatua.

Namun akhir dari pengabdian ini seolah “mengkhianatinya” dengan anti-klimaks yang sama sekali tak bisa diduga. Sebuah peristiwa yang tak sepenuhnya disadarinya membuat kredibilitasnya runtuh di mata jemaat. Pada halaman 202 Ita menggambarkan perasaan Dem yang kacau.

Saya jenuh. Kepala saya berat. Perasaan saya awut-awutan. Entah harus mulai dari mana ini. Tidak cukup kata menjelaskan apa yang sedang terjadi. Lebih semrawut daripada jalanan Jakarta. Saya tidak bisa melihat persoalan ini dengan hati bening. Seandainya tubuh saya beracun mungkin saya perlu waktu setahun untuk mendetoks dan menjadikannya bersih secara keseluruhan. Saya harus memulai segalanya dari awal lagi.

Saya bagai hidup di dua dunia. Dan menurut saya ini berbahaya. Saya bukan tidak panas tidak dingin. Saya bahkan terlalu tumpul untuk bisa merasa panas dan dingin. Mungkin saya suam-suam yang siap dimuntahkan keluar karena tidak mampu memberi rasa yang benar. Saya cepat menghakimi orang yang mudah tersinggung. Saya merasa orang pun sama jahatnya seperti saya, hanya mereka munafik dan menutup-nutupi diri, sedangkan saya berani menanggung risiko nama saya menjadi buruk. Kalau saja ada pengumuman siapa yang tahu dosa si anu, saya pasti punya daftar paling panjang. Pikiran-pikiran saya begitu menyeleweng dan menginginkan sesuatu yang tidak lagi menjadi hak saya. Saya telah gagal. Saya tidak bisa mengendalikan diri.

Di beberapa bagian yang lain cara bertutur Ita Siregar terasa begitu religius. Lembut, terinci, gamblang, tidak menyisakan pertanyaan, seolah diterangi cahaya surgawi. Bisa jadi ini bukan semata lantaran ia sedang menceritakan kehidupan seorang pendeta – yang telah melatih batinnya untuk bisa bertemu dengan Roh Kudus – namun, saya kira, hal ini juga merupakan ekspresi karakter penulisnya sendiri, yang bolehlah dianggap sebagai seorang “hamba Tuhan”.

Setidaknya di mata saya Ita memang seorang yang religius. Dalam kesehariannya ia menjalani hidup yang tampaknya tanpa cela. Ia mensyukuri berkah sederhana, tertawa untuk hal-hal yang sepele, secara suka-rela menghadiri undangan berbagi pengetahuan menulis kendati tanpa honor, mengunjungi teman yang sedang sakit, dan membaktikan waktunya untuk kemanusiaan dan kebajikan.

Namun ada kekurangan dalam buku ini, yaitu kealpaan mencantumkan riwayat penulisnya, sehingga pembaca tidak bisa mengetahui bahwa Ita Siregar, yang pernah bekerja di Femina Group ini mulai menulis di majalah cerita Anita Cemerlang tahun 1982, mempunyai dua antologi cerpen berjudul Kain Batik Ibu (2010) dan Selasar Kenangan (2006). Emeritus (2011) adalah novel keduanya setelah Just Looking for Daniel (2005). Ia juga menulis novel anak, berjudul Satu Hari Penuh Keajaiban yang diterbitkan tahun 2011.

*) Nusya Kuswantin, seorang penulis lepas, bisa dihubungi melalui email: nusyakuswantin@yahoo.com