Gadis Berambut Lurus Hitam Panjang
Ia
bersekolah di sekolah menengah atas swasta di bilangan Kebayoran. Di sana
kebanyakan murid beretnis Tionghoa atau wajah Indonesia yang bersih dan tampak
sehat. Dari bangunan sekolah yang mentereng, ketahuanlah kalangan murid-murid yang
sekolah di sini. Mereka berasal dari keluarga kelas menengah atas.
Lelaki
muda seusianya dulu gemar memperhatikan gadis berambut lurus hitam panjang. Masa
itu, gadis-gadis berprototipe seperti itu menggambarkan kesucian dan kepolosan.
Mereka biasanya tak banyak tingkah, rajin belajar, dan pintar. Kalau tidak
punya sesuatu pun yang disebutkan tadi, sedikitnya mereka ada satu hal yang
dibanggakan, yaitu rambut lurus hitam panjangnya itu. Tetapi reputasi itu akan
terasa kurang asyik atau malah membuat makin penasaran bila mereka punya banyak
peraturan “tidak”. Artinya, mereka akan lebih sulit dipacari.
Jinak-jinak
merpati istilah yang populer saat itu. Senyum manis di pipi merah muda gadis berambut
lurus hitam panjang seolah memberi lampu hijau untuk jalan terus, tetapi belum
tentu. Itu hanyalah cara sopan si gadis yang tak ingin membuat laki-laki muda
patah hatinya. Pada umumnya laki-laki muda ingin sedikit mendapat kesulitan
menggaet tambatan hati agar memunculkan sifat kepahlawanan dalam diri.
Begitulah
para pemuda ini lebih menyukai jenis di atas daripada perempuan muda yang
terlalu berlebihan menghias diri, memoles bibir dengan warna perona merah yang
jelas, mewarnai kuku-kuku panjang mereka. namun, meski mereka mudah diajak atau
diperintah apa saja, tetapi mereka pun punya posisi tawar yang tak kalah hebat.
Begitulah yang ia dengar dari rekan-rekan sekolahnya.
Laki-laki
muda senang mengejar tambatan hati seperti mengejar mangsa. Makin sulit dikejar
si gadis, makin menimbulkan rasa penasaran. Tetapi setelah mangsa terkejar,
rasa suka bisa berubah tidak suka. Masa yang membingungkan dan menghancurkan banyak
hati perempuan muda. Kesalahpahaman seperti itu sangat menjengkelkan kedua
belah pihak dan merepotkan guru atau orangtua atau orang dewasa lain, bila itu
kemudian berkembang dan terekspos ke publik.
Teman-teman
mudanya mencari pelbagai cara menembak gadis pilihan mereka. Entah kapan mereka
mendesak Leo membuatkan puisi-puisi yang menyiratkan pemujaan kepada si calon
tertembak. Dan ternyata puisi-puisi Leo cukup ampuh merontokkan hati sang
pujaan. Mereka tak habis pikir kenapa gadis-gadis mudah terbuai hatinya dengan
kata-kata rayuan setinggi langit. Tetapi, gadis berambut hitam panjang tak
begitu mudah hatinya ditumbangkan.
Ia sendiri
belum tergugah betul melihat makhluk-makhluk manis di sekolahnya. Atau kalau ia
mau jujur, sebenarnya ia malu dan mempertanyakan, apakah dirinya cukup menarik
di mata lawan jenis. Ia tidak bisa memahami apa sebenarnya yang benar-benar
diinginkan oleh para perempuan muda itu. Apa yang membuka hati mereka takluk?
Tetapi apa menyenangkan berteman dengan seorang lawan jenis? Bagaimana mereka
berbicara dengan menggerak-gerakkan bibir mereka sambil tertawa kenes, dengan
suara kecil dan nyaring, dan nada yang manja. Kecuali ibunya, dia tak punya
pengalaman bagaimana tingkah anak perempuan berpikir dan merasa.
Pada satu
kali seperti biasa ia memasang dirinya di kursi-kursi perpustakaan sekolahnya.
Dia merasa cukup nyaman di sana. Dengan alasan banyak buku yang belum
dibacanya, dia akan bertahan menghabiskan jam istirahatnya. Ia membenamkan
kepalanya di antara dua buku, merasa lega bahwa dunia ini mempunyai gagasan
menyimpan sejumlah buku dalam jumlah besar, kemudian meminjamkan kepada pihak
lain, atau membiarkan pihak lain membaca di sana. Dari mana kata perpustakaan
itu berasal. Apa yang terjadi kalau di dunia ini tidak ada perpustakaan. Betapa
sepi, betapa kering.
Dan ketika
ia mengangkat matanya, ia melihat satu pemandangan manis yang belum pernah dia
lihat sebelumnya di sekolah ini. Gadis berambut lurus hitam panjang. Ia seperti
baru saja mendaratkan bokongnya di kursi perpustakaan yang sunyi kala istirahat
siang. Tubuhnya tipis dan tampak ringkih. Seragam putihnya seperti kelebaran
menutupi lengannya yang kurus panjang. Tetapi ketika tangan kirinya mengangkat
dua buku tebal dengan mudah, ia merasakan kekuatan gadis itu. Leo takjub melihatnya.
Matanya
mengawasi gadis itu diam-diam dan tak kentara. Tak seorang pun mengatakan
sesuatu tetapi dia tertarik pada makhluk di sebrang sana. Rambut hitamnya jatuh
hampir di atas pinggang, terurai bebas. Ia ingin mendekat dan mengelus rambut
itu. Ketika gadis itu mengangkat dirinya, berdiri, ia seperti menjulang.
Tubuhnya yang kurus membuatnya lebih tinggi dari kenyataannya. Ketika wajah
gadis itu menoleh sedikit ke kiri, Leo bisa memandang air mukanya yang lembut
dan kulit halusnya. Matanya kecil, pipinya tirus, bibirnya tipis hampir pucat.
Seketika visi
itu menyentuh jiwanya. Matanya segar dan melekat ke panorama tersebutitu. Ia
agak menyesal karena ia berpikir telah terlambat memperhatikan kehadiran gadis
itu selama ini. Siapa dia? Belum pernah sekali pun aku melihatnya. Sudah berapa
lama dia sekolah di sana, kata batinnya bertubi-tubi.
“Terima
kasih, Pak Paulus,” ia mendengar suara gadis itu ketika Pak Paulus, guru piket
di perpustakaan, selesai mencatat dan menyerahkan buku yang dipinjamnya.
Kemudian
gadis itu berlalu, membawa rambut hitam panjangnya pergi. Dia berjalan seperti
melayang karena tubuhnya yang ringan. Ia membayangkan seandainya ada angin
kencang bertiup saat itu, sepastinya tubuh itu kena terjang. Apa dia anak baru,
pindahan dari kota lain?
Setelah
pintu menutupi pemandangannya dari gadis itu, dengan segera ia mengangkat dirinya
dengan dua novel yang akan dipinjamnya ke rumah. Pelican Brief oleh John
Grisham dan Badai Pasti Berlalu oleh Marga T.
“Siapa
tadi, Pak?” tanya Leo.
“Siapa?
Oh, tadi itu? Viona.
“Anak
baru? Kok baru kelihatan?”
Pak Paulus
menatap mata Leo, heran, karena selama ini Leo jarang membuka mulutnya untuk
berbicara di perpustakaan, “Memang kalau minta izin terapi, dia cukup lama
absen dari sekolah.”
“Kelas
berapa?”
“Kelas 2
IPA 2.”
“Memangnya
dia sakit, Pak?”
“Iya. Kamu
mau tanya sakitnya apa? Tanya sendiri sana sama orangnya. Berani?” kata Pak
Paulus dengan nada menggoda. Ada sinar nakal tumbuh di matanya dan ujung-ujung
bibir yang sedikit terangkat.
Leo tidak
menanggapi petugas perpustakaan yang sekaligus guru sejarah di sekolahnya itu. Konon
Pak Paulus memang senang menggoda muridnya atau menyindir halus murid-muridnya
yang malas membaca sejarah.
“Kenalan
sana sama Viona, bikin puisi untuknya. Jangan bikin puisi untuk pesanan saja!”
perintah Pak Paulus lagi, masih dengan nada menggoda.
Leo balas
melirik, menyeringai tak penting lebih karena ia tak punya amunisi otomatis untuk
membalas gurunya dengan kata-kata. Atau sebenarnya ia selalu diajar untuk
menghormati orang yang lebih tua. Segera ia menarik buku-buku yang dipinjamnya,
keluar dari pintu perpustakaan. Sejak itu matanya selalu mencari wajah dari
makhluk manis itu.
Namanya
Viona. Kedengaran seperti suara musik. Anak perempuan berambut lurus panjang,
berwajah tirus dan lembut itu, tinggal di Kelapa Gading. Jarak yang termasuk
jauh dari sekolahnya. Kenapa dia sekolah di sana? Tiap pagi ia diantar oleh
sopir sampai di sisi lapangan basket sekolah. Kemudian ia menggendong ransel
besar di pundaknya, sehingga kelihatan tak seimbang dengan tubuh tipisnya,
namun beruntung karena ia jangkung. Apa saja yang ada di tasnya yang besar itu,
ia sering berpikir. Tasnya meski besar tampaknya tidak seberat anak perempuan
itu. Sekarang ia menyadari bahwa gadis itu cukup kuat juga meski badannya tidak
mengatakan demikian.
Belakangan
ia tahu, gadis berambut hitam lurus panjang itu membawa bekal makan siang dan peralatan
makannya. Itu sebabnya tasnya gemuk. Pukul 10 ia minum jus berwarna dari satu
botol yang cukup besar. Siang hari ia membuka bekal di kantin, duduk bersama
teman-teman perempuan atau berdua, tak pernah sendirian. Matanya selalu
tertawa, sementara mulutnya mengunyah pelan, sambil sesekali berbicara.
Itulah
masa di mana seorang gadis memenuhi pikirannya. Kadang-kadang ia menebak-nebak
sendiri apa warna kaus kaki yang dipakainya hari atau jenis sepatu olahraga
yang sudah tiga kali ia melihat yang berbeda. Semuanya tipis dan berwarna ringan.
Dan ia bisa menebak ekspresi tawanya yang lebar. Sederetan gigi putihnya
memperlihatkan kegembiraan isi tenggorokan. Bola matanya hitam tak tercela.
Alisnya tipis dan lembut.
Kadang-kadang
Leo tersipu sendiri karena baru kali ini dia mengamati orang dengan lebih
rinci. Tubuhnya akan gembira memikirkan satu hal baru dari gadis itu, yang baru
diketahuinya, lalu dia simpan baik-baik di kepalanya. Mungkin ternyata ia masih
punya setitik tahi lalat di bawah dagunya atau ekspresi lucu yang muncul
sementara dia mengernyitkan dahi dan memonyongkan mulutnya.
Pengetahuan
tentang anak perempuan berambut hitam panjang itu sudah cukup. Dia tak mau
siapa pun akan mendahuluinya menyapa gadis itu. Dia ingin yang pertama bertanya
kabarnya hari ini. Kadang-kadang ia marah tak beralasan kalau ada kawan sekolahnya,
entah siapa, menyapa Viona. Kadang-kadang ia merasa lebih berhak duduk di sana,
hanya berduaan dengan Viona dan mendengarkan dia berbicara, atau sekedar
menungguinya makan. Tetapi pada kenyataannya, dia tak pernah bersinggungan
dengannya, sedetik pun. Dia tak yakin Viona tahu tentang kehadirannya di
sekolah itu. Apalagi mengetahui namanya, misalnya.
Namun
bagaimana pun semesta adalah pendengar yang baik. Dinding-dinding akan mengetahui
apa yang ada di hatimu selama ini, mengabarkannya kepada udara, meneruskannya
kepada angin yang bersiul dalam telinga seseorang.
Lalu satu
kali di perpustakaan, mereka tiba-tiba sudah berhadapan di lorong rak buku yang
sempit. Jantung Leo seperti hendak tumpah. Sumpah, dia belum memperhitungkan
akan terjebak dalam keadaan seperti ini. Bagaimana ekspresi wajahku saat ini,
batinnya cepat dengan khawatir. Ia tak mau tampak bodoh di depan gadis itu. Ia
segera menenangkan dirinya, bertindak seolah-olah kehadiran gadis itu tak
penting di sana. Kenyataannya sekarang, lorong itu sempit, takkan muat dilalui dua
manusia sekaligus. Salah satu harus mengalah, mengundurkan diri. Mereka terdiam,
saling pandang untuk dua detik, belum memutuskan apa-apa.
“Mau cari
buku apa?” tanya Leo cepat. Ia bisa mendengar sendiri suaranya yang kaku dan tak
ramah dan bergegas. Seketika ia menyesali caranya bertanya tetapi dia tak ada
cara yang lain untuk memperbaikinya.
“Kamu?”
“Kamu
duluan aja.”
Anak
perempuan itu tertawa kecil. Suara tawanya nyaring seperti suara peri dalam
film kartun pangeran tampan yang bertemu putri cantik. Ketika itulah Leo menyadari
betapa kerempeng anak itu. Waktu tertawa kecil saja, urat dan tulang di sekitar
lehernya tampak menonjol dan seperti ditarik-tarik. Dan ketika berbicara gambar
tadi lebih jelas. Matanya tersenyum tetapi Leo seolah bisa menangkap sinar yang
lain, yang sendu. Seketika hatinya merasa cemas. Ia merasa akan kehilangan
gadis itu dalam waktu cepat. Tapi apa?
“Buku
puisi Sapardi Djoko Damono? Ada di rak yang sebelah sana,” kata Leo sambil
menunjuk ke lorong berikutnya.
Gadis itu menepuk
jidatnya girang, berkata bahwa ia ingat sekarang, barisan buku-buku puisi
seharusnya di sana. Ngapain ke sini, katanya sambil mundur, berbalik dan mengundurkan
dirinya. Leo masih memperhatikan tubuh itu diam-diam, lega karena wajah itu tak
lagi menyesaki dadanya, meneruskan mencari buku, sementara tubuhnya sudah bergetar.
Rasa sukacita tumbuh di setiap pori kulitnya.
“Saya
Viona,” ucap gadis itu riang, lalu terdiam karena dia menunggu lawan bicaranya
tahu diri setelah mendengar namanya.
“Saya
Wandi,” jawabnya pelan dengan suara rendah.
“Nah,
terimakasih, Wandi!”
Sejak itu mereka
agak sering bertemu di perpustakaan, meski
hanya sekilas menampakkan diri saja, tidak mengobrol. Pernah ia sudah
duduk di meja tengah perpustakaan, kemudian gadis itu duduk di sisinya,
bertanya buku yang ingin dia baca. Bagi Leo itu luar biasa. Seorang gadis
dengan ramah bertanya sesuatu kepadanya. Gadis yang mungkin dia incar selama
ini. Keramahan gadis itu memberinya semacam rasa percaya diri bahwa dia takkan
diabaikan atau diacuhkan bila menyapa lebih dulu. Dan mata gadis itu
benar-benar selalu tersenyum.
Pada satu pagi
Leo bersemangat sekali karena berjanji akan meminjamkan satu buku puisi Chairil
Anwar, kebanggaannya. Seharusnya di perpustakaan ada tetapi beberapa murid
mungkin sedang meminjam buku itu. Di kelas ia sudah tak sabar, menunggu bel
istirahat berbunyi. Lalu dia berjalan ke perpustakaan seperti tidak terjadi
apa-apa di dalam dirinya. Ia hampir tak bisa membayangkan bagaimana sikapnya
nanti. Bagaimana makhluk itu akan berterimakasih kepadanya. Dengan bola mata
yang bersinar.
Ia
menunggu di meja tengah perpustakaan, pura-pura membaca buku. Tiap kali ia
melirik ke pintu tiap kali pintu itu didorong seseorang dari luar. Tapi gadis
berambut hitam panjang itu tak muncul hari itu di perpustakaan. Dia menunggu,
melewatkan makan siangnya, dan berlalu, tanpa melihatnya. Ia gelisah sekali.
Keesokan
harinya ia masih membawa buku puisi itu, khawatir kemarin Viona sakit dan hari
ini dia akan muncul. Tetapi dia belum muncul juga. Kemudian hampir tiap kali
dia duduk di kursi perpustakaan, tempat mereka biasa duduk, mendengar bunyi
pintu terbuka, jantungnya seperti melonjak, berharap itu adalah si gadis. Tetapi
tidak. Tak pernah lagi.
Seperti
dirinya, perpustakaan hanya bisa diam menunggu, tetapi dia dengan gelisah yang
tak bisa dia ungkapkan. Gadis itu hilang ditelan Jakarta. Ini harus dilaporkan.
Apakah sekolah tidak merasakan bahwa satu muridnya tidak sekolah untuk waktu
yang lama?
Sampai
akhirnya ia tak tahan lagi. Viona sudah hilang selama tiga minggu. Dia harus
diselamatkan. Ia bertanya kepada Pak Paulus dengan gaya seolah tak peduli. Tapi
sepertinya Pak Paulus menangkap gelisah yang diruapkan dari pori-pori kulit anak
muda itu. Guru sejarah itu memandang Leo sebentar, berkata singkat bahwa gadis
itu sedang berobat ke luar negeri. Saat itulah ia mendengar bahwa Viona terkena
penyakit yang disebut leukemia atau kanker darah.
Penyakit
apa itu? Apakah dia cukup hebatnya sehingga menghalangi kehadiran Viona di
sekolah, sampai tiga minggu?
Leo sangat
menyesal karena tidak pernah mengucapkan apa pun tentang dirinya selain
buku-buku yang ia baca. Ia belum mengatakan bahwa ia sudah menulis beberapa baris
puisi pendek tiap kali untuk gadis itu. Mungkin tidak terlalu bagus tetapi tiap
katanya punya makna. Dan puisi itu bukan untuk dibaca orang lain. Hanya dirinya
yang mengerti. Mungkin Viona pun tidak.
Karena
ketidakhadiran gadis itu, dia berlatih karate lebih lama, sekedar membuang
kegelisahan dan emosinya yang agak berlebihan akhir-akhir ini. Ia tak pernah
berjumpa lagi dengan Viona, sejak itu, sampai ia lulus dan meninggalkan
sekolahnya. Ia tak tahu harus bertanya kepada siapa. Pak Paulus, sumber
informasinya selama ini, hanya tahu soal terapi dan terapi dan di luar negeri.
Lalu tahun
1998 itu, saat krisis moneter merebak dan negeri ini terguncang dengan
tumbangnya penguasa yang sudah bertahan 32 tahun. Saat itu ada masa paling mengerikan
bagi sebagian besar kalangan etnis Tionghoa, terutama yang tinggal di kota-kota
besar. Ia sedang ada di Kuala Lumpur saat itu, ingin kembali ke Tanah Air
tetapi keadaan tidak memungkinkan. Orangtuanya berulang kali menelepon, menasihati
dengan keras untuk tidak berusaha mencari jalan pulang, dengan cara apa pun. Tanah
Air sedang bersimbah darah dan air mata.
“Terlalu
rawan, Nak. Kita tak tahu apa yang akan terjadi. Kami aman di Bangka.
Tinggallah di rumah, lihat televisi untuk mengetahui berita baru,” kata ayahnya
waktu itu.
Beberapa
waktu setelah itu ia sedang kembali ke Tanah Air, berjumpa seorang kawan
sekolah di bandara, yang seperti sungai mengalir di musim hujan, menceritakan dengan
lancar apa yang terjadi pada Viona. Bahwa gadis berambut hitam lurus panjang
itu baru saja meninggal dunia, disemayamkan di satu rumah duka dengan upacara besar,
sebelum tubuh fananya dibakar.
“Orangtuanya
membuat rumah-rumahan bagus, ada piano di dalamnya, halaman luas, kolam renang,
setumpukan uang-uangan kertas, dan makanan yang disukai Viona, untuk dikirim ke
surga. Empat tahun dia melawan kankernya, dan dia menyerah,” kata teman itu.
Teman itu
masih terus berbicara sementara Leo mulai merasakan perutnya memberontak. Dia ingin
segera menghilang dari keramaian manusia yang membuat dadanya terserang sesak tiba-tiba.
Gadis itu
tidak benar-benar menyelesaikan sekolah meski sekolah memberinya ijazah. Dia
tak melanjutkan sekolah meski orangtuanya mampu mengirimnya ke mana pun di
seluruh dunia. Dia hanya duduk menunggu waktu di belakang pianonya, membiarkan
jemarinya menari ringan di atas tuts piano, menyanyikan satu lagu pengharapan
untuk ibunya yang setia mendampinginya, ketika rambutnya yang hitam panjang itu
menipis, lalu habis sama sekali.
Ibunya
membelikan banyak topi cantik untuk menutupi kepala putrinya yang gundul tetapi
gadis itu lebih senang membebaskan dirinya terbuka.
“Dia tak pernah marah atau mengeluh meski sakitnya
hebat. Ibunya bilang, dialah yang selalu dihibur oleh anaknya. Yang dia tak tahan,
ia tak pernah melihat anak itu menangis, hanya diam tak bergerak bila sakit itu
datang menggerogoti, dia menerima sakit itu sendirian, untuk dirinya,” suara
kawannya terus terngiang di dalam telinganya.
Leo menekan
gerahamnya kuat-kuat sampai ia merasa sakit dan tegang.
“Kamu bisa
bayangkan, bagaimana orang berubah menjadi debu dalam beberapa menit saja,
dibakar?”
Perkataan itu
seperti menguliti kepedihannya. Sekarang ia mengutuk dirinya karena tak tahu
kondisi gadis itu, yang sebenarnya. Meninggal di usia muda dalam kondisi cantik
dan segar? Kenapa hidup terlalu cepat tidak adil?
Kekacauan
1998 baginya tak sebanding dengan kehilangan gadis berambut lurus hitam panjang
yang belum dengan baik dikenalnya itu. Bila sedang di Jakarta, ia akan sengaja
melewatkan dirinya di sekitar Kelapa Gading, berputar tanpa tujuan, dan
membiarkan segala peristiwa di perpustakaan, bayangan rumah duka tempat tubuh
mati itu disemayamkan, rumah-rumahan yang dibuat orangtuanya, lalu vas yang
berisi debu, tubuhnya, tampak dalam bayangan di kepalanya.
Saat yang
sama dia akan merasakan gadis itu menyapanya ramah, bertanya soal buku yang
akan dan sudah dibacanya. Dia masih bisa melihat tulang-tulang di lehernya
seperti bermunculan ketika dia berbicara, saking kurusnya dia, untuk
menjelaskan sesuatu. Atau tawanya yang jernih seperti suara peri manis di
pepohonan yang berbunga.
Fajar
telah merebak. Dan Leo merasakan matanya berat. Mengingat pagi ini dia akan
menikmati bubur nasi yang kental buatan ibunya, perutnya sudah terasa nyaman.
Dia menutup matanya sambil membayangkan bubur itu dan gadis berambut lurus
hitam panjang berwajah sendu itu. Perutnya terasa manis dan pahit sekaligus.
Bahwa ia pernah merasa jatuh hati kepada seorang gadis berambut lurus hitam
panjang, sembunyi-sembunyi dan sendiri, kemudian dibawa pergi diam-diam. Tak seorang
pun yang tahu. Mengingat itu, ia merasa perutnya kosong.
Tetapi,
bagaimana Wandi tahu soal Viona? Apa Pak
Paulus membocorkan rahasia bahwa dia beberapa kali bersama Viona di
perpustakaan? Tetapi dia ingat Prandi pernah memergokinya ia tengah memandangi Viona.
Ia mengelak ketika dipaksa ia menyukai Viona. Tetapi Prandi, yang sudah dua
kali pacaran itu, tahu bahwa pandangan seperti itu hanya dilakukan oleh seorang
laki-laki yang menyukai perempuan.
Sialan,
bisiknya sambil mengangkat kedua tangan dan menaruh di bawah kepalanya. Tak
lama terdengar suara napasnya yang tenang dan teratur.
*
Bersambung ke bagian 3
Slots | How to Win at Casino - TrickToAction
BalasHapusThe Casino - 꽁 머니 지급 Best Real Money Slot Game 꽁 머니 환전 · Big Money · No 하이스코어걸 Limit Slots · Slot Machine · Slots 바카라 Game Rules · Quick 토토사이트 직원 샤오미 Facts · Free Spins · FAQs.