Sabtu, 06 Juni 2015

Tangan Kiri Tuhan (Cerber #10)

Catur
Orang Batak pemain ulung dan penggemar fanatik catur se-Tanah Air. Di Siantar orang bermain catur di kedai-kedai. Kedai itu semacam kios kayu, lebar empat dan panjang enam meter ke belakang. Orang menjual teh, kopi, pisang goreng, bubur nasi di kedai. Kalau sarapan tersedia tambahan telur ayam kampung setengah matang. Tak ada mi rebus seperti warung-warung di Jawa. Kedai kadang bernama kadang tidak, biasanya nama pemilik kedai dijadikan nama kedai.
Laki-laki Batak bicara politik lokal kota, nasional, internasional. Mereka pintar mengomentari pejabat di kota mereka, rakan perang antar negara, sepakbola dunia, Mulutnya membahas yang negara yang bermilyar-milyar dimakan oleh koruptor tetapi kadang-kadang untuk segelas kopi pun tak ada uang untuk membayar.
Ibu-ibu dan bapak-bapak kelas tani biasa ke ladang. Siang hari mereka pulang untuk makan di rumah atau di kedai. Setelah itu mereka berangkat lagi ke ladang. Mereka yang bekerja sebagai pegawai negeri pun, jam 10 pagi sudah nampak di kedai, duduk-duduk. Tiap hari begitu. Mereka memahas togel, politik, main catur, marbada.
Pemandangan umum kedai di pajak Horas adalah orang bermain catur. Kedai biasanya menyediakan papan caturnya. Orang kedai senang orang bermain catur di kedainya karena mereka akan duduk berlama-lama sambil terus menambah kopi. Karena Leo punya riwayat asam lambung tinggi, ia tidak minum kopi tetapi teh susu dingin. Air teh kental dicampur susu bendera kental manis dengan batu es.
Kedai berpintu papan-papan kayu yang sudah diberi nomor agar pas saat memasang ulang. Di dalam kedai ada meja dan kursi-kursi bulat dari plastik atau kayu. Selain bermain catur orang bisa ke kedai sekedar baca koran atau menghitung togel.
Satu malam Leo mengajak kawannya ke pajak Horas untuk minum bandrek. Bandrek racikan Pakcik Amar terkenal enaknya di seluruh Siantar. Anaknya, Amar Taufiq, teman baik Leo. Pakcik asli Pakistan-Afganistan. Malam itu Pakcik Anwar bermain catur dengan Makmur Nasution. Leo biasa memanggilnya Om Makmur. Pemain catur kedai biasa menekan mental lawan sambil bercanda, memanfaatkan berita yang sedang hangat di televisi untuk menghantam lawan. 
“Ngapain pula kuda kau itu ngintip-ngintip, Makmur?”
“Ah, jangan bikin barang kau itu ngetem-ngetem, Amar?”
“Oh begitu nya cara kau main? Aku majukan yang ini. Ayo, mainkan.”
“Hancur Kandahar!”
“Hancur Lebanon!”
“Kutembakkan dulu rudal itu, bah!
“Rusak sudah Palestina.”
Om Makmur berani mengorbankan bidak-bidak pentingnya –kuda atau gajah- untuk menghancurkan pertahanan lawan. Strategi permainannya sangat rapat dan tak lengah. Paling biasa Om Makmur menang dalam pertandingan catur melawan Pakcik Amar. 
“Ajari aku main catur, Om!”
“Kau harus bersiap jadi pecundang main catur denganku, anak muda!”
Makmur Nasution seorang yang unik. Ia seniman jalanan yang kelihatannya tak peduli dengan hidupnya. Ia tak pernah menikah sampai setua itu, mencari uang dari menyanyi dari kedai ke kedai di Pajak Horas, tanpa musik. Biasanya kedua tangannya bertepuk sebagai nada mengiringinya menyanyi. Ia seperti orang normal ketika bermain catur, tetapi kurang lurus pikiran atau terganggu jiwanya jika sedang melamun tidak melakukan apa-apa.
Om Makmur senang menyanyikan lagu-lagu Rahmat Kartolo, terutama Patah Hatiku Jadinya, seperti biasanya pria-pria Batak menyanyikan lagu-lagu sendu dengan syair yang mengagungkan kasih ibu. Ketika Rahmat Kartolo diberitakan meninggal dunia, Om Makmur meraung-raung, menyanyikan lagu penyanyi itu berulang-ulang. Tak seorang pun berani menghentikan Om Makmur menyanyi. Dia akan berhenti menyanyi dengan sendirinya ketika keletihan.
Orang di pajak Horas bilang Om Makmur punya kenangan manis dengan perempuan yang disukainya, yaitu Sorta Sitanggang. Sorta adalah pedagang di dekat pajak, yang usianya sudah tidak muda lagi. Satu kali Sorta Sitanggang memandang Om Makmur bermain catur dengan Leo, dan sambil tertawa dia bilang menyukai Leo. Om Makmur kesal mendengar itu tetapi dia tetap memainkan bidak-bidak caturnya. Leo berusaha menghiburnya.
“Om Makmur, Sorta sudah punya umur seperti Om. Dia itu lebih cocok kawin sama Om Makmur daripada aku. Om kawinlah dengan dia.”
Om Makmur senang diberitahu seperti itu tetapi kenyataannya dia tidak pernah bisa merebut hati pedagang perempuan itu.
Karena sering bermain catur bersama sampai jauh malam, Leo mengantar Om Makmur ke rumahnya di ujung jalan. Pertama kali melihat rumah Om Makmur, Leo sedih karena tempatnya kecil dan sumpek. Hiburan Om Makmur selain bermain catur adalah ayam jantan petarungnya yang bagus. Tiap malam dia membawa ayamnya tidur di atas tilamnya.
Leo membelikan tilam baru dari pajak Horas untuk Om Makmur. Beberapa kemejanya yang masih bagus dan celana panjangnya ia berikan kepada Om Makmur. Tiap kali mereka main catur ia yang menraktir makan nasi campur. Sesekali Leo menyelipkan sedikit uang untuk Om Makmur membeli apa saja yang disukainya. Satu hal yang disukai Leo dari Om Makmur adalah orangtua itu tidak pernah rewel meminta sesuatu darinya meski dia sudah merasa dekat.
Satu kali Leo memboncengnya ke Siantar dan ia melarikan motor sampai 90 km per jam. Ia heran karena celana panjangnya basah. Ia pikir hujan turun tetapi ternyata Om Makmur terkencing-kencing di belakangnya.
“Om Makmur kencing di motorku?” teriak Leo.
“Siapa suruh kau ngebut tadi?” sungut Om Makmur.
Leo segera minta maaf ketika menyadari wajah Om Makmur pucat ketakutan. Dia begitu ketakutan di belakang sana sampai tidak bisa mengatakannya kepada Leo. 
Setelah berhasilkan mengalahkan Om Makmur beberapa kali, Leo lebih percaya diri untuk mencari lawan main catur yang baru, yaitu Ali Napiah Siregar, orang pintar yang lahir di India tetapi kembali ke tanah air untuk mengabdi si sini. Pertama main dia kalah tetapi setelah itu dia selalu menang. Leo terus bermain catur dan menantang para jago catur Siantar seperti Lokap Pasaribu, Eston Panjaitan, Simanik dan banyak lagi. Sampai akhirnya dia sendiri dinobatkan sebagai jago catur antar kedai.
Setelah pulang kerja, kalau tidak perlu membersihkan lahannya, Leo akan menghabiskan waktu senja bermain catur. Ia datang saja ke kedai, dan mengintip siapa yang ada di sana. Selain di pajak Horas, Leo mengadu catur di kedai Pajak Hongkong, antara Jalan Diponegoro dan Jalan Surabaya. Tapi ia paling senang mampir ke kedai Si Zul karena dia membuat teh susu yang paling enak.
“Eh, ngapain kau di sana? Ayolah kita main dulu sepukul dua pukul.”
“Kopi dululah, Lae.”
“Ah, gampanglah itu.”
“Leo, lihat pertahananmu itu, bah? Coba rasakan ini kalau kau tak mencret.”
Bagi mereka, memenangkan catur di kedai lebih membanggakan daripada menang antar kecamatan atau kelurahan. Jagoan catur yang sesungguhnya tidak akan ikut perlombaan, tetapi untuk menyenangkan hati sambil sedikit mabuk tuak. 
Leo merasa permainan caturnya yang dulu mengalahkan Prandi belum apa-apatidak sebanding dengan permainan catur jalanan di kedai-kedai kopi di Siantar.
*

Bersambung ke bagian 11 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar