Catur
Orang
Batak pemain ulung dan penggemar fanatik catur se-Tanah Air. Di Siantar orang
bermain catur di kedai-kedai. Kedai itu semacam kios kayu, lebar empat dan
panjang enam meter ke belakang. Orang menjual teh, kopi, pisang goreng, bubur
nasi di kedai. Kalau sarapan tersedia tambahan telur ayam kampung setengah
matang. Tak ada mi rebus seperti warung-warung di Jawa. Kedai kadang bernama
kadang tidak, biasanya nama pemilik kedai dijadikan nama kedai.
Laki-laki
Batak bicara politik lokal kota, nasional, internasional. Mereka pintar
mengomentari pejabat di kota mereka, rakan perang antar negara, sepakbola
dunia, Mulutnya membahas yang negara yang bermilyar-milyar dimakan oleh
koruptor tetapi kadang-kadang untuk segelas kopi pun tak ada uang untuk
membayar.
Ibu-ibu
dan bapak-bapak kelas tani biasa ke ladang. Siang hari mereka pulang untuk
makan di rumah atau di kedai. Setelah itu mereka berangkat lagi ke ladang.
Mereka yang bekerja sebagai pegawai negeri pun, jam 10 pagi sudah nampak di
kedai, duduk-duduk. Tiap hari begitu. Mereka memahas togel, politik, main catur,
marbada.
Pemandangan
umum kedai di pajak Horas adalah orang bermain catur. Kedai biasanya
menyediakan papan caturnya. Orang kedai senang orang bermain catur di kedainya
karena mereka akan duduk berlama-lama sambil terus menambah kopi. Karena Leo
punya riwayat asam lambung tinggi, ia tidak minum kopi tetapi teh susu dingin.
Air teh kental dicampur susu bendera kental manis dengan batu es.
Kedai
berpintu papan-papan kayu yang sudah diberi nomor agar pas saat memasang ulang.
Di dalam kedai ada meja dan kursi-kursi bulat dari plastik atau kayu. Selain
bermain catur orang bisa ke kedai sekedar baca koran atau menghitung togel.
Satu malam
Leo mengajak kawannya ke pajak Horas untuk minum bandrek. Bandrek racikan
Pakcik Amar terkenal enaknya di seluruh Siantar. Anaknya, Amar Taufiq, teman
baik Leo. Pakcik asli Pakistan-Afganistan. Malam itu Pakcik Anwar bermain catur
dengan Makmur Nasution. Leo biasa memanggilnya Om Makmur. Pemain catur kedai
biasa menekan mental lawan sambil bercanda, memanfaatkan berita yang sedang
hangat di televisi untuk menghantam lawan.
“Ngapain
pula kuda kau itu ngintip-ngintip, Makmur?”
“Ah,
jangan bikin barang kau itu ngetem-ngetem, Amar?”
“Oh begitu
nya cara kau main? Aku majukan yang ini. Ayo, mainkan.”
“Hancur
Kandahar!”
“Hancur Lebanon!”
“Kutembakkan
dulu rudal itu, bah!
“Rusak
sudah Palestina.”
Om Makmur
berani mengorbankan bidak-bidak pentingnya –kuda atau gajah- untuk
menghancurkan pertahanan lawan. Strategi permainannya sangat rapat dan tak
lengah. Paling biasa Om Makmur menang dalam pertandingan catur melawan Pakcik
Amar.
“Ajari aku
main catur, Om!”
“Kau harus
bersiap jadi pecundang main catur denganku, anak muda!”
Makmur
Nasution seorang yang unik. Ia seniman jalanan yang kelihatannya tak peduli
dengan hidupnya. Ia tak pernah menikah sampai setua itu, mencari uang dari
menyanyi dari kedai ke kedai di Pajak Horas, tanpa musik. Biasanya kedua
tangannya bertepuk sebagai nada mengiringinya menyanyi. Ia seperti orang normal
ketika bermain catur, tetapi kurang lurus pikiran atau terganggu jiwanya jika
sedang melamun tidak melakukan apa-apa.
Om Makmur
senang menyanyikan lagu-lagu Rahmat Kartolo, terutama Patah Hatiku Jadinya,
seperti biasanya pria-pria Batak menyanyikan lagu-lagu sendu dengan syair yang
mengagungkan kasih ibu. Ketika Rahmat Kartolo diberitakan meninggal dunia, Om
Makmur meraung-raung, menyanyikan lagu penyanyi itu berulang-ulang. Tak seorang
pun berani menghentikan Om Makmur menyanyi. Dia akan berhenti menyanyi dengan
sendirinya ketika keletihan.
Orang di
pajak Horas bilang Om Makmur punya kenangan manis dengan perempuan yang
disukainya, yaitu Sorta Sitanggang. Sorta adalah pedagang di dekat pajak, yang
usianya sudah tidak muda lagi. Satu kali Sorta Sitanggang memandang Om Makmur
bermain catur dengan Leo, dan sambil tertawa dia bilang menyukai Leo. Om Makmur
kesal mendengar itu tetapi dia tetap memainkan bidak-bidak caturnya. Leo
berusaha menghiburnya.
“Om
Makmur, Sorta sudah punya umur seperti Om. Dia itu lebih cocok kawin sama Om
Makmur daripada aku. Om kawinlah dengan dia.”
Om Makmur
senang diberitahu seperti itu tetapi kenyataannya dia tidak pernah bisa merebut
hati pedagang perempuan itu.
Karena
sering bermain catur bersama sampai jauh malam, Leo mengantar Om Makmur ke
rumahnya di ujung jalan. Pertama kali melihat rumah Om Makmur, Leo sedih karena
tempatnya kecil dan sumpek. Hiburan Om Makmur selain bermain catur adalah ayam
jantan petarungnya yang bagus. Tiap malam dia membawa ayamnya tidur di atas
tilamnya.
Leo
membelikan tilam baru dari pajak Horas untuk Om Makmur. Beberapa kemejanya yang
masih bagus dan celana panjangnya ia berikan kepada Om Makmur. Tiap kali mereka
main catur ia yang menraktir makan nasi campur. Sesekali Leo menyelipkan
sedikit uang untuk Om Makmur membeli apa saja yang disukainya. Satu hal yang
disukai Leo dari Om Makmur adalah orangtua itu tidak pernah rewel meminta
sesuatu darinya meski dia sudah merasa dekat.
Satu kali
Leo memboncengnya ke Siantar dan ia melarikan motor sampai 90 km per jam. Ia
heran karena celana panjangnya basah. Ia pikir hujan turun tetapi ternyata Om
Makmur terkencing-kencing di belakangnya.
“Om Makmur
kencing di motorku?” teriak Leo.
“Siapa
suruh kau ngebut tadi?” sungut Om Makmur.
Leo segera
minta maaf ketika menyadari wajah Om Makmur pucat ketakutan. Dia begitu
ketakutan di belakang sana sampai tidak bisa mengatakannya kepada Leo.
Setelah
berhasilkan mengalahkan Om Makmur beberapa kali, Leo lebih percaya diri untuk
mencari lawan main catur yang baru, yaitu Ali Napiah Siregar, orang pintar yang
lahir di India tetapi kembali ke tanah air untuk mengabdi si sini. Pertama main
dia kalah tetapi setelah itu dia selalu menang. Leo terus bermain catur dan
menantang para jago catur Siantar seperti Lokap Pasaribu, Eston Panjaitan,
Simanik dan banyak lagi. Sampai akhirnya dia sendiri dinobatkan sebagai jago
catur antar kedai.
Setelah
pulang kerja, kalau tidak perlu membersihkan lahannya, Leo akan menghabiskan
waktu senja bermain catur. Ia datang saja ke kedai, dan mengintip siapa yang
ada di sana. Selain di pajak Horas, Leo mengadu catur di kedai Pajak Hongkong,
antara Jalan Diponegoro dan Jalan Surabaya. Tapi ia paling senang mampir ke
kedai Si Zul karena dia membuat teh susu yang paling enak.
“Eh,
ngapain kau di sana? Ayolah kita main dulu sepukul dua pukul.”
“Kopi
dululah, Lae.”
“Ah,
gampanglah itu.”
“Leo,
lihat pertahananmu itu, bah? Coba rasakan ini kalau kau tak mencret.”
Bagi
mereka, memenangkan catur di kedai lebih membanggakan daripada menang antar
kecamatan atau kelurahan. Jagoan catur yang sesungguhnya tidak akan ikut
perlombaan, tetapi untuk menyenangkan hati sambil sedikit mabuk tuak.
Leo merasa
permainan caturnya yang dulu mengalahkan Prandi belum apa-apatidak sebanding
dengan permainan catur jalanan di kedai-kedai kopi di Siantar.
*Bersambung ke bagian 11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar