Sabtu, 06 Juni 2015

Tangan Kiri Tuhan (Cerber #1)



JAKARTA

Pulang
Pesawat telah sekian lama penerbangkan Leo Suwandi di angkasa yang hampa, diam. Ruang dalam kabin tenang. Orang-orang bertampang bosan atau berwajah tenteram, bergantian berjalan di gang yang membelah deretan kursi, ke lavatory untuk mengosongkan perut. Seperti di rumah.  
Tak satu pun menjelaskan keadaan ini sedang melesat dengan kecepatan 5000 kilometer per jam, kecuali kehadiran air muka pramugari yang selalu enak dipandang. Mereka memperhatikan kesejahteraan penumpang dengan senyum ramah, menawarkan makan pagi makan siang makan malam, kopi atau teh atau air putih, minuman soda atau wine. Pemandangan yang tak banyak berubah selama lima belas jam. Tiga perempat perjalanan sudah. Atau mungkin tujuh perdelapan. Tadi diselingi transit sekilas waktu di bandara satu negara Timur Tengah.  
Leo sengaja membawa novel Jepang berbahasa Inggris setebal enam sentimeter untuk menyelamatkan rasa bosannya dalam penerbangan. Ketahanannya dalam membaca telah teruji menurut waktu. Sejak kecil ia membaca bacaan bergambar, naik ke bacaan tipis berhuruf besar, naik lagi ke buku tebal, dan lebih tebal. Di sekolah menengah dia bertahan melahap buku bertebal dua senti dua hari berturut-turut. Membunuh waktu dengan membaca adalah kebiasaan yang membuatnya merasa beruntung di kemudian hari.
Tetapi dalam perjalanan panjang seperti ini, ia tak keberatan berbagi cerita dengan tetangga kiri-kanannya. Kadang-kadang ia temukan juga orang yang bisa mencurahkan isi perutnya sampai habis kepada orang yang baru dikenalnya. Seperti muntah di lantai rumah tetangga baru.
Kali ini di sisi kirinya duduk sepasang muda –ia berkesimpulan demikian karena dua cincin berbentuk sama melingkar di jari manis dua berlainan jenis kelamin itu- berwajah Asia, yang air muka mereka mengatakan, tak ingin bicara. Bahkan di antara mereka. Mungkin mereka sedang mengembangkan komunikasi antarbatin. Keahlian itu memang akan sangat diperlukan kelak dalam tahun-tahun kritis perkawinan mereka.      
Tali pembatas buku sudah berpindah sampai setengah buku. Ia cukup gembira karena buku itu diterjemahkan dalam tatabahasa Inggris yang sederhana. Jarang ia kembali ke satu kalimat untuk memahami artinya. Tiap kali ia tergetar saat menemukan kalimat indah yang bermakna. Ia tergugah karena beberapa alasan.
Pertama, ia salut kepada pengarang yang menemukan inti dari mengolah pikiran. Kedua, pengarang berhasil menuliskan pikiran itu dalam pilihan kata yang baik dan tepat. Ketiga, kalimat seperti itu akan membuat perut pembaca lebih tenang. Keempat, kalimat seperti itu kemungkinan besar akan membuat cemburu pengarang lain. Karena seorang pengarang tahu bahwa kalimat sederhana yang diolah dengan baik akan meninggalkan kesan tak sederhana. Ia akan mengacaukan perutmu dalam sekejap, lalu memberi rasa kenyang yang aneh. Seperti rasa bahagia yang mengalir bersama darah dan merangsang sel-sel tubuh menjadi hidup. Lalu jiwamu terisi. Aku juga bisa menyusun kalimat yang mengesankan seperti ini, batinnya arogan dan kekanakan sekaligus.  
Ia senang menantang dirinya sendiri. Baginya, musuh terbesar dalam hidupnya adalah dirinya sendiri. Tiap detik ia mempunyai kesempatan memilih untuk menyelamatkan atau menghancurkan dirinya. Tetapi ia terlatih memilih tindakan-tindakan penyelamatan karena di rumah ia menyaksikan kebiasaan ayah-ibunya. Tubuhnya telah otomatis memiliki kecenderungan yang konstruktif daripada yang destruktif.
Kadang-kadang ia merasa terlalu keras dalam mendisiplin diri sendiri. Tetapi ia percaya tak seorang pun berhasil meraih harapan tanpa mengatur cara berpikir yang lebih baik, lebih teratur, dan benar. Tiap kali ia terdorong untuk membuktikan kata-kata dan tekadnya sendiri itu. Keluarganya, terutama ayah dan ibunya, kakek-nenek dari dua keluarga, dan leluhur mereka, adalah manusia-manusia bekerja. Kakek neneknya bermigrasi dari negeri Tiongkok, memulai hidup baru di negeri yang baru, dengan bekerja keras, berhemat sedemikian rupa, sampai ia tiba pada keadaan saat ini.
Usianya dua puluh sembilan saat ini. Ia masih belum melakukan apa-apa bagi dunia sekelilingnya. Namun mengingat ia telah melewati gejolak remajanya yang penuh godaan dahsyat, ia sedikit terhibur. Sedikitnya, ia bisa bangga. Kadang-kadang darah di dalam dirinya menggelegak tak tertahankan, dan ia merasa tak berdaya dan tak tahu bagaimana cara menahan itu di dalam dirinya. Tetapi pada waktu-waktu itulah ia mengayunkan raketnya lebih keras, menghantam shuttle-kock, mematikan tugasnya dalam sekali pukul. Setelah itu kock akan melayang di udara tanpa tujuan. Persediaan kock akan lebih cepat habis di rumah. Tetapi malam itu ia lebih mudah terlelap tanpa masalah. Energinya yang melimpah di masa remaja harus tersalur melalui latihan fisik serupa itu.      
Lantas kupingnya mewaspada mendengar kabar di udara yang mengumumkan, bahwa pesawat akan landing dalam beberapa saat. Penumpang diharap kembali ke tempat duduk masing-masing. Suara pilot dari arah cockpit meluncur cepat dan berisik, seperti suara di antara dedaun pohonan bambu. Seketika jantungnya bekerja tak beraturan. Hatinya disergap oleh perasaan sentimentil.
Seorang pramugari kembali mengingatkan penumpang untuk menegakkan tempat duduk, mengencangkan sabuk pengaman, membuka penutup jendela, mematikan semua peralatan elektronik. Tak lama seorang pramugari berjalan di gang sambil menengok ke kiri kanan, memastikan semua penumpang telah menjalankan tugas yang diminta.
Ia suka melihat pramugari yang menegur tegas kepada siapa pun yang tidak mematuhi perintah penerbangan, apa pun statusnya di daratan, tanpa ampun. Bahkan tak ada waktu untuk mengenali siapa orang itu, sebelum ia menegur apa yang harus dilakukan saat itu. Wajahnya akan lurus mengatakan itu, bernada sopan dan memandang langsung ke bola hitam orang yang diajak bicara, dan menjelaskan kenapa dia harus melakukan apa yang diperintahkan. Tidak ada kompromi dalam hal ini.
Kekuasaan di udara harus diserahkan kepada ahlinya. Betapa damai dunia bila setiap manusia melakukan tugas dan bertanggung jawab menyelesaikannya dengan baik, tidak ikut campur dalam peran orang lain, lalu mengabaikan tanggung jawab sendiri. Betapa sederhana menjalami hidup sebagai manusia sejati, tetapi kenapa hidup menjadi demikian rumit? Terlalu sulit, terlalu sulit, batinnya sambil tak sadar menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri.
Dia menyesali banyak peristiwa sudah terjadi dan itu semua diluar kendalinya. Dunia menjadi seperti sekarang ini. Itu bukan terjadi dengan tiba-tiba. Bencana alam bukan kutukan dari Tuhan. Bisa juga dikatakan demikian setelah meninjau tindakan manusia yang tidak terlalu malas bertindak lebih berpihak pada alam. Dunia makin kusut, lebih daripada benang dan rambut yang tak disisir berhari-hari. Dia tak tahu harus mulai dari mana.     
Kenapa aku jadi mellow begini, kutuknya sambil mendekatkan atas dahinya ke jendela pesawat. Matanya menatap kegelapan malam di luar sana. Bahkan dia tak bisa menemukan satu bintang pun di langit yang kelam. Mungkin awan mendung menggantung sekarang. Memikirkan mendung lalu kelopak matanya terasa nyeri dan panas. Rasa haru menyergapnya tiba-tiba dan ia tersipu dengan perasaann halusnya.  
Oh, empat tahun sudah dia menghabiskan hari-harinya di negeri orang. Memang sepantasnyalah dia kembali ke negeri yang melahirkannya. Negeri yang tanahnya sangat subur dan lautnya sangat dalam namun penduduknya belum lagi sanggup menjadi manusia sejati. Mengingat itu semua, kerisauan  oleh sebab ketiadaberdayaan, menyeruak memaksa dirinya.  
Laki-laki pantang menangis, pesan ibunya semasa ia masih berkumpul dengan keluarganya. Baginya, itu masa kecil yang sempurna. Orangtuanya melindungi mereka bertiga: Koko Toto, Dede Kiki, dan dirinya, si anak tengah. Ia mesti bersyukur sekali lagi ke seluruh alam semesta karena ayahnya, terutama ibunya, yang mencintai mereka dengan tanggung jawab. Kalaulah dia boleh diizinkan kembali ke satu masa kapan pun, maka dia ingin kembali ke masa ini. Masa yang tidak satu pun ia khawatirkan. 
Indonesia, batinnya sendirian. Mengingat negeri itu, sering membuatnya sedih tanpa sebab. Pesawat terasa sedikit berguncang seiring perutnya turun lebih rendah. Biasanya perlu dua puluh menit pesawat menyentuh bumi, setelah pengumuman pilot pesawat akan landing. Waktu yang cukup untuk mempersiapkan hatinya. Sesungguhnya hatiku tak pernah benar-benar pergi dari negeri ini. Ia ingin berdamai dengan perasaannya, bahwa negeri ini tak mencintainya bulat, seperti ia mencintai Tanah Air ini, sebulat-bulat hatinya.
Selamat datang di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, seru pramugari di udara mengumuman. Begitu cepat waktu berlalu dengan lamunan.
Dua pramugari berwajah manis berjejer di pintu keluar pesawat dengan wajah tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Ia mengangguk ikut melebarkan senyum sekilas dan berjalan ke lorong belalai. Siapa memiliki senyum manis di wajah yang manis, pikirnya, lalu ia tersenyum sendirian.
Udara malam menyentuh pipinya. Hangat. Seketika rindunya berdetap-detap. Dua minggu lalu dia memilih barang-barang yang akan dia bawa pulang, memaketkannya lewat laut. Beberapa barang ia tinggalkan untuk teman-teman dekatnya. Sebagai tanda manis dan kenang-kenangan. Bahwa ia pernah berada di antara mereka dan mereka bersamanya. Sekarang isi apartemennya kosong. Selamat tinggal, Prancis.
Akhirnya dia pulang. Sementara berjalan ia merasa banyak kenangan yang berlompatan ingin keluar. Ia mengingat beberapa prosa liris yang ditulisnya dalam bahasa Prancis, yang ia tulis pada jam-jam senggang. Orang bilang bahasa paling indah di dunia. Tetapi bukan bahasa untuk mengungkap rasa bahasanya.
Pikirannya masih meloncat-loncat ketika menunggu bagasinya keluar. Lalu dengan tenang ia mendorong keretanya menuju taksi. Ia sudah bilang kepada orangtuanya tak usah dijemput. Ia masih ingat jalan pulang. Dan ia tak menyangka masih banyak manusia di bandara meski sudah hampir tengah malam. Dari mana saja mereka dan akan pergi ke mana?
Tubuhnya yang kekar pastinya mudah dikenali dari kejauhan sekalipun. Ia waspada ketika merasa seseorang sedang mengawasinya. Ia mendorong keretanya dengan kecepatan sama sementara mengumpulkan tenaga di kedua tangan. Tiba-tiba ia merasa punya banyak musuh seperti ia punya banyak teman, di negeri ini. 
“Wandi!” 
Ia terus berjalan. Wandi? Apakah orang itu memanggilnya atau orang lain? Hanya orang-orang tertentu memanggilnya dengan sebutan itu.
“Wan, Wandi!” kali ini orang itu menepuk pundaknya.
Leo menoleh, memandang cepat ke arah lawan. Dalam sedetik otot-ototnya merileks. Wajah di depannya begitu akrab pada satu masa. Teman main caturnya. Dulu ia sering ke rumah temannya itu, yang tinggal di Gang Tekong, dekat Vihara. Hanya sepuluh menit berjalan kaki dari rumahnya.
Sebelumnya Leo tahu permainan catur di komputer, dari kakak sepupunya. Ia diajari cara kuda melangkah, lalu benteng dan menteri, gambit raja, gambit menteri. Di SMA ia bertemu seorang teman bernama Prandi, yang ternyata tahu bermain catur. Pertama kali main, Prandi dengan mudah mengalahkan Leo. Leo menjadi penasaran.
Ia pergi ke toko buku dan mencari buku-buku tentang bermain catur. Lalu ia membaca dan mempelajari teknik dan strategi catur dengan tekun. Belajar.  Ternyata bermain catur tak perlu banyak jalan, hanya taktik yang cerdik, satu dua langkah mematikan, lawan bisa tercekik, dan kehabisan napas. Sejak itulah Prandi tak pernah mengungguli Leo. Ia tak tertarik mengembalikan kejayaannya pernah mengalahkan Leo, hanya tertawa mengomentari kekalahannya.
“Bobby Fischer suka pembukaan Inggris kalau ia bermain di papan putih. Gary Kasparov akan membuka dengan pertahanan Sisilia kalau bermain di papan hitam,” kata Leo.
Prandi tak peduli soal itu. Ia tak menyambut kesediaan Leo yang memaksa meminjami buku-buku catur untuknya belajar. Leo ingin punya lawan yang tangguh. Sayangnya Prandi tidak lagi termotivasi untuk menang. Permainan caturnya mandeg sampai sana, dan Leo bosan bertanding dengan lawan tak sepadan, yang memberi perlawanan lemah. Sementara baginya catur adalah bermain dan berstrategi secara indah dan elegan. Mematikan lawan dengan cara memperkirakan arah lawan melangkah. Prandi berhenti bermain catur sebelum memahami keindahannya.
“Papan catur kita masih gua simpan, Wan.” 
“Oya. Hebat!”
“Lu masih seperti dulu. Anak gua udah tiga, Wan. Lu gimana? Udah kawin?”
Leo menjawab belum dan Prandi tertawa. Lalu la bercerita usahanya sebagai agen merek komputer di pertokoan Mangga Dua dan Roxy Tomang. Dia cukup bahagia dengan itu karena bisa menghidupi keluarga kecilnya dan keluarga istrinya, lebih dari cukup.
“Datang ke rumahku. Atau ke rumah ibuku, yang dulu,” kata Prandi.
Leo mengangguk saja tetapi ia tidak betul-betul berjanji. Prandi memaksa Leo ke mobilnya dan ia akan mengantarnya sampai rumah. Katanya, ia baru saja mengantar saudara istrinya berangkat ke luar negeri. Sebenarnya Leo agak enggan karena itu artinya Prandi akan bertanya banyak hal kehidupannya setelah mereka terpisah selama ini. Tetapi ia cukup terhibur karena Prandi bukan seorang yang terlalu ingin tahu masalah orang.  
“Gua udah tahu, lu bakal telat kawin karena banyak maunya,” ujarnya tertawa.
Leo ikut tertawa. Lalu hatinya seolah memberitahu bahwa sebentar lagi Prandi akan mengingatkannya soal Viona, teman perempuan mereka di SMA. Dialah yang pernah dalam satu waktu mengocok-ngocok perasaannya dengan rasa sedih, gembira, kecewa, cemas. Ia tak tahu apakah Viona cinta pertamanya. Atau cinta monyetnya. Mulutnya tak pernah mengucapkan kata itu. Namun ia merasa gadis itu pun mengetahui r dari dirinya.
 “Lu tahu berita terakhir tentang Viona, kan?” tanya Prandi.
Leo tak lagi terkejut mendengar pertanyaan Prandi. Ia mendengus dengan suara perut, tidak menjawab.
“Lu nggak kawin-kawin, apa karena dia?”
Leo mendengus lagi. Apa betul itu alasannya dia tidak menikah? Tapi hidup masih muda, pikirnya sendiri. Yang dia tahu, perempuan hati perempuan berbuku-buku dan halus seperti lembar kulit bawang. Ia tak ingin mengacaukan kesejahteraan itu dengan membuat buku-buku yang halus terluka. Dia hanya ingat, lama setelah peristiwa itu, tiap kali mobilnya menuju Kelapa Gading, tanpa urusan, lalu di sana jantungnya akan berdetap-detap. Ia tahu satu sudut dalam hatinya pernah dinamai dengan nama gadis itu. Ia menyesal tetapi tidak menyesal juga. Kalau hidup untuk menyesal, berapa banyak yang harus disesali? Apa artinya menyesal kalau itu tak bisa kembali? Tetapi kenapa cinta tak sampai menyuarakan hatinya? 
Prandi terus berbicara tetapi telinganya tidak bisa mendengar apa-apa sampai mobil kawannya itu berhenti di rumah orangtuanya di Pondok Indah. Prandi memandangnya. Matanya menyorot lelah.
“Sampaikan salam ke Tante dan Om. Gua nggak mampir ya.”
Mereka menurunkan tas-tas Leo persis di mulut garasi rumah orangtuanya di Pondok Indah. Pak Gege, sopir orangtuanya tiba-tiba muncul dari gerbang yang sudah terbuka lebar, memberi ucapan selamat datang kepada Leo. Prandi segera meluncur pergi setelah mereka bersalaman sekali lagi.
“Bapak dan Ibu masih menunggu sejak tadi,” kata Pak Gege dan membawa tas-tas ke dalam.
Leo menjawab ramah. Pastinya mereka menunggu. Dua mobil orangtuanya, masih yang dulu, parkir tenang di garasi. Seketika tubuh ibunya muncul dari pintu depan, tersenyum lebar melihatnya. Ia melirik jam tangannya, sudah hampir tengah malam.
Ibunya memeluknya lama, bertanya hal-hal ringan seputar perjalanan. Ia senang ibunya kelihatan sehat dan cantik, sedikit lebih gemuk dari yang terakhir ia lihat. Rambutnya tebal, ditata rapi di belakang tengkuk. Ibunya tak suka menata rambut dengan panas hairdryer.
Mereka masuk rumah. Di ruang makan, ayahnya melirik dari balik kacamatanya, senang melihat anak lelakinya datang, namun tak beranjak dari duduknya. Ia berkomentar singkat tentang penampilan fisik anaknya yang pasti kurang olahraga. Leo hanya tersenyum, bertanya kabar ayahnya.
Ayahnya selalu berkata benar. Dalam hal olahraga, meski dalam satu masa ia pernah sangat keras membangun fisiknya dengan latihan karate, ia tak bisa menyaingi disiplin militer ayahnya. Sampai usia 65, ayahnya yang tinggi menjulang, tetap bugar dan lincah bergerak. Meski bukan atlet tetapi postur tubuhnya bagus, menandakan ia rajin mengolah badan. Ayahnya tak berurusan dengan rumah sakit karena memeriksakan diri secara teratur. Kini, reputasinya jauh di bawah ayahnya, karena ia merokok.
Kemudian anak-beranak itu saling berjabat tangan seperti kawan lama yang lama tak berjumpa. Kebiasaan itu terjadi ketika anak-anak di rumah itu pergi menyeberang lautan, meneruskan cita-cita. Ibunya melaporkan tentang kebiasaan baru ayahnya, berenang tiap pagi satu jam, sebelum sarapan.  
“Kenapa Siantar kalau perusahaanmu di Medan, Liong?” tanya ayahnya dalam bahasa Hakka.
Mendengar bahasa itu lagi, yang biasa mereka pakai di rumah, kenangan-kenangan itu muncul lagi. Setiap kali di negeri orang, ia selalu ingin berbicara dengan bahasanya sendiri, bahasa Indonesia, logat Hakka, logat Bangka. 
Sejak kecil orangtuanya berbahasa Hakka kepada anak-anaknya, dan anak-anak harus menjawab dengan bahasa yang sama. Tetapi mereka berbahasa Indonesia kepada semua orang yang membantu di rumah.
“Siantar tak jauh dari Medan, Papi. Siantar pusat segala sesuatu. Tak macet. Kota kecil. Banyak orang berpengaruh dari Siantar.”
“Perhatikan tempat tinggalmu dan orang-orang di sekitarmu. Kapan berangkat?”
“Lusa, Papi.”
Ayahnya takkan menginterogasi. Ia selalu puas dan mempercayai penjelasan anak-anaknya. Itulah yang menyebabkan anak-anaknya tidak berbohong karena itulah yang akan dipercayai oleh orangtua mereka, selamanya.  
“Mami sudah undang beberapa saudara makan di rumah besok siang. Mereka ingin tahu keadaanmu,” kata ibunya.
Leo hanya mengangguk-angguk, memperhatikan isi meja makan. Sedikit banyak ia tahu apa yang dimaksudkan oleh ibunya, mereka ingin tahu keadaanmu.
Pertemuan keluarga adalah untuk saling mengetahui kabar. Apalagi sekarang keluarga besar tersebar ke mana-mana tempat di seluruh dunia. Beberapa bahkan sudah mengganti kewarganegaraan, semudah mengganti telapak tangan. Pertemuan keluarga sering memberi kejutan diharapkan atau tak diharapkan. Mungkin ia akan melihat wajah-wajah manis yang akan dikenalkan kepadanya.
Beberapa kali ibunya bertanya jodoh, tentang perempuan yang mungkin sudah menjadi kekasihnya, tentang rencana berumah tangga. Leo berjanji, akan mengabari ibunya kalau dia siap dengan itu semua. Tetapi siapa yang tahu dia telah siap dengan itu semua? Koko dan Dede sudah menikah. Mereka sepertinya mudah berpacaran dan menemukan tambatan hati mereka. Dan mereka bahagia.
Ia tahu setiap orangtua ingin anak-anaknya berpasangan, baru setelah itu mereka tenang. Tentang upaya itu, ia ingin ibunya merasa bahagia melihatnya. Baginya, kebahagiaan ibunya adalah kebahagiaannya juga.
Di meja makan ada laksa, masakan khas Bangka yang terbuat dari beras dan ikan parang, dimasak dalam kuah santan bercampur kuning kunyit dan bermacam bumbu sedap. Di sudut sana ada getas, camilan ikan tenggiri, yang bisa dimakan langsung atau sebagai lauk nasi. Di kotak lain siput gunggung. Makanan istimewa yang hanya ia temukan kalau berlibur ke kampungnya di Bangka.
“Mami minta tolong Ce Fenny kirim makanan ini. Siapa tahu kamu rindu makanan bangka. Itu ada bolu kujo. Masih banyak lagi Mami simpan di dapur.” 
Sejak masih gadis ibunya menjiwai betul memasak gulai ikan laut khas Bangka atau sup kuah kepiting yang lezat tak terkatakan. Kepiting melimpah di Bangka karena pulau itu memiliki banyak pantai berkarang. Kepiting-kepiting betina senang bersembunyi di balik batu untuk melindungi ratusan telur dalam perut mereka.
Penduduk mencari sendiri kepiting yang diinginkan untuk dimasak menjadi lauk di rumah atau membeli kepiting hidup di pasar dengan harga murah. Kepiting-kepiting segar berwarna oranye hijau diikat kuat-kuat dengan tali rafia agar mereka tak berjalan keluar dari ember atau baskom. Berat satu kepiting bisa sampai tiga kilogram. Karena kepiting hidup tak tergantung musim, anak-anak bisa menikmati sup kuah kepiting kapan saja.
Poponya di Bangka, nenek dari pihak ibunya, cekatan memasak kepiting. Pertama, kulit keras kepiting akan disikat bersih-bersih dengan sikat khusus, sampai ke sela-sela capit, dalam keadaan binatang itu terikat dan hidup. Kemudian kepiting-kepiting akan dimasukkan ke kukusan panas beberapa saat, dikeluarkan dan dipecahkan kulit kerasnya dengan palu, barulah ditentukan akan dibuat sup atau diberi bumbu lada hitam atau dimasak asam manis. Pesta kepiting bisa dilakukan kapan saja oleh keluarga besar.   
“Kalau tinggal lama di Siantar, bangun rumah,” kata ayahnya.
“Iya, Papi.”
Leo lebih banyak berkata “ya” kepada ayah ibunya karena Koko dan Dede sudah pergi dan mempunyai keluarga sendiri. Sekarang hanya kepada dia saja orangtuanya memberi nasihat.
 “Besok pagi mau sarapan apa?” tanya ibunya.
Leo memandang ibunya. Perutnya kenyang dan ia tidak bisa berpikir tentang sarapan.
“Ini sudah pagi, Mi,” sahut ayahnya tertawa.
“Sudahlah, kamu istirahat. Mami siapkan bubur panas saja, ya.”
Ia berdiri dan pamit kepada orangtuanya. Pak Gege, sopir dan suami Bu Cici, pembantu ibunya sekarang ini, pastinya sudah membawa semua barangnya ke kamar. Meski letih ia tak mungkin tidur tanpa membasuh diri.
Air tanah Jakarta yang dingin mengguyur tubuhnya. Keletihan seharian di perjalanan seolah ikut terbuang bersama sabun, mengalir ke saluran pembuangan. Membayangkan makan bubur panas kental di pagi hari, perutnya merasa nyaman. Namun, ketika ia berbaring dan berusaha tidur, matanya malah segar. Ia menatap kamar tidurnya di rumah baru orangtuanya, terasa asing. Ia tak terlibat emosi dengan kamar. Tiba-tiba dia sudah memikirkan pembicaraannya dengan Prandi di jalan tadi.  
*

bersambung ke bagian 2 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar