JAKARTA
Pulang
Pesawat telah
sekian lama penerbangkan Leo Suwandi di angkasa yang hampa, diam. Ruang dalam
kabin tenang. Orang-orang bertampang bosan atau berwajah tenteram, bergantian berjalan
di gang yang membelah deretan kursi, ke lavatory untuk mengosongkan perut. Seperti
di rumah.
Tak satu
pun menjelaskan keadaan ini sedang melesat dengan kecepatan 5000 kilometer per
jam, kecuali kehadiran air muka pramugari yang selalu enak dipandang. Mereka memperhatikan
kesejahteraan penumpang dengan senyum ramah, menawarkan makan pagi makan siang
makan malam, kopi atau teh atau air putih, minuman soda atau wine. Pemandangan yang
tak banyak berubah selama lima belas jam. Tiga perempat perjalanan sudah. Atau
mungkin tujuh perdelapan. Tadi diselingi transit sekilas waktu di bandara satu negara
Timur Tengah.
Leo sengaja
membawa novel Jepang berbahasa Inggris setebal enam sentimeter untuk
menyelamatkan rasa bosannya dalam penerbangan. Ketahanannya dalam membaca telah
teruji menurut waktu. Sejak kecil ia membaca bacaan bergambar, naik ke bacaan tipis
berhuruf besar, naik lagi ke buku tebal, dan lebih tebal. Di sekolah menengah
dia bertahan melahap buku bertebal dua senti dua hari berturut-turut. Membunuh
waktu dengan membaca adalah kebiasaan yang membuatnya merasa beruntung di kemudian
hari.
Tetapi
dalam perjalanan panjang seperti ini, ia tak keberatan berbagi cerita dengan
tetangga kiri-kanannya. Kadang-kadang ia temukan juga orang yang bisa mencurahkan
isi perutnya sampai habis kepada orang yang baru dikenalnya. Seperti muntah di
lantai rumah tetangga baru.
Kali ini di
sisi kirinya duduk sepasang muda –ia berkesimpulan demikian karena dua cincin
berbentuk sama melingkar di jari manis dua berlainan jenis kelamin itu- berwajah
Asia, yang air muka mereka mengatakan, tak ingin bicara. Bahkan di antara
mereka. Mungkin mereka sedang mengembangkan komunikasi antarbatin. Keahlian itu
memang akan sangat diperlukan kelak dalam tahun-tahun kritis perkawinan mereka.
Tali
pembatas buku sudah berpindah sampai setengah buku. Ia cukup gembira karena
buku itu diterjemahkan dalam tatabahasa Inggris yang sederhana. Jarang ia
kembali ke satu kalimat untuk memahami artinya. Tiap kali ia tergetar saat
menemukan kalimat indah yang bermakna. Ia tergugah karena beberapa alasan.
Pertama,
ia salut kepada pengarang yang menemukan inti dari mengolah pikiran. Kedua, pengarang
berhasil menuliskan pikiran itu dalam pilihan kata yang baik dan tepat. Ketiga,
kalimat seperti itu akan membuat perut pembaca lebih tenang. Keempat, kalimat
seperti itu kemungkinan besar akan membuat cemburu pengarang lain. Karena
seorang pengarang tahu bahwa kalimat sederhana yang diolah dengan baik akan
meninggalkan kesan tak sederhana. Ia akan mengacaukan perutmu dalam sekejap, lalu
memberi rasa kenyang yang aneh. Seperti rasa bahagia yang mengalir bersama
darah dan merangsang sel-sel tubuh menjadi hidup. Lalu jiwamu terisi. Aku juga bisa
menyusun kalimat yang mengesankan seperti ini, batinnya arogan dan kekanakan
sekaligus.
Ia senang
menantang dirinya sendiri. Baginya, musuh terbesar dalam hidupnya adalah
dirinya sendiri. Tiap detik ia mempunyai kesempatan memilih untuk menyelamatkan
atau menghancurkan dirinya. Tetapi ia terlatih memilih tindakan-tindakan penyelamatan
karena di rumah ia menyaksikan kebiasaan ayah-ibunya. Tubuhnya telah otomatis
memiliki kecenderungan yang konstruktif daripada yang destruktif.
Kadang-kadang
ia merasa terlalu keras dalam mendisiplin diri sendiri. Tetapi ia percaya tak
seorang pun berhasil meraih harapan tanpa mengatur cara berpikir yang lebih baik,
lebih teratur, dan benar. Tiap kali ia terdorong untuk membuktikan kata-kata
dan tekadnya sendiri itu. Keluarganya, terutama ayah dan ibunya, kakek-nenek
dari dua keluarga, dan leluhur mereka, adalah manusia-manusia bekerja. Kakek
neneknya bermigrasi dari negeri Tiongkok, memulai hidup baru di negeri yang
baru, dengan bekerja keras, berhemat sedemikian rupa, sampai ia tiba pada keadaan
saat ini.
Usianya
dua puluh sembilan saat ini. Ia masih belum melakukan apa-apa bagi dunia
sekelilingnya. Namun mengingat ia telah melewati gejolak remajanya yang penuh
godaan dahsyat, ia sedikit terhibur. Sedikitnya, ia bisa bangga. Kadang-kadang
darah di dalam dirinya menggelegak tak tertahankan, dan ia merasa tak berdaya
dan tak tahu bagaimana cara menahan itu di dalam dirinya. Tetapi pada waktu-waktu
itulah ia mengayunkan raketnya lebih keras, menghantam shuttle-kock, mematikan
tugasnya dalam sekali pukul. Setelah itu kock akan melayang di udara tanpa
tujuan. Persediaan kock akan lebih cepat habis di rumah. Tetapi malam itu ia lebih
mudah terlelap tanpa masalah. Energinya yang melimpah di masa remaja harus
tersalur melalui latihan fisik serupa itu.
Lantas kupingnya
mewaspada mendengar kabar di udara yang mengumumkan, bahwa pesawat akan landing
dalam beberapa saat. Penumpang diharap kembali ke tempat duduk masing-masing.
Suara pilot dari arah cockpit meluncur cepat dan berisik, seperti suara di
antara dedaun pohonan bambu. Seketika jantungnya bekerja tak beraturan. Hatinya
disergap oleh perasaan sentimentil.
Seorang pramugari
kembali mengingatkan penumpang untuk menegakkan tempat duduk, mengencangkan sabuk
pengaman, membuka penutup jendela, mematikan semua peralatan elektronik. Tak
lama seorang pramugari berjalan di gang sambil menengok ke kiri kanan,
memastikan semua penumpang telah menjalankan tugas yang diminta.
Ia suka melihat
pramugari yang menegur tegas kepada siapa pun yang tidak mematuhi perintah
penerbangan, apa pun statusnya di daratan, tanpa ampun. Bahkan tak ada waktu
untuk mengenali siapa orang itu, sebelum ia menegur apa yang harus dilakukan
saat itu. Wajahnya akan lurus mengatakan itu, bernada sopan dan memandang
langsung ke bola hitam orang yang diajak bicara, dan menjelaskan kenapa dia
harus melakukan apa yang diperintahkan. Tidak ada kompromi dalam hal ini.
Kekuasaan
di udara harus diserahkan kepada ahlinya. Betapa damai dunia bila setiap
manusia melakukan tugas dan bertanggung jawab menyelesaikannya dengan baik,
tidak ikut campur dalam peran orang lain, lalu mengabaikan tanggung jawab
sendiri. Betapa sederhana menjalami hidup sebagai manusia sejati, tetapi kenapa
hidup menjadi demikian rumit? Terlalu sulit, terlalu sulit, batinnya sambil tak
sadar menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri.
Dia
menyesali banyak peristiwa sudah terjadi dan itu semua diluar kendalinya. Dunia
menjadi seperti sekarang ini. Itu bukan terjadi dengan tiba-tiba. Bencana alam
bukan kutukan dari Tuhan. Bisa juga dikatakan demikian setelah meninjau
tindakan manusia yang tidak terlalu malas bertindak lebih berpihak pada alam.
Dunia makin kusut, lebih daripada benang dan rambut yang tak disisir
berhari-hari. Dia tak tahu harus mulai dari mana.
Kenapa aku
jadi mellow begini, kutuknya sambil
mendekatkan atas dahinya ke jendela pesawat. Matanya menatap kegelapan malam di
luar sana. Bahkan dia tak bisa menemukan satu bintang pun di langit yang kelam.
Mungkin awan mendung menggantung sekarang. Memikirkan mendung lalu kelopak
matanya terasa nyeri dan panas. Rasa haru menyergapnya tiba-tiba dan ia tersipu
dengan perasaann halusnya.
Oh, empat
tahun sudah dia menghabiskan hari-harinya di negeri orang. Memang
sepantasnyalah dia kembali ke negeri yang melahirkannya. Negeri yang tanahnya
sangat subur dan lautnya sangat dalam namun penduduknya belum lagi sanggup
menjadi manusia sejati. Mengingat itu semua, kerisauan oleh sebab ketiadaberdayaan, menyeruak
memaksa dirinya.
Laki-laki
pantang menangis, pesan ibunya semasa ia masih berkumpul dengan keluarganya.
Baginya, itu masa kecil yang sempurna. Orangtuanya melindungi mereka bertiga:
Koko Toto, Dede Kiki, dan dirinya, si anak tengah. Ia mesti bersyukur sekali
lagi ke seluruh alam semesta karena ayahnya, terutama ibunya, yang mencintai
mereka dengan tanggung jawab. Kalaulah dia boleh diizinkan kembali ke satu masa
kapan pun, maka dia ingin kembali ke masa ini. Masa yang tidak satu pun ia
khawatirkan.
Indonesia,
batinnya sendirian. Mengingat negeri itu, sering membuatnya sedih tanpa sebab.
Pesawat terasa sedikit berguncang seiring perutnya turun lebih rendah. Biasanya
perlu dua puluh menit pesawat menyentuh bumi, setelah pengumuman pilot pesawat
akan landing. Waktu yang cukup untuk mempersiapkan hatinya. Sesungguhnya hatiku
tak pernah benar-benar pergi dari negeri ini. Ia ingin berdamai dengan
perasaannya, bahwa negeri ini tak mencintainya bulat, seperti ia mencintai
Tanah Air ini, sebulat-bulat hatinya.
Selamat
datang di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, seru pramugari di udara
mengumuman. Begitu cepat waktu berlalu dengan lamunan.
Dua pramugari
berwajah manis berjejer di pintu keluar pesawat dengan wajah tersenyum dan mengucapkan
terima kasih. Ia mengangguk ikut melebarkan senyum sekilas dan berjalan ke
lorong belalai. Siapa memiliki senyum manis di wajah yang manis, pikirnya, lalu
ia tersenyum sendirian.
Udara
malam menyentuh pipinya. Hangat. Seketika rindunya berdetap-detap. Dua minggu
lalu dia memilih barang-barang yang akan dia bawa pulang, memaketkannya lewat
laut. Beberapa barang ia tinggalkan untuk teman-teman dekatnya. Sebagai tanda
manis dan kenang-kenangan. Bahwa ia pernah berada di antara mereka dan mereka
bersamanya. Sekarang isi apartemennya kosong. Selamat tinggal, Prancis.
Akhirnya
dia pulang. Sementara berjalan ia merasa banyak kenangan yang berlompatan ingin
keluar. Ia mengingat beberapa prosa liris yang ditulisnya dalam bahasa Prancis,
yang ia tulis pada jam-jam senggang. Orang bilang bahasa paling indah di dunia.
Tetapi bukan bahasa untuk mengungkap rasa bahasanya.
Pikirannya
masih meloncat-loncat ketika menunggu bagasinya keluar. Lalu dengan tenang ia mendorong
keretanya menuju taksi. Ia sudah bilang kepada orangtuanya tak usah dijemput.
Ia masih ingat jalan pulang. Dan ia tak menyangka masih banyak manusia di
bandara meski sudah hampir tengah malam. Dari mana saja mereka dan akan pergi
ke mana?
Tubuhnya
yang kekar pastinya mudah dikenali dari kejauhan sekalipun. Ia waspada ketika
merasa seseorang sedang mengawasinya. Ia mendorong keretanya dengan kecepatan
sama sementara mengumpulkan tenaga di kedua tangan. Tiba-tiba ia merasa punya
banyak musuh seperti ia punya banyak teman, di negeri ini.
“Wandi!”
Ia terus
berjalan. Wandi? Apakah orang itu memanggilnya atau orang lain? Hanya
orang-orang tertentu memanggilnya dengan sebutan itu.
“Wan,
Wandi!” kali ini orang itu menepuk pundaknya.
Leo
menoleh, memandang cepat ke arah lawan. Dalam sedetik otot-ototnya merileks.
Wajah di depannya begitu akrab pada satu masa. Teman main caturnya. Dulu ia
sering ke rumah temannya itu, yang tinggal di Gang Tekong, dekat Vihara. Hanya
sepuluh menit berjalan kaki dari rumahnya.
Sebelumnya
Leo tahu permainan catur di komputer, dari kakak sepupunya. Ia diajari cara
kuda melangkah, lalu benteng dan menteri, gambit raja, gambit menteri. Di SMA
ia bertemu seorang teman bernama Prandi, yang ternyata tahu bermain catur. Pertama
kali main, Prandi dengan mudah mengalahkan Leo. Leo menjadi penasaran.
Ia pergi
ke toko buku dan mencari buku-buku tentang bermain catur. Lalu ia membaca dan
mempelajari teknik dan strategi catur dengan tekun. Belajar. Ternyata bermain catur tak perlu banyak
jalan, hanya taktik yang cerdik, satu dua langkah mematikan, lawan bisa
tercekik, dan kehabisan napas. Sejak itulah Prandi tak pernah mengungguli Leo.
Ia tak tertarik mengembalikan kejayaannya pernah mengalahkan Leo, hanya tertawa
mengomentari kekalahannya.
“Bobby
Fischer suka pembukaan Inggris kalau ia bermain di papan putih. Gary Kasparov
akan membuka dengan pertahanan Sisilia kalau bermain di papan hitam,” kata Leo.
Prandi tak
peduli soal itu. Ia tak menyambut kesediaan Leo yang memaksa meminjami
buku-buku catur untuknya belajar. Leo ingin punya lawan yang tangguh. Sayangnya
Prandi tidak lagi termotivasi untuk menang. Permainan caturnya mandeg sampai
sana, dan Leo bosan bertanding dengan lawan tak sepadan, yang memberi
perlawanan lemah. Sementara baginya catur adalah bermain dan berstrategi secara
indah dan elegan. Mematikan lawan dengan cara memperkirakan arah lawan
melangkah. Prandi berhenti bermain catur sebelum memahami keindahannya.
“Papan
catur kita masih gua simpan, Wan.”
“Oya.
Hebat!”
“Lu masih
seperti dulu. Anak gua udah tiga, Wan. Lu gimana? Udah kawin?”
Leo
menjawab belum dan Prandi tertawa. Lalu la bercerita usahanya sebagai agen
merek komputer di pertokoan Mangga Dua dan Roxy Tomang. Dia cukup bahagia
dengan itu karena bisa menghidupi keluarga kecilnya dan keluarga istrinya,
lebih dari cukup.
“Datang ke
rumahku. Atau ke rumah ibuku, yang dulu,” kata Prandi.
Leo
mengangguk saja tetapi ia tidak betul-betul berjanji. Prandi memaksa Leo ke
mobilnya dan ia akan mengantarnya sampai rumah. Katanya, ia baru saja mengantar
saudara istrinya berangkat ke luar negeri. Sebenarnya Leo agak enggan karena itu
artinya Prandi akan bertanya banyak hal kehidupannya setelah mereka terpisah
selama ini. Tetapi ia cukup terhibur karena Prandi bukan seorang yang terlalu
ingin tahu masalah orang.
“Gua udah
tahu, lu bakal telat kawin karena banyak maunya,” ujarnya tertawa.
Leo ikut
tertawa. Lalu hatinya seolah memberitahu bahwa sebentar lagi Prandi akan
mengingatkannya soal Viona, teman perempuan mereka di SMA. Dialah yang pernah dalam
satu waktu mengocok-ngocok perasaannya dengan rasa sedih, gembira, kecewa, cemas.
Ia tak tahu apakah Viona cinta pertamanya. Atau cinta monyetnya. Mulutnya tak
pernah mengucapkan kata itu. Namun ia merasa gadis itu pun mengetahui r dari
dirinya.
“Lu tahu berita terakhir tentang Viona, kan?”
tanya Prandi.
Leo tak
lagi terkejut mendengar pertanyaan Prandi. Ia mendengus dengan suara perut,
tidak menjawab.
“Lu nggak
kawin-kawin, apa karena dia?”
Leo
mendengus lagi. Apa betul itu alasannya dia tidak menikah? Tapi hidup masih
muda, pikirnya sendiri. Yang dia tahu, perempuan hati perempuan berbuku-buku
dan halus seperti lembar kulit bawang. Ia tak ingin mengacaukan kesejahteraan
itu dengan membuat buku-buku yang halus terluka. Dia hanya ingat, lama setelah
peristiwa itu, tiap kali mobilnya menuju Kelapa Gading, tanpa urusan, lalu di
sana jantungnya akan berdetap-detap. Ia tahu satu sudut dalam hatinya pernah
dinamai dengan nama gadis itu. Ia menyesal tetapi tidak menyesal juga. Kalau
hidup untuk menyesal, berapa banyak yang harus disesali? Apa artinya menyesal
kalau itu tak bisa kembali? Tetapi kenapa cinta tak sampai menyuarakan
hatinya?
Prandi
terus berbicara tetapi telinganya tidak bisa mendengar apa-apa sampai mobil
kawannya itu berhenti di rumah orangtuanya di Pondok Indah. Prandi
memandangnya. Matanya menyorot lelah.
“Sampaikan
salam ke Tante dan Om. Gua nggak mampir ya.”
Mereka
menurunkan tas-tas Leo persis di mulut garasi rumah orangtuanya di Pondok
Indah. Pak Gege, sopir orangtuanya tiba-tiba muncul dari gerbang yang sudah
terbuka lebar, memberi ucapan selamat datang kepada Leo. Prandi segera meluncur
pergi setelah mereka bersalaman sekali lagi.
“Bapak dan
Ibu masih menunggu sejak tadi,” kata Pak Gege dan membawa tas-tas ke dalam.
Leo
menjawab ramah. Pastinya mereka menunggu. Dua mobil orangtuanya, masih yang
dulu, parkir tenang di garasi. Seketika tubuh ibunya muncul dari pintu depan,
tersenyum lebar melihatnya. Ia melirik jam tangannya, sudah hampir tengah
malam.
Ibunya
memeluknya lama, bertanya hal-hal ringan seputar perjalanan. Ia senang ibunya
kelihatan sehat dan cantik, sedikit lebih gemuk dari yang terakhir ia lihat.
Rambutnya tebal, ditata rapi di belakang tengkuk. Ibunya tak suka menata rambut
dengan panas hairdryer.
Mereka
masuk rumah. Di ruang makan, ayahnya melirik dari balik kacamatanya, senang
melihat anak lelakinya datang, namun tak beranjak dari duduknya. Ia berkomentar
singkat tentang penampilan fisik anaknya yang pasti kurang olahraga. Leo hanya
tersenyum, bertanya kabar ayahnya.
Ayahnya
selalu berkata benar. Dalam hal olahraga, meski dalam satu masa ia pernah
sangat keras membangun fisiknya dengan latihan karate, ia tak bisa menyaingi
disiplin militer ayahnya. Sampai usia 65, ayahnya yang tinggi menjulang, tetap
bugar dan lincah bergerak. Meski bukan atlet tetapi postur tubuhnya bagus,
menandakan ia rajin mengolah badan. Ayahnya tak berurusan dengan rumah sakit
karena memeriksakan diri secara teratur. Kini, reputasinya jauh di bawah
ayahnya, karena ia merokok.
Kemudian
anak-beranak itu saling berjabat tangan seperti kawan lama yang lama tak
berjumpa. Kebiasaan itu terjadi ketika anak-anak di rumah itu pergi menyeberang
lautan, meneruskan cita-cita. Ibunya melaporkan tentang kebiasaan baru ayahnya,
berenang tiap pagi satu jam, sebelum sarapan.
“Kenapa
Siantar kalau perusahaanmu di Medan, Liong?” tanya ayahnya dalam bahasa Hakka.
Mendengar
bahasa itu lagi, yang biasa mereka pakai di rumah, kenangan-kenangan itu muncul
lagi. Setiap kali di negeri orang, ia selalu ingin berbicara dengan bahasanya
sendiri, bahasa Indonesia, logat Hakka, logat Bangka.
Sejak
kecil orangtuanya berbahasa Hakka kepada anak-anaknya, dan anak-anak harus
menjawab dengan bahasa yang sama. Tetapi mereka berbahasa Indonesia kepada
semua orang yang membantu di rumah.
“Siantar
tak jauh dari Medan, Papi. Siantar pusat segala sesuatu. Tak macet. Kota kecil.
Banyak orang berpengaruh dari Siantar.”
“Perhatikan
tempat tinggalmu dan orang-orang di sekitarmu. Kapan berangkat?”
“Lusa,
Papi.”
Ayahnya
takkan menginterogasi. Ia selalu puas dan mempercayai penjelasan anak-anaknya.
Itulah yang menyebabkan anak-anaknya tidak berbohong karena itulah yang akan
dipercayai oleh orangtua mereka, selamanya.
“Mami
sudah undang beberapa saudara makan di rumah besok siang. Mereka ingin tahu
keadaanmu,” kata ibunya.
Leo hanya
mengangguk-angguk, memperhatikan isi meja makan. Sedikit banyak ia tahu apa
yang dimaksudkan oleh ibunya, mereka ingin tahu keadaanmu.
Pertemuan
keluarga adalah untuk saling mengetahui kabar. Apalagi sekarang keluarga besar
tersebar ke mana-mana tempat di seluruh dunia. Beberapa bahkan sudah mengganti
kewarganegaraan, semudah mengganti telapak tangan. Pertemuan keluarga sering
memberi kejutan diharapkan atau tak diharapkan. Mungkin ia akan melihat
wajah-wajah manis yang akan dikenalkan kepadanya.
Beberapa
kali ibunya bertanya jodoh, tentang perempuan yang mungkin sudah menjadi
kekasihnya, tentang rencana berumah tangga. Leo berjanji, akan mengabari ibunya
kalau dia siap dengan itu semua. Tetapi siapa yang tahu dia telah siap dengan
itu semua? Koko dan Dede sudah menikah. Mereka sepertinya mudah berpacaran dan
menemukan tambatan hati mereka. Dan mereka bahagia.
Ia tahu
setiap orangtua ingin anak-anaknya berpasangan, baru setelah itu mereka tenang.
Tentang upaya itu, ia ingin ibunya merasa bahagia melihatnya. Baginya,
kebahagiaan ibunya adalah kebahagiaannya juga.
Di meja
makan ada laksa, masakan khas Bangka yang terbuat dari beras dan ikan parang,
dimasak dalam kuah santan bercampur kuning kunyit dan bermacam bumbu sedap. Di
sudut sana ada getas, camilan ikan tenggiri, yang bisa dimakan langsung atau
sebagai lauk nasi. Di kotak lain siput gunggung. Makanan istimewa yang hanya ia
temukan kalau berlibur ke kampungnya di Bangka.
“Mami
minta tolong Ce Fenny kirim makanan ini. Siapa tahu kamu rindu makanan bangka.
Itu ada bolu kujo. Masih banyak lagi Mami simpan di dapur.”
Sejak
masih gadis ibunya menjiwai betul memasak gulai ikan laut khas Bangka atau sup
kuah kepiting yang lezat tak terkatakan. Kepiting melimpah di Bangka karena
pulau itu memiliki banyak pantai berkarang. Kepiting-kepiting betina senang
bersembunyi di balik batu untuk melindungi ratusan telur dalam perut mereka.
Penduduk
mencari sendiri kepiting yang diinginkan untuk dimasak menjadi lauk di rumah atau
membeli kepiting hidup di pasar dengan harga murah. Kepiting-kepiting segar
berwarna oranye hijau diikat kuat-kuat dengan tali rafia agar mereka tak
berjalan keluar dari ember atau baskom. Berat satu kepiting bisa sampai tiga
kilogram. Karena kepiting hidup tak tergantung musim, anak-anak bisa menikmati
sup kuah kepiting kapan saja.
Poponya di
Bangka, nenek dari pihak ibunya, cekatan memasak kepiting. Pertama, kulit keras
kepiting akan disikat bersih-bersih dengan sikat khusus, sampai ke sela-sela
capit, dalam keadaan binatang itu terikat dan hidup. Kemudian kepiting-kepiting
akan dimasukkan ke kukusan panas beberapa saat, dikeluarkan dan dipecahkan
kulit kerasnya dengan palu, barulah ditentukan akan dibuat sup atau diberi
bumbu lada hitam atau dimasak asam manis. Pesta kepiting bisa dilakukan kapan
saja oleh keluarga besar.
“Kalau
tinggal lama di Siantar, bangun rumah,” kata ayahnya.
“Iya,
Papi.”
Leo lebih
banyak berkata “ya” kepada ayah ibunya karena Koko dan Dede sudah pergi dan
mempunyai keluarga sendiri. Sekarang hanya kepada dia saja orangtuanya memberi
nasihat.
“Besok pagi mau sarapan apa?” tanya ibunya.
Leo
memandang ibunya. Perutnya kenyang dan ia tidak bisa berpikir tentang sarapan.
“Ini sudah
pagi, Mi,” sahut ayahnya tertawa.
“Sudahlah,
kamu istirahat. Mami siapkan bubur panas saja, ya.”
Ia berdiri
dan pamit kepada orangtuanya. Pak Gege, sopir dan suami Bu Cici, pembantu
ibunya sekarang ini, pastinya sudah membawa semua barangnya ke kamar. Meski
letih ia tak mungkin tidur tanpa membasuh diri.
Air tanah
Jakarta yang dingin mengguyur tubuhnya. Keletihan seharian di perjalanan seolah
ikut terbuang bersama sabun, mengalir ke saluran pembuangan. Membayangkan makan
bubur panas kental di pagi hari, perutnya merasa nyaman. Namun, ketika ia
berbaring dan berusaha tidur, matanya malah segar. Ia menatap kamar tidurnya di
rumah baru orangtuanya, terasa asing. Ia tak terlibat emosi dengan kamar.
Tiba-tiba dia sudah memikirkan pembicaraannya dengan Prandi di jalan tadi.
*bersambung ke bagian 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar