Sabtu, 06 Juni 2015

Tangan Kiri Tuhan (Cerber #9)

Pagar di Rumah Siantar 
Pematang Siantar berjarak 80 km arah selatan dari kota Medan. Pohon palem, lada, teh tumbuh baik di sini. Penduduknya mungkin seperempat juta orang. Tak padat memang. Orang pun berkendara santai di sepanjang sudut kota tanpa menemui kemacetan. Kota kecil yang hujan turun lebih sering dari sebutan kota hujan negeri ini, adalah kampung halaman Adam Malik. Banyak jagoan Medan dan kota besar lain tahu apa artinya jagoan  Siantar. Sebelum tahun 1907, kerajaan Pematang Siantar dipimpin marga Damanik dari Batak Simalungun. Kini wajah-wajah Tionghoa dan Melayu Keling banyak tampak di sini.
Leo memilih tinggal di kota ini meski secara resmi ia berkantor di Medan. Rasa bahagianya kurang memahami keruwetan kota besar. Alasan lain adalah romantisme masa lalu. Ia pernah melewatkan banyak kali liburan semester di sini, bertemu dan berdiskusi dengan para aktivis, pekerja, petani dan siapa pun di jalanan.
Siantar tak banyak berubah sejak terakhir dia tak lagi mampir. Lima tahun dia tinggalkan. Kota ini kerap memanggilnya pulang. Sapaan khas, manusia-manusia unik dan suka berkelakar, membuatnya rindu kembali. Di pajak (pasar) Horas, pemandangan lelaki dewasa bergerombol duduk mengobrol sambil minum kopi atau teh susu sambil mengepulkan asap rokok, adalah sebuah dinamika. Di kedai-kedai pajak, perdebatan dimulai dan diakhiri. Mereka mengutuk atau memuji para pemimpin negeri ini dalam sekali hisap sigaret. Meski tanpa uang di kantong mereka bertahan mengobrol sampai lewat tengah malam. 
Di sudut lain sekumpulan penyanyi setengah matang menarik suara dalam empat nada, menembangkan lagu-lagu sendu yang bersyair tentang ibu, kekasih, atau hidup yang tak lagi berpihak kepadanya, dengan petikan gitar seadanya. Penjual martabak india, bandrek, mi dan bihun goreng, sibuk melayani pelanggan. Becak menaik-turunkan penumpang.  
Beberapa minggu setelah kedatangannya, ia sudah memikirkan akan menuruti saran ayahnya: membangun rumahnya sendiri di sini. Pikirannya berkata ia akan tinggal lama di kota ini. Itu sebabnya dia perlu sebidang tanah kosong untuk mewujudkannya. 
Ditemani Udan dan sebagai navigator, dengan motor besarnya, mereka melintas masuk-keluar jalan-jalan kecil, daerah kota sampai pinggiran, jalanan menaik dan menurun, dari kampung ke kampung. Ia memperhatikan air dan pepohonan, orang-orang di sekitarnya. Dua minggu ia berkeliling belum juga didapatinya tanah yang kena di hati.
Satu kali Udan mengajaknya bertemu seorang kawan di daerah Dipinggol-pinggol. Di sana ia terpikat seluas tanah perladangan milik Ompung Siburian. Kakek tua itu bukan seorang yang ramah tetapi hatinya lurus. Ia juragan tanah.
“Aku tak menjual tanah ini. Aku akan kasih kepada anakku nanti,” ujar Ompung Siburian ketus.
Leo sedikit kecewa. Ia merasakan kimia yang menarik ketika melihat dan melintasi tanah itu. Kalau Ompung Siburian mau menjual tanahnya, ia akan bertetangga dengan PNS, teman Udan itu, seorang pengarang, dan keluarga Ompung Siburian.   
Leo belum menyerah. Beberapa kali berkunjung ke sana dan berbincang dengan Ompung Siburian dan mengobrol apa saja. Si Ompung mulai terpikat ceritanya ketika ia bilang kedatangannya ke Siantar untuk menetap dan bahwa beberapa tahun ke belakang dia rutin ke Siantar tiap kali liburan semester. Mereka berbagi sigaret. Si Kakek tertarik mencoba rokok putih anak muda itu. Tanah sudah hampir dilepas. Dan pada waktu yang tak disangka-sangka orangtua itu melepas tanah dan ladangnya kepada anak muda yang diajaknya bicara itu. Bukan main senangnya Leo.
Ia meminta tolong kawan arsitek membuatkan gambar rumah yang diingininya. Tak perlu rumit. Ia hanya perlu semua keperluan sebuah rumah terakomodir di sana. Ia memilih jenis bahan. Setahun lamanya rumah itu didirikan, molor dari yang direncanakan, karena beberapa kali ia berubah pikiran.
Rumah itu cukup luas dengan tiga kamar tidur, dua kamar mandi, satu ruang tamu yang indah. Di ruang ini ada lemari kaca indah yang memajang piring-piring antik zaman Belanda yang pinggirannya berlapis emas murni. Dia punya dapur yang cukup luas dan halaman belakang yang beratap langit. Dinding dibuat tebal dengan maksud pengamanan yang kemudian dirasanya terlalu berlebihan untuk kota sekecil Siantar. Tak banyak laporan kejahatan di sini. Di ruang tamu ia menempatkan televisi ukuran cukup besar dengan sudut yang pas agar dia bisa berselonjor dari sofa panjangnya. Ia melengkapi kamar mandinya dengan pemanas air dan pancuran buatan.
Dapurnya bersih dan rapi. Ada penghisap uap panas, kompor listrik, dan pemanggang. Dia sangat bangga dengan sebuah kamar khusus di belakang, tempatnya menyimpan segala perkakas kerja laki-laki seperti obeng, gergaji, pemotong listrik. Lampu-lampu taman dan lampu sorot bersinar kuning pada malam yang gelap. Halaman bisa memuat dua mobil parkir bersisian.
Ibunya menanam mawar di rumah mereka di Jakarta. Dan tak sengaja ia pun membuat kotak berdiameter lebar yang diisi tanah dan bibit. Di sanalah ia menumbuhkan mawar kuning, merah, putih, yang berbunga lebar. Pada bagian dalam pagar berjejer bunga kertas, kawinan warna antara fuschia dan putih. Seakan belum puas dengan tanaman mawar, di halaman belakang ia buat kotak dua panjang berisi tanah untuk ditanami mawar. Ia berburu bibit mawar terbaik dari kota Berastagi, di sisi danau Toba.
Tetangga-tetangganya tiap kali melihatnya memandangi rumah itu, berseru sambil tertawa, belum siap kau menghiasi rumahmu, lae. Di sekitarnya, baru rumah itulah yang seluruhnya berdinding beton.    
Lalu bangunan itu selesailah. Ia puas. Rumah pertama yang dia inginkan. Bila tak sedang bertugas ke luar kota, ia akan tinggal di rumahnya, memeriksa apa saja tanpa istirahat. Kadang-kadang ia merasa seperti laki-laki rumahan. Tetapi ia pun bisa menjadi orang jalanan saat menyusuri jalan dengan motor atau mobilnya. 
Pada sisi kiri rumah masih ada lahan seluas 400 meter. Pada sisi tanah yang berbatasan dengan rumah, ia tutupi dengan rumput gajah yang selalu pendek dan hijau. Telah lama ia pelajari segala hal bercocok tanam dari seorang petani, ketika ia dulu bolak-balik ke dana. Ia masih ingat petani itu memotong rumput dengan cara mengikis dengan cangkul. Dan ia bangga bisa meniru cara itu dengan baik.
Sesuai dengan harapannya, ia menanami tanah itu dengan tetumbuhan jahe, serai, lengkuas, kunyit, jeruk limau, jeruk nipis, beberapa bumbu dapur. Pada barisan depan ia menanam kopi dan jagung.
Bercocok tanam memberinya keseimbangan yang lain. Ia berkomunikasi dengan makhluk hidup itu. Ketika tumbuhan itu sudah ajeg di tempatnya masing-masing, setiap bulan pasti ia panen jahe, lengkuas, cabai merah, atau tomat. Tiap tiga atau empat bulan kopi atau jagung. Itulah masa paling membuatnya bahagia. Ia selalu tak sabar memanen hasil tanah, dibantu atau tidak dibantu dua asistennya, lalu membagi-bagikan panen merata ke tetangga-tetangga terdekat.
Bila didekati ketika sedang mengerjakan tanahnya, Ompung Siburian akan dengan murah hati memberi saran-saran praktis untuk bercocok tanam atau membersihkan tumbuhan yang tidak lagi tumbuh dengan baik. Sehabis pulang kerja tangannya sudah gatal untuk membersihkan kebun kopinya dengan cangkul. Ia tahu betul apa yang ada dan terjadi di dalam rumah dan halaman rumahnya.
Sore-sore ia akan duduk di beranda depan, sendirian, menunggu sekumpulan elang terbang pulang. Ia takjub melihat rombongan makhluk hidup itu melintas di atas rumahnya. Ia anggap itu sebagai bonus ia tinggal di sana karena hal itu tak pernah diketahuinya.
“Sudah lama nya mereka terbang kayak itu tiap sore. Sebelah selatan rumah, dua ratus meter dari sini, ada sarang burung elang. Sekarang tak ada lagi orang yang menyadari kehadiran mereka kecuali kau,” kata Ompung Siburian sambil menghembuskan asap rokoknya tak peduli.
Sebelum langit menggelap, mereka terbang rendah dengan anggun, melewati atas teras depan rumahnya, seolah menyapa. Sore itu ia bisa membaui rumput dan ilalang yang dibakar oleh petani. Baunya khas. Suara anak-anak yang bermain di halaman rumah. Jeritan ibu-ibu yang memanggil anak-anaknya masuk ke rumah. Semua itu memberinya perasaan dekat dan nyaman. Ia berada di rumah.
Malam turun, langit sudah benar-benar gelap, suasana berganti lengang. Sesekali telinganya masih mendengar suara seorang bapak yang memarahi anggota keluarga, mungkin anaknya yang malas belajar, yang disahut malas oleh bunyi jangkrik yang ramai dalam kegelapan. Hujan tak bosan turun di Siantar. Ramah dan akrab. Kalau dihitung-hitung, seluruhnya hujan turun selama sebelas bulan dari dua belas bulan tiap tahun. Dan malam akan menjadi sangat dingin ketika angin menghembuskan rinainya.
Ompung Siburian membantunya mencari dua pemuda untuk membersihkan rumah tiap dua kali seminggu. Satu orang membersihkan bagian dalam rumah. Yang lain menyapu halaman dan kebun, dari daun-daun yang jatuh dan ranting-ranting yang patah.  
Kegiatannya sehari-hari selain bekerja adalah bersosialisasi dengan tetangga atau pengunjung kedai. Setiap hari temannya bertambah karena ia tidak pilih-pilih dalam berteman. Teman akan memperkenalkan kepada teman yang lain, begitu seterusnya.
Tujuh kilometer dari rumahnya di Sipinggol-pinggol, ada mata air Sibatu-batu. Mata airnya keluar dari sumur alam, berdiameter satu setengah meter. Airnya bening dan jernih. Segala apa di bawahnya tampak seperti kaca. Uniknya, mata air keluar dari tanah lebih atas, seperti air terjun, lalu turun ke bawah seperti kolam. Orang boleh berenang di luar sumur sumur dan meminum airnya. Air belum pernah dikabarkan habis atau keruh. Musim hujan atau musim panas airnya tidak berkurang atau bertambah.
Trisno, seorang Jawa yang sudah lama merantau di Siantar, orang pertama yang memberitahu mata air itu kepada Leo. Setelah itu mereka berenang bersama, disusul oleh Amirudin Barus yang rumahnya dekat dengan rumahnya. Setelah itu mereka akan makan malam dengan nikmatnya sehabis merasa dingin di dalam air. Mata air itu seperti candu bagi mereka yang pernah datang meninjau ke sana
Makanan khas Tapanuli seperti sangsang, arsik ikan mas, dekke na niura, umum disediakan di sini. Leo paling gembar babi panggang Karo yang dicuil dengan sambal hijau andaliman. Beberapa kedai menjual soto ikan gurami yang dagingnya manis dan segar. Bosan menyusur kedai-kedai itu, dia akan makan ayam goreng Kentucky atau masak sendiri di dapurnya. Tiap kali ia bisa membeli telur dan telur asin ke tetangganya.
Sayuran di pajak-pajak Siantar segar dan tidak memakai zat kimia. Ikan mas dan segala ikan hidup dijual dan rasanya manis setelah dimasak. Pertama kali dulu, tiap hari ia makan ikan gurami dan mujair yang beratnya satu kilo seekor. Air diminum langsung dari keran. Hidup sederhana mendekat ke surga.  
Sesekali ia memanggil kawan-kawannya untuk masak di rumahnya dan makan bersama. Setelah perut kenyang mereka duduk-duduk di beranda belakang, menunggu burung-burung elang pulang. Bunga-bunga mawar bergantian berbunga dengan indahnya yang meruapkan harum yang lembut di sekitar ruangan. Ia punya banyak persediaan teh, kopi, biskuit. Tak ada kesibukan lain setelah itu selain mengobrol, tertawa lucu saling menertawakan, dan mengawal sore berganti malam.
Malam-malam sendirian ia akan membaca atau menulis atau menonton. Ia meminta buku-buku baru dikirim dari Jakarta. Kekurangan di Siantar adalah tidak adanya toko buku sastra atau buku-buku penting lain untuk dibacanya kala senggang. Ia seorang soliter sejati yang bahagia bisa menikmati malam di halaman rumahnya, memandangi kebun mawar atau ladangnya atau langit hitam bertaburan bintang.
Ketika ia memandangi bentuk rumah yang sudah dibangunnya, tiba-tiba ia sadar bahwa rumah itu persis rumah mereka di Jakarta. Ayahnya membangun rumah itu dengan sistem pengamanan yang tinggi. Dinding halaman rumah mereka ditaruh kawat gulung yang menyulitkan keisengan orang masuk ke dalam rumahnya. Ia menjadi lebih sadar ketika melihat sekelilingnya, rumahnya tergolong mewah dan megah.
Apakah perlu seperti ini, pikirnya sambil tersenyum menyeringai lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.

*

Bersambung ke bagian 10 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar