Sabtu, 06 Juni 2015

Tangan Kiri Tuhan (Cerber #5)

Leluhur dari Tiongkok
Hari minggu hari rekreasi keluarga. Keluarga mereka biasanya pergi ke satu tempat. Paling sering ke rumah Kungkung dan Popo di Pondok Indah. Saat piknik keluarga besar, mereka bertemu sepupu-sepupu yang masih kecil dan yang agak besar. Biasanya ke Pantai Ancol. Itu tempat rekreasi yang paling memungkinkan. Dulu belum ada Dunia Fantasi. Keluarga ini penyuka laut dan bibir pantai. Orang dewasa membiarkan anak-anak berenang di sisinya, bermain pasir membangun rumah atau menutup badan mereka sendiri pura-pura jadi patung atau menangkap kepiting batu di dermaga yang dibangun di atas semen dan batu sungai, sementara orangtua mengawasi sambil mengobrol.
“Liong, apa kamu mau jadi ikan besar di samudra luas sana kalau besar nanti?” seru pamannya.
Mendengar pertanyaan itu Leo hanya tertawa. Semua keluarga besarnya dari pihak ibu atau ayah memanggilnya Liong yang berarti naga. Nama panggilan itu diberikan oleh Kungkungnya yang mengharapkan kelak dia menjadi orang besar yang berguna untuk sesamanya.   
Sejak dini dia dan Koko sudah terbiasa mandiri dalam beberapa hal. Ketika SMP, ayah dan ibunya akan mengirim mereka naik pesawat untuk berlibur ke Bangka, ke rumah Kungkung dan Popo. Saat itu mereka menjadi sahabat yang saling mengandalkan.  
Pada liburan panjang sekolah, bersama keluarga lain mereka tamasya ke Bali, Surabaya, Yogyakarta. Atau ke Singapura, Hongkong, Taiwan, China. Mereka sudah tahu harus mendorong tas masing-masing, mengurus dan menjaga barang-barang sendiri, tak boleh terlupa atau tertinggal, memegang tiket di tangan, berdiri tertib untuk masuk pesawat. Masa itu begitu indah. Tiap kali mengingatnya Leo selalu ingin kembali ke sana di mana tak pernah merasa susah. 
Orangtuanya mengantar anak-anak ke rumah Kungkung dan Popo dari pihak ayahnya, pada akhir pekan, setelah mereka hijrah dari Bangka ke Jakarta, karena cucu-cucu lebih banyak tinggal di sini daripada di Bangka. Sekarang ia tahu, mereka melakukan itu bukan tanpa maksud. Di sana ia dan kedua saudaranya akan bertemu dengan sepupu-sepupu lain. Kakek-neneknya akan menyambut semua cucu dengan bahagia. Rumah Kungkung yang besar di Pondok Indah akan ramai dengan suara-suara anak-anak.
Yang paling ditunggu Leo dalam kunjungan akhir pekan adalah, Kungkung mengisahkan masa kecilnya di Tiongkok. Beberapa kali sudah dia mendengarnya dan pada bagian-bagian tertentu dia sudah hapal cerita kakeknya itu.
Kakeknya akan menggambarkan negeri yang luas dan indah itu dengan wajah bersinar dan mata berbinar. Negeri itu memiliki ribuan kuil tempat bersembahyang dan memuja para dewa penghuni dunia atas, istana-istana megah warisan dinasti-dinasti, tebing-tebing yang tinggi, jurang dan ngarai yang dalam, air terjun dari atas gunung yang hijau, sungai yang mengalir panjang dan berliku, satu-satunya bumi yang menumbuhkan ratu bunga, bunga peoni yang helainya berlapis-lapis, padat namun lembut, putih-merah muda-merah, yang diabadikan dalam sejarah, legenda, puisi, musik, lagu, dan tarian.  
Negeri yang luas itu melahirkan beratus juta manusia. Jutaan manusia yang menimbulkan kekacauan yang pedih dan tak berkesudahan akibat pertempuran yang tak kunjung usai, perebutan kekuasaan antar kerajaan atau antarpejabat, atau perang antarsuku. Setiap waktu manusia diperhadapkan dengan perjuangan siapa kuat siapa lemah. Mereka yang letih dengan persaingan penuh tumpah darah dan menginginkan ketenangan hidup, memilih berlayar melewati lautan, mencari kehidupan baru yang memberi harapan, dan menetap di benua Asia, Eropa, Amerika. Mereka sedih meninggalkan tanah air tetapi mereka harus melakukannya. Bagaimana pun mereka bersikap gembira menyambut masa depan dengan harapan akan lebih baik.
Kungkung dan manusia-manusia kapal lainnya tiba di Pulau Bangka yang dikenal penghasil timah terbaik dunia. Mereka mendengar berita bahwa pertambangan ini membutuhnya banyak sekali tenaga baru. Belanda, penjajah Nusantara saat itu, membuka pertambangan dan mengekspor timah Bangka ke seluruh dunia. Sejak tahun 1700-an pulau ini menjadi pusat timah dunia.
Bangka adalah kepulauan yang bersebelahan dengan Belitung, wilayah timur pulau Sumatra. Bangka dikelilingi pantai-pantai yang landai dan indah, daerah rawa, dan pebukitan yang menghijau. Banyak orang Cina lain, terutama suku Hakka, datang ke pulau ini dan membuka perkebunan kelapa, menjadi petani lada. Mereka yang berlabuh di Medan, pelabuhan utara pulau Sumatra, bekerja di perkebunan-perkebunan kopi.
Negeri baru yang memberi harapan. Mereka menyingsingkan lengan baju, bekerja keras tiap hari, bukan lagi sekedar mengadu nasib tetapi mempertahankan harga diri sebagai manusia bermartabat, menghormati bumi yang dipijak dan tanah yang melahirkan sumber hidup. Mereka tak mau perjuangan berbulan-bulan di atas kapal, terapung di atas samudra luas tanpa jaminan keselamatan dan makan cukup, sia-sia.
Kungkung menggambarkan suasana perut lapar saat angin badai dan kesakitan yang menjadi kesatuan, sulit diungkapkan. Sementara cucu-cucunya yang lahir di kota, juga sulit menyelami arti penderitaan dan bersimpati pada keadaan menyentuh maut yang diceritakan Kungkung. Anak-anak belum memahami bagaimana rasanya menjadi orang lain -the other- di negeri lain, yang berbeda bahasa dan adat istiadat.
Kungkung dan teman-teman seperjuangannya menyewa tempat tinggal bersama. Mereka bertekad bekerja dua kali lebih keras dari sesama mereka, yang memiliki tanah ini. Mereka hidup hemat dengan makan bubur beras tiap hari dan menabung lebih banyak untuk mengumpulkan modal, sampai bisa naik kelas ke tingkat yang lebih tinggi. Begitu seterusnya. Ketika uang telah mencukupi mereka membangun rumah sambil terus bekerja keras. Masing-masing keluarga kemudian berkembang dengan kebiasaan dan tradisi masing-masing. Leo kecil mendengarkan semua itu dengan kedua kuping terbuka lebar. Ia bangga Kungkungnya berhasil melewati semua kesulitan, di masanya.
Cerita yang paling ditunggu cucu-cucu adalah percintaan Kungkung yang ganteng dan Popo yang cantik. Begitu Kungkung menggambarkan dirinya dan Popo. Kungkung membuat Popo jatuh cinta mati-matian. Cucu-cucu akan bersorak gembira, mengelu-elukan Kungkung seperti pahlawan yang memenangi perang.
Kungkung dan Popo berasal dari keluarga yang disiplin menghadap hitup. Mereka bekerja keras menghadapi rintangan dan percaya bahwa apa pun bisa dicapai dengan kerja keras. Orang Tionghoa yang datang ke Bangka, rata-rata memiliki ketetapan hati yang sama. Mereka saling bantu dan saling hormat. Mereka pantang mempersoalkan masalah-masalah yang tak relevan dalam hidup. Mereka berunding dalam menyelesaikan persoalan, mendahulukan pihak yang dituakan dan menghargai perbedaan pemikiran.
Inilah Tanah Air mereka, menjadi warganegara sepenuh hati tanpa melupakan tradisi dan adat leluhur yang dibawa dari tanah asal. Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung.
Masyarakat Tionghoa Bangka melebur dengan masyarakat lokal. Mereka berbicara dalam bahasa daerah dan bahasa Hakka Bangka pun ikut terbentuk. Warga Tionghoa dan pribumi menyatu menjadi satu, bahu-membahu memberdayakan sumber yang ada dan bersama membangun kehidupan yang lebih baik. Saat kerusuhan etnis di Tanah Air pada tahun 1998, Bangka tidak terpengaruh. Hubungan baik dan kekeluargaan antara Tionghoa dan penduduk lokal, saling melindungi.
Di sanalah ayah dan ibunya saling jatuh cinta. Mereka menikah dan mengikat dua keluarga menjadi satu keluarga besar. Mereka menjadi pengantin baru dan memutuskan pindah ke Jakarta, dengan sedikit modal. Pasangan muda ini memutuskan keluar dan jauh dari penglihatan keluarga besar mereka, untuk mengadu nasib di kota besar, ibukota negara.
Jakarta, ibu dari kota-kota di Tanah Air. Kota metropolitan yang sangat luas dengan lima wilayah besar. Matahari bersinar lebih galak di sini. Dia tanpa ampun akan mengeringkan semangat mereka yang datang setengah hati. Kota ini adalah ibu yang keras dan tanpa bulu mendidik anak-anak yang berlindung kepadanya, untuk bersaing lebih keras, lebih cepat, lebih baik. Sedikit saja melenceng dan lengah dari rel kehidupan, siapa pun akan terseret arus yang memedihkan hidup karena harga diri telah terjual percuma.
Mereka melahirkan anak-anak yang sehat dan mendidik anak-anak itu seperti orangtua mendidik mereka. Pohon yang baik akan menghasilkan buah yang baik pula. Apa yang ditanam itulah yang kelak dituai. Itulah yang mereka percayai. Mereka bukan pengejar mimpi tetapi mencapai mimpi-mimpi mereka dengan kerja keras. Dari merekalah Leo mengikuti jejak dan teladan, menjalani hidup yang bermartabat.    
Ibunya bukan hanya cakap menjadi teman hidup ayahnya, tetapi ia mengetahui apa saja yang terjadi di dalam rumahnya. Seorang ibu memiliki kekuatan yang tak diletihkan oleh perkara apa pun karena anak-anak yang dilahirkannya. Ibunya tenang mengganti hari setelah ia mengerjakan apa yang harus dikerjakannya hari itu. 
*
Satu keluarga lain sama-sama bermigrasi dari Tiongkok. Mereka menjadi bayang-bayang keluarga ibunya. Keluarga ini bermarga Seng. Kepala keluarga bernama Seng Tong dan istrinya Seng Nio. Keduanya dan orangtua ibunya bergaul akrab bak saudara. Kesusahan yang satu menjadi kesusahan keluarga lain juga. Kegembiraan yang satu dirayakan bersama. Begitu dekatnya kedua belah pasangan ini sehingga sebelum berangkat ke tanah yang baru tercetus semacam ikrar yang diucapkan bersama, bahkan mereka akan saling mengikat diri bila kelak keturunan mereka berpasangan, laki-laki dan perempuan. Mereka ingin mengekalkan kekeluargaan di antara mereka menjadi ikatan darah yang kelak lahir sebagai cucu mereka.
Kemudian terjadilah keinginan mereka tingkat pertama. Kungkung dan Popo melahirkan sulung anak perempuan, yaitu ibunya, dan Popo masih melahirkan enam anak lain. Keluarga Seng melahirkan anak sulung laki-laki yang mereka beri nama Hong Tjay, lalu satu anak perempuan bernama Ong Nio, dan si anak laki-laki bungsu, Hong Sie. Ibunya dan Hong Tjay menandai keberuntungan mereka tibe di tanah yang baru. Mereka masih ingat perjanjian itu dan berkelakar mereka sudah mengaitkan kesamaan antara ibunya dan Hong Tjay, bila mereka disatukan dalam perkawinan.
Tetapi hidup menentukan nasib dan takdir tersendiri. Kedua keluarga sama-sama pekerja keras tetapi sikap mereka berlainan dalam memperlakukan cara hidup. Itulah yang kurang diperhitungkan oleh kedua keluarga. Hidup mereka tak lagi sama. Bahwa perbedaan kecil di satu titik akan melebarkan kemungkinan untuk bersatu. Manusia sering lupa bahwa setiap orang berubah setiap hari dan itu terjadi secara alami menit demi menit. Setiap orang akan menjemput takdirnya sendiri. 
Kungkung dan Popo meyakini bahwa pendidikan yang baik akan mengubah nasib anak-anak mereka menjadi lebih baik pula. Mereka bekerja lebih keras untuk sebuah tujuan, bukan hanya menghidupi apa yang ada. Mereka sepakat untuk membiayai apa pun cita-cita anak mereka dalam menempuh sekolahnya. Sikap mereka melonggarkan anak-anak hanya bertekun dalam urusan buku-buku pelajaran sekolah, dibebaskan dari kewajiban turut bekerja mengurus ekonomi keluarga. Peran dan tanggung jawab orangtua dan anak dalam keluarga memanglah berbeda.  
Rumah mereka terus menjadi tua dan menjadi saksi bagaimana keluarga berhemat untuk membiayai yang lain. Uang yang mereka simpan ketika muda sedikit demi sedikit dikeluarkan untuk mengantar satu per satu anak sekolah dan meraih cita-citanya. Belum saatnya hidup mereka melonggar dari kerja keras. Dengan keteguhan hati suami-istri keluarga ini saling menguatkan menyelesaikan pendidikan putra-putri mereka. Waktu berjalan lambat karena tiap kali mereka harus berhemat. Tetapi semua kepahitan itu berakhir dengan buah yang manis. Titel tanda telah mencapai tingkat tertentu dalam pendidikan itu memberi kebanggaan tersendiri bagi keluarga mereka.
Bukan tiba-tiba keluarga mereka menjadi terpandang dan diperhitungkan. Seperti kepala padi yang merunduk saat berubah bernas, mereka tak merasa diri lebih hebat. Mereka justru makin hati-hati bertindak karena pengetahuan telah menjadi dasar mereka melakukan sesuatu. Tradisi berpendidikan dibangun dengan susah payah pada awalnya tetapi sekarang mereka sudah mendapatkan buahnya. Masing-masing anak akan melestarikan tradisi itu ke anak-anak mereka, dalam keluarga-keluarga yang baru dibentuk.     
Sebaliknya keluarga Seng. Selepas sekolah menengah atas, mereka akan selesai sampai di sana. Seng Tong memberi modal secukupnya bagi tiap anak yang baru menyelesaikan sekolah menengah atasnya. Ia ingin mereka mandiri di usia yang muda, secara ekonomi. Ia memiliki pemahaman sendiri tentang hidup.
“Apa pun bisa dibeli, termasuk perempuan, kalau kita mempunyai uang untuk menebus,” begitu kata Seng Tong kepada ketiga anaknya.    
Istrinya, Seng Nio, menyetujui sikap suaminya. Tampak benar mereka memang berjodoh satu sama lain sebagai suami istri. Hong Tjay sudah membangun rumahnya sendiri, yang besar dan luas, dari bisnisnya yang berkembang, ketika ibunya baru lulus kuliah ekonomi. Hong Tjay meminta orangtuanya untuk meminang ibunya untuknya. Seperti ayahnya, Hong Tjay berpikiran bahwa perjanjian di masa lalu belum berubah. Dia tidak menyadari ibunya sudah berpacaran dengan pilihannya sendiri di kampusnya, yaitu ayahnya sekarang. 
Dengan sopan Kungkung dan Popo menjelaskan keadaan putri mereka kepada keluarga Seng. Bahwa anak itu sudah berpacaran dengan pilihannya sendiri.
“Ternyata kita tak bisa menentukan jauh-jauh hari apa yang terbaik buat anak-anak kita. Mereka bertumbuh dewasa dan tahu menentukan apa yang terbaik buat mereka,” kata Kungkung dan Popo kepada keluarga Seng.
Sepertinya keluarga Seng bisa juga menerima keadaan itu. Mereka menyadari bahwa kedekatan mereka pun sudah berubah, kalau saja mereka mau jujur mengatakan itu. Perasaan Seng kepada keluarga sahabatnya itu tak berubah tetapi ia merasa bahwa ada sesuatu yang lain di antara mereka ketika mereka berbicara. Cara mereka makan dan berpakaian sudah menunjukkan itu semua. Tak bisa dipungkiri. Seperti bayi-bayi yang dilahirkan memiliki kesamaan dalam banyak hal. Tetapi ketika mereka tumbuh besar tampaklah perbedaan karakter masing-masing anak.
Tetapi Hong Tjay tidak terima kenyataan itu. Ia kebakaran jenggot karena calon pasangannya itu ternyata sudah punya tambatan hati. Rupanya Hong Tjay diam-diam menaruh hati kepada putri sulung sahabat orangtuanya itu. Siapa yang tidak tertarik melihat perempuan muda yang merekah indah seperti bunga di pagi hari, cantik dan pintar di sekolah, namun tak melupakan dapur. Dari kejauhan dia memperhatikan perempuan itu dengan rasa bangga, dan bermimpi dengan muluknya, bahwa dari rahim perempuan muda akan melahirkan anak-anaknya. Ia membayangkan hidupnya akan dipenuhi dengan kebahagiaan. Perempuan itu akan mudah mencintainya. Kalau perempuan akan pintar dan cantik seperti ibunya, kalau laki-laki akan mewarisi kekayaan ayahnya. Begitu dia berpikir.
Ketika melihat anaknya marah, Seng Tong pun kebakaran jenggot. Dia termakan rayuan anaknya, terbakar dengan semangat bahwa bagaimana pun mereka jauh lebih kaya daripada keluarga itu. Ia tak sekolah agar bisa punya cukup simpanan untuk meminang calon istrinya yang terpelajar itu. Ia merasa dirinya sepadan, bahkan lebih dari sekedar anak sekolahan.  
“Papa ini gimana? Masak diam saja diperlakukan begitu oleh mereka. Mereka sudah melanggar janji. Apa yang bisa diberikan anak sekolahan itu kepada putri sulung mereka? Kalau aku sudah jelas. Sudah kusiapkan rumah besar dan perabotannya, dia tinggal masuk. Aku sudah siap mobil untuk mengantarnya ke mana-mana. Sekarang Papa tagih janji dia!” teriak Hong Tjay meradang.
Termakan kata-kata anak lelaki sulungnya, Seng Tong menghadap kawan lamanya sekali lagi dan mengingatkan janji mereka yang dulu. Kungkung dengan senang hati membahas masa lalu itu, mengakui kekeliruannya karena ternyata ia tidak bisa merawat janji cita-cita mereka di masa lalu. Ia kemudian membeberkan bahwa yang mereka tidak perhitungkan adalah bahwa dalamnya hati manusia dan ke mana kaki anak akan melangkah, siapa yang bisa tahu. Sebagai orangtua mereka hanya bertugas mengawal dan memberi arahan. Selebihnya anak itu sendiri yang menentukan dan menjalani keputusannya. Kungkung meminta maaf kepada teman lamanya, tentang keadaan anak perempuan sulungnya itu.
“Meski kita tidak jadi mengikat keturunan kita dalam perkawinan, toh kita sudah jadi saudara selama ini. Tak ada satu pun yang bisa memisahkan atau mengubah kenyataan itu, Tong,” kata Kungkung.
Seng Tong memahami keadaan sahabatnya. Ia bahkan menghormati gagasan itu. Kemudian masalah keluarga ini selesai untuk sementara.
Kungkung menikahkan putri sulungnya dan calon menantunya, mengirim mereka ke Jakarta, untuk menghindari kemungkinan terpicunya ketegangan, seandainya mereka terus tinggal di Bangka. Memang suasana reda mereda. Hong Tjay menikahi perempuan lain tetapi di dalam hatinya, cinta kepada ibunya telah mengristal menjadi bibit benci yang tumbuh. Dia bertekad akan mencari keadilan sampai titik darah terakhir.  Dia akan membuat perhitungan dengan laki-laki saingannya.
Tak lama Hong Tjay pun memboyong keluarganya ke Jakarta. Kungkung mempunyai firasat itu bukan pertanda baik untuk putrinya. Ia merasa waswas dan meminta menantunya agar berhati-hati. Sekarang kedua orangtua tak bisa berbuat apa-apa lagi kecuali mendoakan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Hong Tjay telah membulatkan tekadnya. Ia menyusun rencananya sendiri. Bahkan istrinya tak pernah menyadari hal tersebut. Ia mulai dengan membeli rumah tak jauh dari rumah orangtuanya. Selama beberapa waktu mereka saling mengunjungi rumah. Keadaan tenang. Masing-masing melahirkan anak-anak masing-masing dan tak ada masalah.
Tetapi Hong Tjay sudah mulai kewalahan menghadapi bisnis di ibukota yang lebih menantang daripada di kampungnya sendiri. Apalagi dia bekerja sendiri. Istrinya tidak bisa diajak kompromi soal bisnis karena ia hanya tahu mengurus rumah tangga saja. Hanya sepuluh tahun ia bertahan dan mulai mengalami kebangkrutan. Ia ditipu lawan bisnisnya. Hong Tjay sudah berniat membawa keluarganya kembali ke Bangka, meski dengan tanggungan rasa malu, saat ayahnya menawarkan bantuan.
“Kalau mau usaha lagi, saya bisa bantu keuangannya, Ko. Pertimbangkan saja dulu. Hubungi saya kalau sudah siap dengan keputusannya,” kata ayahnya waktu itu.
Tawaran ayahnya itu sebenarnya membuat ibunya khawatir. Sebagai perempuan, juga ditambah nasihat ayahnya untuk berhati-hati dengan Hong Tjay, ia lebih senang orang itu kembali ke Bangka. Bagi ibunya, sedikit saja mereka bersentuhan dengan Hong Tjay, mereka akan terjerat di sana, selamanya. Tetapi ia pun tidak bisa menahan suaminya dari berbuat baik hanya karena perasaannya.
Hong Tjay menerima tawaran sejumlah modal baru dari ayahnya. Ia berusaha bangkit dari keterpurukannya, tetapi toh kembali tak kuasa menahan badai kedua kali dalam usahanya. Bisnisnya tak mengalami peningkatan, hanya diam di tempat. Bagi upaya dagang, itu sama dengan merugi. Sekarang ia tidak bisa membayar hutangnya kepada orangtua Leo.
“Tidak usah dipikir soal pengembalian uang itu, Ko. Dalam bisnis kita memang harus sabar,” ujar ayahnya. 
“Kalau saya pulang ke Bangka waktu itu, nggak jadi brengsek seperti ini,” kata Hong Tjay kasar.
Sejak itu Hong Tjay menimpakan hal buruk yang terjadi pada usahanya karena ayahnya. Dia dituduh sengaja agar membuatnya jatuh. Kali ini Hong Tjay tidak memutuskan pulang kampung. Dia sudah terlanjur basah di ibukota. Untung menyambung hidup, dia bekerja menjelma apa saja, mulai dari yang halal, lalu yang sedikit menyerempet bahaya dengan alasan kepepet, sampai ia mengesampingkan suara kebenaran dari nuraninya, karena alasan heroik, aku seorang ayah yang bertanggung jawan karena harus menghidupi keluarga.
Ibunya menawarkan bantuan lewat istri Hong Tjay. Membayari uang sekolah karena anak itu harus mengikuti ujian. Membayari biaya dokter dan obat kalau salah satu anak sakit. Sampai kadang-kadang mengirim beras karena tidak ada lagi makanan di dapur. Lalu pertolongan itu menjadi semacam kewajiban yang harus dilaksanakan orangtua Leo. Sekarang mental keluarga itu sudah berubah menjadi, tenang saja, toh keluarga sahabat akan menolong saat mereka memerlukan bantuan.
Diberi hati minta jantung itu bukan sekedar peribahasa bagi keluarga Hong Tjay, tetapi menjadi kenyataan. Tetapi sayangnya mereka kehilangan kesadaran ketika menjadi seperti itu. Permintaan mereka sudah sampai ke leher, membuat orangtua Leo sesak dan nyaris kehabisan napas.
“Istri Hong Tjay ingin menyekolahkan anaknya ke sekolah yang sama seperti kita,” bisik ibunya kepada suaminya.
Ayahnya hanya bisa diam. Bibirnya terkatup. Sinar matanya menunjukkan ia sedang berpikir.
“Kemarin dia datang dan meminta tolong kita membayarkan uang pangkal sekolah,” kata ibunya lagi.
Si suami menatap mata istrinya lekat-lekat, menarik napas panjang dan berkata, “Kita harus berkata tidak kali ini.”
Meski tidak mengatakannya si istri setuju juga dengan keputusan suaminya. Ia pun sudah merasa sesak benar menghadapi keluarga yang mulai sewenang-wenang itu. Mereka telah mengencangkan pinggang sedemikian rupa sementara keluarga itu hanya mengucapkan sepatah kata meminta pertolongan.
“Bagaimana cara kita menolak? Siapa yang akan mengatakan hal ini kepada mereka? Kau kepada Hong Tjay? Atau aku kepada istrinya?”
“Kita berdua akan datang ke rumah mereka, mengatakan masalah ini.”
Dan seperti yang telah diperkirakan mereka berdua, suami istri itu langsung turun semangatnya. Mereka mengusulkan memasukkan anak mereka ke sekolah yang lebih terjangkau bagi mereka. Tetapi usul itu diterima sebagai hinaan, menganggap mereka tidak mampu membiayai sekolah anak mereka.
“Kalau sekedar memberi nasihat, tak usahlah datang. Kami akan mengusahakan sendiri. Bagaimana nanti saja. Memang keluarga kami sudah terlalu merepotkan kalian,” jawab Hong Tjay.
Mereka memang menyekolah putra sulung mereka ke sekolah lain, tetapi sejak itu Hong Tjay menunjukkan dirinya setiap hari ke rumah mereka.
“Aku kerja apa sajalah. Yang penting ada yang kubawa pulang ke rumah,” begitu kata Hong Tjay.
Keluarga Hong Tjay menjadi semacam duri dalam daging bagi kedua orangtua Leo. Duri itu ada dan menusuk mereka dari dalam, tidak bisa dikeluarkan karena duri itu bergerak bersama darah. Dia ada di sana. 
Satu kali Hong Tjay datang ke rumah mereka seperti biasanya, ayahnya memintanya tinggal untuk mengantar ibunya yang baru saja beberapa hari melahirkan Dede, ke rumah sakit. Ayahnya ada rapat dengan rekan bisnisnya dan tidak bisa digantikan.
Hong Tjay bersikap sopan tetapi menjadi liar pada saat yang disangkanya tepat.
“Kau masih terlihat cantik walau sudah melahirkan tiga anak,” komentar Hong Tjay sambil menampakkan senyum penuh arti kepada ibunya.
Ibunya tidak berkomentar, diam membungkam. Ia tidak menyukai perkataan yang tidak patut diucapkan ketika suaminya tak ada di rumah.
Lalu terjadilah peristiwa yang tak terelakkan menjadi takdir bagi hidup mereka. Mereka bersiap akan berangkat ke rumah sakit membawa bayi kecil. Ibunya menggendong bayinya, lalu selimut mungil itu meluncur turun karena tak tersangkut sempurna pada gendongan, ibunya otomatis menunduk untuk menangkap selimut itu dengan tangan kanannya, sementara Hong Tjay dengan maksud yang sama, akan menyelematkan selimut itu, tetapi kecelakaanlah yang terjadi. Tangan kirinya tak sengaja menyentuh payudara ibunya, ditangkis kuat oleh gerak refleks ibunya, menampar pipi Hong Tjay dengan keras. Setelah itu keduanya terkejut.
“Apa kau ini?”
“Jangan kau coba-coba dengan aku, Hong Tjay. Pergi dari sini sekarang!”
Hong Tjay terkejut dengan apa yang baru saja terjadi, baru akan menjelaskan keadaannya tetapi hatinya terlanjur luka. Dia tertolak.
Itulah yang memisahkan mereka. Hong Tjay tak lagi datang mampir ke rumah itu. Meski demikian rumah itu pun tak merasa tenang. Hong Tjay terus membayangi keluarga ini. Mereka mendengar ia sekarang pengedar obat-obat terlarang. Mereka tiap kali mendengar Hong Tjay berkata, aku begini karena kalian.    
Meski telinganya tak pernah mendengar sesuatu pun yang buruk tentang Hong Tjay kepada mereka, bagi Leo, orang itu adalah musuh bebuyutan orangtuanya. Satu kali ia akan turun tangan, menghadapi orang itu, seandainya masih berani mengganggu orangtuanya. Terutama ibunya.

*

Bersambung ke bagian 6 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar