Leluhur dari Tiongkok
Hari
minggu hari rekreasi keluarga. Keluarga mereka biasanya pergi ke satu tempat.
Paling sering ke rumah Kungkung dan Popo di Pondok Indah. Saat piknik keluarga
besar, mereka bertemu sepupu-sepupu yang masih kecil dan yang agak besar. Biasanya
ke Pantai Ancol. Itu tempat rekreasi yang paling memungkinkan. Dulu belum ada
Dunia Fantasi. Keluarga ini penyuka laut dan bibir pantai. Orang dewasa
membiarkan anak-anak berenang di sisinya, bermain pasir membangun rumah atau
menutup badan mereka sendiri pura-pura jadi patung atau menangkap kepiting batu
di dermaga yang dibangun di atas semen dan batu sungai, sementara orangtua
mengawasi sambil mengobrol.
“Liong,
apa kamu mau jadi ikan besar di samudra luas sana kalau besar nanti?” seru
pamannya.
Mendengar pertanyaan
itu Leo hanya tertawa. Semua keluarga besarnya dari pihak ibu atau ayah
memanggilnya Liong yang berarti naga. Nama panggilan itu diberikan oleh Kungkungnya
yang mengharapkan kelak dia menjadi orang besar yang berguna untuk sesamanya.
Sejak dini
dia dan Koko sudah terbiasa mandiri dalam beberapa hal. Ketika SMP, ayah dan
ibunya akan mengirim mereka naik pesawat untuk berlibur ke Bangka, ke rumah
Kungkung dan Popo. Saat itu mereka menjadi sahabat yang saling
mengandalkan.
Pada
liburan panjang sekolah, bersama keluarga lain mereka tamasya ke Bali,
Surabaya, Yogyakarta. Atau ke Singapura, Hongkong, Taiwan, China. Mereka sudah
tahu harus mendorong tas masing-masing, mengurus dan menjaga barang-barang
sendiri, tak boleh terlupa atau tertinggal, memegang tiket di tangan, berdiri
tertib untuk masuk pesawat. Masa itu begitu indah. Tiap kali mengingatnya Leo
selalu ingin kembali ke sana di mana tak pernah merasa susah.
Orangtuanya
mengantar anak-anak ke rumah Kungkung dan Popo dari pihak ayahnya, pada akhir
pekan, setelah mereka hijrah dari Bangka ke Jakarta, karena cucu-cucu lebih
banyak tinggal di sini daripada di Bangka. Sekarang ia tahu, mereka melakukan
itu bukan tanpa maksud. Di sana ia dan kedua saudaranya akan bertemu dengan
sepupu-sepupu lain. Kakek-neneknya akan menyambut semua cucu dengan bahagia. Rumah
Kungkung yang besar di Pondok Indah akan ramai dengan suara-suara anak-anak.
Yang paling
ditunggu Leo dalam kunjungan akhir pekan adalah, Kungkung mengisahkan masa
kecilnya di Tiongkok. Beberapa kali sudah dia mendengarnya dan pada bagian-bagian
tertentu dia sudah hapal cerita kakeknya itu.
Kakeknya
akan menggambarkan negeri yang luas dan indah itu dengan wajah bersinar dan
mata berbinar. Negeri itu memiliki ribuan kuil tempat bersembahyang dan memuja
para dewa penghuni dunia atas, istana-istana megah warisan dinasti-dinasti,
tebing-tebing yang tinggi, jurang dan ngarai yang dalam, air terjun dari atas
gunung yang hijau, sungai yang mengalir panjang dan berliku, satu-satunya bumi
yang menumbuhkan ratu bunga, bunga peoni yang helainya berlapis-lapis, padat namun
lembut, putih-merah muda-merah, yang diabadikan dalam sejarah, legenda, puisi, musik,
lagu, dan tarian.
Negeri yang
luas itu melahirkan beratus juta manusia. Jutaan manusia yang menimbulkan kekacauan
yang pedih dan tak berkesudahan akibat pertempuran yang tak kunjung usai, perebutan
kekuasaan antar kerajaan atau antarpejabat, atau perang antarsuku. Setiap waktu
manusia diperhadapkan dengan perjuangan siapa kuat siapa lemah. Mereka yang letih
dengan persaingan penuh tumpah darah dan menginginkan ketenangan hidup, memilih
berlayar melewati lautan, mencari kehidupan baru yang memberi harapan, dan
menetap di benua Asia, Eropa, Amerika. Mereka sedih meninggalkan tanah air tetapi
mereka harus melakukannya. Bagaimana pun mereka bersikap gembira menyambut masa
depan dengan harapan akan lebih baik.
Kungkung
dan manusia-manusia kapal lainnya tiba di Pulau Bangka yang dikenal penghasil
timah terbaik dunia. Mereka mendengar berita bahwa pertambangan ini membutuhnya
banyak sekali tenaga baru. Belanda, penjajah Nusantara saat itu, membuka
pertambangan dan mengekspor timah Bangka ke seluruh dunia. Sejak tahun 1700-an
pulau ini menjadi pusat timah dunia.
Bangka
adalah kepulauan yang bersebelahan dengan Belitung, wilayah timur pulau Sumatra.
Bangka dikelilingi pantai-pantai yang landai dan indah, daerah rawa, dan
pebukitan yang menghijau. Banyak orang Cina lain, terutama suku Hakka, datang
ke pulau ini dan membuka perkebunan kelapa, menjadi petani lada. Mereka yang berlabuh
di Medan, pelabuhan utara pulau Sumatra, bekerja di perkebunan-perkebunan kopi.
Negeri
baru yang memberi harapan. Mereka menyingsingkan lengan baju, bekerja keras
tiap hari, bukan lagi sekedar mengadu nasib tetapi mempertahankan harga diri
sebagai manusia bermartabat, menghormati bumi yang dipijak dan tanah yang
melahirkan sumber hidup. Mereka tak mau perjuangan berbulan-bulan di atas kapal,
terapung di atas samudra luas tanpa jaminan keselamatan dan makan cukup,
sia-sia.
Kungkung
menggambarkan suasana perut lapar saat angin badai dan kesakitan yang menjadi kesatuan,
sulit diungkapkan. Sementara cucu-cucunya yang lahir di kota, juga sulit
menyelami arti penderitaan dan bersimpati pada keadaan menyentuh maut yang
diceritakan Kungkung. Anak-anak belum memahami bagaimana rasanya menjadi orang
lain -the other- di negeri lain, yang berbeda bahasa dan adat istiadat.
Kungkung
dan teman-teman seperjuangannya menyewa tempat tinggal bersama. Mereka bertekad
bekerja dua kali lebih keras dari sesama mereka, yang memiliki tanah ini.
Mereka hidup hemat dengan makan bubur beras tiap hari dan menabung lebih banyak
untuk mengumpulkan modal, sampai bisa naik kelas ke tingkat yang lebih tinggi. Begitu
seterusnya. Ketika uang telah mencukupi mereka membangun rumah sambil terus bekerja
keras. Masing-masing keluarga kemudian berkembang dengan kebiasaan dan tradisi
masing-masing. Leo kecil mendengarkan semua itu dengan kedua kuping terbuka
lebar. Ia bangga Kungkungnya berhasil melewati semua kesulitan, di masanya.
Cerita
yang paling ditunggu cucu-cucu adalah percintaan Kungkung yang ganteng dan Popo
yang cantik. Begitu Kungkung menggambarkan dirinya dan Popo. Kungkung membuat
Popo jatuh cinta mati-matian. Cucu-cucu akan bersorak gembira, mengelu-elukan Kungkung
seperti pahlawan yang memenangi perang.
Kungkung
dan Popo berasal dari keluarga yang disiplin menghadap hitup. Mereka bekerja
keras menghadapi rintangan dan percaya bahwa apa pun bisa dicapai dengan kerja
keras. Orang Tionghoa yang datang ke Bangka, rata-rata memiliki ketetapan hati
yang sama. Mereka saling bantu dan saling hormat. Mereka pantang mempersoalkan masalah-masalah
yang tak relevan dalam hidup. Mereka berunding dalam menyelesaikan persoalan,
mendahulukan pihak yang dituakan dan menghargai perbedaan pemikiran.
Inilah Tanah
Air mereka, menjadi warganegara sepenuh hati tanpa melupakan tradisi dan adat
leluhur yang dibawa dari tanah asal. Di mana bumi dipijak di situ langit
dijunjung.
Masyarakat
Tionghoa Bangka melebur dengan masyarakat lokal. Mereka berbicara dalam bahasa
daerah dan bahasa Hakka Bangka pun ikut terbentuk. Warga Tionghoa dan pribumi
menyatu menjadi satu, bahu-membahu memberdayakan sumber yang ada dan bersama membangun
kehidupan yang lebih baik. Saat kerusuhan etnis di Tanah Air pada tahun 1998, Bangka
tidak terpengaruh. Hubungan baik dan kekeluargaan antara Tionghoa dan penduduk
lokal, saling melindungi.
Di sanalah
ayah dan ibunya saling jatuh cinta. Mereka menikah dan mengikat dua keluarga
menjadi satu keluarga besar. Mereka menjadi pengantin baru dan memutuskan
pindah ke Jakarta, dengan sedikit modal. Pasangan muda ini memutuskan keluar
dan jauh dari penglihatan keluarga besar mereka, untuk mengadu nasib di kota
besar, ibukota negara.
Jakarta, ibu
dari kota-kota di Tanah Air. Kota metropolitan yang sangat luas dengan lima
wilayah besar. Matahari bersinar lebih galak di sini. Dia tanpa ampun akan mengeringkan
semangat mereka yang datang setengah hati. Kota ini adalah ibu yang keras dan
tanpa bulu mendidik anak-anak yang berlindung kepadanya, untuk bersaing lebih
keras, lebih cepat, lebih baik. Sedikit saja melenceng dan lengah dari rel kehidupan,
siapa pun akan terseret arus yang memedihkan hidup karena harga diri telah
terjual percuma.
Mereka
melahirkan anak-anak yang sehat dan mendidik anak-anak itu seperti orangtua
mendidik mereka. Pohon yang baik akan menghasilkan buah yang baik pula. Apa
yang ditanam itulah yang kelak dituai. Itulah yang mereka percayai. Mereka
bukan pengejar mimpi tetapi mencapai mimpi-mimpi mereka dengan kerja keras. Dari
merekalah Leo mengikuti jejak dan teladan, menjalani hidup yang bermartabat.
Ibunya bukan
hanya cakap menjadi teman hidup ayahnya, tetapi ia mengetahui apa saja yang
terjadi di dalam rumahnya. Seorang ibu memiliki kekuatan yang tak diletihkan
oleh perkara apa pun karena anak-anak yang dilahirkannya. Ibunya tenang
mengganti hari setelah ia mengerjakan apa yang harus dikerjakannya hari itu.
*
Satu
keluarga lain sama-sama bermigrasi dari Tiongkok. Mereka menjadi bayang-bayang
keluarga ibunya. Keluarga ini bermarga Seng. Kepala keluarga bernama Seng Tong
dan istrinya Seng Nio. Keduanya dan orangtua ibunya bergaul akrab bak saudara.
Kesusahan yang satu menjadi kesusahan keluarga lain juga. Kegembiraan yang satu
dirayakan bersama. Begitu dekatnya kedua belah pasangan ini sehingga sebelum
berangkat ke tanah yang baru tercetus semacam ikrar yang diucapkan bersama, bahkan
mereka akan saling mengikat diri bila kelak keturunan mereka berpasangan, laki-laki
dan perempuan. Mereka ingin mengekalkan kekeluargaan di antara mereka menjadi
ikatan darah yang kelak lahir sebagai cucu mereka.
Kemudian
terjadilah keinginan mereka tingkat pertama. Kungkung dan Popo melahirkan sulung
anak perempuan, yaitu ibunya, dan Popo masih melahirkan enam anak lain. Keluarga
Seng melahirkan anak sulung laki-laki yang mereka beri nama Hong Tjay, lalu satu
anak perempuan bernama Ong Nio, dan si anak laki-laki bungsu, Hong Sie. Ibunya
dan Hong Tjay menandai keberuntungan mereka tibe di tanah yang baru. Mereka
masih ingat perjanjian itu dan berkelakar mereka sudah mengaitkan kesamaan antara
ibunya dan Hong Tjay, bila mereka disatukan dalam perkawinan.
Tetapi
hidup menentukan nasib dan takdir tersendiri. Kedua keluarga sama-sama pekerja
keras tetapi sikap mereka berlainan dalam memperlakukan cara hidup. Itulah yang
kurang diperhitungkan oleh kedua keluarga. Hidup mereka tak lagi sama. Bahwa
perbedaan kecil di satu titik akan melebarkan kemungkinan untuk bersatu.
Manusia sering lupa bahwa setiap orang berubah setiap hari dan itu terjadi
secara alami menit demi menit. Setiap orang akan menjemput takdirnya
sendiri.
Kungkung
dan Popo meyakini bahwa pendidikan yang baik akan mengubah nasib anak-anak mereka
menjadi lebih baik pula. Mereka bekerja lebih keras untuk sebuah tujuan, bukan
hanya menghidupi apa yang ada. Mereka sepakat untuk membiayai apa pun cita-cita
anak mereka dalam menempuh sekolahnya. Sikap mereka melonggarkan anak-anak hanya
bertekun dalam urusan buku-buku pelajaran sekolah, dibebaskan dari kewajiban turut
bekerja mengurus ekonomi keluarga. Peran dan tanggung jawab orangtua dan anak
dalam keluarga memanglah berbeda.
Rumah
mereka terus menjadi tua dan menjadi saksi bagaimana keluarga berhemat untuk
membiayai yang lain. Uang yang mereka simpan ketika muda sedikit demi sedikit
dikeluarkan untuk mengantar satu per satu anak sekolah dan meraih cita-citanya.
Belum saatnya hidup mereka melonggar dari kerja keras. Dengan keteguhan hati suami-istri
keluarga ini saling menguatkan menyelesaikan pendidikan putra-putri mereka.
Waktu berjalan lambat karena tiap kali mereka harus berhemat. Tetapi semua
kepahitan itu berakhir dengan buah yang manis. Titel tanda telah mencapai
tingkat tertentu dalam pendidikan itu memberi kebanggaan tersendiri bagi
keluarga mereka.
Bukan
tiba-tiba keluarga mereka menjadi terpandang dan diperhitungkan. Seperti kepala
padi yang merunduk saat berubah bernas, mereka tak merasa diri lebih hebat.
Mereka justru makin hati-hati bertindak karena pengetahuan telah menjadi dasar
mereka melakukan sesuatu. Tradisi berpendidikan dibangun dengan susah payah
pada awalnya tetapi sekarang mereka sudah mendapatkan buahnya. Masing-masing
anak akan melestarikan tradisi itu ke anak-anak mereka, dalam keluarga-keluarga
yang baru dibentuk.
Sebaliknya
keluarga Seng. Selepas sekolah menengah atas, mereka akan selesai sampai di
sana. Seng Tong memberi modal secukupnya bagi tiap anak yang baru menyelesaikan
sekolah menengah atasnya. Ia ingin mereka mandiri di usia yang muda, secara
ekonomi. Ia memiliki pemahaman sendiri tentang hidup.
“Apa pun
bisa dibeli, termasuk perempuan, kalau kita mempunyai uang untuk menebus,”
begitu kata Seng Tong kepada ketiga anaknya.
Istrinya,
Seng Nio, menyetujui sikap suaminya. Tampak benar mereka memang berjodoh satu
sama lain sebagai suami istri. Hong Tjay sudah membangun rumahnya sendiri, yang
besar dan luas, dari bisnisnya yang berkembang, ketika ibunya baru lulus kuliah
ekonomi. Hong Tjay meminta orangtuanya untuk meminang ibunya untuknya. Seperti
ayahnya, Hong Tjay berpikiran bahwa perjanjian di masa lalu belum berubah. Dia
tidak menyadari ibunya sudah berpacaran dengan pilihannya sendiri di kampusnya,
yaitu ayahnya sekarang.
Dengan
sopan Kungkung dan Popo menjelaskan keadaan putri mereka kepada keluarga Seng.
Bahwa anak itu sudah berpacaran dengan pilihannya sendiri.
“Ternyata
kita tak bisa menentukan jauh-jauh hari apa yang terbaik buat anak-anak kita.
Mereka bertumbuh dewasa dan tahu menentukan apa yang terbaik buat mereka,” kata
Kungkung dan Popo kepada keluarga Seng.
Sepertinya
keluarga Seng bisa juga menerima keadaan itu. Mereka menyadari bahwa kedekatan
mereka pun sudah berubah, kalau saja mereka mau jujur mengatakan itu. Perasaan
Seng kepada keluarga sahabatnya itu tak berubah tetapi ia merasa bahwa ada
sesuatu yang lain di antara mereka ketika mereka berbicara. Cara mereka makan dan
berpakaian sudah menunjukkan itu semua. Tak bisa dipungkiri. Seperti bayi-bayi
yang dilahirkan memiliki kesamaan dalam banyak hal. Tetapi ketika mereka tumbuh
besar tampaklah perbedaan karakter masing-masing anak.
Tetapi
Hong Tjay tidak terima kenyataan itu. Ia kebakaran jenggot karena calon pasangannya
itu ternyata sudah punya tambatan hati. Rupanya Hong Tjay diam-diam menaruh
hati kepada putri sulung sahabat orangtuanya itu. Siapa yang tidak tertarik
melihat perempuan muda yang merekah indah seperti bunga di pagi hari, cantik
dan pintar di sekolah, namun tak melupakan dapur. Dari kejauhan dia
memperhatikan perempuan itu dengan rasa bangga, dan bermimpi dengan muluknya,
bahwa dari rahim perempuan muda akan melahirkan anak-anaknya. Ia membayangkan
hidupnya akan dipenuhi dengan kebahagiaan. Perempuan itu akan mudah
mencintainya. Kalau perempuan akan pintar dan cantik seperti ibunya, kalau
laki-laki akan mewarisi kekayaan ayahnya. Begitu dia berpikir.
Ketika melihat
anaknya marah, Seng Tong pun kebakaran jenggot. Dia termakan rayuan anaknya,
terbakar dengan semangat bahwa bagaimana pun mereka jauh lebih kaya daripada
keluarga itu. Ia tak sekolah agar bisa punya cukup simpanan untuk meminang
calon istrinya yang terpelajar itu. Ia merasa dirinya sepadan, bahkan lebih
dari sekedar anak sekolahan.
“Papa ini
gimana? Masak diam saja diperlakukan begitu oleh mereka. Mereka sudah melanggar
janji. Apa yang bisa diberikan anak sekolahan itu kepada putri sulung mereka? Kalau
aku sudah jelas. Sudah kusiapkan rumah besar dan perabotannya, dia tinggal
masuk. Aku sudah siap mobil untuk mengantarnya ke mana-mana. Sekarang Papa
tagih janji dia!” teriak Hong Tjay meradang.
Termakan
kata-kata anak lelaki sulungnya, Seng Tong menghadap kawan lamanya sekali lagi dan
mengingatkan janji mereka yang dulu. Kungkung dengan senang hati membahas masa
lalu itu, mengakui kekeliruannya karena ternyata ia tidak bisa merawat janji
cita-cita mereka di masa lalu. Ia kemudian membeberkan bahwa yang mereka tidak
perhitungkan adalah bahwa dalamnya hati manusia dan ke mana kaki anak akan
melangkah, siapa yang bisa tahu. Sebagai orangtua mereka hanya bertugas
mengawal dan memberi arahan. Selebihnya anak itu sendiri yang menentukan dan
menjalani keputusannya. Kungkung meminta maaf kepada teman lamanya, tentang
keadaan anak perempuan sulungnya itu.
“Meski
kita tidak jadi mengikat keturunan kita dalam perkawinan, toh kita sudah jadi
saudara selama ini. Tak ada satu pun yang bisa memisahkan atau mengubah
kenyataan itu, Tong,” kata Kungkung.
Seng Tong memahami
keadaan sahabatnya. Ia bahkan menghormati gagasan itu. Kemudian masalah keluarga
ini selesai untuk sementara.
Kungkung
menikahkan putri sulungnya dan calon menantunya, mengirim mereka ke Jakarta,
untuk menghindari kemungkinan terpicunya ketegangan, seandainya mereka terus
tinggal di Bangka. Memang suasana reda mereda. Hong Tjay menikahi perempuan
lain tetapi di dalam hatinya, cinta kepada ibunya telah mengristal menjadi bibit
benci yang tumbuh. Dia bertekad akan mencari keadilan sampai titik darah
terakhir. Dia akan membuat perhitungan
dengan laki-laki saingannya.
Tak lama
Hong Tjay pun memboyong keluarganya ke Jakarta. Kungkung mempunyai firasat itu
bukan pertanda baik untuk putrinya. Ia merasa waswas dan meminta menantunya
agar berhati-hati. Sekarang kedua orangtua tak bisa berbuat apa-apa lagi
kecuali mendoakan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Hong Tjay telah
membulatkan tekadnya. Ia menyusun rencananya sendiri. Bahkan istrinya tak
pernah menyadari hal tersebut. Ia mulai dengan membeli rumah tak jauh dari
rumah orangtuanya. Selama beberapa waktu mereka saling mengunjungi rumah.
Keadaan tenang. Masing-masing melahirkan anak-anak masing-masing dan tak ada
masalah.
Tetapi Hong
Tjay sudah mulai kewalahan menghadapi bisnis di ibukota yang lebih menantang
daripada di kampungnya sendiri. Apalagi dia bekerja sendiri. Istrinya tidak
bisa diajak kompromi soal bisnis karena ia hanya tahu mengurus rumah tangga
saja. Hanya sepuluh tahun ia bertahan dan mulai mengalami kebangkrutan. Ia ditipu
lawan bisnisnya. Hong Tjay sudah berniat membawa keluarganya kembali ke Bangka,
meski dengan tanggungan rasa malu, saat ayahnya menawarkan bantuan.
“Kalau mau
usaha lagi, saya bisa bantu keuangannya, Ko. Pertimbangkan saja dulu. Hubungi
saya kalau sudah siap dengan keputusannya,” kata ayahnya waktu itu.
Tawaran ayahnya
itu sebenarnya membuat ibunya khawatir. Sebagai perempuan, juga ditambah
nasihat ayahnya untuk berhati-hati dengan Hong Tjay, ia lebih senang orang itu
kembali ke Bangka. Bagi ibunya, sedikit saja mereka bersentuhan dengan Hong
Tjay, mereka akan terjerat di sana, selamanya. Tetapi ia pun tidak bisa menahan
suaminya dari berbuat baik hanya karena perasaannya.
Hong Tjay
menerima tawaran sejumlah modal baru dari ayahnya. Ia berusaha bangkit dari
keterpurukannya, tetapi toh kembali tak kuasa menahan badai kedua kali dalam
usahanya. Bisnisnya tak mengalami peningkatan, hanya diam di tempat. Bagi upaya
dagang, itu sama dengan merugi. Sekarang ia tidak bisa membayar hutangnya
kepada orangtua Leo.
“Tidak
usah dipikir soal pengembalian uang itu, Ko. Dalam bisnis kita memang harus
sabar,” ujar ayahnya.
“Kalau
saya pulang ke Bangka waktu itu, nggak jadi brengsek seperti ini,” kata Hong
Tjay kasar.
Sejak itu
Hong Tjay menimpakan hal buruk yang terjadi pada usahanya karena ayahnya. Dia
dituduh sengaja agar membuatnya jatuh. Kali ini Hong Tjay tidak memutuskan
pulang kampung. Dia sudah terlanjur basah di ibukota. Untung menyambung hidup,
dia bekerja menjelma apa saja, mulai dari yang halal, lalu yang sedikit
menyerempet bahaya dengan alasan kepepet, sampai ia mengesampingkan suara
kebenaran dari nuraninya, karena alasan heroik, aku seorang ayah yang
bertanggung jawan karena harus menghidupi keluarga.
Ibunya menawarkan
bantuan lewat istri Hong Tjay. Membayari uang sekolah karena anak itu harus
mengikuti ujian. Membayari biaya dokter dan obat kalau salah satu anak sakit. Sampai
kadang-kadang mengirim beras karena tidak ada lagi makanan di dapur. Lalu
pertolongan itu menjadi semacam kewajiban yang harus dilaksanakan orangtua Leo.
Sekarang mental keluarga itu sudah berubah menjadi, tenang saja, toh keluarga sahabat
akan menolong saat mereka memerlukan bantuan.
Diberi
hati minta jantung itu bukan sekedar peribahasa bagi keluarga Hong Tjay, tetapi
menjadi kenyataan. Tetapi sayangnya mereka kehilangan kesadaran ketika menjadi
seperti itu. Permintaan mereka sudah sampai ke leher, membuat orangtua Leo
sesak dan nyaris kehabisan napas.
“Istri
Hong Tjay ingin menyekolahkan anaknya ke sekolah yang sama seperti kita,” bisik
ibunya kepada suaminya.
Ayahnya
hanya bisa diam. Bibirnya terkatup. Sinar matanya menunjukkan ia sedang
berpikir.
“Kemarin dia
datang dan meminta tolong kita membayarkan uang pangkal sekolah,” kata ibunya
lagi.
Si suami
menatap mata istrinya lekat-lekat, menarik napas panjang dan berkata, “Kita
harus berkata tidak kali ini.”
Meski
tidak mengatakannya si istri setuju juga dengan keputusan suaminya. Ia pun sudah
merasa sesak benar menghadapi keluarga yang mulai sewenang-wenang itu. Mereka
telah mengencangkan pinggang sedemikian rupa sementara keluarga itu hanya
mengucapkan sepatah kata meminta pertolongan.
“Bagaimana
cara kita menolak? Siapa yang akan mengatakan hal ini kepada mereka? Kau kepada
Hong Tjay? Atau aku kepada istrinya?”
“Kita
berdua akan datang ke rumah mereka, mengatakan masalah ini.”
Dan
seperti yang telah diperkirakan mereka berdua, suami istri itu langsung turun
semangatnya. Mereka mengusulkan memasukkan anak mereka ke sekolah yang lebih
terjangkau bagi mereka. Tetapi usul itu diterima sebagai hinaan, menganggap
mereka tidak mampu membiayai sekolah anak mereka.
“Kalau sekedar
memberi nasihat, tak usahlah datang. Kami akan mengusahakan sendiri. Bagaimana
nanti saja. Memang keluarga kami sudah terlalu merepotkan kalian,” jawab Hong
Tjay.
Mereka
memang menyekolah putra sulung mereka ke sekolah lain, tetapi sejak itu Hong
Tjay menunjukkan dirinya setiap hari ke rumah mereka.
“Aku kerja
apa sajalah. Yang penting ada yang kubawa pulang ke rumah,” begitu kata Hong
Tjay.
Keluarga
Hong Tjay menjadi semacam duri dalam daging bagi kedua orangtua Leo. Duri itu
ada dan menusuk mereka dari dalam, tidak bisa dikeluarkan karena duri itu
bergerak bersama darah. Dia ada di sana.
Satu kali Hong
Tjay datang ke rumah mereka seperti biasanya, ayahnya memintanya tinggal untuk
mengantar ibunya yang baru saja beberapa hari melahirkan Dede, ke rumah sakit. Ayahnya
ada rapat dengan rekan bisnisnya dan tidak bisa digantikan.
Hong Tjay
bersikap sopan tetapi menjadi liar pada saat yang disangkanya tepat.
“Kau masih
terlihat cantik walau sudah melahirkan tiga anak,” komentar Hong Tjay sambil
menampakkan senyum penuh arti kepada ibunya.
Ibunya tidak
berkomentar, diam membungkam. Ia tidak menyukai perkataan yang tidak patut diucapkan
ketika suaminya tak ada di rumah.
Lalu
terjadilah peristiwa yang tak terelakkan menjadi takdir bagi hidup mereka.
Mereka bersiap akan berangkat ke rumah sakit membawa bayi kecil. Ibunya
menggendong bayinya, lalu selimut mungil itu meluncur turun karena tak
tersangkut sempurna pada gendongan, ibunya otomatis menunduk untuk menangkap
selimut itu dengan tangan kanannya, sementara Hong Tjay dengan maksud yang
sama, akan menyelematkan selimut itu, tetapi kecelakaanlah yang terjadi. Tangan
kirinya tak sengaja menyentuh payudara ibunya, ditangkis kuat oleh gerak
refleks ibunya, menampar pipi Hong Tjay dengan keras. Setelah itu keduanya
terkejut.
“Apa kau
ini?”
“Jangan
kau coba-coba dengan aku, Hong Tjay. Pergi dari sini sekarang!”
Hong Tjay
terkejut dengan apa yang baru saja terjadi, baru akan menjelaskan keadaannya
tetapi hatinya terlanjur luka. Dia tertolak.
Itulah
yang memisahkan mereka. Hong Tjay tak lagi datang mampir ke rumah itu. Meski
demikian rumah itu pun tak merasa tenang. Hong Tjay terus membayangi keluarga
ini. Mereka mendengar ia sekarang pengedar obat-obat terlarang. Mereka tiap
kali mendengar Hong Tjay berkata, aku begini karena kalian.
Meski
telinganya tak pernah mendengar sesuatu pun yang buruk tentang Hong Tjay kepada
mereka, bagi Leo, orang itu adalah musuh bebuyutan orangtuanya. Satu kali ia
akan turun tangan, menghadapi orang itu, seandainya masih berani mengganggu
orangtuanya. Terutama ibunya.
*
Bersambung ke bagian 6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar