Minggu, 22 Agustus 2010

Daoed Joesoef: RSBI Mengkhianati Janji Soempah Pemuda 1928

Semalam saya berada di acara memperingati setahun berdirinya Soegeng Sarjadi School of Good Government (SSSG), dan menyaksikan penyerahan Soegeng Sarjadi Award on life time achievement, kepada mantan menteri pendidikan di era orde baru, yaitu Pak Daoed Joesoef. Salah satu penerima hadiah yang lain di antaranya adalah Hariman Siregar, tokoh Malari 15 Januari 1974. Malam itu Pak Moh Mahfud MD, Ketum MK, memberi kuliah ringan yang menarik, soal Bernegara adalah Berkonstitusi.

Dalam sepatah dua patah katanya, Pak Daoed menyatakan, bahwa dia dapat menerima award ini karena hati nuraninya menerima (barusan beliau menolak untuk menerima award yang lain). Dan satu ucapan yang menarik perhatian saya, yang menyenangkan saya karena beliau memberi perhatian itu, adalah bahwa pemerintah mengganti departemen pendidikan nasional menjadi kementerian pendidikan nasional, yang menciptakan sekolah-sekolah internasional (RSBI-Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional). Menurut beliau, salah satu persyaratan menjadi sekolah bertaraf internasional ini adalah pemakaian bahasa Inggris sebagai kata pengantarnya. Dan yang saya tahu juga, pengantar bahasa Inggris itu tidak hanya pada pelajaran bahasa Inggris, tetapi juga pelajaran-pelajaran lain, seperti kimia, fisika, dan lain-lain. (Di Jakarta banyak sekolah untuk anak pra-usia sekolah menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar, dengan harapan itu menjadi bahasa ibu kali ya).

Dengan suara bergetar Pak Daoed berkata bahwa gagasan tersebut justru telah mengkhianati janji Soempah Pemuda tahun 1928, yang salah satunya berikrar untuk berbahasa satu yaitu bahasa Indonesia. Sebagai contoh, beliau mengatakan bahwa negara-negara seperti Amerika dan Inggris, maju bukan karena mereka berbahasa Inggris, tetapi karena mereka menguasai ilmu pengetahuan. Jadi, artinya, kalau kita ingin maju BUKAN dengan menjadikan bahasa Inggris sebagai keseharian yang dipaksakan.

Bulan Mei lalu, saya dan teman-teman SMP, satu kelas bereuni. Salah satu acaranya adalah kami mengunjungi sekolah dulu, SMP Negeri 2 Sukabumi. Hati kami tergetar melihat posisi-posisi kelas yang tidak sama seperti dulu, termasuk bahwa sekolah ini sekarang bertaraf internasional. Dan saya bisa memandangi banyaknya kutipan-kutipan bahasa Inggris di dinding dan melayang-layang di atas kepala, lalu di bawah kutipan tersebut adalah nama-nama asing yang saya tidak kenal.

Kok bisa gini ya sekolah saya? Apakah kita kekurangan nama tokoh bangsa sendiri yang mempunyai jasa bagi negeri ini, kenapa nama-nama asing disebutkan di sana? Lalu saya bayangkan rumitnya lidah guru kimia menjelaskan rumus-rumus kimia dalam bahasa Inggris. Kenapa bahkan tidak dengan bahasa Sunda saja, lebih mengena di hati dan pas di ceuli, selain usaha kita merawat bahasa daerah dan percaya diri dengan identitas lokal? Saya memahami persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi sekolah demi mendapat julukan RSBI dan tidak mengurangi kesadaran akan betapa pentingnya bahasa Inggris dalam percaturan dunia. Tapi, kalau generasi baru bangsa ini fasih berbahasa Inggris lalu merasa asing dengan akar dirinya bermuasal, akan ke mana kita ini? Ke mana lagi kita akan mencari Indonesia?

Pak Daoed layak menerima penghargaan itu atas konsistensi nya seumur hidup terhadap pendidikan bangsa ini. Selamat, Pak Daoed. Semoga kegelisahan Bapak cepat terobati oleh keputusan-keputusan berikutnya dari pihak-pihak berwenang, sebelum terlalu terlambat.

Itasiregar, 19 Agustus 2010