Selasa, 28 Juli 2009

Review Buku: Tuhan Agamanya Apa

Miracle Man, Sebuah Novel
Judul asli River Rising
Pengarang Athol Dickson
Penerjemah Slamat P Sinambela
Penerbit Gloria Graffa Yogyakarta
Cetakan I Maret 2009
280 halaman

HALE Poser, seorang pendeta kulit hitam dari kota modern New Orleans, memutuskan pindah ke tempat sepi, Pilotville, daerah rerawa sepanjang sisi sungai Mississipi, negara bagian Louisiana, untuk suatu misi pribadi. Dia tidak keberatan bekerja menjadi pegawai rendahan dari satu rumah sakit khusus orang Negro. Pada waktu itu di rumah sakit, seorang ibu muda hamil tua tengah berjuang untuk melahirkan, begitu kesakitan hingga dokter memutuskan untuk melakukan operasi Caesar. Dorothy, orang yang menerima bekerja di rumah sakit itu, mengajak Hale menengok. Entah apa yang terjadi tapi ketika Hale menyentuh perut si ibu, ibu itu bisa melahirkan secara normal.

Dorothy bertanya-tanya apa yang dilakukan Hale. Hale merasa tidak melakukan apa-apa, hanya berdoa. Di usia dua hari, bayi itu hilang. Seluruh warga –baik kulit hitam dan kulit putih- mencari bayi itu ke kolong tempat tidur rumah sakit sampai ke rawa-rawa. Pencarian yang aneh memang. Tak sengaja Dorothy mengeluh bahwa peristiwa seperti itu pernah terjadi 19 tahun lalu di daerah itu. Di kantor sheriff, Hale menemukan banyak catatan tentang kasus kehilangan tapi tidak pernah diusut tuntas. Karena penasaran, Hale bertekad mencari tahu.

Dengan rakit sederhana ia menyusuri sungai Missisipi hingga telat Meksiko. Selama empat hari ia malah sampai di satu ladang yang luas. Sekelompok orang Negro bekerja di sana sebagai kuli petik pohon kapas. Kondisi para pekerja sangat mengenaskan. Mereka sepertinya sudah tinggal selamanya di sana, tertindas dengan amat sangat sampai-sampai hilang percaya diri, merasa sebagai manusia warga kelas dua yang tidak layak menerima kebaikan apa pun dari hidup ini. Melihat pemandangan itu Hale sungguh prihatin, berusaha menghibur, berkata kepada mereka tentang Tuhan yang sanggup melepaskan manusia dari belenggu apa pun.

“Tapi Dia (Tuhan) kulit putih, kan?” tanya Marah, salah satu pekerja perempuan Negro di tempat itu, bertanya tentang fisik Tuhan (hal 132). Pada masa itu perbedaan status kulit putih dan hitam sangat lebar. Di ladang ini orang kulit putih akan dipanggil bos dan di dalam benak mereka orang kulit putih identik dengan bengis dan pembohong. Hale berkata, “Tidak. Dia bukan kulit putih. Paling tidak bukan hanya kulit putih. Kupikir, Dia berkulit seperti semua warna kulit yang ada.” Marah tidak puas dengan jawaban itu, juga para pekerja. Kalau Tuhan berkulit putih, bagaimana Dia bisa dipercaya? Tapi, bagaimana kalau Tuhan itu berkulit hitam?
Pertanyaan semodel itu mulai dipertanyakan lagi di masa perbudakan tahun 1600-an di daratan Amerika. Pertanyaan dasar yang mempertanyakan keberadaan Tuhan ini, seakan terus berkembang dari masa-ke-masa, dan di masa sekarang, mungkin pertanyaan itu telah menjadi, Tuhan itu agamanya apa? Sejarah umat manusia di muka bumi ini menunjukkan sulit untuk “berbagi Tuhan yang sama” dengan orang-orang yang tidak disukai atau dianggap sebagai musuh.

Kebebasan Sejati
Mengambil setting tahun 1927, Athol mengungkapkan interaksi orang kulit putih, kaum imigran, dan budak-budak Negro yang didatangkan dari Afrika, diperjualbelikan di Amerika, termasuk di Louisiana. Ia membeberkan ambisi orang kulit putih mencari lahan luas untuk menetap, membangun kerajaan kecil mereka, membeli budak-budak untuk dipekerjakan di tanah mereka.

Novel berjudul asli River Rising ini pernah memenangi Christy Award 2006 untuk novel jenis suspense. Buku ini sarat dengan nilai-nilai kekristenan. Dalam ceritanya Athol memanfaatkan keadaan para budak untuk mewakili kerinduan seluruh umat manusia untuk mendapatkan kebebasan sejati. Dalam satu dialog, Athol berhasil memunculkan masalah sederhana umat manusia, yaitu soal kebebasan jiwa manusia yang seringkali dilihat hanya secara kasat mata.

“Kau bilang Yesus ini akan memerdekakan kita di luar sana! Apakah Negro di luar sana benar-benar merdeka?” Pertanyaan yang bersifat fisik. Sementara tokoh dalam buku ini, Hale, menawarkan kebebasan yang jauh lebih bernilai. “Dalam dunia Yesus, kau dapat merdeka dari dalam dirimu sendiri, tak peduli apa pun yang mereka lakukan terhadapmu.” (hal 157). Sungguh menyedihkan bila hidup serba menderita (secara fisik) di dunia fana ini dan tidak paham bahwa kebebasan manusia sejati dimulai dari pikirannya. Bukan dari apa yang tampak. Bukankah di zaman modern ini manusia lebih tertarik memandang kebebasan semu sebagai yang kekal?

Manusia Ajaib
Plot dalam novel ini lurus tak berliku. Jika diibaratkan lagu, maka pada awal bernada rendah, naik sedikit ke tengah, terus meninggi di puncak, kemudian turun perlahan lalu menghilang. Seperti seorang yang ingin memberi petunjuk kepada pencari jejak di hutan lebat, Athol bermurah hati memberi rambu-rambu di setiap sudut hutan, menandai pohon-pohon, memberi fasilitas sehingga si pencari jejak tak mungkin kesasar.

Ada beberapa penjelasan kenapa buku ini diberi judul lain oleh penerbit menjadi Miracle Man. Mungkin karena Hale, yang menjadi tokoh utama dalam cerita ini, tiba-tiba menemukan buah persimmon padahal tidak sedang musim, membuat si ibu hamil tua melahirkan normal, meredakan badai di suatu malam, membuat isi panci selalu penuh sayuran dan daging sehingga para pekerja di ladang kapas itu tak kekurangan makanan saat banjir melanda, meramal akan turun hujan tak berhenti hingga menaikkan air rawa. Judul aslinya, River Rising, menurut saya kurang pas menggambarkan keseluruhan cerita, meski peristiwa hujan tak berhenti yang menyebabkan air pasang dan membubarkan pekerjaan di ladang kapas, seolah menyimbolkan putusnya penindasan di tempat itu.

Seandainya ini adalah cerita wayang, Athol adalah dalang yang baik. Ia mengatur para tokoh dalam ceritanya sesuai dengan kebutuhan, tidak membebaskan mereka sesuai karakternya masing-masing. Tokoh Hale dibuat seperti nabi yang tidak berbuat kesalahan. Tokoh Marah yang selama bertahun-tahun tertindas di ladang kapas, tiba-tiba pintar berbicara tanpa canggung ketika membeberkan rahasia hidupnya.

Buku ini juga menghibur. Dengan jenaka Athol melukiskan ‘persaingan’ dua gereja kulit putih dan khusus Negro, yang jaraknya berdekatan, saling bersaing untuk menyanyi lebih baik, berkotbah lebih baik. Anda akan dibawa pada suasana perkebunan kapas yang luas, berkenalan dengan pepohonan rawa, ‘mendengarkan’ orang-orang Negro bernyanyi merdu. Uniknya, Rokok Lucky Strike juga disebut di buku ini. Saya jadi penasaran, tahun berapa brand itu lahir. Anda akan menemukan kejutan manis gaya Holywood di akhir cerita alasan kenapa Poser pindah ke tempat ini. Atau mungkin Anda takkan lagi terkejut karena telah menangkap rambu-rambu sebelumnya. Selamat menyusur ke masa lalu.

Ita Siregar, 29 Juli 2009

Semalam di Negeri Para Pendatang

Catatan Balikpapan, 13-14 Juli 2009

Saya terlambat! Tiba di bandara Soekarno-Hatta hampir pukul 0500 sementara pesawat akan terbang 0520. Taksi yang saya kendarai agak sulit menurunkan saya karena di tempat sama taksi lain kendaraan pribadi, bis, juga sibuk berhenti menurunkan penumpang dan barang. Waduh! Supir taksi ikut tegang dengan gerakan saya yang tak sabar. Akhirnya dapat tempat.

Saya berlari keluar dari taksi, menempel ke antrian masuk yang sudah panjang, ingin terbang rasanya. Di depan saya dua gadis cilik manis berbahasa Inggris tertawa riang. Hai cantik, tahukah kamu pesawat saya akan terbang 20 menit lagi dan saya masih di luar sini?

Barisan berganti cepat. Saya dorong ransel dan kantong titipan ke lorong scanner, menariknya di ujung sana, persis terdengarnya suara di udara yang mengumumkan bahwa penumpang GA 510 jurusan Jakarta-Balikpapan naik pesawat. Jantung saya mau jatuh.

Saya frustasi melihat antrian 2-5 orang di seluruh deret konter Garuda. Tak mungkin, saya pikir. Saya berlari ke petugas berdasi yang berdiri mengawasi antrian, menunjukkan elektronik tiket sambil mengadu, “Pak, saya ke Balikpapan.” Petugas itu memandang saya, mengambil tiket dari tangan saya, meminta mengikutinya ke satu konter khusus. Petugas itu menyerahkan tiket itu kepada rekannya, berkata sopan bahwa saya akan dibantu. Saya berterimakasih.

Petugas kedua tenang, melihat layar komputernya, meminta kartu identitas saya, mengantar saya ke konter lain, membayar airport-tax, lalu boarding pass di tangan. “Ruang tunggu F1. Langsung naik pesawat ya, Bu!” kata si petugas. Terima kasih, Pak!

Sepuluh menit tersisa menuju terbang. Saya berlari tak berpikir, melangkah di tangga escalator yang sedang berjalan, sampai di lantai dua terdengar lagi suara ‘ancaman’ di udara, panggilan terakhir untuk penumpang GA510. Saya terus berlari, tak sadar di depan saya perempuan berkemeja putih berusaha berlari cepat dengan langkah pendek karena bersepatu tinggi dan roknya lurus rapat. Rambut panjangnya melambai-lambai seperti terbang. Saya berlari melampaui, melewati petugas scanner lagi.

Ruang tunggu F1. Dengan napas pendek saya menunjukkan boarding pass, petugas menempelkan stiker rear row berwarna hijau di sana. Di sayap dua baris penumpang mengantri, bergerak pelan, karena di ujung sana sekali lagi boarding pass di-scan untuk terakhir kalinya dengan hati-hati. Saya berdiri mengantri, pura-pura tak terjadi apa-apa, sadar perempuan berkemeja putih sudah di belakang saya. Terdengar suaranya menyapa beberapa orang. Saya perhatikan wajah-wajah yang familiar dan orang asing. Kebanyakan usia produktif. Beberapa berpakaian santai, beransel, seperti baru bangun dari tidur. Sebagian siap dengan pakaian kerja, kemeja berdasi, setelan lengkap. Beberapa saling kenal. Semuanya tertib menunggu. Kami melewati lorong yang tersambung ke tubuh pesawat.

Pesawat airbus A330 seri 300. Besar dan gemuk. Tempat duduk saya 34F. Baris tengah. Saya keluarkan buku dari ransel sebelum mengangkat dan mendorongnya masuk di kabin. Saya duduk, mengencangkan seat-belt. Di kanan saya laki-laki muda, di kiri saya kosong, lalu seorang asing ukuran Asia yang sangat bule, sampai-sampai alis dan bulu matanya pun bule, putih kering kurang bertemu sinar matahari. Saya menuduhnya orang Prancis. Dia membaca The Jakarta Post, lalu Jakarta Globe, menaruh semuanya di kursi kosong, setelah berbicara kepada pramugari yang melintas di lorong agar ia tidak dibangunkan ketika makanan dibagikan. Lalu dia menutup matanya, tidur. Laki-laki di samping kanan saya bahkan sudah tertidur sebelum saya duduk.

Suara kapten terdengar malas, seksi, seperti baru bangun dari tidur yang nyaman, memenuhi langit-langit kabin. Suaranya berjeda di tempat-tempat yang tidak biasa, mengumumkan status penerbangan, berhenti tak terduga di bagian akhir: semoga Anda menikmati waktu Anda di Balikpapan. Teknik membaca seperti itu mungkin saja malah membuat orang menyimak lebih baik. Lalu mengulang pengumuman sama dalam bahasa Inggris. Kebiasaan saya, memasang telinga baik-baik, mendengarkan crew membaca pengumuman dalam bahasa Inggris, yang terburu-buru, seperti tidak hendak didengarkan. Kata gentleman diucapkan dengan lidah menempel di langit-langit mulut, terdengar seperti cenelmen atau shenelmen. Kalau ada terbang dengan orang yang saya kenal, saya akan membahas fenomena menarik ini. Tapi kapten satu ini mengumumkan dengan saksama dan tenang.

Seorang pramugari membagikan permen. Saya tak ada kesibukan. Majalah Garuda sudah saya baca – dan bawa pulang- dalam perjalanan Jakarta-Surabaya minggu lalu. Akhirnya saya buka buku yang saya bawa: Midnight in the Garden of Good and Evil, karya John Berendt, nonfiksi bergaya jurnalisme sastrawi, yang rinci dan terampil dalam menceritakan beragam tingkah polah manusia di Savannah, negara bagian Georgia di Amerika, gaya bahasa yang sudah dipelopori Truman Capote dalam menulis In Cold Blood yang booming tahun 1950-an, di majalah The New Yorker.

Pesawat mendarat di Bandara Sepinggan pukul 0825. Saya baru sadar nama bandara ini. Sepinggan. Satu pinggan (cup)? Sepinggan, bandara internasional tersibuk kedua dalam hal lalu lintas pesawat setelah bandara Cengkareng Soekarno-Hatta. Artinya bandara dapat disinggahi pesawat udara berbadan lebar, yang datang dan pergi dari dalam negeri maupun luar negeri.

Bertemu Para Pendatang

Matahari katulistiwa menyambut. Panas, kering. Tapi udara bersih dan angin rajin bertiup. Berjalan ke pintu luar, di mulutnya laki-laki muda menyapa, “Mbak Ita ya?” Saya menoleh. Pasti Mang Opay karena di sebelahnya seorang perempuan muda berwajah halus dan bayi Danish yang manis. Kami berkenalan, saya berikan kantong titipan teman untuk mereka, sepupunya. Menawari mengantar, tapi saya bilang sudah dijemput. Kami berpisah.

Pak Rimun, kepala sekolah yang sekolahnya akan disurvei, sudah menunggu. Kami bertelepon untuk saling memberitahu posisi, sampai kami berdiri berhadapan. Sering berbicara di telepon tapi baru kali ini kami bertemu. Dia masih muda, sekitar 40-an, ditemani Pak Evar, guru bahasa Arab, yang lebih muda lagi. Kami menunggu Pak Evar ke tempat parkir, menjemput mobilnya.
Kami bercakap ringan sambil saya tengok kiri-kanan. Jalanan lebar dan mulus, naik turun di tanah yang tidak rata. Tak lama mobil berhenti di depan warung nasi pecel. Kita sarapan dulu, kata Pak Rimun. Saya menurut meski tak lapar. Sepiring nasi dialasi daun pisang, dipenuhi sayuran rebus, ditutup bumbu pecel berwarna merah cabe segar. Dua rempenyek di pinggirnya. Makan nasi pecel di Borneo? Ternyata enak. Nasinya pulen saling lengket. Sayuran kangkung, bayam, kol dimasak tidak terlalu matang, terasa segarnya. Penyek teri kecilnya gurih-renyah, tak begitu asin. Sarapan kedua yang lebih mengesankan.

Pak Rimun, asli Jawa tapi asal Ciamis, merantau ke Balikpapan sejak 1979, jarang mudik meski sering ke Jakarta kalau sedang bertugas. Menurutnya, tidak layak mudik hanya untuk satu dua hari saja. Ketika menerima telepon, terdengar percakapan dalam bahasa Jawa yang medok. Waduh! Pak Evar sendiri putera daerah, asal dari Dayak Pasir tapi dia mengaku hanya sedikit saja paham bahasa daerah karena lama sudah tinggal di Balikpapan.

Kami menuju sekolah, di jalan Soekarno-Hatta kilometer 40. Udara bersih tak berasap. Pemandangan yang menyenangkan. Kendaraan berlalu-lalang ramai tapi tak padat apalagi macet. Rumah-rumah luas tak saling berdempet. Ramai iklan-iklan papan rokok Jarum, Sampoerna Hijau, juga operator telepon 3, Indosat, Telkomsel, tampak di tempat-tempat strategis sejauh mata memandang. Pepohonan hijau di sesekali jalan. Sinar matahari sungguh cemerlang sepagi itu.

Ke luar dari mobil baru terasa udara Balikpapan. Hangat dan berangin. Kami sampai di sekolah. Bangunan sekolah disesuaikan dengan struktur tanah yang tak rata. Kantor yayasan, bangunan SMP, lapangan olahraga berdiri di tanah sejajar jalan, menuruni tangga semen kira-kira sepuluh anak tangga, ada ruang computer, bangunan asrama putri di sisi kiri memanjang, turun tangga lagi tampak bangunan yang sedang diperbaiki, lab bahasa di sisi kanan tangga, turun seundak lagi berdiri ruang guru yang bersatu dengan ruang kepala sekolah, turun sekali lagi merupakan tanah luas yang terdiri dari kelas-kelas SMA bertingkat dua berbentuk huruf U, asrama putra di ujung belakang. Tanah seluruhnya seluas tujuh hektar.

“Di sini guru-guru tak perlu olah raga lagi, ya Pak,” komentar saya sambil memandang ke atas, tangga pertama tadi sudah tak terlihat lagi.

Bersama guru-guru dan pegawai administrasi kami duduk di ruang tamu kepala sekolah, saya menjelaskan program. Saya cukup terpana mendengar penuturan kebanyakan guru ternyata perantau, asli Jawa Barat dan Jawa Tengah, menikah dengan sesama suku atau dengan penduduk asli atau perantau yang lain. Dari tampilan wajah, mereka betah tinggal di tanah air kedua ini, jarang mudik kalau tidak ada peristiwa keluarga yang penting. Balikpapan telah mengikat mereka.

Kira-kira 30 menit pertemuan, Pak Rimun menyudahi. Tujuan berikutnya adalah melihat rumah yang nantinya akan ditinggali tenaga sukarela yang ditugaskan di sekolah ini. Pak Evar tetap memegang kemudi. Kami melihat satu rumah dekat sekolah, lalu satu pavilyun milik ibu haji yang berjarak tak jauh dari sekolah. Ibu Haji yang sudah punya dua cucu ini tampak awet muda, seperti usia 40-an, berdandan rapi meski di rumah, asli Bandung. Dia tertawa lepas ketika saya ajak berbahasa Sunda. Sudah kagok, katanya. Ibu Haji dilamar begitu lulus SMA, diboyong almarhum suami yang pegawai Pertamina. Tiga putrinya sudah bekerja dan menikah, tinggal di Kalimantan. Tidak ada alasan meninggalkan tanah ini. “Sudah cocok dengan air Kalimantan,” ujarnya. Hm, indah sekali.

Kami pamit. Meski ada beberapa kelebihan, kepada Pak Rimun, saya katakan masih kurang sreg dengan dua rumah yang sudah kami lihat. Saya kemukakan alasannya. Pak Rimun mengerti. Pak Evar berjalan memutari kompleks dan tak sengaja kami melihat rumah kosong bertanda ‘dikontrakkan’. Kami memandang rumah berwarna telur asin, halaman yang tak rapi penuh alang tapi lumayan luas. Saya merasa cocok dengan rumah ini. Mungil dan pas. Tampak luar memang tak terpelihara, tapi dengan sedikit perbaikan sedikit, rumah ini akan bersih dan cantik. Pak Rimun menelepon ke nomor yang tertera di pengumuman dikontrakkan. Pemiliknya, Pak Ary, pegawai PEMDA, ternyata baru bisa ketemu untuk melihat isi rumah sekitar pukul 1700, selepas bekerja. Saya setuju.

Tak terasa sudah tengah hari. Kami menyusur jalan, mencoba menemukan cadangan rumah lain tapi belum beruntung. Rasanya perut belum meronta lapar tapi Pak Evar sudah menghentikan mobilnya di halaman rumah makan Makassar yang dipenuhi banner. Resto serba luas berbentuk segiempat yang luas, setengah dinding depan dan belakangnya terbuka, dibatasi kotak-kotak terbuat dari kayu. Saya jadi ingat satu resto di Palembang yang modelnya persis ini. Pandangan mata jadi serba tak terbatas. Fan berputar di atas kepala mengusir udara panas. Angin sejuk masuk dari kotak-kotak kayu. Dinding belakang resto tanah berbukit yang tinggi di kejauhan, lalu rumah-rumah di satu-satu titiknya. Kota yang sehat. Balikpapan tak kekurangan pepohonan hijau.

“Bu Ita, silakan pilih ikan apa,” tawar Pak Rimun sambil kami memandangi kotak freezer berisi ikan segar. Di sebelahnya ada akuarium berisi ikan hidup, kalau-kalau kami mau ingin ikan lebih segar. Saya pilih kakap merah ukuran sedang karena tertarik warna merah mudanya. Pak Rimun dan Pak Evar masing-masing pesan ikan bawal yang lebar penuh daging. Semuanya dibakar. Pak Rimun menambahkan cumi goreng tepung karena dia bilang itu makanan favoritnya di resto ini dan saya harus coba. Saya ingin tumis pakis tapi habis, diganti tumis kangkung campur buncis. Coba es pisang hijau, enak, kata Pak Rimun. Saya tak menolak. Sambil menunggu, kedua bapak shalat dhuhur. Saya memotret perumahan jauh di bukit sana.

Tak lama muncul es pisang hijau. Pisang berbalur hun kwe hijau, di atasnya dilumuri putih santan kental, es serut, lalu sirup berwarna pink. Tampilan yang ceria. Langsung saya potret sebelum mencoba. Pisang padat manis, hunkwe sedikit asin, lalu santan gurih dan es yang manis segar. Wah, penghilang dahaga sempurna!

Menyambut kedua bapak, ikan-ikan bakar tersedia di meja. Masing-masing kami disediakan satu pisin berisi sambal dengan garnish potongan tipis mangga muda, beberapa potong mentimun, dan rebusan daun singkong muda. Tekstur daging kakap merah lembut, dimasak pas sehingga rasa dagingnya manis, dan tidak amis. Saya tidak mau berlebihan, tapi tumis kangkung campur buncis itu benar-benar sedap. Saya pikir ibu haji itu benar, air Kalimantan membuat tanaman tumbuh bugar. Saya pun akan betah di Balikpapan, seandainya ada kesempatan, tentu saja.

Kami mempunyai banyak waktu sampai jam lima nanti. Mentari masih terik tapi angin setia mengipasi. Hawa panas saat pertama masuk mobil terasa sengit, tapi beberapa detik saja, karena mobil melaju hawa segera terganti. Saya kira panas Balikpapan berbeda dari Jakarta. Panas Jakarta akan membuat keringat bercucuran dengan sukarela. Di Balikpapan, meski panas, kurang berkeringat. Apa mungkin karena saya baru beradaptasi dengan udara di sini, saya tidak tahu.

“Bu Ita mau ke hotel dulu atau mau diantar ke pasar kebun buah, melihat pernak-pernik batu-batu?” tawar Pak Rimun. Tawaran yang bagus. Kami bersepakat ke hotel sejenak, menaruh barang, lalu ke pasar pernak-pernik batu.

Hotel Blue Sky, kebanyakan tamunya berhubungan dengan perusahaan minyak Total Indonesie sampai-sampai ada layanan antar-jemput ke dan dari kantor. Hotel hanya berjarak tiga menit berkendara ke pelabuhan dan tempat-tempat penyulingan beberapa perusahaan minyak. Saya minta lantai nonsmoking, di lantai 6, gembira karena dinding kaca kamar di sebrang sana tampak rumah-rumah berjarak di pebukitan yang tinggi.

Pasar kebun buah tak jauh dari hotel, lebih dekat dari pelabuhan. Pasar ini tak jauh beda seperti Pasar Beringharjo di Yogya, Pasar Klewer Solo atau pasar Ubud di Bali. Menjual hasil kerajinan penduduk setempat. Seluruh pasar berisi toko-toko batu-batu puluhan warna, asli dan tiruan, kerajinan Kalimantan tas, topi, kain, pakaian daerah, perisai kayu, senjata tiruan, tinggal pilih saja. Jejamu terbuat dari berbagai jenis kayu berkhasiat obat, minyak antiuban, sampai ramuan sarirapet, ada di sini.

Para penjual ramah. Mereka senang mengeluarkan koleksi yang ingin saya lihat dan cepat tanggap, memberi tahu saya jenis dan nama-nama batu, tidak terdengar seperti propaganda. Saya bertanya perbedaan batu tiruan dan asli, cara pembuatan batu bulat, atau dibuat segi-segi yang menurut mereka untuk mengeluarkan kilau batu lebih banyak. Mereka menjelaskan lebih dari yang saya ingin tahu, tapi tak ingin tahu saya dari mana.

Akhirnya saya berhenti di satu toko, penjualnya gadis Cina berwajah panjang, berkulit mulus, dan gigih menerangkan berbagai kelebihan batu di toko. Saya baik-baik mendengarkan penjelasannya, mengambil batu contoh yang disebutkan, terus bicara tak berjeda. Untuk mengakhirinya, saya beli sekitar 15 gelang berbagai jenis batu warna. Mata kucing yang berwarna pecah cokelat, batu akik pink, hijau, kuning, cokelat kemerahan, ungu kecubung, biru saphir. Dia memberi satu anting hijau sebagai bonus. Saya berterima kasih. Saya masih membeli beberapa gelang di toko lain. Begitu serunya saya melihat-lihat, saya lupa mengambil gambar.
Pak Rimun setia mengantar dari toko ke toko. Dia mengaku bahkan tidak tahu jenis-jenis batu. Pak Evar lebih memilih diam di mobil. Selesai menyusuri pasar buah, kami meluncur, membelah kota, melewati down town kota satelit, perumahan elite, rumah-rumah mewah dan megah. Jalanan aspal mulus dan berwarna hitam tegas, meski naik turun tak rata. Saya percaya kalau seorang teman di Jakarta berkata setiap akhir pekan jalan-jalan besar di Balikpapan dipel. Hm, dengan apa ya? Pak Rimun bilang banyak perumahan elit di Balikpapan dimiliki orang Jakarta. Dia sebutkan nama-nama pejabat, termasuk nama artis yang sekarang sibuk berpolitik.
Kami berhenti di toko yang menjual makanan khas Kalimantan: berbagai jenis amplang kuku macan, yaitu kerupuk ikan berbumbu, kue lidah sapi, lempok durian, keciput (ketan goreng berlumur wijen), kue satu. Saya beli beberapa jenis, dibungkus menjadi satu kardus rapi, menutupnya dengan sampul merek toko tersebut, sebagai promosi bila saya menentengnya.
Kami kembali ke lokasi kompleks rumah yang akan kami lihat lagi. Jauh juga kami sudah berjalan. Pak Rimun masih semangat menjelaskan ini dan itu. Sebelum bertemu pemilik rumah, Pak Ary, kedua bapak melaksanakan shalat di mesjid di dalam kompleks perumahan. Mesjid besar berwarna putih, bersih, terlihat dirawat bersama. Seorang laki-laki muda masuk dan shalat di belakang kedua bapak. Saya duduk menunggu sambil mengamati arsitektur mesjid yang tegap.

Kami menyelesaikan tugas hari itu setelah bertemu Pak Ary, bertanya dengan teliti soal kondisi dan fasilitas rumah. Pemilik rumah ternyata asli Semarang, perantau yang menjadi pegawai negeri, betah di tanah orang, tak tahu kapan berkesempatan ke Semarang. Akhirnya kami sampai pada kata sepakat.

Badan penat rasanya. Apa yang kami perlukan sudah selesai. Kedua bapak mengantar saya ke hotel. Sampai jumpa besok, selamat beristirahat, kata Pak Rimun. Saya berterimakasih sekali lagi.

Saya mandi, mengirim teks kepada sepupu saya, akan mampir sebentar lagi. Saya menelepon concierge bertanya taksi. Taksi Mawar, taksi argo yang tidak berkeliaran mencari penumpang di jalanan. Siapa perlu taksi, tinggal telepon, Pul taksi ada di delapan wilayah di seluruh Balikpapan. Tak akan menunggu terlalu lama bila memesan.

Perumahan Bukit Jeruk, tempat tinggal sepupu saya, perumahan Pertamina yang disewakan kepada perusahaan minyak lain, dekat bandara. Sekitar 30 menit dari hotel. Kompleks dikelilingi pepohonan, dijaga keamanan di depan, melewati jalan padang golf yang luas, kolam renang, berbagai fasilitas olah raga dan tanah serba luas. Rumah-rumah tak berpagar, lebih tinggi dari jalan. Di depan rumah-rumah memanjang parkir mobil yang terbuka luas, hanya beratap untuk melindungi kendaraan dari panas dan hujan. Rumah-rumah beratap tinggi, bangunan lama, tapi masih tampak kuat. Jendela-jendela berkaca besar sepanjang dinding, mengesankan ramah dan serba terbuka. Taksi berhenti di rumah nomor 6. Saya menaiki tangga semen di kiri-kanan rerumputan dan tanaman pot.

Dari kaca jendela luar saya lihat sepupu saya tertidur dengan koran di tangan, sementara televisi di ujung sana menyala. Saya ketuk pelan kaca di dekatnya. Dia terjaga, segera bangkit untuk membuka pintu yang tidak dikunci.

“Diantar siapa?” tanyanya.

“Taksi,” jawab saya.

“Wah, seharusnya saya jemput saja,” katanya.

Saya diajak berkeliling melihat sudut-sudut rumah. Pertama kali mengunjunginya, setelah enam tahun dia pindah ke Balikpapan. Halaman belakang rumah memanjang, dengan padang rumput hijau, bersambung dengan sembilan rumah lain, dipakai untuk menjemur pakaian, tempat ngobrol sore hari, di atas tanah tinggi di belakang tampak tembok yang berbatas lapangan golf.
Kami ngobrol keluarga. Kami dekat sejak remaja, menghadapi masalah keluarga besar yang itu-itu saja. Ketika menikah, saya jadi teman pendampingnya. Ayahnya, Tulang saya, adik ibu saya, meninggal Kamis minggu lalu, jadi kami baru bertemu di Jakarta dalam acara adat hingga ke penguburan. Panjang cerita yang kami obrolkan, tak habis-habis. Ketiga jagoan, belum tidur karena menunggu ibunya, bolak-balik mendekat ke arah kami. Ayah mereka sedang ada urusan di Bandung. Baiklah, kalian sudah ngantuk ya? Akhirnya kami kelarkan obrolan, hampir pukul 2400. Mereka mengawal ibunya mengantar saya ke hotel.

Sepupu saya memakai jalan memutar untuk memperlihatkan saya kantornya, yang menghadap ke laut. Jalanan sepi sudah. Dia terus menginjak gas, meluncur kencang, menjelaskan perumahan karyawan Pertamina, yang dulu dibangun sebanyak 3000 rumah, terpakai sekitar seribu, sisanya disewakan ke perusahaan minyak lain atau dibiarkan kosong. Kompleks yang sangat luas, menempati tanah rimbun seperti hutan kecil. Di sepanjang pelabuhan kami melihat lampu-lampu, tabung-tabung tempat penyulingan yang super besar, kapal-kapal minyak yang mengambang di laut. Lengang dan damai.

Sampai di hotel. Saya turun dari mobil. Wah, bakal lama lagi kita bertemu, sayang. Kami berpisah. Hotel sudah sepi tapi seorang penjaga di depan pintu menyambut kedatangan saya.
Saya masuk kamar, masih menikmati pemandangan malam dari kaca jendela. Senyap. Hanya lampu-lampu rumah penduduk di ujung sana, yang menempati bukit, indah dengan titik-titik lampu yang tak beraturan dari bawah sampai ke tanah bagian atas. Mungkin di dalamnya juga para pendatang yang tertidur setelah seharian letih bekerja. Tidur, tidurlah, Balikpapan yang ramah.

Saya naik tempat tidur, menyalakan televisi, ada gambar Leonardo Di Caprio dan Kate Winslet tengah berjuang untuk hidup dari kapal Titanic yang pecah dan siap tenggelam. Menonton tragedi itu berulang-ulang. Laut Atlantik yang dingin. Pemain musik yang tak gentar mengantar ke kematian. Entah kapan saya terlelap.

Baliklah Papan Itu

Nama Balikpapan kurang jelas asal muasal dan maknanya. F. Valenijn, yang menulis buku tentang Balikpapan tahun 1724, menyebut kemungkinan berawal dari desa bernama Bilipapan di hulu sungai di sebuah teluk tiga mil dari dari pantai, setelah melewati proses pengucapan, kemudian disebut Teluk Balikpapan.

Satu versi lain dari tahun 1739. Sultan Mumammad Idris dari Kerajaan Kutai memerintahkan kepada pemukim di sepanjang teluk Balikpapan untuk menyumbang bahan bangunan berupa 1000 lembar papan untuk pembangunan istana baru. Lembaran papan diikat menjadi sebuah rakit, dibawa ke Kutai lama sepanjang pantai. Setibanya di sana, 10 keping papan terlepas, ditemukan timbul jauh di daerah Jenebora. Dari peristiwa itu, dalam istilah bahasa Kutai ‘Baliklah papan itu” atau papan yang kembali karena tidak mau ikut disumbangkan.

Legenda lain dari suku Pasir Balik atau Suku Pasir Kuleng yang bermukin di pantai teluk Balikpapan, mereka keturunan kakek-nenek bernama Kayun Kuleng dan Papan Ayun. Oleh kampung nelayan sekitar Teluk diberi nama Kuleng Papan atau Balik Papan.

Kota Balikpapan sendiri lahir tahun 10 Februari 1897, ditetapkan dalam sejarah kota Balikpapan , disesuaikan dengan ditemukannya sumur minyak oleh Perusahaan Mathilda, dan dilakukan pengeboran pertama hasil kerjasama J.H. Menten dan Mr. Adam dari Firma Samuel and Co. Sejak itu kota yang tadinya sepi ini menjadi diminati orang luar kota, baik dari Kalimantan sendiri, Sulawesi dan Jawa.

Keragaman etnis di kota ini terbina baik karena adanya faktor akulturasi budaya, tidak ada domoninasi suku tertentu, baik suku asli Kalimantan maupun pendatang, direkatkan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi antar masyarakat, menjadikan kota ini strategis dan kondusif, didukung kebersamaan masyarakatnya. Tanggal 21 Januari 1960 permulaan berdirinya pemerintahan Kotamadya Balikpapan.

Keesokan pagi, saya bersantai di sekitar hotel. Dari resto saya lihat angin bertiup kencang, awan gelap. Tapi tak lama matahari muncul dengan semangat. Saya pergi ke pasar kebun buah untuk memotret. Pak Rimun, selain Pak Evar, juga ada Pak Jakaria, asli orang Dayak Pasir, menjemput pukul 1100.

Mereka melewatkan saya ke Pelabuhan Semayang, yang saya lihat semalam, kini tampak lebih jelas. Tabung-tabung penyulingan yang gemuk-besar, lautan dengan sumur-sumur minyak, kapal-kapal pengangkut. Kami singgah di Klandasan, tempat berderet rumah makan ikan laut segar, untuk makan siang. Orang Balikpapan belum makan kalau belum makan ikan, kata Pak Rimun.

Mereka yang makan kebanyakan orang kantoran karena di sekitar itu banyak kantor swasta dan pemerintah. Saya dan Pak Jaka pesan ikan bawal gendut. Pak Rimun dan Pak Evar berbagi ikan panjang yang saya lupa namanya. Sambalnya seperti di rumah makan Makassar namun tanpa potongan mangga muda. Makan siang yang bersemangat. Saya berkeringat.
Kami mesti bergegas. Pesawat saya terbang dua jam ke depan. Bandara tak pernah sepi orang. Banyak orang lalu-lalang membawa kardus oleh-oleh seperti yang saya bawa, besar tapi ringan. Saya menyalami ketiga bapak, mengucapkan terima kasih untuk sambutan hangat dan kerjasama yang baik. Di pesawat saya minta satu cangkir teh panas, terhibur dengan tawaran es krim seorang pramugara berwajah ramah. Saya membaca buku sebentar, kemudian melewatkan tidur siang yang panjang di udara. Sampai Jakarta.

Itasiregar, 14 Juli 2009

Rabu, 08 Juli 2009

Proses Kreatif Catatan Perjalanan

Proses Kreatif Catatan Perjalanan
Untuk Milis Apresiasi Sastra (yang sedang mengadakan lomba menulis catatan perjalanan)

Saya hobi mencatat. Mencatat apa saja. Peristiwa diam, benda bergerak, peljenis polah manusia, emosi. Setiapnya berpotensi didaur ulang dalam bentuk cerita sehingga menjadi hidup dan nyata. Hal-hal sederhana remeh-temeh berbicara banyak kepada saya. Dan saya berusaha memberi makna pada pelbagai kejadian di dunia sekeliling saya. Yang menyenangkan atau tidak. Yang pahit atau tidak. Setiap perihal saya kira layak dicatat. Menjadi memoir. Menjadi saksi diam nan abadi. Semua tersimpan baik dalam catatan saya.

Catatan tentang manusia adalah paling paripurna. Emosi tak terduga menarik dijadikan pelajaran. Saya suka mendengar, tertarik cara orang berpikir, menyampaikan sesuatu. Diluar kebiasaan saya. Keluhan, kemarahan, kepedihan, kegagalan manusia, semua mesti dirayakan sedikitnya dalam bentuk catatan. Hidup tak mungkin salah.

Model pertama kali saya lihat mencatat adalah almarhum ayah saya. Dia pasti menulis, menekuri buku catatan hariannya setiap pagi. Ketika beliau meninggal, saya – kami – membaca tumpukan agendanya dengan beragam rasa. Dia menulis waktu dia kesal kepada almarhum ibu saya. Dia mencatat ketika dia berjalan kaki ke pasar, bertemu teman, dan membicarakan satu hal yang aneh menurut saya. Kami jadi tahu beberapa rahasianya setelah itu.

Saya juga gemar jalan-jalan. Kembali ke tempat yang sama, berkunjung ke tempat baru, sama menariknya. Tidak pernah ada yang persis sama. Selalu ada yang baru. Meskipun sudah puluhan kali saya melihat, takkan bosan mengamati.

Saya bisa menikmati jalanan macet. Saya sering mengagumi hujan. Saya mudah mencintai daun dan bunga. Saya merasai kehidupan. Saat terbang dengan pesawat pagi menjelang siang, saya bisa sangat terpesona mengagumi cahaya matahari yang kuning terang cemerlang, memberi kesan mewah pada formasi awan-gemawan, yang bergerak cepat tertiup angin, kadang diam malas di tempatnya. Tuhan pastilah sangat indah. Kreativitas yang sungguh cerdas. Tiba-tiba mata saya sudah mengembang air melihat bayi cantik yang tertawa polos memberi semangat kepada ibunya yang lelah. Terlalu banyak yang musti dicatat. Hanya saja waktu tak pernah kunjung memanjang ketika saya kehabisan menit mencatat.

Pertama kali menulis catatan perjalanan di milis Apresiasi Sastra, saya kira, adalah waktu saya nunut seorang etnolog Jerman ke Sidihoni, danau di atas danau Toba. Sekitar Mei 2005. Sigit Susanto mengumumkan di milis dan saya menanggapi bersedia. Saya cuti dari kantor. Kami bertemu di rumah seorang kenalan baru di Medan, lalu memulai perjalanan ke Tuk Tuk, menginap di hotel Carolina yang murah tapi bagus dan strategis, memutari pulau Samosir dengan sedikit teliti. Christine Schreiber, etnolog itu, yang sudah lebih lima dari belas tahun bolak-balik Jerman-Sidihoni, dan menulis secara lengkap tentang budaya dan manusia Batak, menjelaskan kepada kami pengetahuannya tentang kuburan-kuburan orang Batak, rumah, tanah, gunung, kopi, makanan lokal, penenun, lokasi, dan yang paling menarik adalah penelitiannya tentang danau Sidihoni dari masa ke masa, dalam rentang waktu yang panjang. Kami berbicara dalam tiga bahasa. Jerman, Inggris, Indonesia. Ini pengalaman yang menarik. Total perjalanan kami adalah enam hari. Sebagian dari catatan ini diminta seorang teman untuk diterbitkan di satu harian tempatnya bekerja.

Setelah itu saya menulis ke milis ini pengalaman berjalan di lorong-lorong Little India, Johor Bahru, Melaka, Kualatrengganu. Lalu setiap kali festival Ubud. Catatan-catatan diskusi buku, pertemuan dengan tokoh atau seseorang baru, perjalanan dengan bis, kereta, feri, kapal, pesawat, jalan kaki gulung-menggulung dalam kalimat.

Selama perjalanan saya mencatat di buku notes kata kunci yang ingin saya ingat waktu menulis. Sudah lama saya tak bisa lagi menulis lengkap di atas kertas. Harus duduk di depan komputer. Ada rasa tuntas. Jadi kalau dunia ini kembali ke zaman purba, saya akan benar-benar sulit menulis. (Karenanya saya kagum kepada Sanie B. Kuncoro, cerpenis yang dikenal dari majalah Anita, yang menulis cerpen-cerpen atau cerita bersambungnya dengan tangan di atas kertas folio, sampai sekarang).

Setelah kembali di Jakarta, barulah saya menulis kronologis semua. Foto dan gambar yang saya ambil menolong untuk mengingat. Di depan komputer, semua percakapan yang ingin saya ingat, pengamatan yang ingin saya tulis, bermunculan begitu saja di kepala. Saya tinggal merangkai kata saja, memperbaikinya setiap kali sehingga enak dibaca.

Setelah itu saya mencatat untuk saya biarkan dibaca lebih banyak orang. Saya mulai belajar untuk memperhatikan keutuhan cerita. Tak bisa hanya menulis simbol-simbol yang hanya saya sendiri dan Tuhan yang tahu, tidak boleh lagi ada potongan kalimat tak selesai, perlu sedikit benang merah dengan peristiwa lain kalau ingin membahas hal di luar konteks, perlu dijelaskan sehingga pembaca tidak meraba-raba kemungkinannya. Menulis di ranah publik, satu kali akan ada orang membaca dan menanggapi catatan yang kita buat, membandingkan dengan pengalamannya sendiri. Itu memberi semangat dan pengalaman yang berbeda, selain kita dapat menemukan sesuatu dalam tulisan kita yang hanya bisa dilihat orang lain. Artinya lain waktu, kita akan mempertajam apa yang dianggap orang lain kelebihan kita, mengurangi apa yang pembaca pikir terlalu berlebihan.

Beberapa teman bilang tulisan saya detail. Mungkin juga. Tapi yang sebenarnya saya mencatat satu peristiwa dengan begitu rupa sehingga terlihat lengkap. Padahal di peristiwa lain dalam waktu berdekatan saya tidak menuliskannya. Jadi sebenarnya masih banyak yang tertinggal dalam sebuah cerita.

Kebanyakan catatan saya bersifat personal. Saya jarang ketika menulis dengan sendirinya keluar dari diri sendiri. Kecuali ketika berfiksi. Saya melamun-lamun. Berusaha masuk ke dalam diri orang lain, merasa dengan cara lain, bertanya dari orang lain, lalu menuliskannya. Dalam sebuah catatan, saya menulis berdasar hasil penglihatan, pendengaran, perasa, yang berkelindan dengan pengalaman saya membaca, menulis sebelumnya.

Menulis catatan terus berproses di dalam diri saya. Saya membaca catatan perjalanan orang lain. Menikmati pengalaman mereka dan ikut memberi komentar. Sudah pasti ada yang dipetik dalam satu buku. Di satu festival Ubud ada sesi travel writing, sayangnya saya tidak ikut. Tapi dari sana saya paham bahwa menulis perjalanan adalah sebuah keterampilan yang semakin baik bila terus dipertajam.

Pengalaman menulis catatan perjalanan bisa mengantar seseorang menjadi candu dan akhirnya berprofesi serius sebagai pencatat. Buku Lonely Planet yang terkenal seantero dunia adalah contoh ekstrem. Buku yang menjadi Alkitab para backpacker dunia ini bermula dari pasangan Tony & Maureen Wheeler yang tahun 1972 melakukan perjalanan keliling dunia selama setahun. Demi keinginan mereka sendiri. Cerita mereka mendorong orang-orang dari belahan dunia mana pun pergi ke tempat-tempat sama dan bertanya ini-itu kalau ke sini-ke sana. Kenyataan itu menyadarkan pasangan Wheeler bahwa para pelancong perlu sejenis panduan perjalanan. Dari sana mereka mendirikan Lonely Planet Publication yang sekarang berkantor di tiga benua, dengan 400 pegawai, 250 penulis, dan sudah lebih dari 600 judul diterbitkan dengan penjualan lebih dari enam juta eksemplar per tahun.

Jangan terprovokasi dengan angka-angka yang mereka buat. Nikmati saja perjalanan kita, amati sebaik-baiknya apa yang kita lihat dan rasa, lalu menulislah dengan bahasa yang baik. Beri makna dan nilai pada tulisan kita dan biarkan orang lain mengambil manfaat darinya. Mari kita rayakan setiap peristiwa. Selamat menulis catatan perjalanan.

Ita Siregar, 7 Juli 2009