Sabtu, 06 Juni 2015

Tangan Kiri Tuhan (Cerber #8)



PEMATANG SIANTAR

Ke Aceh 
Burung besi akan menerbangkan Leo Suwandi di udara selama dua jam, dari Jakarta ke Medan. Siang nanti ia dijadwalkan bertemu orang-orang penting di perusahaan yang meminangnya bekerja di sana. Mereka sudah menanti kehadirannya.
Segalanya terasa baru baginya. Dua hari lalu sampai empat tahun sebelumnya, dia masih berjalan bersama orang-orang yang berbicara dalam bahasa yang paling indah di dunia, di kota paling romantis sedunia.
Seperti komputer yang sedang membuka catatan-catatan pengalaman masa lalu di Sumatera Utara, perasaan girang dan masygul bergantian menampakkan diri. Peristiwa demi peristiwa muncul seperti deretan film. 
Sekarang ia di ruang tunggu bandara, menunggu panggilan petugas mempersilakan penumbang naik pesawat. Ia tak suka membaca dalam situasi seperti ini. Kegiatan yang disukainya di tempat seperti ini hanyalah duduk, mungkin dengan secangkir teh atau segelas cokelat panas di tangan, mengawati orang berlalu-lalang, yang menekuni urusannya sendiri. Ia memandangi mereka diam-diam dengan gerak leher yang luwes, karena dia merasa harus bertindak sopan dalam hal ini, agar orang tak menangkap matanya yang celamitan ingin tahu.
Ia sungguh terhibur hanya dengan memandangi laki-laki dan perempuan dan anak-anak tampil seadanya, dengan gerak tertentu dan ekspresi biasa-bosan-kesal-cemberut-manyun-menyebalkan-bersemangat menempel pada wajah mereka.
Sering sekali ia berpikir orang-orang itu adalah dirinya sendiri. Ia paham orang lain pun bisa memperhatikan dirinya seperti ia mengawasi mereka sekarang, dan memberi penilaian. Terkadang ia tersenyum dalam hati memperhatikan gerak lucu atau saraf ingin tahunya naik menunggu bagaimana orang menyelesaikan persoalannya saat itu. Karena itu saraf-saraf di tubuhnya bisa merileks atau menegang. Ia akan berpura-pura melengoskan kepalanya ke arah lain agar tak kendara dia sedang mengamati. Tetapi begitu dia kembali, adegan sudah berganti atau hilang sama sekali, dan hatinya merasa tertinggal. Akan ke mana semua orang ini?
Orang berada di bandar udara untuk maksud pergi ke satu destinasi. Tiket sudah di tangan sebagai syarat terjadinya kepindahan itu. Kemungkinan yang ada setelah itu adalah, apakah destinasi yang dituju nantinya akan akan membuatnya lebih bahagia dari keadaan sekarang? Tak satu pun tahu kedalaman rasa seseorang. Tak satu mengira apakah penampilan wajah itulah yang ada di hatinya. Apakah orang-orang ini akan bahagia dengan kepergian itu atau tidak? Pertanyaan itu juga dia tujukan kepada dirinya sendiri.  
Ketika dia masih bersama orangtua, ia tak memikirkan destinasi. Ia menuruti apa yang diperintahkan untuk diikuti. Bertahun-tahun sekolah, ia pergi dari rumah ke sekolah, dari sekolah ke rumah. Pada akhir pekan, ke restoran untuk makan malam bersama. Pada kali libur, ia ke rumah saudara atau ke luar negeri. Ia tak perlu mengkhawatirkan ke mana mereka pergi. Tubuhnya menurut saja karena ia mempercayai orangtuanya. Orangtua takkan membawa anak-anaknya ke tempat yang berbahaya. Mereka akan memastikan tempat tujuan itu sesuatu yang menyenangkan dan baik untuk anaknya.
Setelah dewasa, tiap kali ia akan bergerak, dia sendiri harus menimbang, apakah betul destinasi itu yang ingin ditujunya? Apakah keputusan itu akan membawanya pada harapan yang ingin dikejarnya.
Medan. Medan bukan kota yang asing baginya. Ketika ia dan teman-temannya aktif menggerakkan kelompok-kelompok di kampung-kampung sekitar Sumatera Utara, ia juga melintas ke kota ini. Ketika sekolah di Kuala Lumpur, tiap libur semester dia berada di bandara Polonia, naik bus ke Siantar, atau dijemput kawan-kawan seperjuangannya. Medan seharusnya tidak lagi asing baginya, seperti dirinya bagi kota itu. 
Ingatannya pada kota ini membuatnya serndu. Ketegasan dan kekerasan hati penduduknya, sedikit banyak sesuai dengan caranya. Penampilan yang teguh dan keras kepala di luar tetapi hati yang mudah jatuh di dalam, juga mendekati karakternya. Penduduk Medan bukan sedang bertingkah kasar atau tidak sopan. Tetapi, begitulah mereka.  
Di bandara, ia dijemput kawan yang ditemuinya ketika di satu tempat ia duduk memandangi rumput dan domba-domba di desa kecil itu. Sebenarnya ia tak suka diperlakukan seperti itu tetapi temannya mendesak. Di kantor, ia memperkenalkan Leo kepada seluruh pegawai sebagai Manager Baru urusan hubungan keluar, yang kekuasaannya setara Pengambil Keputusan Tertinggi di sana. Suara Leo akan turut menentukan satu tindakan atau keputusan kantor.  
Leo tidak terlalu terkesan dengan perkenalan yang kedengarannya hebat itu. Ia pun tak terlalu peduli di mana dia duduk, bentuk kursi yang akan dia duduki, arah pintu masuk ke ruangannya, kendaraan yang akan dia pakai. Dia belum melakukan apa-apa jadi belum terbukti apakah dia mampu bekerja seperti yang dikatakan oleh kawannya saat memperkenalkan tadi. Perasaan mampu tak sama dengan kenyataan di lapangan. Keberhasilan manusia ditandai dengan pekerjaan kecil yang sudah dikerjakan tangannya bukan dengan rencana besar yang masih dalam angannya.
Perusahaan dengan cepat menyerahkan berkas-berkas menjadi gunung di meja kerja Leo. Gunung itulah sebanyak persoalan yang mereka miliki terkait tanah dan masyarakat lokal. Bukan dibiarkan dengan sengaja tetapi seperti menunggu ratu adil yang berhadapan dengan tetua adat, pejabat lokal, pemilik tanah, menyelesaikan persoalan, bukan tambah memperpanjang urusan. Reputasi Leo memotivasi gerakan akar rumput dan keberanian menjawab gertakan level penguasa serta kemurnian semangat mudanya, dianggap sesuai untuk pekerjaan ini. Dia bisa menjadi jembatan dan panutan. Jangan menganggap enteng kemudaan seseorang. Sekali ia bertekad apa pun dia berikan kecuali satu pertimbangan.
Leo tak suka membuang waktu. Ia dengan cepat memetakan posisi perusahaan dan keseluruhan masalah yang dihadapinya. Dengan segera pula ia merencanakan tindakan pemulihan. Perkebunan luas milik perusahaan membentang dari Aceh, Medan, Sibolga, Nias, Padang, Pekanbaru.   
Ia akan mulai dengan Aceh, daerah yang menurutnya genting. Penduduk dan tanah mereka dikenal keras dan liat. Pemerintah dibuat terpontang-panting melakukan upaya damai dengan mereka. Ia belum tahu apa yang akan dia lakukan tetapi ia punya keyakinan itu di dalam dirinya. 
“Pekan depan saya ke Aceh,” kata Leo setelah dua minggu menelisik gunung persoalan. 
“Kamu perlu seorang untuk mendampingi ke sana.”
“Tak perlu. Saya hanya perlu kendaraan yang bisa diandalkan.”
“Untuk mengarahkan jalan?”
“Saya akan tahu.”
“Atau didampingi aparat sehingga ...?”
“Tidak. Tujuan saya berbicara dengan mereka. Bukan menjelaskan posisi kita. Saya akan mendengarkan mereka, dari situ, kita tahu apa yang harus kita lakukan.”
“Mereka biasanya  ... .”
“Ya, saya mengerti.”
Perusahaan menyiapkan kendaraan Land Cruizer untuk perjalanan itu. Sekali lagi Leo memeriksa kondisi mobil, ban, radio dan tape, sabuk pengaman, kunci sentral, dan semua mesin berfungsi baik. Ia menepuk tubuh mobil dengan satu kekuatan tertentu seolah berkata bahwa ia mempercayainya dan agar ia mendampinginya sampai di lokasi dan dapat diandalkan. Dia memang memutuskan berangkat sendirian tetapi sama sekali tak berniat melakukan perjalanan konyol yang membahayakan dirinya.
Bila mobil ini mengecewakan pada perjalanan pertama ini, maka itu adalah kebersamaan mereka yang pertama dan terakhir. Ia ingin segala sesuatu yang bersatu dengan dirinya, memiliki kualitas yang sedikitnya sama. Memiliki ketahanan dan dapat diandalkan. Ia tak ingin menyerahkan diri kepada sesuatu yang tak dikenalnya, tak diyakininya. Sekarang dirinya telah mempercayai mobil putih itu, sepenuhnya. Ia tahu tiap kali instingnya benar. 
Ia tersenyum mengingat romantisme yang ia miliki atas barang-barang yang dimilikinya. Di tangannya, barang bertahan dalam kondisi baik sampai masa pengabdiannya selesai. Seperti manusia, ia yakin benda memiliki masa aktif dan istirahat. Tak selamanya barang yang ada padanya, akan selalu ada. Saat memiliki barang, pada saat sama ia merasa tidak memiliki barang itu. Barang itu bukan miliknya, tetapi milik dirinya sendiri. Manusia memperoleh izin menggunakan barang itu sampai ia menentukan nasibnya sendiri: mati.  
Aceh adalah Serambi Mekkah. Tanahnya kaya, alam dan airnya memberi kehidupan. dan tanah, berkah dari Yang Mahakuasa, yang bila dikelola sebaik-baiknya oleh tangan manusia-manusia berhati lurus, akan mengembalikan kepada anak-anak yang lahir di atasnya, menjadi sejahtera. Namun , manusia seringkali keliru menempatkan diri bila ia pada posisi tertentu, mengira diri lebih berhak mendapat lebih banyak daripada yang seharusnya. Berpikir Alam Semesta tak bermata tak bertelinga, berpikir segala sesuatu akan berjalan seperti pikirannya, yang sesat. Manusia akan menjadi manusia bila dia berlaku sebagai manusia atau tubuhnya manusia tetapi jiwanya binatang.  
Leo memandang dirinya. Ia berkulit terang dan rambutnya lurus. Orang yang akan dia temui berkulit gelap dan berambut ikal. Bahasa mereka beda. Keyakinan mungkin tak sama. Tetapi ia tak khawatir dengan perbedaan itu. Ia percaya manusia sejati memiliki keluhuran budi dan kejernihan hati yang berprinsip sama.
Ia sudah menghubungi orang kontak perusahaan di sana. Dia percaya orang itu akan tahu apa yang harus dilakukan.
*
Hampir pukul delapan malam ia meninggalkan rumah kontrakannya. Ia akan melewati jalan lintas timur trans Sumatra. Pertama menuju Tebing Tinggi, Binjai, lalu Stabat, Pangkalan Brandan, Langsa, dan berakhir di Lhok Seumawe. Perjalanan 900 km ini akan ditempuhnya selama 12 jam. Dia menyiapkan diri dengan beberapa botol air minum dan makanan kecil dan rokok. Ia merasa kekuatannya penuh. Seluruh tubuhnya siap melakukan perjalanan panjang ini. Kesadaran dirinya berada dalam puncak terbaiknya.  
Mobilnya berlari dengan kecepatan 100 km per jam. Tiba di luar batas kota, ia menambah kecepatan ke angka 120 bahkan 140 km. Meski mobil melesat seperti terbang tetapi tubuhnya tetap tenang. Ia menguasai kemudi sambil mendengarkan lagu-lagu tahun 80-an yang disukainya. Ia mengunci seluruh lunci mobil dan merasa aman. Saat-saat seperti ini ia sering menyadari bahwa dirinya ternyata seorang soliter, yang menyukai kesendirian, tanpa memerlukan pertimbangan orang lain.  
Melewati perkampungan ia masih melihat lampu-lampu yang menyala suram dari rumah-rumah sederhana penduduk. Saat tak ada lagi secercah cahaya, dia memastikan di kiri-kanan jalan hanyalah deretan pepohonan belum bernama, tanah keras yang membukit, atau jurang yang dalam.
Kendaraan lain mulai sepi melintas. Sesekali mobilnya berpapasan dengan kendaraaan atau truk atau motor. Terkadang pengemudi sopan membunyikan klakson saat mereka berdekatan, seakan berkata: hati-hati menyetir, dan Leo akan membalas dengan klakson, menjawab, terimakasih.
Lautan kegelapan dan keheningan tiba pada puncaknya. Matanya tak bisa lagi menatap dahan atau pepohonan, hanya akan terpaku pada selurus jalan yang dibuka lampu sorot mobilnya. Tangan bekerja akan mengikuti lekuk-lekuk jalan, sepenuhnya ia tergantung pada cahaya penunjuk jalan.
Ia dan mobilnya sendirian meluncur, tenang. Suara musik di mobilnya ia biarkan seperti berbisik. Angin malam di luar sana pasti lebih dingin menusuk karena ia bisa merasakannya sampai di dalam mobil, tanpa penyejuk udara tetapi terasa sejuk. Jaket yang memeluk tubuhnya lekat sampai leher. Ia menikmati keadaan betul-betul sendirian meluncur dalam ketidakpastian membelah malam. Hatinya bersih dan tak bersyak wasangka. 
Pukul dua pagi dia tiba di wilayah Gayo. Peta yang dia bawa sepertinya memberitahukan keberadaan itu. Hutan Leuseur adalah belantara yang dilindungi pemerintah. Jalanan kecil dan rusak, berkelok-kelok naik turun. Sore pukul enam pun suasana gelap-gulita.
Ia menjadi awas karena sekonyong-konyong di belakangnya ada mobil, sepertinya Kijang Innova. Instingnya mengatakan mobil itu mengejarnya. Untuk membuktikannya ia harus menguji. Ia memperlambat laju kendaraan, mobil di belakangnya mengikuti, berjalan lebih pelan. Saat itulah dia tahu mobil itu memburunya.
Mau bermain denganku, ayo! hatinya mengeras. Ia tancap gas, kekuatan mobilnya melesat seperti setan. Kedua mobil tidak siap dengan tindakan itu, berlari mengikuti berlari. Leo harus siapa karena bagaimana pun mereka sudah tahu medan sementara dia masih meraba-raba. Mereka pun menyetir sampai mobil terdengar mendecit.
Pada satu tikungan, salah satu mobil tiba-tiba muncul dari balik kegelapan ke jalan, lalu satu jendela terbula dan salah seorang melempar jangkar dengan kecepatan kilat. Otomatis Leo menginjak gas, tetapi salah ujung jangkar bercabang empat dan ujung-ujungnya diganduli besi itu, mengenai kaca mobil depan kanan, retak. Leo lega karena mobilnya tak tertangkap. Jangkar yang biasanya diikat ke pohon itu, terlepas. Tetapi kalau sampai terjadi jangkar itu mengurung mobil yang dijeratnya, mobil akan terguling masuk perangkap.
Setelah terbebas, kakinya terus menginjak gas dan tak beranjak dari sana. Ketika harus membelok ke kiri atau kanan di jalanan kecil itu, ia membanting setir dengan ban belakang. Begitulah kebiasaan yang dia tahu dari para sopir trans Sumatra yang terkenal kelincahannya melewati jalan berkelok di tepi-tepi jurang.
Matanya melirik speedo meter menunjukkan angka 160 km. Seketika telinganya bisa mendengar decit suara ban. Kesadarannya penuh dan matanya berwaspada, tetapi kepalanya dingin. Dalam beberapa menit ia menunggu kemudian ia memastikan mereka tak mungkin menyusulnya.
*
Fajar belum merekah ketika ia tiba di satu desa. Masih sepi. Ia membuka jendela mobil, udara dingin menusuk, berhembus masuk. Langsung ia tutup kembali. Pintu-pintu rumah masih tertutup. Tidak ada gerakan atau tanda-tanda kehidupan. Dia memperlambat laju sambil melihat ke kiri-kanan. Dia merasa perlu beristirahat sejenak, sekedar mengumpulkan kekuatannya dengan segelas teh panas.
Pada satu jalan, berjarak lima meter darinya, ia melihat seseorang sedang membuka tutup warung sederhana. Melihat itu ia gembira. Ia berhenti dekat warung, laki-laki itu berdiri menatap mobilnya, menunggu. Leo mematikan lampu sorot, mesin mobil, lalu ia turun, meregangkan tubuhnya. 
“Pagi, Pak.”
Laki-laki itu berwajah gelap, hampir tidak bisa dikenali gurat-gurat pada wajahnya. Ia berdiri enggan, tak menjawab.
“Saya menuju ke Takengon. Masih jauh dari sini?”
“Tidak lagi. Satu jam dari sini.”
“Ada teh di warung ini?”
“Ya. Tapi kami belum merebus air.”
“Saya perlu teh panas, bisa? Saya akan menunggu,” kata Leo dengan suara lunak.
Laki-laki itu mengangguk, kemudian pergi, cepat kembali dengan bangku kayu panjang dan ditaruhnya di depan mulut warung. Leo tetap berdiri, menggerakkan tubuhnya, mengeluarkan rokok putih dari sakunya. Dia memantik pemantiknya, mengisap rokok dengan nikmatnya.
“Dari mana?” tanya laki-laki itu.
“Siantar.”
Laki-laki itu mengangguk, kemudian menghilang lebih lama. Harum teh lebih dulu muncul baru laki-laki-laki itu. Ia membayangkan kesegaran teh akan menghangatkan jantungnya yang kedinginan. Ia menghirup aroma teh ke dalam dirinya, meniup asap sekilas kemudian memonyongkan mulutnya, menyeruput airnya dengan nikmat, membasahi bibirnya yang nyaris beku dalam AC mobil. Laki-laki itu memperhatikan gerak-gerik Leo tanpa suara.
“Sudah lama tidak hujan, Pak?” Leo bisa merasakan dari debu di sepatunya.
“Ya, lama sekali. Adik mau ke mana?”
“Takengon.”
“Menengok keluarga?”
“Bukan, urusan pekerjaan.”
Lelaki itu bukan jenis orang yang terlalu ingin tahu. Mereka mengobrol cuaca tapi itu pun sekedarnya saja. Selesai mengisap tiga rokok putih, ia pamit. Ia tertegun mendengar laki-laki itu menyebut lima ratus sebagai biaya segelas teh panas panas yang nikmat. Ia menyerahkan uang lima ribu, menunggu kembalian, dan berterima kasih. Sebenarnya ia ingin laki-laki itu menyimpan sisa uang tetapi khawatir tindakannya akan membangkitkan harga dirinya teracam. Dia tak ingin jadi pahlawan kesiangan. Laki-laki itu sudah melihat kaca depan kanan mobil yang retak tetapi tidak tertarik bertanya. Leo pun tak merasa perlu menjelaskan. Dia pamit sekali lagi dengan bunyi klaksonnya.
“Hati-hati,” ia mendengar suara bersahabat dari laki-laki itu.
Leo membunyikan klakson sekali lagi.
Sejam kemudian seorang bocah kurus berwajah gembira dengan sigap memberitahu rumah Haji Abdullah, rumah ketua adat, tempat pertemuan mereka saat itu. Senang melihat anak pintar itu, Leo menawarkan sekotak susu cokelat dan sebungkus Oreo kepadanya. Bocah itu tak malu-malu menerima pemberian Leo, mengucapkan terimakasih sambil berlari menjauh.
Tepat pukul 7 ia berbelok dan matanya melihat beberapa orang berdiri di depan satu rumah. Pasti itulah rumah yang dimaksud si bocah. Sekitar 30 orang berdiri berkelompok-kelompok. Di depannya tersedia kursi-kursi plastik seperti acara khitanan.
Mereka sudah siap membicarakan masalah lahan 20 hektar mereka, batin Leo. Ia memarkir mobilnya dalam jarak tatap pandang mereka, di tempat yang menurutnya aman, sambil ia berpikir-pikir kata apa yang pertama kali akan diucapkannya nanti. Assalamualaikum, batinnya pasti.
Dia melirik sekilas ke kaca spion sebelum turun dari mobil. Ia melangkah dan berusaha mengingat lagi bagaimana mengucapkan assamualaikum dengan benar. Tetapi ketika ia mengangkat wajahnya, seseorang sedang berjalan ke arahnya dengan langkah lebar.
Seketika ia merasa terselamatkan karena itu pastilah Syarif, orang kontak perusahaan yang sudah dia telepon beberapa waktu lalu.  Ia mengenakan baju koko tipis berwarna putih pecah. Kumis tipis menghias wajahnya yang berisi dan sehat. Ia masih muda dan cerdas. Senyumnya yang sudah terbit dari kejauhan menunjukkan kesiapannya. 
“Selamat datang di desa kami, Pak Leo. Saya Syarif,” kata orang itu mengulurkan tangannya.
Leo tersenyum, segera menyambut tangan itu, menjabatnya erat sambil menatap kedua mata hitam di depannya. Ia membungkukkan lehernya karena Syarif hanya setinggi dadanya. Genggaman tangan Syarif yang menutup telapak tangannya baik-baik memberinya harapan. Dia suka orang yang berjabat tangan dengan kesungguhan hati seperti itu.
“Saya sudah mengira Pak Leo setinggi ini. Dari suaranya yang besar,” katanya tertawa.
Leo ikut tertawa renyah. Otot-otot tubuhnya makin rileks.
“Jadi hanya sendirian menyetir dari Siantar? Dua belas jam?”
“Iya, Pak.”
“Wah, hebat sekali. Pak Leo sangat awas dan sehat sekali, ya. Sekarang pun masih kelihatan segar. Bagaimana di perjalanan tadi?”
Sembari menunjukkan kaca mobilnya yang retak di sebelah kanan, ia menceritakan ia mulai dibuntuti dua mobil ketika memasuki Gayo. Setelah itu kakinya terus menginjak gas dan tetap di gigi satu.
“Mereka cekatan melempar jangkar. Hampir kena saya. Untung saya hantam terus gas,” kata Leo. 
“Kami beberapa kali mendengar berita itu, Pak Leo. Syukurlah Pak Leo selamat.”
Syarif mengajak Leo masuk ke rumah pertemuan. Rumah itu dindingnya terbuat dari papan dan setengahnya seng, juga atapnya. Tak tampak langit-langit, hanya tulang-tulang kayu yang menopang rumah tampak jelas. Bagian dalam rumah tampak terang karena semua lampu menyala. Rumah berbentuk segi empat itu luas dan serba lapang.
Leo menyalami mereka satu per satu sambil menyebutkan namanya dengan jelas. Sesekali ia mengomentari mereka yang ia salami. Akibat tindakan itu, semua yang belum bersalaman dengannya, berdiri, menunggu tangan mereka disalami wakil perusahaan dari Medan itu. Tuan rumah, Haji Abdullah, menyerukan sesuatu ke bagian belakang rumah, setelah itu tak lama piring-piring pisang goreng dan bergelas-gelas kopi panas diedarkan.  
“Enaknya saya panggil apa kepada bapak-bapak ini? Saya tak mau salah memanggil orang. Saya sendiri, bapak-bapak banyak, saya takut dikeroyok,” canda Leo. Semua orang tertawa.
Pagi itu berlangsung santai. Wajah-wajah memperlihatkan senyum. Pemandangan itu membuat Leo melupakan perjalanan malamnya yang berbahaya. Ia tidak merasa letih atau mengantuk padahal semalaman ia terjaga.
Sambil menikmati pisang goreng, ia mendengarkan Syarif berdiri di tengah-tengah mereka, menjelaskan siapa Leo dan maksud kedatangannya. Setelah itu ia mempersilakan Leo menggantikan tugasnya berdiri di depan mereka. Leo menampilkan senyum yang paling segar pagi itu. Ia mendengarkan sambil mengangguk-anggukkan kepalanya meski dia sudah tahu permasalahan mereka dengan perusahaan. Sementara dia masih mencari-cari apa yang akan dia lakukan setelah ini. Jujur dia belum ada sesuatu di kepalanya kecuali ingin mendengar langsung dari warga, apa di dalam hati mereka. Hanya yang dia tahu, pertimbangan terhadap konflik ini adalah bahwa dia perlu menegakkan keadilan dalam beberapa rupa kemungkinan.
“Silakan utarakan uneg-uneg hati bapak-bapak di sini, mumpung saya ada di sini. Saya mendengarkan dan kita akan sama-sama mencari solusi yang baik untuk perusahaan dan Bapak-bapak di sini,” katanya.
Perusahaan telah menggunakan tanah mereka dijadikan perkebunan sejak beberapa tahun lalu. Mereka galau karena berpikir tanah mereka takkan kembali ke tangan mereka karena tanah ulayat itu tak bersurat tak bersertifikat. Kekuatan hukumnya lemah dan mereka tidak punya bukti apa-apa untuk mempertahankan tanah itu. Padahal itulah satu-satunya milik mereka.
Kesimpang-siuran antar mereka tentang masalah ini, juga adanya provokasi dari orang-orang yang ingin mengambil keuntungan dari kekisruhan ini, menambahkan panas hati penduduk. Mereka mengancam menghancurkan ladang dan merusak panen. Selama ini aparat yang didelegasikan tugas –aparat itu sebenarnya adalah juga penduduk lokal, untuk menjaga ladang perkebunan itu selalu memihak kepada pihak perusahaan dan menganggap enteng keresahan warga serta melakukan tindak kekerasan kepada siapa saja yang berani menyerang perkebunan. Suasana panas ini bikin rumit dan panas situasi. 
Setelah itu Syarif memimpin diskusi dan tanya jawab yang ditujukan kepada Leo sebagai wakil perusahaan. Tiba-tiba seorang bapak berdiri dan mendekati Leo, meminta izin mencoba rokok putihnya. Leo tertawa karena dia sedikit waswas dengan gerakan itu. Dengan senang hati dia menaruh dua bungkus rokok putih di atas meja. Setelah itu hampir orang yang ada di sana mencoba rokok itu. Setelah itu mereka tertawa karena mengisap rokok putih itu tidak bermakna apa-apa bagi mereka.
Setelah tiga jam ia merangkum semua hasil pembicaraan dan atas nama perusahaan ia menawarkan mereka bahwa perusahaan akan membuatkan sertifikat, sehingga masing-masing akan memiliki surat resmi kepemilikan atas tanah itu. Mereka setuju dengan usul itu. Selain itu Leo berkata bahwa perusahaan akan menerima tenaga kerja kurang-lebih 70% dari daerah mereka, khusus di perkebunan wilayah mereka. Sebanyak 30% adalah pekerja luar daerah.
Masalah selesai saat itu juga, semua orang senang. Haji Abdullah yang tampaknya biasa berbicara dengan tangan yang bergerak sibuk, mengajak Leo dan semua yang hadir makan siang. Selesai, dia memerintahkan Syarif dan beberapa orang mengantar Leo keliling kampung. Walhasil Leo tinggal di sana selama dua hari karena tak sampai hati menolak permintaan mereka melihat ini dan itu, makan bersama, dan mencicipi banyak warung kopi. Saat itu temannya di perusahaan menelepon untuk memastikan semuanya baik-baik saja. Leo menjawab semuanya baik-baik saja.
Orang-orang kampung menghadiahi segala macam makanan, tas Muslim yang dibuat oleh perempuan-perempuan mereka, senjata rencong yang pegangannya gading gajah yang halus dan keras, kepada Leo. Baginya, itu sebuah kehormatan dan penerimaan yang dalam tak basa-basi dari penduduk asli. Ia melihat itu dan hatinya tergerak, merasa tidak bisa ia menerima semua kebaikan itu. 
Di kantor, ia berbagi pengalaman berkunjung ke Aceh. Semua mendengarkan tidak percaya. Keberhasilan pertama itu membesarkan hati mereka yang mendengar. Pemimpin perusahaan mendukung sepenuhnya apa pun yang diperlukan berikutnya. Leo menyelesaikan masalah perusahaan seperti hantu, kata mereka.
*

Bersambung ke bagian 9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar