Jumat, 18 Desember 2009

Christ The Lord Out of Egypt

Membaca Buku
Christ The Lord Out of Egypt
Sebuah Novel
Oleh Anne Rice
Ballantine Books New York
Cetakan tahun 2005
317 hal + 20 hal komentar pengarang

Dari Mesir Kupanggil Anak-Ku. –Matius 2:15

Kehidupan selebritas selalu menarik untuk dikonsumsi. Cerita Yesus misalnya, tokoh yang seluruh hidupnya kontroversial, banyak ditulis kalangan pro-kontra. Yang pro dengan bukti-buktinya, yang kontra berspekulasi soal hal-hal ajaib yang dilakukan Yesus dan peristiwa kebangkitannya sebagai mitos, mirip cerita dewa-dewi agama-agama kuno pada masyarakat purba.

Di buku suci pengikut Kristus sendiri tidak banyak mencatat kehidupan Yesus, kecuali kelahiran dan sedikit petunjuk di masa kecil dan lebih pada pengalaman sehari-hari Yesus yang intens dengan keduabelas muridnya. Anne Rice, penulis buku ini yang lahir dan dibesarkan secara Katolik Roma, adalah salah satu ilmuwan yang setuju dengan gagasan Yesus sebagai kebenaran, berdasarkan riset panjang yang dilakukan secara pribadi.

Seperti novel fenomenal The Da Vinci Code karangan Dan Brown, detail peristiwa, sejarah, pakaian, makanan, tanaman, yang diperlihatkan dalam novel ini, berdasarkan data akurat. Sedangkan karakter dan alur cerita dibuat imajinatif. Dari referensi yang sangat kaya itulah buku ini menjadi begitu informatif menyoal tradisi keluarga Yahudi, romantisme orang Yahudi kepada Allah (mereka), situasi sosial dan ekonomi masyarakat pada masa itu, kondisi cuaca, profesi tukang kayu, bentuk rumah, keadaan geografis dan tanah, yang memungkinkan semua peristiwa ini terjadi. Itulah ukuran Rice ketika membawa pembacanya berpetualang secara riel ke masa Yesus kecil.

Dari Mesir ke Nazareth
Novel ini berusaha mengungkap apa yang sekiranya terjadi saat Yesus di usia tujuh tahun, dengan mengambil setting perjalanan keluarga besar pulang kampung ke Nazareth, kota kecil di wilayah Yudea, Israel. Ini adalah kali pertama mereka merayakan Paskah di rumah Allah (mereka) di Yerusalem, setelah tujuh tahun tinggal di Mesir. Kerinduan mudik terlaksana setelah berita matinya Raja Herodes, yang memerintahkan membunuh anak usia di bawah dua tahun ketika Yesus lahir dan yang membuat orang tua Yesus (Yusuf dan Maria) melarikan diri ke Mesir.

Nah, dalam perjalanan pulang kampung itulah berbagai peristiwa terurai. Mereka menemui hal-hal sulit. Waktu itu Yerusalem adalah kota panas, pusat konflik politik antara penguasa Romawi dan berbagai lapisan masyarakat Yahudi. Bahkan tepat di hari Paskah terjadi demonstrasi besar-besaran di sekitar bait Allah Yerusalem. Banyak orang sipil terbunuh dalam huru-hara itu. Kota-kota kecil sengaja dibakar. Kekacauan di mana-mana. Penduduk lari kocar-kacir menyelamatkan diri. Kelompok-kelompok bandit menjarahi kampung-kampung. Termasuk di Nazareth, kampung halaman mereka.

Mereka lelah. Yusuf, sebagai kepala keluarga dari 15 anggota keluarga itu, mengambil tanggung jawab yang besar untuk berkorban bagi keluarga. Dia menjadi juru bicara keluarga dan setiap anggota keluarga hormat kepadanya. Ketika tentara Romawi meminta paksa salah satu dari mereka ikut ke kota, laki-laki dewasa di keluarga itu saling mengajukan diri bercerai dari keluarga dan rela menjadi martir.

Masalah internal keluarga berkembang, cara Rice untuk memfokuskan cerita bahwa keluarga ini masih belum memahami kehadiran Yesus di tengah-tengah mereka. Keluarga ini adalah saksi hidup bagaimana Maria hamil, cara Yesus lahir dan peristiwa sebelum dan sesudahnya. Mereka bernostalgia, saling mengingatkan malaikat yang datang kepada Maria yang waktu itu berusia tiga belas tahun, rombongan orang bijak dari Timur, petunjuk bintang, mimpi Yusuf, dan berakhir dengan pelarian mereka ke Mesir malam itu. Dan potongan-potongan cerita itu berhenti kalau Yesus ada di sekitar mereka dan ikut mendengar.

Yesus ingin tahu apa dan siapa dirinya. Ia terus bertanya tapi tak satu pun memberi kepastian. Jawaban itu kemudian muncul dalam satu rekonsiliasi keluarga, antara James dan Yesus, ketika abang tirinya itu mengaku kepada Yesus, bagaimana ia sudah membenci sejak Yesus lahir. Alasannya sederhana dan sangat anak-anak. James iri melihat seluruh perhatian tiba-tiba terpusat kepada adiknya dan sejak kelahiran itu hidup mereka tak berhenti bertanya. (Menurut buku ini, James adalah abang Yesus, selisih enam tahun, anak dari istri pertama Yusuf yang meninggal sebelum bertunangan dengan Maria)

Masa Kecil
Bayangkanlah Yesus sedang bermain, anak yang agak besar menakali dan mengejar. Lalu sambil berlari Yesus berteriak, “Kamu nggak akan sampai ke tujuan!” Eleazar, nama anak itu, jatuh lalu meninggal. Dalam keadaan kampung kacau, Yesus menyelinap masuk ke rumah tempat Eleazar dibaringkan, lalu berbisik, ”Eleazar, bangun!” Seketika Eleazar hidup dan bangun.
Memakai gaya bercerita ‘aku’ dari sudut pandang Yesus kecil, penulis novel berusaha mengungkap emosi dan perasaan Yesus terhadap keluarga, lingkungan, dan dirinya sendiri. Yesus digambarkan anak yang rajin, penuh empati, pintar (bisa berbahasa Yunani, Aram, Ibrani, Latin) dan memiliki keistimewaan khusus untuk anak usianya.

Oleh Philo, guru agamanya, Yesus dianggap sebagai perpustakaan karena bisa menjawab pertanyaan apa saja. Oleh bibinya, Yesus dianggap ‘berisi’ ketika meminta Yesus menyembuhkan pamannya yang sakit. Atau ketika turun salju, Yusuf bertanya, “Kamu tadi berdoa minta salju ya?”

Rice menyusun percakapan-percakapan bernas antara Yesus dan seorang Rabbi yang mengujinya sebelum masuk sekolah.

“Kenapa orang Feniks memotong rambut Samson?” tanya Rabbi dalam bahasa Yunani.
“Bukan orang Feniks, Pak, tapi orang Filistin,” jawab Yesus kecil.

Saya mengagumi Rice yang berhasil menemukan kalimat-kalimat jenius yang diucapkan Yesus kecil ketika ia menjelaskan pernyataan ‘Tuhan adalah tukang kayu seumur hidupnya’.
Sebagai penyeimbang Yesus sebagai bocah manusia, Rice menjelaskan keengganan Yesus menjawab pertanyaan-pertanyaan orang dewasa, ketika pamannya bertanya, “Ada di mana kalimat ‘Ia akan makan dadih dan madu sampai ia tahu menolak yang jahat dan memilih yang baik’?” Yesus kecil menjawab, “Di kitab Yesaya, tapi yang lainnya aku tak ingat.”

Plot berkembang baik. Rice tidak terburu-buru membeberkan kelebihan-kelebihan untuk menarik hati pembaca menyenangi Yesus kecil. Ia telah dengan tekun membangun cerita yang mengemukakan kemungkinan bagaimana anak dengan kualitas manusia dan Allah sekaligus, berpikir dan bertindak. Dengan bijak Rice menggambarkan kesulitan Yusuf dan Maria sebagai orang tua yang ingin melindungi Yesus kecil dari pendapat-pendapat sosial tentang kelahirannya dan mempercayakan Allah sebagai Penanggungjawab atas semua peristiwa ini.

Setelah membaca buku ini, saya merasa dicerahkan dalam memahami catatan di Injil Matius, “Anak itu (Yesus) bertambah besar dan menjadi kuat, penuh hikmat, dan kasih karunia Allah ada pada-Nya’ (Matius 2:40) dan kesan Lukas tentang Maria, “Tetapi Maria menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya” (Lukas 2:16).

Ita Siregar, Desember 2009

Senin, 23 November 2009

Kotak Salju*

KOTAK SALJU
*
BERITA kematian. Sama sempurnanya dengan berita kelahiran. Menggugah pedih yang mendalam atau rasa sukacita yang tinggi. Tapi semuanya biasa saja. Peristiwa-peristiwa itu akan selalu ada dan menjadi bagian tak terpisahkan dalam hidup.

Aku merasa sinis memikirkan itu. Sekaligus lega. Seperti baru saja melahirkan kalimat-kalimat cerdas. Namun setelah itu aku lemas. Karena sebenarnya berita kematian kali ini menimpa rasa sepi tak berujung di relungku.

Yang meninggal adalah: Velutha. V-e-l-u-t-h-a. Vel. Ejaan harus benar karena nama menunjukkan identitas. Aku meyakinkan diri sekali lagi bahwa Vellah yang meninggal. Dia bukan milik dunia ini lagi. Dia telah menjalani hukum alam yang kejam namun memerdekakan. Saraf-saraf tubuhnya berhenti bekerja. Tidak berdaya. Darahnya membeku. Tubuhnya keras membatu.

Aku merinding membayangkan itu. Ke manakah perginya dia? Langsung kepada Tuhan di surga atau ke tempat lain dulu? Masih melayang-layang atau sudah terpisah dari dunia ini? Mengapa dia yang meninggal? Memangnya harus aku? Maksudku, kenapa tidak orang lain saja? Apakah dia bersalah? Tapi orang bersalah pun mesti mati, bukan? Orang bilang orang baik mati muda. Jadi, aku akan mati muda. Tapi apa aku orang baik?

Vel. Sahabatku. Musuhku. Aku tak mungkin tidak mencintainya. Aku juga tak mungkin tidak membencinya. Masing-masing dengan sepenuh hati. Ih, perasaan ini benar-benar membingungkan. Tuhan, aku memang membencinya tapi sama sekali tidak mengharapkan kematiannya secepat ini.

Aku harus menengoknya. Ini penting buatku. Aku ingin rohnya melihatku datang dan menyaksikan perpisahannya dengan dunia ini. Tapi bagaimana kalau roh gentayangan bisa membaca hati manusia? Aku merinding mengingat dia membaca dinding-dinding hatiku. (Keterlaluan, siapa bilang hati mempunyai dinding?)

Dari Ibu, aku tahu Vel meninggal karena kecelakaan ski di Montana, Amerika. Dia sedang berlibur di sana dengan Chacko, tunangannya. Vel kehilangan keseimbangan ketika kereta skinya meluncur tak terkendali, tak tertahankan, tak berpikir, jatuh ke jurang yang dalam. Ia meninggal seketika saat tubuhnya menyentuh dasar jurang. Gravitasi bumi terlalu kuat menghisapnya. Tidak ada darah mengalir. Hanya luka dalam yang mematikan. Sementara Chacko sedang berada di kabin bersama teman-teman prianya, mengobrol, bermain kartu truf sambil minum scotch murni.

Ibu tahu berita itu dari Bunda Riani, Ibunda Vel, saudara kembar Ibu. Mungkin Ibu sudah menambah berita itu sedikit di sana sini, seperti kebiasaan Ibu yang senang berkhayal dengan pikirannya sendiri. Kata Ibu, Chacko stres berat. Nah, berita ini kupikir hanyalah rekayasa Ibu. Sampai sekarang aku tidak bisa percaya kalau laki-laki itu mencintai Vel.

Pesawat carteran telah menerbangkan tubuh mati Vel langsung dari Montana yang dingin. Bunda Riani dan Papa Jodi menunggu dengan gelisah yang aneh. Orangtua yang malang. Vel adalah napas hidup mereka. Anak semata wayang. Putri kebanggaan. Bidadari tercantik yang pernah ada. Mutiara yang tiada duanya. Porselen Cina termahal. Pewaris kekayaan. Semualah itu. Ya Tuhan, aku sinis mengingat sebutan-sebutan itu.

Rasa cinta dan benciku naik turun bagaikan ombak. Di rumah Vel. Bukan karena apa-apa. Tapi karena aku harus melihat wajah Chacko terpampang di mana-mana. Di dinding dekat tangga, di ruang keluarga, di atas piano kesayangan Velutha, di dekat meja makan, di dapur. Di kamar Velutha ada empat foto bermodel Chacko: sedang tertawa sendiri, dengan Vel, dengan Vel-Bunda-Papa, dengan Simba, anjingnya.

Padahal aku mencintai Chacko. Padahal ia cinta terindah yang pernah terjadi padaku. Dan ketika ia memilih Vel, aku galau, karena meski terpisah darinya, tapi ia akan menjadi anggota keluarga besar kami. Menyebalkan sekali mengingat itu.

Sebaliknya Vel selalu menyayangiku. Kemana pun pergi, dia akan membeli satu untuknya satu untukku. Kami memiliki banyak barang dengan model sama namun warna berbeda. Dia senantiasa bertanya keadaanku. Pekerjaanku. Pacar-pacarku. Kesusahanku. Kesenanganku. Dia mengkhawatirkanku lebih daripada pacar-pacar terhebatku sekalipun.

Lamunanku membuyar ketika tubuh mati itu sampai di rumah. Jantungku berdebar kencang, tidak berani mendekat ke peti. Seisi rumah menyambutnya. Lily putih dan mawar merah kesayangan Vel sudah sejak kemarin menghiasi sudut-sudut rumah. Menjadi paduan harum yang aneh menurutku. Jo, pemain piano gereja kami, memainkan partitur-partitur pendek yang terpotong, kadang-kadang menghilang, melengking, lalu berhenti pada satu nada sepi dan jarang terdatangi.

Tamu bergumam ke tamu lainnya. Mereka bilang Vel cantik sekali dengan gaun putih. Wajahnya merah segar. Di kepalanya ada mahkota bunga. Dia seperti putri tidur. Para ahli rias mayat Montana telah melakukan tugasnya dengan baik.

Hatiku tergores melihat Papa Jodi mencium bidadari kecilnya. Lembut dan sunyi. Setelah itu lelaki yang tiba-tiba tampak lebih tua itu mengusap air matanya dengan ujung baju batiknya. Bunda memintaku menuntunnya ke peti. Dia membungkuk untuk mencium gadisnya. Lama dan dramatis. Papa menarik Bunda, khawatir air mata istrinya akan jatuh ke wajah Vel yang sempurna.

“Dia cantik sekali, sayang,” bisik Bunda pelan dan bergetar, kepadaku.

Aku berdiri mematung. Canggung.

“Ciumlah dia selagi dia masih ada di sini,” bisiknya lagi.

Tanganku mengeras ketika dia berusaha menarik lenganku. Bukan tidak ingin menciumnya, Bunda, aku hanya ragu dengan ketulusanku, batinku.

Dengan lembut Bunda menarikku lagi. Aku berdiri di samping peti berukir indah karena terbuat dari kayu terbaik yang pernah ada. Aku takjub karena belum pernah melihatnya secantik itu. Wajahnya berkilau bagai salju diterpa cahaya matahari pagi. Setengah jiwaku melayang mengingat aku akan kehilangan wajah ini selamanya.

Perlahan aku membungkuk, tersenyum haru karena tiba-tiba ketulusan hatiku tumbuh cepat. Aku tidak pernah mencintaimu sebesar ini, Vel, bisikku senang. Kuusap rambut di bagian kiri kupingnya. Kucium keningnya. Wajahnya mengeluarkan kilas harum. Aku seakan melihat bibirnya terangkat, berbisik lembut ke telinga jiwaku, “Aku tahu kau selalu mencintaiku, Chel.” Tangannya merengkuhku lembut. Dia balik mencium keningku. Lama dan takjim. Jiwa kami seperti bersatu.

“Kau tahu juga isi hatiku, Vel. Maafkan aku karena kamu lebih dulu pergi!” bisikku.

Lalu tangan Bunda menyentuhku. Kami duduk saling bertumpu pada tubuh masing-masing. Sekelebat di penglihatanku, Chacko berkacamata hitam, memasuki rumah dengan tenang sambil menjinjing beberapa tas Vel. Dia kelihatan berduka. Penipu!

Aku bertemu dengannya pertama kali ketika training di San Fransisco selama enam minggu. Kami menjadi dekat. Ia selalu ada di sampingku kapan saja. Meski tidak pernah bilang mencintaiku, tapi dari gelagatnya aku percaya ia memperhatikanku. Ketika kembali ke Jakarta, Chacko bertemu Vel. Yang membuatku tidak percaya adalah Chacko berkata bahwa ia jatuh cinta kepada Vel pada pandangan pertama. Vel pun merasakan hal sama. Siapa percaya omong kosong itu? Aku tidak.

“Kau inginkan kekayaannya, Chacko!” tuduhku.

“Kuharap tidak, Rachel,” jawab Chacko tenang.

“Kau akan bosan dengannya.”

“Aku jatuh cinta kepadanya setiap hari, Rachel.”

Tidakkah ia tahu aku mencintainya dengan cinta terbaik yang pernah kupunya? Lalu aku memutuskan ini. Untuk tetap mencintai Chacko dan mulai membenci Vel. Suatu keputusan yang pahit karena aku sadar, menyakiti Vel sama dengan menyakiti diriku.

Akhirnya tubuh mati Vel ditanam dalam-dalam di dalam bumi. Tidak akan ada dia lagi di atas tanah. Hanya warna-warni bunga menandai dia pernah ada di dunia.

Termenung aku duduk di gazebo dekat kolam renang. Masih kudengar tawa cekikikan kami berenang di tengah hari bolong. Bunda memperingatkan kami untuk tidak ngobrol dengan suara keras. Tidak baik untuk gadis, alasannya. Dan biasanya kami akan mengobrol dan tertawa lebih bebas. Gaya kami duduk sudah bermacam cara. Bik Warsih sampai perlu bolak-balik membawakan jus, makanan kecil, makan siang, cola dingin, teh manis hangat, makan malam sampai akhirnya kegelapan mengusir kami. Aku tidak ingat lagi apa saja yang sudah kami bicarakan. Sebenarnya ke mana kalimat-kalimat itu pergi setelah diucapkan?

Tiba-tiba Chacko sudah berdiri di depanku. Ia tersenyum. Senyumnya mengingatkanku waktu kami pertama kali bertemu. Aku diam. Ia duduk di seberangku dengan gerak hati-hati. Tangannya memegang kotak ukiran cantik dan sebuah buku mungil.

“Ini salju dari Vel untukmu,” katanya pelan.

Aku tercekat, mengingat pembicaraan terakhirku dengan Vel di ujung telepon, sebelum keberangkatannya ke Montana.

“Aku akan ke Montana dengan Chack. Kau mau kubawakan apa, Chel?” tanya Vel.

“Salju,” jawabku ngawur.

Chacko mendorong buku mungil berkaver kulit dahan pisang kering itu ke dekatku, sambil berkata, “Vel selalu membicarakanmu. Selalu bangga padamu.”

Kerongkonganku kering.

“Dan aku sudah memutuskan untuk tetap mencintainya, Chel,” ujarnya.

Aku memandangnya. Mata terindah di dunia.

“Tentu saja, Chack. Maafkan aku selama ini,” ujarku pelan.

Ia tersenyum. Senyum terindah di dunia.

“Bolehkah aku mengantarmu ke bandara, mengucapkan selamat jalan tapi kita akan bertemu lagi selamanya?” ucapku tulus.

“Kau baik sekali.”

Lalu ia mengangkat dirinya, meninggalkanku sendiri bersama kotak salju dan buku catatan itu. Tapi aku tidak merasa sunyi.

April 2002
*Cerita pendek, setelah membaca The God of Small Things oleh Arundhati Roy. Catatan: Velutha di buku Roy adalah laki-laki.

Kamis, 12 November 2009

Eat, Pray, Love

Reading a Book
Book Title Eat, Pray, Love
By Elizabeth Gilbert
Publisher Bloomsburry, London
Printed in 2006
349 pages

Known that several weeks ago Julia Roberts (you know who) has visited Bali for a film shooting titled Eat, Pray, Love, based on a book with same title, reminded me that I was given the same book by a good friend about last year.

I remember she shared her experience reading the book, the Italy part, namely when Elizabeth Gilbert (Liz), the writer of this book, went to a city name Naples, her Italian friend suggested her to eat pizzeria in Naples because it sold the best pizza. Given that the best pizza in Italy is from Naples and the best pizza in the world is from Italy, so she ate…the best pizza in the world. What a superstitious! (Remember this part, Amy? Haha..)

Then I started to read this little with tiny font letters book. And I like this it so much. Very simple and lovely. And feminine too. I love the introductory Liz made. She wrote an unpretentious yet personal background why she decided to make a travel to three countries, which is Italy, India, Indonesia, after her misery divorce –and she didn’t understand why she decided that because she was still love her husband-, and also why she put 36 stories aside for each one. It might reflect her originality, in western way.

So this is my notes.

Italy part

Italy is all about food. Liz went to this country because she loved all things about it and she really wanted to learn the language. For that purpose, she by accident met Italian twin brothers whom one of them became her Italian teacher. I admire the way Liz tells stories in funny way, such as when she had absorbed her meal, and she sat happily in a patch of sunbeam on a wooden floor, reading her daily newspaper in Italian, then all at a sudden, a thought came to her, her husband saying: “So this is what you gave up everything for? This is why you gutted our entire life together? For a few stalks of asparagus and an Italian newspaper?” And her answer to that question was: “Yes!”

When accompanied her friend and his friends watching their favorite soccer team, she told a story on how people in Italy is very fanatic with their soccer team to an expression: “We can change our wives, we can change our jobs, our nationalities, and even our religion, but we can never change our team”. She wrote in interesting way why she likes Italian word attraversiamo (let’s cross over); explaining her Italian teacher’s experiencing English term ‘I have been there’. Or playing words such as sex is word for Rome, power for Vatican, achieve for New York, and for Liz herself, always changing, like seek for last week, pleasure for yesterday, devotion for the whole week. Something like that.

India part: Turiya state

Liz proceed to India and most of the time here she lived in an Ashram somewhere. In this part she wrote lots of beautiful spiritual experiences regarding of her deep longing for seeking God. She really has an open-minded heart, worshiped her Guru unconditionally, and gave a good ear to every things suggested.

In the ashram she was given a regular job, scrubbing the marble floor every day, where she met with Tulsi, a poor Indian girl who was adapted and taken care by the ashram, and she got amazed to what the girl’s dream after been living in this quiet place, that she doesn’t want to marry to anyone and that she really wanted to go to Hawaii. She revealed her truly desperate on chanting the 182 verses of Gurugita chant, which is written in impenetrable Sanskrit, but experienced a spiritual hit after tried to keep doing it many times, that she incredibly found a way to chant the complete verses, all at once, and amazed on how she could have benefit from doing it.

My favorite part is when she wrote about the core of meditation into simple thoughts and shared her personal experiences doing it. The most brilliant one for me is when she was assigned to be a Key Hostess, person in charge to take care hundreds of people coming from all the world to have a retreat in that ashram. She explained about the goal of the retreat, that is turiya state, the fourth level of human consciousness, a state of constant bliss, which is not affected by the swinging moods of the mind, nor fearful of time, or harmed by loss. What a state!

Indonesia part: Wayan and Ketut: reflections of Bali

Going to Bali is her second time. She came back here because of her obsession to a statement said by a Balinese healer who gave her a ten-minute of palm-reading, saying that she will come to Bali again and live with his family. To her surprise, after meeting him for the second time he was hardly recognize her. But she made herself happy all the time.

She made a refresh friendship with a young Javanese who was pitiably deported from the USA after the black September even though he has married to an American woman. And in her four months living in Ubud gave her such an understanding to what is really going on with the country. She saw there was no other way than to agree on bribing in immigration office so that she could obtain her four-month visa. And from her friendship with Wayan, a medicine woman, she could see a reflection of Balinese women who have to work hard to make a living for the whole family and have no security guarantee and bargaining power when she could not give a child to her husband. From Ketut Liyer, that familiar Balinese healer, she got another revelation. He kept telling Liz to let her friends in the US come visiting him for a palm-reading because now he is very empty in his bank since the bomb.

Yet in Ubud she found her love.

Ita Siregar, November 2009

Sabtu, 07 November 2009

Aku, Rumah Kita, dan Singapura

Notes 30 Oktober -2 November 2009

Singapura. Rumah tetangga kita. Hanya satu jam empat puluh menit terbang jaraknya dari rumah kita. Tidak jauh dibandingkan bila kau terbang ke Makassar, misalnya. Juga berselisih satu jam waktu dengan kita di Indonesia bagian barat. Tampang mereka pun banyak sama dengan kita: Cina, Melayu, India, bule.

Aku mampir ke sana karena ingin menonton Luna dan Lily, saudara kita, main teater. Tetangga kita itu sedang ada festival khusus untuk penulis dan pembaca. Bapak-ibu mereka mengundang 120 penulis, baik lokal dan dari 22 negara seantero dunia. Berbahagialah kalau kau penulis. Kalian dilayani betul di sini dengan 170 acara menariknya. Tak perlu pontang-panting cari dana karena bapak-ibu mereka bertekad untuk menjadikan kota ini sebagai tempat yang nyaman bagi para penulis. Wow! Ya, tugas seorang penulis seharusnya membaca dan menulis sehingga dari dirinya lahir karya-karya indah dan berkualitas. Menurutku.

Kau tahu, tak banyak orang tersenyum di kota ini. Tak ramah seperti kita yang iseng bertanya apa saja kepada orang baru, meski tak jelas tujuannya. Tapi siang itu, saat tiba di bandaranya, aku merasa seperti pulang.

Bandaranya bagus. Tak kalahlah dengan bandara kita. Kulihat orang-orang tua bekerja. Maksudku manula. Salah satunya kulihat mendorong sederet panjang trolley, yang lain mengeluarkan isi tong sampah. Ada tanda pengenal di saku kiri kemeja mereka. Tidak ada yang tertawa-tawa bergerombol. Apalagi merokok. Menurut Melinda Loe, saudaraku yang sudah sepuluh tahun lebih bekerja dan tinggal di kota ini, bapak-ibu mereka mengharuskan manula bekerja karena kalau tidak akan berakhir di meja judi dan menyusahkan anak dan keluarganya. Alasan yang masuk akal karena apapun alasannya bekerja akan bikin otot dan ingatan tetap sehat.

Seorang gadis berwajah oriental berseragam biru melintas di depanku, berhenti ketika aku menyetopnya, bertanya, “Excuse me, where is the free telephone here?” Dia segera menunjuk tempat yang kumaksud.

Ah, kenapa aku tidak bisa melihat benda itu? Tiga telepon umum menempel di dinding, tertulis free call. Semua pesawat berfungsi. Bersih terawat. Seorang laki-laki sedang menelepon, berhenti sejenak, memberitahu seorang ibu yang terus menerus mencoba memasukkan koin ke pesawat telepon itu.

“This is free call. Free. You just press the number,” katanya. Ibu itu mengerti.

Aku menelepon Melinda, berjanji bertemu di Bugis Station. Perlu waktu empat puluh lima menit dari bandara, katanya.

Aku bertanya kepada petugas, salah satu dari manula tadi, arah stasiun MRT. Dengan sigap ia menjelaskan arah ke terminal T1 yang nanti akan membawaku ke stasiun. Petunjuk waktu listrik yang tergantung di terminal T1 memberitahu kedatangan skytrain dalam hitungan menit. Semua orang berdiri mendekat pintu otomatis ketika di sana tertulis: arr, maksudnya arriving. Teringatlah aku Trans Jakarta di rumah kita. Petunjuk jam sudah tak lagi berfungsi dan pintu-pintu otomatisnya banyak macet. Padahal, baru berapa lama bus way kita itu diresmikan gubernur?

Value life. Responsible to other creature. Kalimat dalam tiga bahasa di plang itu tampaknya dipahami betul oleh tetangga kita ini. Kulirik kiri kanan. Semua calon penumpang berdiri di belakang line kuning. Tentu saja. Mereka membaca, mengerti, percaya saran itu betul, dan mematuhinya. Sederhana saja. Tak perlu berbantah-bantah soal peraturan yang dibuat demi keselamatan. Kau tahu, bahkan kita sering tak percaya dengan peraturan-peraturan yang kita buat sendiri di rumah, bukan? Ada tanda dilarang merokok tapi kita tetap saja tergoda untuk mengepul asap.

Ingatanku melayang kala naik kereta ekonomi Bogor-Jakarta. Kau tahu betapa merananya kereta kita itu. Saudara-saudara kita pelanggan kereta itu mungkin tak pernah memedulikan masalah itu karena tujuan mereka hanyalah cepat sampai tujuan. Beberapa bahkan masuk tanpa membeli tiket karena berpikir banyak orang melakukan hal sama dan petugas kereta bisa disuap kecil-kecilan.

Pantaslah bos-bos kereta itu hanya melaporkan berita yang itu-itu saja: selalu merugi. Aku percaya pengakuan itu. Di samping penumpang yang tak berkarcis, aku pernah lihat seorang pekerja menilap sedikit uang dari tiket-tiket yang dijual. Aku hendak marah tapi mengurung niat setelah melihat tubuhnya yang hampir tak berdaging itu. Mungkin laki-laki baik itu perlu sedikit uang membeli pensil atau cokelat untuk satu dua anaknya di rumah. Berani bertaruh denganku, gajinya tak cukup untuk melewati tiga puluh hari, bahkan dengan nasi dan lauk-pauk sederhana sekalipun. Kenapa ya bapak-ibu kita pura-pura tak cakap menghitung keperluan anak-anaknya selama sebulan? Tidak sadarkah mereka itu seperti memberi jalan anak-anaknya untuk mencuri?

Lalu, cerita ini. Sepanjang kereta bergerak, seorang laki-laki muda berbaju kumal, hitam dan matanya liar, dengan rambut kusut dan tegang tanda tak keramas beberapa hari, berjongkok sambil sesekali menggeser tubuhnya, menyapu sampah yang dibuang penumpang ke lantai-lantai, sampai ke kolong tempat duduk. Pada satu titik ia menghentikan aktivitas itu, menegakkan tubuhnya, memandang wajah penumpang yang terdekat, membuka kedua telapak tangan, lalu jarinya memberi tanda seperti memasukkan sesuatu ke mulutnya.
Dia perlu makan. Meminta sedikit uang. Ia telah menyingkirkan sampah-sampah yang tidak enak dipandang mata, berpikir sekarang cukup layak untuk mendapat upah beberapa rupiah dari jasanya itu. Beberapa memberi, beberapa tidak. Mungkin penumpang pelanggan kereta bukan sekali dua kali melihat ini. Kalau kau penulis, kau mungkin bahkan tak sanggup menuliskan jenis kemanusiaan macam ini.

Tentang itu aku tak bisa berpendapat. Kupikir dia telah melakukan yang benar bagi dirinya. Dia lapar, menyingkirkan segala citra manusia, dan merendahkan dirinya sedemikian rupa untuk meminta jatah makan. Tapi ini tempat umum. Siapa sebetulnya yang harus memberi dia upah setelah menyapu sesampah itu? Kenapa pula kita sembarangan membuang sampah sehingga memberi dia kesempatan bekerja di sana? Ke mana petugas yang seharusnya membersihkan kereta? Berharap pada pemuda kumal itu? Ke mana bapak-ibu kita bersembunyi padahal wajib memberi anak-anaknya makan dan tempat tinggal? Bukanlah seorang anak layak mendapat hal-hal sederhana itu? Sudahlah, sudah.

Kembali ke Singapura. Atas saran Melinda aku beli kartu EZ-link yang bisa kupakai beberapa kali untuk ongkos MRT dan bus. Tunjukkan kartu ini ke mesin scanner, akan berbunyi ‘tet’ bila terbaca, lalu ketika turun, mesin akan langsung memotong sejumlah dolar. Tidak ada asap mengepul-ngepul dari ekor-ekor mobil, bus, motor. Tidak ada bebauan got atau timbunan sampah. Udara bersih seperti wajan what you see is what you get. Tempat minumku penuh karena air kran bisa diminum langsung. Satu kali aku makan siang sendirian di Kampong Malay CafĂ©, aku kagum ketika melihat pemandangan: tiga mobil, satu mobil di depan berhenti entah untuk apa, kucatat hampir satu menit berhenti, dan dua mobil di belakangnya menunggu dengan sangat sabar. Tak bisa kubayangkan ramai klakson menjerit-jerit kalau itu terjadi di kota kita. Belum puas, akan keluar caci maki.

Sudahlah, sudah. Kau tahu aku selalu rindu rumah kita. Betapa pun eloknya dunia di luar sana. Kunjungan empat hariku selesai. Aku akan pulang. Menemani Luna sejenak di bandara karena dalam beberapa jam dia akan meneruskan terbang ke Makassar. Dia tertawa-tawa mendengar pengalaman lucuku bertamu di tetangga kita itu. Sebaliknya dia berkisah, Lily ngambek karena terpaksa mengekornya menyebrang padahal lampu pejalan kaki masih merah. Kau tahu, Sis, mengubah kebiasaan itu sulit loh, kataku.

Kami mendorong trolley untuk mencari tempat asyik untuk duduk mengobrol dan makan.

“Pulang ke arah mana, Bu?” tanya laki-laki berseragam transportasi kepadaku.

Aku menoleh ke arahnya, menjawab, “Tidak ke mana-mana, Pak.”

Kulirik Luna. Ramah banget, kataku. Dia hanya tersenyum. Ah, aku ingat sekarang aku sudah pulang. Sis, ternyata di rumah kita sedang ramai kisah cicak dan buaya ya.

***

Ita Siregar, November 2009

Selasa, 28 Juli 2009

Review Buku: Tuhan Agamanya Apa

Miracle Man, Sebuah Novel
Judul asli River Rising
Pengarang Athol Dickson
Penerjemah Slamat P Sinambela
Penerbit Gloria Graffa Yogyakarta
Cetakan I Maret 2009
280 halaman

HALE Poser, seorang pendeta kulit hitam dari kota modern New Orleans, memutuskan pindah ke tempat sepi, Pilotville, daerah rerawa sepanjang sisi sungai Mississipi, negara bagian Louisiana, untuk suatu misi pribadi. Dia tidak keberatan bekerja menjadi pegawai rendahan dari satu rumah sakit khusus orang Negro. Pada waktu itu di rumah sakit, seorang ibu muda hamil tua tengah berjuang untuk melahirkan, begitu kesakitan hingga dokter memutuskan untuk melakukan operasi Caesar. Dorothy, orang yang menerima bekerja di rumah sakit itu, mengajak Hale menengok. Entah apa yang terjadi tapi ketika Hale menyentuh perut si ibu, ibu itu bisa melahirkan secara normal.

Dorothy bertanya-tanya apa yang dilakukan Hale. Hale merasa tidak melakukan apa-apa, hanya berdoa. Di usia dua hari, bayi itu hilang. Seluruh warga –baik kulit hitam dan kulit putih- mencari bayi itu ke kolong tempat tidur rumah sakit sampai ke rawa-rawa. Pencarian yang aneh memang. Tak sengaja Dorothy mengeluh bahwa peristiwa seperti itu pernah terjadi 19 tahun lalu di daerah itu. Di kantor sheriff, Hale menemukan banyak catatan tentang kasus kehilangan tapi tidak pernah diusut tuntas. Karena penasaran, Hale bertekad mencari tahu.

Dengan rakit sederhana ia menyusuri sungai Missisipi hingga telat Meksiko. Selama empat hari ia malah sampai di satu ladang yang luas. Sekelompok orang Negro bekerja di sana sebagai kuli petik pohon kapas. Kondisi para pekerja sangat mengenaskan. Mereka sepertinya sudah tinggal selamanya di sana, tertindas dengan amat sangat sampai-sampai hilang percaya diri, merasa sebagai manusia warga kelas dua yang tidak layak menerima kebaikan apa pun dari hidup ini. Melihat pemandangan itu Hale sungguh prihatin, berusaha menghibur, berkata kepada mereka tentang Tuhan yang sanggup melepaskan manusia dari belenggu apa pun.

“Tapi Dia (Tuhan) kulit putih, kan?” tanya Marah, salah satu pekerja perempuan Negro di tempat itu, bertanya tentang fisik Tuhan (hal 132). Pada masa itu perbedaan status kulit putih dan hitam sangat lebar. Di ladang ini orang kulit putih akan dipanggil bos dan di dalam benak mereka orang kulit putih identik dengan bengis dan pembohong. Hale berkata, “Tidak. Dia bukan kulit putih. Paling tidak bukan hanya kulit putih. Kupikir, Dia berkulit seperti semua warna kulit yang ada.” Marah tidak puas dengan jawaban itu, juga para pekerja. Kalau Tuhan berkulit putih, bagaimana Dia bisa dipercaya? Tapi, bagaimana kalau Tuhan itu berkulit hitam?
Pertanyaan semodel itu mulai dipertanyakan lagi di masa perbudakan tahun 1600-an di daratan Amerika. Pertanyaan dasar yang mempertanyakan keberadaan Tuhan ini, seakan terus berkembang dari masa-ke-masa, dan di masa sekarang, mungkin pertanyaan itu telah menjadi, Tuhan itu agamanya apa? Sejarah umat manusia di muka bumi ini menunjukkan sulit untuk “berbagi Tuhan yang sama” dengan orang-orang yang tidak disukai atau dianggap sebagai musuh.

Kebebasan Sejati
Mengambil setting tahun 1927, Athol mengungkapkan interaksi orang kulit putih, kaum imigran, dan budak-budak Negro yang didatangkan dari Afrika, diperjualbelikan di Amerika, termasuk di Louisiana. Ia membeberkan ambisi orang kulit putih mencari lahan luas untuk menetap, membangun kerajaan kecil mereka, membeli budak-budak untuk dipekerjakan di tanah mereka.

Novel berjudul asli River Rising ini pernah memenangi Christy Award 2006 untuk novel jenis suspense. Buku ini sarat dengan nilai-nilai kekristenan. Dalam ceritanya Athol memanfaatkan keadaan para budak untuk mewakili kerinduan seluruh umat manusia untuk mendapatkan kebebasan sejati. Dalam satu dialog, Athol berhasil memunculkan masalah sederhana umat manusia, yaitu soal kebebasan jiwa manusia yang seringkali dilihat hanya secara kasat mata.

“Kau bilang Yesus ini akan memerdekakan kita di luar sana! Apakah Negro di luar sana benar-benar merdeka?” Pertanyaan yang bersifat fisik. Sementara tokoh dalam buku ini, Hale, menawarkan kebebasan yang jauh lebih bernilai. “Dalam dunia Yesus, kau dapat merdeka dari dalam dirimu sendiri, tak peduli apa pun yang mereka lakukan terhadapmu.” (hal 157). Sungguh menyedihkan bila hidup serba menderita (secara fisik) di dunia fana ini dan tidak paham bahwa kebebasan manusia sejati dimulai dari pikirannya. Bukan dari apa yang tampak. Bukankah di zaman modern ini manusia lebih tertarik memandang kebebasan semu sebagai yang kekal?

Manusia Ajaib
Plot dalam novel ini lurus tak berliku. Jika diibaratkan lagu, maka pada awal bernada rendah, naik sedikit ke tengah, terus meninggi di puncak, kemudian turun perlahan lalu menghilang. Seperti seorang yang ingin memberi petunjuk kepada pencari jejak di hutan lebat, Athol bermurah hati memberi rambu-rambu di setiap sudut hutan, menandai pohon-pohon, memberi fasilitas sehingga si pencari jejak tak mungkin kesasar.

Ada beberapa penjelasan kenapa buku ini diberi judul lain oleh penerbit menjadi Miracle Man. Mungkin karena Hale, yang menjadi tokoh utama dalam cerita ini, tiba-tiba menemukan buah persimmon padahal tidak sedang musim, membuat si ibu hamil tua melahirkan normal, meredakan badai di suatu malam, membuat isi panci selalu penuh sayuran dan daging sehingga para pekerja di ladang kapas itu tak kekurangan makanan saat banjir melanda, meramal akan turun hujan tak berhenti hingga menaikkan air rawa. Judul aslinya, River Rising, menurut saya kurang pas menggambarkan keseluruhan cerita, meski peristiwa hujan tak berhenti yang menyebabkan air pasang dan membubarkan pekerjaan di ladang kapas, seolah menyimbolkan putusnya penindasan di tempat itu.

Seandainya ini adalah cerita wayang, Athol adalah dalang yang baik. Ia mengatur para tokoh dalam ceritanya sesuai dengan kebutuhan, tidak membebaskan mereka sesuai karakternya masing-masing. Tokoh Hale dibuat seperti nabi yang tidak berbuat kesalahan. Tokoh Marah yang selama bertahun-tahun tertindas di ladang kapas, tiba-tiba pintar berbicara tanpa canggung ketika membeberkan rahasia hidupnya.

Buku ini juga menghibur. Dengan jenaka Athol melukiskan ‘persaingan’ dua gereja kulit putih dan khusus Negro, yang jaraknya berdekatan, saling bersaing untuk menyanyi lebih baik, berkotbah lebih baik. Anda akan dibawa pada suasana perkebunan kapas yang luas, berkenalan dengan pepohonan rawa, ‘mendengarkan’ orang-orang Negro bernyanyi merdu. Uniknya, Rokok Lucky Strike juga disebut di buku ini. Saya jadi penasaran, tahun berapa brand itu lahir. Anda akan menemukan kejutan manis gaya Holywood di akhir cerita alasan kenapa Poser pindah ke tempat ini. Atau mungkin Anda takkan lagi terkejut karena telah menangkap rambu-rambu sebelumnya. Selamat menyusur ke masa lalu.

Ita Siregar, 29 Juli 2009

Semalam di Negeri Para Pendatang

Catatan Balikpapan, 13-14 Juli 2009

Saya terlambat! Tiba di bandara Soekarno-Hatta hampir pukul 0500 sementara pesawat akan terbang 0520. Taksi yang saya kendarai agak sulit menurunkan saya karena di tempat sama taksi lain kendaraan pribadi, bis, juga sibuk berhenti menurunkan penumpang dan barang. Waduh! Supir taksi ikut tegang dengan gerakan saya yang tak sabar. Akhirnya dapat tempat.

Saya berlari keluar dari taksi, menempel ke antrian masuk yang sudah panjang, ingin terbang rasanya. Di depan saya dua gadis cilik manis berbahasa Inggris tertawa riang. Hai cantik, tahukah kamu pesawat saya akan terbang 20 menit lagi dan saya masih di luar sini?

Barisan berganti cepat. Saya dorong ransel dan kantong titipan ke lorong scanner, menariknya di ujung sana, persis terdengarnya suara di udara yang mengumumkan bahwa penumpang GA 510 jurusan Jakarta-Balikpapan naik pesawat. Jantung saya mau jatuh.

Saya frustasi melihat antrian 2-5 orang di seluruh deret konter Garuda. Tak mungkin, saya pikir. Saya berlari ke petugas berdasi yang berdiri mengawasi antrian, menunjukkan elektronik tiket sambil mengadu, “Pak, saya ke Balikpapan.” Petugas itu memandang saya, mengambil tiket dari tangan saya, meminta mengikutinya ke satu konter khusus. Petugas itu menyerahkan tiket itu kepada rekannya, berkata sopan bahwa saya akan dibantu. Saya berterimakasih.

Petugas kedua tenang, melihat layar komputernya, meminta kartu identitas saya, mengantar saya ke konter lain, membayar airport-tax, lalu boarding pass di tangan. “Ruang tunggu F1. Langsung naik pesawat ya, Bu!” kata si petugas. Terima kasih, Pak!

Sepuluh menit tersisa menuju terbang. Saya berlari tak berpikir, melangkah di tangga escalator yang sedang berjalan, sampai di lantai dua terdengar lagi suara ‘ancaman’ di udara, panggilan terakhir untuk penumpang GA510. Saya terus berlari, tak sadar di depan saya perempuan berkemeja putih berusaha berlari cepat dengan langkah pendek karena bersepatu tinggi dan roknya lurus rapat. Rambut panjangnya melambai-lambai seperti terbang. Saya berlari melampaui, melewati petugas scanner lagi.

Ruang tunggu F1. Dengan napas pendek saya menunjukkan boarding pass, petugas menempelkan stiker rear row berwarna hijau di sana. Di sayap dua baris penumpang mengantri, bergerak pelan, karena di ujung sana sekali lagi boarding pass di-scan untuk terakhir kalinya dengan hati-hati. Saya berdiri mengantri, pura-pura tak terjadi apa-apa, sadar perempuan berkemeja putih sudah di belakang saya. Terdengar suaranya menyapa beberapa orang. Saya perhatikan wajah-wajah yang familiar dan orang asing. Kebanyakan usia produktif. Beberapa berpakaian santai, beransel, seperti baru bangun dari tidur. Sebagian siap dengan pakaian kerja, kemeja berdasi, setelan lengkap. Beberapa saling kenal. Semuanya tertib menunggu. Kami melewati lorong yang tersambung ke tubuh pesawat.

Pesawat airbus A330 seri 300. Besar dan gemuk. Tempat duduk saya 34F. Baris tengah. Saya keluarkan buku dari ransel sebelum mengangkat dan mendorongnya masuk di kabin. Saya duduk, mengencangkan seat-belt. Di kanan saya laki-laki muda, di kiri saya kosong, lalu seorang asing ukuran Asia yang sangat bule, sampai-sampai alis dan bulu matanya pun bule, putih kering kurang bertemu sinar matahari. Saya menuduhnya orang Prancis. Dia membaca The Jakarta Post, lalu Jakarta Globe, menaruh semuanya di kursi kosong, setelah berbicara kepada pramugari yang melintas di lorong agar ia tidak dibangunkan ketika makanan dibagikan. Lalu dia menutup matanya, tidur. Laki-laki di samping kanan saya bahkan sudah tertidur sebelum saya duduk.

Suara kapten terdengar malas, seksi, seperti baru bangun dari tidur yang nyaman, memenuhi langit-langit kabin. Suaranya berjeda di tempat-tempat yang tidak biasa, mengumumkan status penerbangan, berhenti tak terduga di bagian akhir: semoga Anda menikmati waktu Anda di Balikpapan. Teknik membaca seperti itu mungkin saja malah membuat orang menyimak lebih baik. Lalu mengulang pengumuman sama dalam bahasa Inggris. Kebiasaan saya, memasang telinga baik-baik, mendengarkan crew membaca pengumuman dalam bahasa Inggris, yang terburu-buru, seperti tidak hendak didengarkan. Kata gentleman diucapkan dengan lidah menempel di langit-langit mulut, terdengar seperti cenelmen atau shenelmen. Kalau ada terbang dengan orang yang saya kenal, saya akan membahas fenomena menarik ini. Tapi kapten satu ini mengumumkan dengan saksama dan tenang.

Seorang pramugari membagikan permen. Saya tak ada kesibukan. Majalah Garuda sudah saya baca – dan bawa pulang- dalam perjalanan Jakarta-Surabaya minggu lalu. Akhirnya saya buka buku yang saya bawa: Midnight in the Garden of Good and Evil, karya John Berendt, nonfiksi bergaya jurnalisme sastrawi, yang rinci dan terampil dalam menceritakan beragam tingkah polah manusia di Savannah, negara bagian Georgia di Amerika, gaya bahasa yang sudah dipelopori Truman Capote dalam menulis In Cold Blood yang booming tahun 1950-an, di majalah The New Yorker.

Pesawat mendarat di Bandara Sepinggan pukul 0825. Saya baru sadar nama bandara ini. Sepinggan. Satu pinggan (cup)? Sepinggan, bandara internasional tersibuk kedua dalam hal lalu lintas pesawat setelah bandara Cengkareng Soekarno-Hatta. Artinya bandara dapat disinggahi pesawat udara berbadan lebar, yang datang dan pergi dari dalam negeri maupun luar negeri.

Bertemu Para Pendatang

Matahari katulistiwa menyambut. Panas, kering. Tapi udara bersih dan angin rajin bertiup. Berjalan ke pintu luar, di mulutnya laki-laki muda menyapa, “Mbak Ita ya?” Saya menoleh. Pasti Mang Opay karena di sebelahnya seorang perempuan muda berwajah halus dan bayi Danish yang manis. Kami berkenalan, saya berikan kantong titipan teman untuk mereka, sepupunya. Menawari mengantar, tapi saya bilang sudah dijemput. Kami berpisah.

Pak Rimun, kepala sekolah yang sekolahnya akan disurvei, sudah menunggu. Kami bertelepon untuk saling memberitahu posisi, sampai kami berdiri berhadapan. Sering berbicara di telepon tapi baru kali ini kami bertemu. Dia masih muda, sekitar 40-an, ditemani Pak Evar, guru bahasa Arab, yang lebih muda lagi. Kami menunggu Pak Evar ke tempat parkir, menjemput mobilnya.
Kami bercakap ringan sambil saya tengok kiri-kanan. Jalanan lebar dan mulus, naik turun di tanah yang tidak rata. Tak lama mobil berhenti di depan warung nasi pecel. Kita sarapan dulu, kata Pak Rimun. Saya menurut meski tak lapar. Sepiring nasi dialasi daun pisang, dipenuhi sayuran rebus, ditutup bumbu pecel berwarna merah cabe segar. Dua rempenyek di pinggirnya. Makan nasi pecel di Borneo? Ternyata enak. Nasinya pulen saling lengket. Sayuran kangkung, bayam, kol dimasak tidak terlalu matang, terasa segarnya. Penyek teri kecilnya gurih-renyah, tak begitu asin. Sarapan kedua yang lebih mengesankan.

Pak Rimun, asli Jawa tapi asal Ciamis, merantau ke Balikpapan sejak 1979, jarang mudik meski sering ke Jakarta kalau sedang bertugas. Menurutnya, tidak layak mudik hanya untuk satu dua hari saja. Ketika menerima telepon, terdengar percakapan dalam bahasa Jawa yang medok. Waduh! Pak Evar sendiri putera daerah, asal dari Dayak Pasir tapi dia mengaku hanya sedikit saja paham bahasa daerah karena lama sudah tinggal di Balikpapan.

Kami menuju sekolah, di jalan Soekarno-Hatta kilometer 40. Udara bersih tak berasap. Pemandangan yang menyenangkan. Kendaraan berlalu-lalang ramai tapi tak padat apalagi macet. Rumah-rumah luas tak saling berdempet. Ramai iklan-iklan papan rokok Jarum, Sampoerna Hijau, juga operator telepon 3, Indosat, Telkomsel, tampak di tempat-tempat strategis sejauh mata memandang. Pepohonan hijau di sesekali jalan. Sinar matahari sungguh cemerlang sepagi itu.

Ke luar dari mobil baru terasa udara Balikpapan. Hangat dan berangin. Kami sampai di sekolah. Bangunan sekolah disesuaikan dengan struktur tanah yang tak rata. Kantor yayasan, bangunan SMP, lapangan olahraga berdiri di tanah sejajar jalan, menuruni tangga semen kira-kira sepuluh anak tangga, ada ruang computer, bangunan asrama putri di sisi kiri memanjang, turun tangga lagi tampak bangunan yang sedang diperbaiki, lab bahasa di sisi kanan tangga, turun seundak lagi berdiri ruang guru yang bersatu dengan ruang kepala sekolah, turun sekali lagi merupakan tanah luas yang terdiri dari kelas-kelas SMA bertingkat dua berbentuk huruf U, asrama putra di ujung belakang. Tanah seluruhnya seluas tujuh hektar.

“Di sini guru-guru tak perlu olah raga lagi, ya Pak,” komentar saya sambil memandang ke atas, tangga pertama tadi sudah tak terlihat lagi.

Bersama guru-guru dan pegawai administrasi kami duduk di ruang tamu kepala sekolah, saya menjelaskan program. Saya cukup terpana mendengar penuturan kebanyakan guru ternyata perantau, asli Jawa Barat dan Jawa Tengah, menikah dengan sesama suku atau dengan penduduk asli atau perantau yang lain. Dari tampilan wajah, mereka betah tinggal di tanah air kedua ini, jarang mudik kalau tidak ada peristiwa keluarga yang penting. Balikpapan telah mengikat mereka.

Kira-kira 30 menit pertemuan, Pak Rimun menyudahi. Tujuan berikutnya adalah melihat rumah yang nantinya akan ditinggali tenaga sukarela yang ditugaskan di sekolah ini. Pak Evar tetap memegang kemudi. Kami melihat satu rumah dekat sekolah, lalu satu pavilyun milik ibu haji yang berjarak tak jauh dari sekolah. Ibu Haji yang sudah punya dua cucu ini tampak awet muda, seperti usia 40-an, berdandan rapi meski di rumah, asli Bandung. Dia tertawa lepas ketika saya ajak berbahasa Sunda. Sudah kagok, katanya. Ibu Haji dilamar begitu lulus SMA, diboyong almarhum suami yang pegawai Pertamina. Tiga putrinya sudah bekerja dan menikah, tinggal di Kalimantan. Tidak ada alasan meninggalkan tanah ini. “Sudah cocok dengan air Kalimantan,” ujarnya. Hm, indah sekali.

Kami pamit. Meski ada beberapa kelebihan, kepada Pak Rimun, saya katakan masih kurang sreg dengan dua rumah yang sudah kami lihat. Saya kemukakan alasannya. Pak Rimun mengerti. Pak Evar berjalan memutari kompleks dan tak sengaja kami melihat rumah kosong bertanda ‘dikontrakkan’. Kami memandang rumah berwarna telur asin, halaman yang tak rapi penuh alang tapi lumayan luas. Saya merasa cocok dengan rumah ini. Mungil dan pas. Tampak luar memang tak terpelihara, tapi dengan sedikit perbaikan sedikit, rumah ini akan bersih dan cantik. Pak Rimun menelepon ke nomor yang tertera di pengumuman dikontrakkan. Pemiliknya, Pak Ary, pegawai PEMDA, ternyata baru bisa ketemu untuk melihat isi rumah sekitar pukul 1700, selepas bekerja. Saya setuju.

Tak terasa sudah tengah hari. Kami menyusur jalan, mencoba menemukan cadangan rumah lain tapi belum beruntung. Rasanya perut belum meronta lapar tapi Pak Evar sudah menghentikan mobilnya di halaman rumah makan Makassar yang dipenuhi banner. Resto serba luas berbentuk segiempat yang luas, setengah dinding depan dan belakangnya terbuka, dibatasi kotak-kotak terbuat dari kayu. Saya jadi ingat satu resto di Palembang yang modelnya persis ini. Pandangan mata jadi serba tak terbatas. Fan berputar di atas kepala mengusir udara panas. Angin sejuk masuk dari kotak-kotak kayu. Dinding belakang resto tanah berbukit yang tinggi di kejauhan, lalu rumah-rumah di satu-satu titiknya. Kota yang sehat. Balikpapan tak kekurangan pepohonan hijau.

“Bu Ita, silakan pilih ikan apa,” tawar Pak Rimun sambil kami memandangi kotak freezer berisi ikan segar. Di sebelahnya ada akuarium berisi ikan hidup, kalau-kalau kami mau ingin ikan lebih segar. Saya pilih kakap merah ukuran sedang karena tertarik warna merah mudanya. Pak Rimun dan Pak Evar masing-masing pesan ikan bawal yang lebar penuh daging. Semuanya dibakar. Pak Rimun menambahkan cumi goreng tepung karena dia bilang itu makanan favoritnya di resto ini dan saya harus coba. Saya ingin tumis pakis tapi habis, diganti tumis kangkung campur buncis. Coba es pisang hijau, enak, kata Pak Rimun. Saya tak menolak. Sambil menunggu, kedua bapak shalat dhuhur. Saya memotret perumahan jauh di bukit sana.

Tak lama muncul es pisang hijau. Pisang berbalur hun kwe hijau, di atasnya dilumuri putih santan kental, es serut, lalu sirup berwarna pink. Tampilan yang ceria. Langsung saya potret sebelum mencoba. Pisang padat manis, hunkwe sedikit asin, lalu santan gurih dan es yang manis segar. Wah, penghilang dahaga sempurna!

Menyambut kedua bapak, ikan-ikan bakar tersedia di meja. Masing-masing kami disediakan satu pisin berisi sambal dengan garnish potongan tipis mangga muda, beberapa potong mentimun, dan rebusan daun singkong muda. Tekstur daging kakap merah lembut, dimasak pas sehingga rasa dagingnya manis, dan tidak amis. Saya tidak mau berlebihan, tapi tumis kangkung campur buncis itu benar-benar sedap. Saya pikir ibu haji itu benar, air Kalimantan membuat tanaman tumbuh bugar. Saya pun akan betah di Balikpapan, seandainya ada kesempatan, tentu saja.

Kami mempunyai banyak waktu sampai jam lima nanti. Mentari masih terik tapi angin setia mengipasi. Hawa panas saat pertama masuk mobil terasa sengit, tapi beberapa detik saja, karena mobil melaju hawa segera terganti. Saya kira panas Balikpapan berbeda dari Jakarta. Panas Jakarta akan membuat keringat bercucuran dengan sukarela. Di Balikpapan, meski panas, kurang berkeringat. Apa mungkin karena saya baru beradaptasi dengan udara di sini, saya tidak tahu.

“Bu Ita mau ke hotel dulu atau mau diantar ke pasar kebun buah, melihat pernak-pernik batu-batu?” tawar Pak Rimun. Tawaran yang bagus. Kami bersepakat ke hotel sejenak, menaruh barang, lalu ke pasar pernak-pernik batu.

Hotel Blue Sky, kebanyakan tamunya berhubungan dengan perusahaan minyak Total Indonesie sampai-sampai ada layanan antar-jemput ke dan dari kantor. Hotel hanya berjarak tiga menit berkendara ke pelabuhan dan tempat-tempat penyulingan beberapa perusahaan minyak. Saya minta lantai nonsmoking, di lantai 6, gembira karena dinding kaca kamar di sebrang sana tampak rumah-rumah berjarak di pebukitan yang tinggi.

Pasar kebun buah tak jauh dari hotel, lebih dekat dari pelabuhan. Pasar ini tak jauh beda seperti Pasar Beringharjo di Yogya, Pasar Klewer Solo atau pasar Ubud di Bali. Menjual hasil kerajinan penduduk setempat. Seluruh pasar berisi toko-toko batu-batu puluhan warna, asli dan tiruan, kerajinan Kalimantan tas, topi, kain, pakaian daerah, perisai kayu, senjata tiruan, tinggal pilih saja. Jejamu terbuat dari berbagai jenis kayu berkhasiat obat, minyak antiuban, sampai ramuan sarirapet, ada di sini.

Para penjual ramah. Mereka senang mengeluarkan koleksi yang ingin saya lihat dan cepat tanggap, memberi tahu saya jenis dan nama-nama batu, tidak terdengar seperti propaganda. Saya bertanya perbedaan batu tiruan dan asli, cara pembuatan batu bulat, atau dibuat segi-segi yang menurut mereka untuk mengeluarkan kilau batu lebih banyak. Mereka menjelaskan lebih dari yang saya ingin tahu, tapi tak ingin tahu saya dari mana.

Akhirnya saya berhenti di satu toko, penjualnya gadis Cina berwajah panjang, berkulit mulus, dan gigih menerangkan berbagai kelebihan batu di toko. Saya baik-baik mendengarkan penjelasannya, mengambil batu contoh yang disebutkan, terus bicara tak berjeda. Untuk mengakhirinya, saya beli sekitar 15 gelang berbagai jenis batu warna. Mata kucing yang berwarna pecah cokelat, batu akik pink, hijau, kuning, cokelat kemerahan, ungu kecubung, biru saphir. Dia memberi satu anting hijau sebagai bonus. Saya berterima kasih. Saya masih membeli beberapa gelang di toko lain. Begitu serunya saya melihat-lihat, saya lupa mengambil gambar.
Pak Rimun setia mengantar dari toko ke toko. Dia mengaku bahkan tidak tahu jenis-jenis batu. Pak Evar lebih memilih diam di mobil. Selesai menyusuri pasar buah, kami meluncur, membelah kota, melewati down town kota satelit, perumahan elite, rumah-rumah mewah dan megah. Jalanan aspal mulus dan berwarna hitam tegas, meski naik turun tak rata. Saya percaya kalau seorang teman di Jakarta berkata setiap akhir pekan jalan-jalan besar di Balikpapan dipel. Hm, dengan apa ya? Pak Rimun bilang banyak perumahan elit di Balikpapan dimiliki orang Jakarta. Dia sebutkan nama-nama pejabat, termasuk nama artis yang sekarang sibuk berpolitik.
Kami berhenti di toko yang menjual makanan khas Kalimantan: berbagai jenis amplang kuku macan, yaitu kerupuk ikan berbumbu, kue lidah sapi, lempok durian, keciput (ketan goreng berlumur wijen), kue satu. Saya beli beberapa jenis, dibungkus menjadi satu kardus rapi, menutupnya dengan sampul merek toko tersebut, sebagai promosi bila saya menentengnya.
Kami kembali ke lokasi kompleks rumah yang akan kami lihat lagi. Jauh juga kami sudah berjalan. Pak Rimun masih semangat menjelaskan ini dan itu. Sebelum bertemu pemilik rumah, Pak Ary, kedua bapak melaksanakan shalat di mesjid di dalam kompleks perumahan. Mesjid besar berwarna putih, bersih, terlihat dirawat bersama. Seorang laki-laki muda masuk dan shalat di belakang kedua bapak. Saya duduk menunggu sambil mengamati arsitektur mesjid yang tegap.

Kami menyelesaikan tugas hari itu setelah bertemu Pak Ary, bertanya dengan teliti soal kondisi dan fasilitas rumah. Pemilik rumah ternyata asli Semarang, perantau yang menjadi pegawai negeri, betah di tanah orang, tak tahu kapan berkesempatan ke Semarang. Akhirnya kami sampai pada kata sepakat.

Badan penat rasanya. Apa yang kami perlukan sudah selesai. Kedua bapak mengantar saya ke hotel. Sampai jumpa besok, selamat beristirahat, kata Pak Rimun. Saya berterimakasih sekali lagi.

Saya mandi, mengirim teks kepada sepupu saya, akan mampir sebentar lagi. Saya menelepon concierge bertanya taksi. Taksi Mawar, taksi argo yang tidak berkeliaran mencari penumpang di jalanan. Siapa perlu taksi, tinggal telepon, Pul taksi ada di delapan wilayah di seluruh Balikpapan. Tak akan menunggu terlalu lama bila memesan.

Perumahan Bukit Jeruk, tempat tinggal sepupu saya, perumahan Pertamina yang disewakan kepada perusahaan minyak lain, dekat bandara. Sekitar 30 menit dari hotel. Kompleks dikelilingi pepohonan, dijaga keamanan di depan, melewati jalan padang golf yang luas, kolam renang, berbagai fasilitas olah raga dan tanah serba luas. Rumah-rumah tak berpagar, lebih tinggi dari jalan. Di depan rumah-rumah memanjang parkir mobil yang terbuka luas, hanya beratap untuk melindungi kendaraan dari panas dan hujan. Rumah-rumah beratap tinggi, bangunan lama, tapi masih tampak kuat. Jendela-jendela berkaca besar sepanjang dinding, mengesankan ramah dan serba terbuka. Taksi berhenti di rumah nomor 6. Saya menaiki tangga semen di kiri-kanan rerumputan dan tanaman pot.

Dari kaca jendela luar saya lihat sepupu saya tertidur dengan koran di tangan, sementara televisi di ujung sana menyala. Saya ketuk pelan kaca di dekatnya. Dia terjaga, segera bangkit untuk membuka pintu yang tidak dikunci.

“Diantar siapa?” tanyanya.

“Taksi,” jawab saya.

“Wah, seharusnya saya jemput saja,” katanya.

Saya diajak berkeliling melihat sudut-sudut rumah. Pertama kali mengunjunginya, setelah enam tahun dia pindah ke Balikpapan. Halaman belakang rumah memanjang, dengan padang rumput hijau, bersambung dengan sembilan rumah lain, dipakai untuk menjemur pakaian, tempat ngobrol sore hari, di atas tanah tinggi di belakang tampak tembok yang berbatas lapangan golf.
Kami ngobrol keluarga. Kami dekat sejak remaja, menghadapi masalah keluarga besar yang itu-itu saja. Ketika menikah, saya jadi teman pendampingnya. Ayahnya, Tulang saya, adik ibu saya, meninggal Kamis minggu lalu, jadi kami baru bertemu di Jakarta dalam acara adat hingga ke penguburan. Panjang cerita yang kami obrolkan, tak habis-habis. Ketiga jagoan, belum tidur karena menunggu ibunya, bolak-balik mendekat ke arah kami. Ayah mereka sedang ada urusan di Bandung. Baiklah, kalian sudah ngantuk ya? Akhirnya kami kelarkan obrolan, hampir pukul 2400. Mereka mengawal ibunya mengantar saya ke hotel.

Sepupu saya memakai jalan memutar untuk memperlihatkan saya kantornya, yang menghadap ke laut. Jalanan sepi sudah. Dia terus menginjak gas, meluncur kencang, menjelaskan perumahan karyawan Pertamina, yang dulu dibangun sebanyak 3000 rumah, terpakai sekitar seribu, sisanya disewakan ke perusahaan minyak lain atau dibiarkan kosong. Kompleks yang sangat luas, menempati tanah rimbun seperti hutan kecil. Di sepanjang pelabuhan kami melihat lampu-lampu, tabung-tabung tempat penyulingan yang super besar, kapal-kapal minyak yang mengambang di laut. Lengang dan damai.

Sampai di hotel. Saya turun dari mobil. Wah, bakal lama lagi kita bertemu, sayang. Kami berpisah. Hotel sudah sepi tapi seorang penjaga di depan pintu menyambut kedatangan saya.
Saya masuk kamar, masih menikmati pemandangan malam dari kaca jendela. Senyap. Hanya lampu-lampu rumah penduduk di ujung sana, yang menempati bukit, indah dengan titik-titik lampu yang tak beraturan dari bawah sampai ke tanah bagian atas. Mungkin di dalamnya juga para pendatang yang tertidur setelah seharian letih bekerja. Tidur, tidurlah, Balikpapan yang ramah.

Saya naik tempat tidur, menyalakan televisi, ada gambar Leonardo Di Caprio dan Kate Winslet tengah berjuang untuk hidup dari kapal Titanic yang pecah dan siap tenggelam. Menonton tragedi itu berulang-ulang. Laut Atlantik yang dingin. Pemain musik yang tak gentar mengantar ke kematian. Entah kapan saya terlelap.

Baliklah Papan Itu

Nama Balikpapan kurang jelas asal muasal dan maknanya. F. Valenijn, yang menulis buku tentang Balikpapan tahun 1724, menyebut kemungkinan berawal dari desa bernama Bilipapan di hulu sungai di sebuah teluk tiga mil dari dari pantai, setelah melewati proses pengucapan, kemudian disebut Teluk Balikpapan.

Satu versi lain dari tahun 1739. Sultan Mumammad Idris dari Kerajaan Kutai memerintahkan kepada pemukim di sepanjang teluk Balikpapan untuk menyumbang bahan bangunan berupa 1000 lembar papan untuk pembangunan istana baru. Lembaran papan diikat menjadi sebuah rakit, dibawa ke Kutai lama sepanjang pantai. Setibanya di sana, 10 keping papan terlepas, ditemukan timbul jauh di daerah Jenebora. Dari peristiwa itu, dalam istilah bahasa Kutai ‘Baliklah papan itu” atau papan yang kembali karena tidak mau ikut disumbangkan.

Legenda lain dari suku Pasir Balik atau Suku Pasir Kuleng yang bermukin di pantai teluk Balikpapan, mereka keturunan kakek-nenek bernama Kayun Kuleng dan Papan Ayun. Oleh kampung nelayan sekitar Teluk diberi nama Kuleng Papan atau Balik Papan.

Kota Balikpapan sendiri lahir tahun 10 Februari 1897, ditetapkan dalam sejarah kota Balikpapan , disesuaikan dengan ditemukannya sumur minyak oleh Perusahaan Mathilda, dan dilakukan pengeboran pertama hasil kerjasama J.H. Menten dan Mr. Adam dari Firma Samuel and Co. Sejak itu kota yang tadinya sepi ini menjadi diminati orang luar kota, baik dari Kalimantan sendiri, Sulawesi dan Jawa.

Keragaman etnis di kota ini terbina baik karena adanya faktor akulturasi budaya, tidak ada domoninasi suku tertentu, baik suku asli Kalimantan maupun pendatang, direkatkan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi antar masyarakat, menjadikan kota ini strategis dan kondusif, didukung kebersamaan masyarakatnya. Tanggal 21 Januari 1960 permulaan berdirinya pemerintahan Kotamadya Balikpapan.

Keesokan pagi, saya bersantai di sekitar hotel. Dari resto saya lihat angin bertiup kencang, awan gelap. Tapi tak lama matahari muncul dengan semangat. Saya pergi ke pasar kebun buah untuk memotret. Pak Rimun, selain Pak Evar, juga ada Pak Jakaria, asli orang Dayak Pasir, menjemput pukul 1100.

Mereka melewatkan saya ke Pelabuhan Semayang, yang saya lihat semalam, kini tampak lebih jelas. Tabung-tabung penyulingan yang gemuk-besar, lautan dengan sumur-sumur minyak, kapal-kapal pengangkut. Kami singgah di Klandasan, tempat berderet rumah makan ikan laut segar, untuk makan siang. Orang Balikpapan belum makan kalau belum makan ikan, kata Pak Rimun.

Mereka yang makan kebanyakan orang kantoran karena di sekitar itu banyak kantor swasta dan pemerintah. Saya dan Pak Jaka pesan ikan bawal gendut. Pak Rimun dan Pak Evar berbagi ikan panjang yang saya lupa namanya. Sambalnya seperti di rumah makan Makassar namun tanpa potongan mangga muda. Makan siang yang bersemangat. Saya berkeringat.
Kami mesti bergegas. Pesawat saya terbang dua jam ke depan. Bandara tak pernah sepi orang. Banyak orang lalu-lalang membawa kardus oleh-oleh seperti yang saya bawa, besar tapi ringan. Saya menyalami ketiga bapak, mengucapkan terima kasih untuk sambutan hangat dan kerjasama yang baik. Di pesawat saya minta satu cangkir teh panas, terhibur dengan tawaran es krim seorang pramugara berwajah ramah. Saya membaca buku sebentar, kemudian melewatkan tidur siang yang panjang di udara. Sampai Jakarta.

Itasiregar, 14 Juli 2009

Rabu, 08 Juli 2009

Proses Kreatif Catatan Perjalanan

Proses Kreatif Catatan Perjalanan
Untuk Milis Apresiasi Sastra (yang sedang mengadakan lomba menulis catatan perjalanan)

Saya hobi mencatat. Mencatat apa saja. Peristiwa diam, benda bergerak, peljenis polah manusia, emosi. Setiapnya berpotensi didaur ulang dalam bentuk cerita sehingga menjadi hidup dan nyata. Hal-hal sederhana remeh-temeh berbicara banyak kepada saya. Dan saya berusaha memberi makna pada pelbagai kejadian di dunia sekeliling saya. Yang menyenangkan atau tidak. Yang pahit atau tidak. Setiap perihal saya kira layak dicatat. Menjadi memoir. Menjadi saksi diam nan abadi. Semua tersimpan baik dalam catatan saya.

Catatan tentang manusia adalah paling paripurna. Emosi tak terduga menarik dijadikan pelajaran. Saya suka mendengar, tertarik cara orang berpikir, menyampaikan sesuatu. Diluar kebiasaan saya. Keluhan, kemarahan, kepedihan, kegagalan manusia, semua mesti dirayakan sedikitnya dalam bentuk catatan. Hidup tak mungkin salah.

Model pertama kali saya lihat mencatat adalah almarhum ayah saya. Dia pasti menulis, menekuri buku catatan hariannya setiap pagi. Ketika beliau meninggal, saya – kami – membaca tumpukan agendanya dengan beragam rasa. Dia menulis waktu dia kesal kepada almarhum ibu saya. Dia mencatat ketika dia berjalan kaki ke pasar, bertemu teman, dan membicarakan satu hal yang aneh menurut saya. Kami jadi tahu beberapa rahasianya setelah itu.

Saya juga gemar jalan-jalan. Kembali ke tempat yang sama, berkunjung ke tempat baru, sama menariknya. Tidak pernah ada yang persis sama. Selalu ada yang baru. Meskipun sudah puluhan kali saya melihat, takkan bosan mengamati.

Saya bisa menikmati jalanan macet. Saya sering mengagumi hujan. Saya mudah mencintai daun dan bunga. Saya merasai kehidupan. Saat terbang dengan pesawat pagi menjelang siang, saya bisa sangat terpesona mengagumi cahaya matahari yang kuning terang cemerlang, memberi kesan mewah pada formasi awan-gemawan, yang bergerak cepat tertiup angin, kadang diam malas di tempatnya. Tuhan pastilah sangat indah. Kreativitas yang sungguh cerdas. Tiba-tiba mata saya sudah mengembang air melihat bayi cantik yang tertawa polos memberi semangat kepada ibunya yang lelah. Terlalu banyak yang musti dicatat. Hanya saja waktu tak pernah kunjung memanjang ketika saya kehabisan menit mencatat.

Pertama kali menulis catatan perjalanan di milis Apresiasi Sastra, saya kira, adalah waktu saya nunut seorang etnolog Jerman ke Sidihoni, danau di atas danau Toba. Sekitar Mei 2005. Sigit Susanto mengumumkan di milis dan saya menanggapi bersedia. Saya cuti dari kantor. Kami bertemu di rumah seorang kenalan baru di Medan, lalu memulai perjalanan ke Tuk Tuk, menginap di hotel Carolina yang murah tapi bagus dan strategis, memutari pulau Samosir dengan sedikit teliti. Christine Schreiber, etnolog itu, yang sudah lebih lima dari belas tahun bolak-balik Jerman-Sidihoni, dan menulis secara lengkap tentang budaya dan manusia Batak, menjelaskan kepada kami pengetahuannya tentang kuburan-kuburan orang Batak, rumah, tanah, gunung, kopi, makanan lokal, penenun, lokasi, dan yang paling menarik adalah penelitiannya tentang danau Sidihoni dari masa ke masa, dalam rentang waktu yang panjang. Kami berbicara dalam tiga bahasa. Jerman, Inggris, Indonesia. Ini pengalaman yang menarik. Total perjalanan kami adalah enam hari. Sebagian dari catatan ini diminta seorang teman untuk diterbitkan di satu harian tempatnya bekerja.

Setelah itu saya menulis ke milis ini pengalaman berjalan di lorong-lorong Little India, Johor Bahru, Melaka, Kualatrengganu. Lalu setiap kali festival Ubud. Catatan-catatan diskusi buku, pertemuan dengan tokoh atau seseorang baru, perjalanan dengan bis, kereta, feri, kapal, pesawat, jalan kaki gulung-menggulung dalam kalimat.

Selama perjalanan saya mencatat di buku notes kata kunci yang ingin saya ingat waktu menulis. Sudah lama saya tak bisa lagi menulis lengkap di atas kertas. Harus duduk di depan komputer. Ada rasa tuntas. Jadi kalau dunia ini kembali ke zaman purba, saya akan benar-benar sulit menulis. (Karenanya saya kagum kepada Sanie B. Kuncoro, cerpenis yang dikenal dari majalah Anita, yang menulis cerpen-cerpen atau cerita bersambungnya dengan tangan di atas kertas folio, sampai sekarang).

Setelah kembali di Jakarta, barulah saya menulis kronologis semua. Foto dan gambar yang saya ambil menolong untuk mengingat. Di depan komputer, semua percakapan yang ingin saya ingat, pengamatan yang ingin saya tulis, bermunculan begitu saja di kepala. Saya tinggal merangkai kata saja, memperbaikinya setiap kali sehingga enak dibaca.

Setelah itu saya mencatat untuk saya biarkan dibaca lebih banyak orang. Saya mulai belajar untuk memperhatikan keutuhan cerita. Tak bisa hanya menulis simbol-simbol yang hanya saya sendiri dan Tuhan yang tahu, tidak boleh lagi ada potongan kalimat tak selesai, perlu sedikit benang merah dengan peristiwa lain kalau ingin membahas hal di luar konteks, perlu dijelaskan sehingga pembaca tidak meraba-raba kemungkinannya. Menulis di ranah publik, satu kali akan ada orang membaca dan menanggapi catatan yang kita buat, membandingkan dengan pengalamannya sendiri. Itu memberi semangat dan pengalaman yang berbeda, selain kita dapat menemukan sesuatu dalam tulisan kita yang hanya bisa dilihat orang lain. Artinya lain waktu, kita akan mempertajam apa yang dianggap orang lain kelebihan kita, mengurangi apa yang pembaca pikir terlalu berlebihan.

Beberapa teman bilang tulisan saya detail. Mungkin juga. Tapi yang sebenarnya saya mencatat satu peristiwa dengan begitu rupa sehingga terlihat lengkap. Padahal di peristiwa lain dalam waktu berdekatan saya tidak menuliskannya. Jadi sebenarnya masih banyak yang tertinggal dalam sebuah cerita.

Kebanyakan catatan saya bersifat personal. Saya jarang ketika menulis dengan sendirinya keluar dari diri sendiri. Kecuali ketika berfiksi. Saya melamun-lamun. Berusaha masuk ke dalam diri orang lain, merasa dengan cara lain, bertanya dari orang lain, lalu menuliskannya. Dalam sebuah catatan, saya menulis berdasar hasil penglihatan, pendengaran, perasa, yang berkelindan dengan pengalaman saya membaca, menulis sebelumnya.

Menulis catatan terus berproses di dalam diri saya. Saya membaca catatan perjalanan orang lain. Menikmati pengalaman mereka dan ikut memberi komentar. Sudah pasti ada yang dipetik dalam satu buku. Di satu festival Ubud ada sesi travel writing, sayangnya saya tidak ikut. Tapi dari sana saya paham bahwa menulis perjalanan adalah sebuah keterampilan yang semakin baik bila terus dipertajam.

Pengalaman menulis catatan perjalanan bisa mengantar seseorang menjadi candu dan akhirnya berprofesi serius sebagai pencatat. Buku Lonely Planet yang terkenal seantero dunia adalah contoh ekstrem. Buku yang menjadi Alkitab para backpacker dunia ini bermula dari pasangan Tony & Maureen Wheeler yang tahun 1972 melakukan perjalanan keliling dunia selama setahun. Demi keinginan mereka sendiri. Cerita mereka mendorong orang-orang dari belahan dunia mana pun pergi ke tempat-tempat sama dan bertanya ini-itu kalau ke sini-ke sana. Kenyataan itu menyadarkan pasangan Wheeler bahwa para pelancong perlu sejenis panduan perjalanan. Dari sana mereka mendirikan Lonely Planet Publication yang sekarang berkantor di tiga benua, dengan 400 pegawai, 250 penulis, dan sudah lebih dari 600 judul diterbitkan dengan penjualan lebih dari enam juta eksemplar per tahun.

Jangan terprovokasi dengan angka-angka yang mereka buat. Nikmati saja perjalanan kita, amati sebaik-baiknya apa yang kita lihat dan rasa, lalu menulislah dengan bahasa yang baik. Beri makna dan nilai pada tulisan kita dan biarkan orang lain mengambil manfaat darinya. Mari kita rayakan setiap peristiwa. Selamat menulis catatan perjalanan.

Ita Siregar, 7 Juli 2009

Sabtu, 16 Mei 2009

Uang: Urgent!

Tidak banyak orang yang melihat dengan matanya sendiri
dan merasakan dengan hatinya sendiri.
-Albert Einstein (1879-1955)

Strategies for Financial Breakthrough
Wawasan Baru untuk Memenangi Problem Keuangan
Oleh Eugene Strite
Penerbit GOlite resources 2008
192 hal + xvii

Pada suatu Minggu pagi yang cerah saya dan seorang teman mendengarkan kotbah pendeta Poltak JB Sibarani, yang dia juduli: 6 Manfaat Merenungkan Firman Allah setiap hari. Judul yang sederhana. Juga penjelasannya ringan-tegas.

Manfaat pertama: apa saja yang diperbuatnya (orang yang merenungkan Firman Allah setiap hari) berhasil (ibarat pohon akan menghasilkan buah pada musimnya). Sesederhana itu, Pendeta? Ya. Bagaimana kalau belum berhasil? Apa Anda sudah melakukan sesuatu? Sudah, Pendeta. Yang Anda lakukan menyenangkan Tuhan? Absolut, Pendeta. Hm, kalau begitu ini belum musimnya. Bersabar sedikit lagi ya. Ehm, bagaimana kalau tidak berhasil juga, Pendeta? Anda percaya kepada Tuhan yang memberi janji? Sudahkah Anda mengenal Dia dengan merenungkan Firman Allah setiap hari? Ampun, Pendeta….

Sebuah hubungan sebab-akibat yang tak terbantahkan. Manfaat kedua, yaitu ….

Seorang teman baik saya lemas karena ratusan juta uangnya amblas ditelan Indeks Saham dalam jangka tiga hari. Teman saya yang lain tertekan melihat industri di tanah air melemah, perusahaan-perusahaan ditutup, ribuan karyawan segera dirumahkan, perdagangan lesu. Saya yang kurang sensitif menambah kekhawatiran mereka dengan berkatan bahwa masalah seperti itu sedang terjadi di mana-mana, lalu berbagi cerita bos Amerika saya yang mengatakan bahwa perpustakaan terbesar di Pennsylvania pun tutup gara-gara tak tahan membayar operasional. Bahkan dua puluh lima ribu orang sudah di-PHK di Negara bagian itu. Wajah mereka menekuk kian suram.

Catatan kesaksian
Lalu, apa ada kaitan kotbah dengan buku Strategies for Financial Breakthrough (SFB), Wawasan baru untuk memenangi problem keuangan? Sangat bertautan karena buku yang ditulis Eugene Strite ini sangat kental rasa ketermilikan pengarangnya. Bisa dibilang SFB adalah kesaksian pribadi Eugene. Ia meringkus puluhan tahun pengalamannya bergumul dengan Kitab Suci dan keuangan keluarganya dalam halaman-halaman SFB.

Di sisi lain SFB seperti buku panduan pakar keuangan, Safir Senduk misalnya. Bukunya terjual ratusan ribu kopi karena hal praktis yang ia paparkan. Ia yang berkata bahwa orang yang bekerja dengan pola 9-5 pun dapat menjadi kaya. Seperti Safir, Eugene mengharamkan kegiatan menggali lubang-hutang. Kegiatan ini akan mengalihkan fokus seseorang ke masalah pribadinya dan bukan ke hal-hal yang mulia.

Di FSB hutang disimbolkan sebagai rubah-rubah kecil. Zaman dulu rubah hidup di daerah berbatu-batu, tempat biasanya anggur ditanam. Kebun anggur adalah simbol hubungan kasih yang intim (dari Allah dan manusia). Rubah menyerang buah dan akar kebun-kebun anggur karena ia menggali liang dan membongkar tanah.

Mungkin perbedaannya mereka adalah bahwa Safir hadir dengan teori-teori ekonomi praktis yang dipahami dunia. Sedangkan Eugene, mendasarkan seluruhnya pada prinsip ekonomi Kerajaan. Di SFB Eugene mengajak pembaca untuk membangun piramida alami (mandiri secara ekonomi) dan piramid rohani (memberkati orang lain atau membantu misi penginjilan).
Buku ini ditulis dengan amat jelas sehingga memungkinkan pembaca tak perlu melakukan analisa ekonomi tertentu. Menarik karena penulis menggambarkan perumpamaan talenta di Matius 25 sebagai uang. Bila Anda seorang pelukis, bisa saja Anda menggambarkan talenta sebagai bakat melukis atau penulis, bakat menulis. Sah-sah saja, bukan? Ada banyak jalan ke Roma.

Man of Experience vs Man of Argument
Saya melihat Eugene di satu Sabtu petang di satu gereja yang menerbitkan SFB. Ia orang biasa, seperti kita-kita inilah. Mengaku hanya lulus SMA, lahir dan besar di keluarga petani dan berpikir akan berakhir menjadi petani pula. Ia tak pernah menduga Tuhan membawanya dari kesempatan ke kesempatan lain, sampai kini ia pendiri World Harverst Outreach of Chambersburg, Pennsylvania, yang dikenal di Amerika dan luar Amerika. Ia dijuluki a man of experience daripada a man of argument. Ia memimpin organisasi yang tumbuh besar karena secara tekun mengilhami dan menghidupi “ekonomi Kerajaan”. Gerakannya ini telah mengutus banyak misi ke seluruh dunia untuk mengabarkan Injil dan menjadi berkat.

Eugene mengajak pembaca untuk melongok ke hatinya sendiri. Ia mengutip apa yang dikatakan Tuhan Yesus bahwa berkata tak seorang pun mampu mengabdi ke dua tuan. Tidak ada wilayah netral dalam hal ini. Kita pasti ‘mencintai’tuan yang satu dan ‘membenci’ tuan yang lain. Titik. Bahwa berurusan dengan Tuhan tidak ada kaitannya dengan memberi persepuluhan, mengajar di sekolah minggu, berpuasa, kalau semua itu tidak diawali dari hati.

Lalu masalah ‘attitude’. Pembaca akan dibawa untuk bersikap memahami prinsip ekonomi Kerajaan, yaitu menabur untuk menuai lebih banyak. Prinsip ini bertentangan dengan apa yang ditawarkan dunia. Eugene berbagi kisah satu gereja yang 60% jemaatnya pengangguran dan diliputi kemiskinan. Kembali ke masalah hati, bahwa kemiskinan terjadi bukan hanya karena kurang uang tapi juga kesempatan dan miskin pemahaman. Tidak diceritakan prosesnya tapi di akhir bab gereja ini tiba pada kehidupan yang lebih layak dan mampu memberkati komunitas lain.

Eugene menggambarkan Tuhan sebagai partner manusia dalam mengembangkan ekonomi Kerajaan. Tuhan memberkati setiap benih yang ditabur dan manusialah yang harus mau menabur, bukan Tuhan. Tentang kekayaan dan kesejahteraan, Eugene mengaitkan soal persepuluhan, yang adalah sepuluh persen dari seluruh pendapatan. Zaman dahulu orang-orang yang tidak mengenal Allah memberi persepuluhan karena takut dewa-dewa akan marah. Di sini disebutkan kita memberi persepuluhan sebagai penghormatan kepada Allah dan mengakuinya sebagai sumber segala berkat (Kembali lagi ke masalah hati, Anda tidak bisa memberi persepuluhan dengan terpaksa dan bermuram durja).

Begitu seriusnya hal perpuluhan sampai Tuhan memerintahkan bangsa Israel untuk mempersembahkan seekor domba, lengkap dengan bagian lemak yang disukai Tuhan (hal 101) untuk setiap keledai sulung yang dilahirkan induk keledai. Kalau tidak, Tuhan memberi perintah agar batang leher keledai itu dipatahkan (hal 111). (Bisakah Anda bayangkan bila Anda tidak memberi persepuluhan, Allah mematahkan batang leher… keledai Anda?). Hormatilah Allah dengan memberi persepuluhan. Mungkinkan Dia memberkati kita dengan memberi persembahan (hal 103).

Eugene yang telah bergumul dengan masalah keuangan selama puluhan tahun mengungkap bahwa uang memiliki jiwa. Ia berperan kuat, mengarahkan, mengendalikan, menghancurkan, bahkan menutup mata-hati manusia menjadi buta sehingga ia tidak bisa melihat karunia Tuhan.
Saya jadi ingat lagu di sekolah minggu dulu: Apa yang dicari orang? Uang. Apa yang dicari orang pagi, siang, sore, petang? Uang, uang, uang. Lagu yang aneh kalau saya pikir sekarang. Kenapa anak kecil diyakinkan sejak dini kebiasaan orang dewasa dari masa ke masa? Lalu di sekolah ketemu peribahasa: Ada uang abang disayang, tak ada uang abang ditendang. Aduh, kasihan si abang jadi korban. Jadi jika Anda membaca SFB dengan mata dan hati sekaligus, buku ini bukan lagi satu strategi tetapi sebuah kebenaran.

Ita Siregar, November 2008

Jumat, 08 Mei 2009

GOMER

Marilah kita mengenal dan berusaha sungguh-sungguh mengenal Tuhan,
Ia pasti muncul seperti fajar,
Ia akan datang kepada kita seperti hujan,
Seperti hujan pada akhir musim yang mengairi bumi.
Hosea Beeri, 800-700SM

Abdi Allah itu duduk tenang. Dua laki-laki kira-kira sebayanya yang juga menunggu, melakukan gerakan berdiri-duduk sambil menjaga jarak satu sama lain di ruang berbentuk setengah lingkaran di lantai dua rumah itu. Tak ingin saling kenal, tak ingin bertanya. Setiap kali abdi Allah melirik ke salah satunya, sepasang mata itu pasti kedapatan sedang menatap-lekat kepadanya, dengan tatapan yang tak bisa ia terka maknanya.

Gomer pastilah istimewa, batin abdi Allah itu sambil melakukan gerakan tak penting, meraba topi kainnya yang berpincuk di ujung kepalanya. Memikirkan hal ganjil itu, diam-diam rasa malu menyusup ke seluruh dirinya. Namun tubuhnya tetap tenang. Ia meneruskan pikirannya dengan gugup. Gomer diminati banyak laki-laki kesepian, yang terlalu sibuk dengan bisnisnya, tak sempat bertemu keluarga, mencari pelepasan lain. Laki-laki haus sentuhan, laki-laki kurang penghargaan. Ia mengernyitkan keningnya lembut ketika mengingat lagi arti Gomer. Lengkap. Kue kismis yang paling diminati. Bara api.

Mengingat itu ia tersenyum kecil. Sudut-sudut bibirnya tertarik ke atas. Wajah bayinya yang tak berlekuk tampak penuh. Janggutnya yang hitam lebat berkilat memenuhi setengah bagian pipinya sampai ke bawah dagu dan di atas bibirnya, membuat kulit wajahnya tampak lebih bersih. Tak begitu tertata seperti janggut-janggut kedua kawan yang sedang bersamanya, yang dibentuk sesuai budaya mereka, dengan mata pisau yang tajam dan diolesi ramuan minyak damar dicampur serai wangi khusus.

Mata abdi Allah itu bersinar lembut. Keseluruhan dirinya melukiskan kegembiraan yang muncul dari kejujuran dan keyakinan yang tak terbantahkan. Kadang-kadang ia terlihat seperti pemalu. Terlebih kali ini, ia sedang merasa canggung menanggapi perintah Yang Maha Atas, yang tak bisa dipahaminya hingga detik ini, namun hatinya menerima. Tuanku ya Raja Semesta, Engkau adalah Mak Comblang yang aneh, batinnya tak berpikir. Kemudian hatinya menjadi lebih gelisah mengingat Gomer.

Perintah yang aneh. Belum pernah ia mendengar perintah seperti ini sebelumnya. Kepada abdi-abdi mana pun yang pernah hidup sebelumnya. Namun pesan itu datang dengan kuat dan lembut. Hatinya berusaha membantah kebenaran pesan itu. Tapi kata-kata itu terus melekat di dalam dirinya, memenuhinya, tak bisa menyangkal. Bahkan ia telah dengan sengaja mengeleng-gelengkan kepalanya kuat-kuat agar suara kebenaran itu melenceng ke luar. Tapi tindakan itu malah membuatnya berpikir lebih jernih. Perintah yang tegas dan jelas, kini tersimpan baik di hatinya. Hingga akhirnya ia menyerah, menundukkan kepala dengan lemas. Aku hanyalah seorang hamba. Aku ingin belajar memahamiMu, Ya Yang Maha Tinggi, batinnya pasrah.
Ia kembali mengamati kedua laki-laki yang bersamanya. Dari model janggut mereka, ia bisa mengira kebangsaan mereka. Ditambah cara berpakaian yang menunjukkan mereka adalah seorang pedagang dan seorang pejabat pemerintahan.

Kini ia tersipu menyadari kebodohannya. Tatapan penuh teka-teki dari kedua kawan ini tentulah dari jubahnya yang berpotongan sederhana, terdiri dari dua lapis dan ikat pinggang kain agar jubah tak terlepas dari pinggangnya. Pakaian adalah simbol yang tampak dan sengaja dibuat agar kebangsaan mudah dikenali. Kenapa melupakan hal sederhana ini? Namun orangtuanya yang takut akan Tuhan telah mendidiknya agar tidak mengambil kesimpulan dari penampilan.

Dalam lamunannya, mata abdi Allah itu mengikuti gerak laki-laki pedagang yang bergegas masuk menghilang di balik tirai berwarna marun, ketika mendengar suara kecil nyaring memanggil dari arah dalam tirai. Seketika tirai bergoyang kencang lalu dengan cepat lurus terdiam, karena kedua ujungnya diganduli gulungan benang.

Tiba-tiba tercium sesuatu yang hangat dan wangi. Seorang perempuan muda dengan aroma jasmin muncul dari bawah tangga di sudut ruang, menaruh kue kismis hangat di atas meja, mengerling genit bergantian kepada abdi Allah dan laki-laki si pejabat pemerintahan, berseru malu-malu dengan suara yang nyaring dan manja, “Silakan. Kue kismis. Takaran kue ini diukur sendiri oleh Gomer dengan resep rahasia yang terus menerus disempurnakan hingga rasanya tak tertandingi di kota ini. Anda perlu datang kembali untuk mengingat rasanya yang istimewa.” Lalu sepasang kakinya yang kecil lincah menuruni tangga seperti sedang menari.

Penjelasan yang menakjubkan untuk perjalanan sepotong kue. Resep rahasia. Ditakar dengan baik. Terus disempurnakan untuk mendapat citarasa tak tertandingi.

Abdi Allah memandang kue kismis di atas meja. Dengan latar belakang tadi, kue kismis itu tampak lebih berharga dan menggiurkan karena semilir kismisnya harum bercampur wangi rempah kayu manis dan pala. Apakah karena namanya berarti kue kismis lalu Gomer perlu menghidangkan ini kepada para tamunya?

Kawan sepenunggunya telah sibuk mengunyah, rahang bawahnya naik-turun dengan cepat, menandakan ia bukan orang yang sabar, dengan mata memandang lurus ke luar jendela. Dilihatnya awan memutih, bergegas bergerombol. Lalu pejabat itu berbalik dan mengambil satu roti kismis kedua. Penjabat yang tidak puas dan tidak tahu porsinya. Menyadari hanya bergerak sendiri, ia melirik abdi Allah itu dengan ekor matanya, menyadari kawan seruangannya belum beranjak demi seroti kismis pun. Itulah memang pekerjaannya, menunggu, batin laki-laki itu sinis.

Di dalam hati abdi Allah itu memutuskan untuk tidak mencicipi kue kismis karena khawatir konsentrasinya membuyar karena kenikmatan yang ditimbulkannya. Namun harum kismis dan remah yang terus menerus mendera hidungnya, membuat perutnya tiba-tiba mengosong. Cepat ia menghibur diri. Ia pandangi sekeliling dinding yang bercat marun dengan gradasi warna terang hingga pekat, memberi kesan artistik yang hangat sekaligus ramai. Jendela melebar di sepanjang dinding yang dibiarkan terbuka ke udara, mengalirkan udara segar setiap kali. Ia melihat awan tampak mendung di luar sana, seperti mengandung sedikit air, tapi kemudian langit berwarna putih. Terang.

Serentak dengan satu gerakan kasar, tubuh pejabat pemerintah itu menegak. Wajahnya lurus, mulutnya merengut. Bunyi cemplang dari mulutnya menunjukkan rasa kesal. Kaki kanan ia entakkan ke lantai semen dingin yang meredam bunyi di sana. Ia seorang pejabat pemerintahan yang mudah terusik, bagaimana ia bisa mengatasi kepanikan rakyat? Apakah ia telah lupa mengunci loker berisi uang rakyat? Atau kaget karena ia telah melewati batas pikirannya? Pakaian suteranya melambai-lambai saat ia berlari menuju anak tangga yang berbentuk putaran, melangkah melompati dua anak tangga sekaligus.

Kepergian laki-laki itu membuat jantung abdi Allah itu berdebar serentak tanpa dikomando. Batinnya mengharap laki-laki itu kembali. Lima menit, sepuluh menit, dua puluh menit. Tidak kembali.

Jantungnya seakan copot ketika dirinya belum lagi pulih dan laki-laki pedagang telah keluar dari balik tirai marun, wajahnya tampak segar dan puas, segera menggelinding menuruni tangga. Rasa nyaman sang abdi Allah menguap. Ia tak bisa berdoa. Tak mungkin berdoa. Kenapa laki-laki pedagang itu begitu cepat di dalam sana? Apakah ia sudah menyesuaikan dengan harganya?

Hening beberapa waktu. Tiba-tiba dari balik tirai kamar terdengar seruan, “Masih adakah di luar?”

Abdi Allah itu berdiri tegak. Jubah sederhananya membuatnya merasa hangat. Rasa tentram tumbuh dengan cepat di hatinya. Gomer, yang akan ditemuinya ini, manusia perempuan yang lengkap dengan kebahagiaan, kesedihan, kepenatan, kekuatan, yang memerlukan dirinya untuk mencintai dan dicintai dengan tulus, dengan kasih kekal. Ia meluruskan dirinya, melangkah ketika seruan kedua kali terdengar.

Kedua tangannya lembut menceraikan kain tirai dari tengah-tengah, lalu tubuhnya masuk, segera hidungnya menghirup harum mawar yang semilir. Tubuhnya sangat nyaman. Hening. Ia menghentikan langkahnya. Menunggu. Lalu dirinya merasakan sebuah energi lembut mendekat ke arahnya.

Setubuh perempuan menjelma tepat di depan abdi Allah. Harum manis semerbak, parfum beraroma bunga dan buah, parfum mahal yang disimpan di kotak alabaster yang elegan untuk melindunginya dari sinar yang akan mengubah wanginya. Abdi Allah itu tenang mengamati keseluruhan wajah itu: kecantikan yang menakjubkan. Ia bersyukur karena menatap wajah secantik ini, sedekat ini.

Bola matanya besar, celak yang terbuat dari antimoni dan bubuk halus seng sehingga membuat mata hitamnya lebih legam dan melindungi telaga putih yang cemerlang di tengahnya, yang dikelilingi bulu mata lentik tebal berdesakan demi melindungi kedua mata menawan itu. Tulang pipinya tinggi bersemu merah muda, lalu bibir merah delima yang lembut segar. Kulit wajahnya halus dan terang karena telah dirawat dengan mur dan minyak badam. Pakaiannya sutra halus yang melebar di kedua ujung tangannya dan lipitan sempurna yang membentuk buah pinggulnya ke belakang. Sebuah cincin emas kecil bergantung di hidungnya, hingga bibir atasnya. Rambut hitam ikal dan dijalin, diikat lembut di atas kepalanya dengan jepit hias emas dan mutiara. Pengikut mode dengan modal kuat.

Hati abdi Allah itu meratapi dirinya yang selalu berwajah datar seperti gurun di musim kering, yang tetap seperti itu sementara perempuan itu sedang menyebarkan uap bunga musim semi yang ramah. Akankah dia tertarik kepadaku, ya Allahku? batinnya menyesal.

“Kau seorang suci. Jangan membuka jalan kesalahan pertama. Kasihanilah Allahmu. Aku pun tidak meminta pengampunan atas dosa-dosaku. Pergilah. Kita tidak mempunyai urusan satu sama lain,” terdengar halus suara Gomer seperti aliran air yang bergelombang tenang.

“Sejak saat ini kita berurusan,” jawab abdi Allah tenang.

Perempuan itu mengangkat alisnya yang tebal, kecantikannya yang lain, bagaikan sabit bulan purnama, berkata, “Katakanlah urusanmu.”

“Aku meminangmu sebagai istriku,” ujar abdi Allah tegas.

Kembali hening. Perempuan itu memiringkan kepalanya. Ia selalu tertarik kepada laki-laki agak pemalu. Tapi telah lama ia tidak berharap untuk bisa hidup normal seperti perempuan bermartabat. Menikah dan punya anak. Yang ia tahu hanyalah bahwa kehidupannya akan berakhir pada satu titik dan setelah itu tak tahu apa. Mungkin ia akan berakhir di jalanan. Pernikahan baginya sesuatu yang terlalu mulia, bahkan mengangankannya pun ia tak sanggup. Dan sekarang, tak tanggung-tanggung, seorang abdi Allah berwajah bayi, berdiri di hadapannya, berkata dengan sederhana bahwa ia melamar menjadi istri. Bukanlah itu sebuah ironi. Atau tragedi? Baginya terlalu dramatis. Hanya ada di cerita-cerita khayalan di antara teman-temannya.

“Berikan satu alasan kenapa aku harus menerima pinanganmu?”

“Karena aku telah diperintah demikian.”

“Siapa yang memberimu perintah ganjil seperti itu?

“Allahku. Pencipta langit dan bumi ini, Pemilik semesta alam raya.”

Perempuan itu termangu. Kepalanya semakin miring.

*

“Ayah, kau takkan percaya siapa yang kulihat di pasar tadi waktu pulang sekolah,” ucap Yizrel dengan mata melotot sementara mulutnya dipenuhi nasi dan tubuhnya condong ke depan, mengesankan pentingnya apa yang tadi ia lihat.

Sang ayah menatapnya tenang, menjawab, “Tentu aku percaya. Kau yang ada di sana dan kau adalah saksi yang penting.”

“Tidak, Kak. Jangan bilang Ayah. Kakak sudah janji tadi!” seru adik perempuannya menyela, dengan wajah memelas dan suara hampir menangis.

“Uma, aku tadi memang berjanji takkan bercerita kepada Ayah. Tapi ini hal penting. Keluarga kita bukan bahan cerita di kampung ini. Apa kau mau?” bentak Yizrel dengan nada kesal sementara Uma sudah menangis, menelan makanannya tergesa didesak isak sedihnya. Usia mereka yang tidak terpaut jauh, membuat mereka bersahabat baik.

Sang ayah memandang keduanya berganti-ganti, berusaha tetap tenang, sementara di dalam hatinya seperti ada yang meluap-luap. Ia telah belajar mempercayai Majikannya dengan sepenuh jiwanya selama ini. Bahkan jalan-jalan gelap di depannya yang tidak memberinya pertanda setitik sinar sekali pun.

“Ibu di pasar. Pakaiannya buruk. Ia jelek sekali, Ayah. Aku malu melihatnya!” bentak Yizrel, tak sabar dengan keadaan itu. Sang ayah bisa tersenyum melihat Yizrel yang meletup-letup tidak sabar seperti letupan uap stew domba sedap yang biasa dimasak Sifra untuk mereka. Seperti ibunya.

“Lakukanlah sesuatu, Ayah. Jemputlah Ibu,” tangis Uma.

Yizrel memandang adiknya dengan gemas, “Jangan, Ayah. Ibu akan meninggalkan kita lagi. Dia tidak pernah sayang kepada kita, Uma. Tidak kepada Ayah atau aku. Ibu hanya ingin menyenangkan dirinya.”

Abdi Allah itu memandang Yizrel, putra sulungnya itu, yang meskipun ia berbicara dengan jengkel kepada Uma, adiknya, tapi matanya mengembang air mata. Hatinya yang lembut dan gelisah itu tak bisa menipu. Ia merindu ibunya. Seperti dirinya.

“Yizrel, darimana kamu tahu Ibu hanya ingin menyenangkan dirinya? Ayah yakin Ibu selalu mengingat dan rindu kalian meskipun ia tidak selalu bersama kita. Ibu hanya belum menemukan jalan. Pada waktunya, Ayah akan menjemput Ibu dan Ibu akan bersama kita selamanya, Yizrel,” ujar abdi Allah itu tegas kepada putra sulungnya.

Yizrel mengusap air matanya yang jatuh. Ia tahu ayahnya tidak pernah berbohong. Dan ayah selalu berusaha menghiburnya dan Uma setiap kali mereka rindu kepada Ibu.

“Ayah, sebenarnya aku memang ingin ibu pulang,” aku Yizrel. Tangis Uma reda. Wajahnya tampak cerah melihat Yizrel yang kini berubah cengeng.

“Kemarilah,” kata abdi Allah itu. Yizrel mendekat. Ayahnya sudah mengembangkan kedua tangan untuk memeluk. “Anakku, Allah ingin kita mengampuni orang lain, apapun kesalahannya dan siapapun orangnya, sebanyak tujuh kali tujuh kali tujuh, anakku. Termasuk Ibu. Kita membutuhkan Ibu, bukan? Sekarang, habiskan makananmu, jaga adik-adikmu sementara Sifra membersihkan meja dan piring. Setelah itu Ayah dan Sifra akan ke pasar menjemput Ibu,” kata abdi Allah itu.

Yizrel mengangguk-anggukkan kepalanya. Matanya diusapnya berulang-ulang seolah tak ingin tangisnya berjejak di sana.

Abdi Allah itu berdiri, memandang si dua tahun Ami, si anak kenangan, yang usianya menunjukkan rentang waktu sang ibu meninggalkannya. Ami yang malang, tak pernah dicintai tangan perempuan yang melahirkannya. Tapi ia telah menjadi bayi yang manis, tersenyum seolah berterimakasih kepada tangan yang mengelus dan menggendongnya. Ia memegang tangan Sifra, pengasuh ketiga anaknya yang setia, dari suku Benyamin yang dikirim ayahnya untuk menolong keluarga abdi Allah.

“Sifra, siapkan padi jelai yang dikirim orang Efraim itu kemarin kepada kita. Bawa juga jubah nyonyamu yang masih baik. Kita akan membawanya ke pasar,” perintah abdi Allah itu sambil mengangkat Ami ke udara dan bayi manis itu terkekeh-kekeh.

“Baik, Tuan.”

“Yizreel, jaga adik-adikmu. Ayah dan Sifra akan kembali dengan segera.”

Abdi Allah itu menuju kamarnya. Hatinya tidak tahan. Melihat Yizreel bersikap kepadanya sama seperti ia bersikap kepada Tuan Allah. Ia sungguh memahami kegelisahan putranya tersayang, karena ia juga mengalami kegelisahan yang sama, berusaha memahami Tuan Allah yang pikiranNya sungguh tak terduga harapannya. Yizreel, anakku, kita hanyalah hamba Allah, yang akan pergi ke mana Allah membawa kita, tanpa perlu bertanya. Kita takkan sanggup mengerti pikiranNya yang besar di kepala kita yang kecil. Dialah Matahari kita di waktu siang, Bulan di kala malam. Ayah pun tak mengerti, Nak. Tapi setiap kali Ayah mengerti kenapa Ayah tidak mengerti.

Ia membiarkan airmatanya yang hangat meluncur ke pipi lalu jubahnya. Tiba-tiba sesuatu ia lihat dengan jelas. Yizreel tak perlu tahu semua rencananya karena Yizreel takkan mengerti, seperti ia juga tak perlu melihat keseluruhan gambar rencana Tuan Allah terhadap hidupnya dan Gomer, karena ia takkan mengerti.

“Ya, Tuan Allah. Betapa dahsyatnya karya-Mu. Berikanlah aku pengertian untuk sanggup mengasihimu dengan tulus,” bisiknya sendirian.

Allah telah mempersiapkan hatinya. Ia telah mencintai Gomer selama ini, tak peduli Gomer telah kesekian kalinya meninggalkannya bersama anak-anak, pergi bersama laki-laki yang sanggup memenuhi keinginannya membeli pakaian-pakaian indah yang dibawa kapal-kapal pedagang dari kota Tarsis dan perlengkapan kosmetika tradisional Mesir yang diramu khusus untuk keabadian kecantikan ratu-ratu mereka.

“Lihatlah, Hosea, aku bukan perempuan yang tepat untukmu, tak cukup menjadi ibu anak-anakmu. Hidupku di jalan raya, tubuhku merindu keindahan dan pujian. Kau selalu ramah kepadaku, tapi aku tak sanggup setia seperti dirimu. Layanilah Allahmu, sumber kehidupanmu dan anak-anakmu. Hanya, izinkan aku pergi bersama keinginanku.”

Gomer, Gomer, aku sungguh mengerti keadaanmu, keinginanmu, tapi tak cukup kata dariku untuk membeberkan kasihku kepadamu. Aku telah mencintaimu sebelum aku mengenalmu, sebelum aku merasakan lezatnya kue kismis takaranmu. Aku bukan mencintaimu karena apa yang telah kaulakukan padaku. Aku mencintaimu karena keseluruhan dirimu. Mengertikah kau cinta semacam ini, Gomer?

Allah telah berbicara kepadanya menjelang fajar tadi. Kata-kata penuh kekuatan yang memberinya harapan. Bagaimana aku tahu kali ini akan berhasil, Tuan Allahku?

Aku akan memulihkan ketidaksetiaan mereka
Mengasihi mereka dengan tulus
Sebab marahKu telah reda
Aku akan menjadi seperti embun pagi bagi Israel
Ia akan mekar menjadi bunga bakung yang indah
Ia akan menjulurkan akarnya kuat-kuat seperti pohon mawar
Ranting-rantingnya akan merambat tinggi

Kecantikannya seperti pohon zaitun
Dan termasyur bagaikan kayu aras
Mereka akan kembali dan diam dalam naungan-Ku
Mereka akan tumbuh subur bagaikan kebun yang dirawat pemiliknya
Akan lebat berbunga seperti pohon anggur
Harum mereka akan tercium sampai jauh seperti anggur dari Lebanon.

Air matanya mengalir, matanya menjadi panas. Ia merindu Gomer.

Jadi, mengapa engkau telah berlaku tidak setia kepada-Ku sehingga engkau pergi
bersama berhala-berhalamu?

Akulah yang selama ini telah memelihara hari-harimu
Telah menjadi pohon sanobar yang hijau sepanjang tahun bagimu
Karena Aku, isi kebunmu menghasilkan buah yang matang dan harum-ranum


Abdi Allah itu kini mengerti kenapa seorang bapak dengan wajah bijaksana dari suku Efraim berjalan kaki puluhan kilometer demi menemuinya, memberinya salam dan memberi sekantong perak berisi 15 syikal perak atau setara dengan 161 gram perak dan sehomer jelai atau seberat 180 liter dan seekor domba jantan berumur dua tahun.

“Tuan Allah memintaku memberimu semua ini. Ia sendiri yang mempersiapkannya untukmu. Terimalah,” kata lelaki bijaksana itu.

Abdi Allah itu menyembunyikan kantong perak di balik jubahnya yang lebar dan membagi jelai dalam dua karung sehingga ia dan Sifra bisa membawanya. Mereka tiba di pasar lewat tengah hari. Matahari telah membayang dua puluh sentimeter panjangnya dari kepala mereka. Hampir pukul tiga sore. Tapi pasar masih tampak ramai.

Dari kejauhan abdi Allah itu melihat satu kerumunan. Seorang laki-laki berteriak-teriak seperti orang gila, berusaha menarik peminat untuk membeli seorang perempuan yang sekarang sudah tidak lagi memuaskan dahaya tubuhnya namun masih bisa bermanfaat bila dijadikan budak untuk bekerja di ladang atau mengurus ternak atau menjadi selimut malam bila sesekali diperlukan. Laki-laki itu tergesa menjual sebelum harga perempuan itu semakin turun karena usia tua tak berguna.

Perempuan untuk dijual itu adalah Gomer. Hati abdi Allah itu bergetar penuh penyesalan mengingat istrinya mungkin sudah lebih dari setengah hari dipertontonkan kepada seisi pasar dan tidak seorang pun memedulikannya. Ia menengok ke sisi kirinya, melihat wajah Sifra yang redup dan mata berkaca-kaca memandang nyonyanya bersandar tak berdaya pada sebuah tiang, berusaha menutupi wajahnya dengan rambutnya yang masai. Tak tahan melihat pemandangan itu dan mulut laki-laki yang terus meracau, Abdi Allah itu melangkah lebar ke arah laki-laki pedagang. Sifra mengikutinya dari belakang.

Gomer. Kecantikan yang sudah tidak muda lagi. Namun sisa-sisa kemolekan tubuhnya masih bisa terlihat meski sudah mengembang karena usia dan tiga anak yang lahir darinya. Dan laki-laki pedagang itu dengan sengaja membuka tubuh Gomer agar terlihat hampir seluruhnya untuk menggambarkan apa yang ditawarkan benar adanya. Ia terus meracau menyebutkan harga, ingin barang dagangannya laku sebelum malam tenggelam.

Mulut pedagang itu berhenti berbicara ketika melihat seorang dengan jubah sederhana berhenti satu meter di hadapannya. Ia terdiam karena sepertinya ia masih mengingat bahwa perempuan miliknya pernah menjadi istri seorang abdi Allah. Sungguh di luar perkiraannya bila abdi Allah itu kini datang menebusnya setelah perempuan ini memuaskan dirinya dengan berbagai laki-laki dari segala bangsa.

“Perempuan ini istriku, aku datang akan menebusnya. Sekantong perak ini nilainya lebih dari cukup untuk membayar biaya yang kaukeluarkan ketika istriku bersamamu. Juga dua karung jelai ini sebagai tambahan sebagai ucapan terimakasihku telah merawat istriku,” ucap abdi Allah itu sambil memandang laki-laki penjual tepat di bola matanya.

Laki-laki pedagang itu tidak berbicara sepatah kata pun, kecuali menerima kantung perak dari tangan sang abdi Allah.

Gomer menoleh seketika mendengar suara yang pernah sangat dikenalnya. Abdi Allah itu memandang Gomer. Gomer memandang suaminya dan Sifra berganti-ganti dengan bibir gemetar. Abdi Allah itu segera mengambil jubah dari tangan Sifra, mendekat ke arah Gomer, menutupi tubuh hampir telanjang itu perlahan. Ia merangkul bahu Gomer, mencium rambut-rambut di kepalanya, berbisik, “Mari kita pulang ke rumah. Kami menunggumu. Maafkan telah membiarkanmu terlalu lama di sini, Gomer.”

Gomer akan angkat bicara tapi abdi Allah itu memberi isyarat untuk diam. Sifra mengusap matanya, sementara sang pedagang berdiri bergeming, dengan sekantung perak di tangana dan dua karung berjejer di dekat kakinya.

Pasar yang tadi senyap itu mulai bersuara kembali. Hari semakin sore. Abdi Allah itu tersenyum lembut kepada Gomer, berkata pelan bahwa Sifra sudah memasak stew domba untuk menyambut kedatangannya, yang rasanya hampir menyamai kelezatan stew buatannya. Sifra mengangguk dalam-dalam, membenarkan perkataan tuannya. Gomer memandang Sifra, membiarkan air matanya jatuh, seolah berkata, terimakasih, Sifra, setelah ini akulah yang akan memasak stew domba untuk keluargaku.

Bibirnya semakin bergetar. Untuk pertama kalinya ia menyebut nama Allah suaminya, di hatinya yang remuk.

*

Buat JJ
Ita Siregar, Maret 2009