Sabtu, 06 Juni 2015

Tangan Kiri Tuhan (Cerber #3)

Dewi Dapur 
Dulu Leo berpikir ibunya seorang dewi yang turun dari nirwana untuk memeriksa kebersihan gigi, lubang kuping, rambut, kuku, dan kulit anak-anaknya. Karena ibunya selalu menemukan rahasia yang berusaha disembunyikan tiga laki-laki kecil di rumahnya, mereka akan menjawab apa yang ditanyakan, tak mau bohong, dan semuanya akan baik-baik saja.  
Hari-hari tertentu ibunya akan membawa ketiga anak lelakinya ke tukang cukur. Rambut tak pernah lebih dari tiga senti. Kuku harus terpotong rapi. Lain waktu ke dokter gigi. Satu per satu mereka antre duduk untuk diperiksa. Tiap kali salah satu dari mereka sakit panas atau lesu, akan dibawa ke dokter tua yang ramah, namanya dokter Oei.
Ayahnya cenderung tenang dan pendiam. Ibunya lebih banyak bicara karena dialah yang harus mengatur orang-orang yang bekerja di rumah. Namun ayahnya lebih sering meredakan ibunya yang segera risau bila keadaan berubah atau sesuatu yang tidak diinginkan, terjadi.
Dulu, tiap pagi Leo akan turun dari kamarnya di lantai dua dan melihat ibunya sedang mengatur sarapan di meja makan. Bubur nasi kental yang mengepul harum, telur ayam kampung setengah matang untuk dibubuhi sedikit garam, segelas susu hangat. Ketiga anak harus menghabiskan semua itu, tidak boleh tidak. Pak dan Bu Tani  akan menangis bila nasi di piring tidak dihabiskan, kata ibunya.
Anak-anak dan ayahnya duduk di meja makan, menunggu segala kebaikan dari tangan ibunya yang cekatan. Kemudian ayahnya akan mengantar mereka ke sekolah. Ayahnya yang agak pendiam itu bekerja lebih pagi dari sesamanya yang lain. Siang hari, ayahnya menyuruh sopir menjemput mereka di sekolah, untuk mengantar pulang.
Di rumah, Bik Lasmi sudah menanti dengan setia. Anak-anak sudah tahu apa yang harus dilakukan setibanya di rumah. Mandi, mengenakan pakaian rumah, duduk di meja makan, menyantap makan siang buatan Si Bibik.
Di meja makan, Bik Lasmi menyediakan rawon lengkap, sayur asam dan kawan-kawannya, lodeh bersantan manis, ayam goreng ikan asin, sambal. Di antara ketiga anak, Leo yang paling sering bertanya apa ini apa itu kepada Bik Lasmi, dan Bik Lasmi akan menjawab ini-itu dengan sabar. Abangnya hanya mengunyah dan menghabiskan makanannya, tak peduli pembicaraan adiknya dengan Bik Lasmi. Sementara adik bungsu mereka yang masih balita itu, dijaga oleh babysitter, ikut berceloteh tak penting dan terkekeh-kekeh girang menyaksikan kedua abangnya makan.
Bik Lasmi bukan orang baru di rumah itu. Bibik ini sudah kenal ayah ibu mereka sebelum mereka lahir. Antar mereka sudah ada kepercayaan. Anak-anak harus mendengar dan mematuhi apa yang dikatakan Bik Lasmi.
“Jangan menyuruh-nyuruh Bik Lasmi kalau bisa kamu kerjakan sendiri!”
Bik Lasmi asli Madiun. Sebelum bekerja untuk orangtua mereka, ia sudah menjadi pembantu dari satu rumah ke rumah lain. Ia sempat keluar karena menikah dan kembali ke desanya. Di sana ia melahirkan dua anak dalam jarak dekat, Joko dan Jono. Tak lama suaminya berselingkuh, berkali-kali, dengan janda muda tetangga mereka, kemudian menikahi janda itu dan meninggalkan Bik Lasmi dan anak-anaknya. Balik Bik Lasmi yang menjadi janda muda. Ia harus menghidupi dua anak karena suaminya sama sekali tidak lagi bisa diharapkan.
Dia bekerja di sana-sini tetapi tak membuatnya tenang dan merasa cukup. Lalu ia menelepon ibunya, kalau-kalau ibunya perlu tenaganya. Mendengar apa yang terjadi, ibunya meminta Bik Lasmi kembali, meski di rumah ada dua pembantu. Bik Lasmi ke Jakarta, Joko dan Jono dititipkan kepada Mbahnya, ibunya Bik Lasmi.
Sekali dua bulan ibunya menyuruh Bik Lasmi pulang menengok kedua anak dan orangtuanya. Saat liburan sekolah, ibunya mendatangkan Joko, Jono, dan Mbahnya, dan tinggal di Jakarta. Selama itu keluarga berlibur ke luar kota atau ke luar negeri. Joko dan Jono dibiayai sekolahnya sampai tingkat yang mereka mampu. Sekarang mereka sudah berkeluarga. 
Selesai makan Bik Lasmi mengizinkan mereka bermain sebelum tidur siang. Setelah itu mereka harus mengerjakan pe-er dan belajar. Kadang-kadang Bik Lasmi memberi kelonggaran tambahan waktu bermain bila mereka merengek. Nanti bangun dari tidur siang, Bik Lasmi sudah siap dengan segelas besar jus buah segar.  
Pukul lima sore kedua orangtua mereka tiba di rumah. Tangan ibunya langsung membereskan dan merapikan apa saja yang kelihatan canggung. Bik Lasmi akan melaporkan kejadian hari itu. Semua lancar, anak-anak nurut, nyonya. Nyonyanya akan mengangguk-angguk percaya, sambil tangannya terus memeriksa apakah ada debu yang melekat di bawah meja.
Bagi ibunya, lantai harus kesat dan dingin, tak boleh berdebu. Kalau ada yang perlu diperbaiki, ibunya langsung mengerjakan tanpa banyak bicara, tanpa gerak dibuat-buat sebagai penanda yang mengancam atau melecehkan para asistennya di rumah, untuk menunjukkan bahwa mereka tidak becus bekerja. Ibunya bukan yang sejenis itu.   
Kamar anak-anak selalu dalam kondisi bersih teratur. Pakaian tersusun rapi di dalam lemari. Ada satu ruang khusus untuk anak-anak bermain. Mainan tak boleh dibawa keluar ruangan agar mudah dikumpulkan dan dimasukkan lagi ke rak atau ke dalam boks mainan. Sehabis main, anak wajib membereskan sendiri mainannya. Kalau ada mainan yang merana tidak pada tempatnya, anak lelaki yang lain tahu betul, itu perbuatan siapa. Dengan sedikit lirikan mata saudara mereka, si bersalah akan menaruh mainan kembali pada tempatnya.
Sore sehabis kerja, ayahya akan mengajak anak-anaknya berolahraga. Seringnya bermain bulutangkis. Kubu ayahnya melawan kubu Leo dan abangnya. Dede Kiki masih terlalu kecil ikut bermain. Kegiatan olahraga akan berlangsung satu jam. Pukul enam selesai. Mereka berhenti sejenak untuk menurunkan suhu tubuh yang panas, baru mereka mandi untuk ketiga kalinya hari itu.
Pukul 7 meja makan sudah siap. Mereka berpakaian rapi dan bersih menghadap makanan. Makan malam selalu istimewa karena ibunya yang memasak. Sedikitnya ada lima jenis hidangan tersedia. Sup, dua macam sayuran, ikan dan daging. Peralatan makan hanya piring berukuran sedang, sendok dan sumpit, tanpa garpu. Nasi hangat dan sup atau kuah ditaruh di mangkuk. Sayur dan lauk ditaruh di piring. Sumpit untuk menyuapkan nasi dan menjumput sayur atau ikan, sendok untuk mengambil kuah atau sup.
Tangan ibunya gesit karena melayani empat laki-laki di meja makan, dan dia pun harus makan. Bila menyediakan udang, ibunya sudah mengupas udang, anak-anak tinggal makan. Anak-anak harus menghabiskan makanan yang ditaruh ibu di piring mereka.
“Makan pelan-pelan. Jangan buru-buru, nanti keselek,” kata ibunya.
Makan malam itu terasa terlalu panjang bagi anak-anak sehingga membosankan, tetapi makanan selalu enak. Setelah dewasa Leo tahu kenapa makan malam mereka lebih serius daripada waktu makan yang lain, karena ayahnya tak biasa makan siang. Dia sarapan bubur, lalu buah atau jus siang hari. Karena ayah adalah kepala rumah tangga dan tulang punggung yang mencari nafkah, ibunya menghormati dengan menyelenggarakan makan malam berseri.  
Di meja makan anak-anak menunggu. Ibunya akan menaruh segala makanan di piring mereka. Mereka akan ditegur kalau kelihatan malas atau melakukan gerakan-gerakan tak perlu. Mereka tak boleh mengeluh soal makanan.
“Ini makanan terbaik. Kita harus bersyukur punya makanan untuk dimakan,” kata ibunya.
Pada akhir pekan ibunya tak memasak karena ayahnya akan membawa mereka ke restoran untuk makan malam. Kadang-kadang ayahnya mengajak satu keluarga lain ikut bersama mereka. Dan harus mengenakan pakaian bersih saat keluar makan sebagai penghormatan terhadap makanan dan kesehatan, dan keluarga yang diundang.
Rumah selalu tenang dan damai. Tak pernah ada keributan atau pembicaraan tak penting di dalamnya. Anak-anak tak pernah melihat perselisihan antara ayah dan ibu mereka. Kalau terjadi ketegangan di antara suami-istri itu, yang terlihat adalah ibunya berbicara lebih sedikit dan menghindari bertatapan mata dengan ayah mereka. Makan malam akan tetap terselenggara. Namun ayahnya akan lebih cepat meninggalkan meja makan.
Dulu ia pengikut abangnya. Koko sering mengajaknya bermain tentara-tentaraan yang terbuat dari plastik. Tetapi Kokonya tidak menyukai adiknya bila terlalu mengekor apa yang dilakukannya, meski ia senang dianggap hebat oleh adiknya. Karena itu ia sering melakukan hal-hal yang menjengkelkan adiknya.
Sebelum Koko naik ke SMP, mereka tinggal satu kamar. Tempat tidur mereka bersisian. Kalau turun tempat tidur, dengan sengaja agar dilihat adiknya, Koko  akan mengoleskan ingus di tempat tidur adiknya. Melihat itu, Leo yang paling pembersih dari mereka bertiga, gusar dan meradang. Tetapi ia tidak berani marah kepada abangnya. Jadi untuk membalas, ia akan melakukan hal sama, memaksa diri mengeluarkan ingus, kalau tidak ada ingus ludah, lalu ia oleskan cairan itu dalam-dalam ke seprai tempat tidur abangnya.
Bagi  Koko, tindakan seperti itu sama sekali tak masalah. Melihat itu Leo menjadi kesal. Lalu dengan suara tertahan, dia akan membuat garis pengaman, wilayah kekuasaan masing-masing. Barang siapa menyentuh batas tempat tidur yang lain, boleh berteriak sekencangnya, mengadu kepada orang dewasa di rumah, dan melaporkan kejahatan pelanggaran.
“Kena batas, Koko!” teriak Leo.
Kokonya tak peduli. Leo akan berteriak lebih keras, disambut ejekan Kokonya. Leo akan tetap berteriak sampai ada orang dewasa naik ke lantai dua, bertanya apa masalahnya, menentukan siapa yang lebih dulu salah, kemudian mendamaikan. Koko bersikap tak peduli meski Leo sudah setuju berdamai.
Perseteruan bisa berlanjut ke meja makan. 
“Tet,” ujar abangnya.
“Tot,” jawab Leo kesal.
“Tet.”
“Tot.”
Kepala adik mereka akan bolak-balik memandangi kedua abangnya yang bertingkah aneh. Orangtuanya sedapat mungkin menunggu anak-anak itu berdamai dengan sukarela, tetapi itu jarang terjadi.
Kemudian suara saling-sahut tet-tot-tet-tot akan berfrekuensi makin cepat. Koko mengata-ngatai tet karena Leo pernah memelihara burung betet. Leo menjawab tot, berusaha mencocokkan potongan nama Indonesia Kokonya, Sudianto. Ia merasa sedih dengan karangannya itu karena tidak terlalu berpengaruh membuat abangnya kesal.
“Kapan kalian akan menghabiskan makanan kalau begini terus?” tanya ibunya putus asa.
Kadang-kadang Leo lebih dulu iseng mengganggu Kokonya. Koko paling benci makanan dari telur. Dia sudah muak dengan rasa telur ayam kampung setengah matang sejak kecil. Kalau Bik Lasmi menyajikan telur di meja makan, Leo bekerja tanpa diketahui, menanam telur di dalam nasi Koko. Dia akan tertawa penuh rasa puas mendengar jeritan Kokonya saat menemukan potongan telur di mulutnya.  
Tetapi pada saatnya Koko adalah abang yang bertanggung jawab. Ia ingat ketika masih kelas 4 SD, dia diganggu anak kelas 5. Dia tidak mengadu, tetapi Koko mendatangi anak itu, mengancam akan memukulnya kalau masih mengganggu adiknya. Diam-diam ia bangga sekali dibela oleh abangnya.
Leo kagum kepada abangnya karena Koko pintar fisika. Koko juga lebih disukai anak-anak perempuan di sekolah karena dia bersikap tak peduli dan suka gaya rambut acak-acakan. Aneh sekali memang.
Ketika SMP, ayah dan ibunya akan mengirim mereka dengan pesawat untuk berlibur ke Bangka, ke rumah Kungkung dan Popo. Saat itu mereka lebih bisa menjadi sahabat yang saling mengandalkan.  
Sementara itu dia merasa tidak mengenal adiknya lebih baik ia mengenal Kokonya. Adiknya lahir ketika dia sudah sekolah dan sibuk dengan teman-temannya sendiri. Dia hanya ingat saat-saat mereka pergi bersama dan ibunya akan lebih banyak mengurus adiknya. Karena itu dia akan lebih sibuk dan terfokus dengan gerakan abangnya.
Kenangan pada masa itu membuatnya rindu. Sekarang Koko Toto dan Dede Kiki menetap di luar negeri dengan keluarga masing-masing. Hanya dia sendiri yang belum berkeluarga. Dan itu pula yang membuat kedua orangtuanya cemas. Kesendiriannya. Laki-laki harus berpasangan agar ada yang mengurus. Kenapa? Karena perempuan lebih bisa mengurus dirinya sendiri daripada seorang laki-laki.
Tetapi dia tidak menyesali keadaannya sekarang ini. Ini adalah keadaan yang paling sempurna, menurutnya. Tak ada sesuatu pun yang kurang di dalam dirinya, apa pun. Entah berapa kali ia berkhayal, seandainya diberi kesempatan melewati lorong waktu, ia akan kembali ke masa itu. Bukan karena ia merasa tertinggal sendirian, tetapi ia menginginkan perasaan yang sederhana di masa lalu.
Sedikit banyak ia merasa mengenali jiwa Kokonya meski dia tak bisa menjelaskannya dengan kata-kata. Dia merasa tahu betul apa yang diinginkan Koko, yang sebenarnya. Sewaktu Koko akan berangkat ke Melbourne untuk melanjutkan sekolah selepas SMA, wajahnya sumringah bukan main. Di bandara, ia bersemangat mengucapkan selamat tinggal kepada orangtua dan kedua adik lelakinya. Jenggotnya dan rambutnya sudah panjang dan ia berjanji sepasti udara kepada ibunya untuk pergi ke tukang cukur setibanya di sana.
Ibunya masih menyampaikan pesan-pesan terakhir dan berulang kali Koko mengangguk-anggukkan kepalanya dengan cepat, tak sabar. Ia seperti sudah mendengar ibunya berkata seperti itu, ratusan kali, dalam kesadarannya. Ayahnya hanya memandangi anak sulungnya, menyalami sekali, dan menepuk lengan kiri atasnya.
“Mami dan Papi akan menengok bulan depan,” kalimat ibunya masih terus menyembul.
“Kalau Mami Papi sibuk, tak usah datang tak apa,” jawab Koko cepat.
Leo mendengar kalimat itu berbunyi, jangan tengok aku sekarang-sekarang ini. Leo tahu, bagi Kokonya, inilah saatnya Koko menghirup udara kebebasannya sebagai seorang laki-laki, di negeri yang baru.
Ia sering kagum bagaimana abangnya yang tampil awut-awutan digemari banyak gadis. Tulisan tangan Koko begitu buruk tetapi teman-temannya suka meminjam buku catatan fisikanya seoleh-oleh mereka bisa membacanya. Nilai Koko selalu sepuluh untuk fisika dan matematika.
Tiap kali ibunya mengingatkan Koko untuk memasukkan kaos atau kemeja di balik celananya, mengenakan ikat pinggang, dan menyisir rambut. Kadang-kadang Koko mendengarkan tetapi lebih sering ia lupa. Sampai akhirnya ibunya berdamai dengan keadaan itu, tak lagi menghabiskan waktunya hanya untuk mengomeli anak sulungnya itu. Ketika Koko memutuskan memelihara jenggot saat SMA, ibunya hanya pasrah, memintanya untuk rajin mencukur agar wajahnya tidak makin berantakan.   
Leo merasa tak bisa menjadi seperti Kokonya. Jalan hidup mereka berbeda. Ia merasa hidup saat membaca. Karena itu satu saat ia memutuskan untuk tidak lagi menjadi pengikut abangnya dan menentukan tujuannya sendiri. Menyendiri, dan membaca kitab-kitab buddhis, sejarah Siddharta Gautama, karya sastra yang mendapat pujian dari dunia. Ia pernah kagum kepada seorang biksu Lian Fei beraliran Tibet yang mengatakan tubuhnya  sakit, padahal ia belum berkata sesuatu pun kepada biksu itu. Akhirnya dari biksu itu pula ia belajar bahasa Sansekerta sambil membaca literasi kebuddhaan. 
Kokonya makin digemari gadis-gadis, Leo menenggelamkan dirinya di perpustakaan dan meminjam buku-buku yang ada di sana. Ia merasa sudah membaca semua buku sastra dunia yang dimiliki perpustakaan sekolahnya. Padahal ia masih punya banyak waktu sehingga ia perlu membaca lebih banyak dan lebih banyak lagi agar bisa melewatkan hari. Ia mendisiplin dirinya dan sedikit demi sedikit ia mulai melatih kesadarannya dan mengenal dirinya dengan baik. 
Orangtuanya tidak mengizinkan ketiga anak lelakinya nongkrong atau keluyuran seperti anak muda pada umumnya. Alasannya kegiatan itu tidak bermanfaat dan dilakukan oleh orang-orang yang tidak punya tujuan hidup. Pergunakan waktu kalian sebaik mungkin karena waktu tak bisa kembali, pesan ibunya.
Ia tahu ibunya tidak mengatakan itu hanya sekedar membuka mulut. Ia bahkan belum pernah melihat ibunya tidur siang atau ayahnya duduk melamun.   

*

Bersambung ke bagian 4 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar