Dewi Dapur
Dulu Leo
berpikir ibunya seorang dewi yang turun dari nirwana untuk memeriksa kebersihan
gigi, lubang kuping, rambut, kuku, dan kulit anak-anaknya. Karena ibunya selalu
menemukan rahasia yang berusaha disembunyikan tiga laki-laki kecil di rumahnya,
mereka akan menjawab apa yang ditanyakan, tak mau bohong, dan semuanya akan
baik-baik saja.
Hari-hari tertentu
ibunya akan membawa ketiga anak lelakinya ke tukang cukur. Rambut tak pernah
lebih dari tiga senti. Kuku harus terpotong rapi. Lain waktu ke dokter gigi.
Satu per satu mereka antre duduk untuk diperiksa. Tiap kali salah satu dari
mereka sakit panas atau lesu, akan dibawa ke dokter tua yang ramah, namanya
dokter Oei.
Ayahnya
cenderung tenang dan pendiam. Ibunya lebih banyak bicara karena dialah yang
harus mengatur orang-orang yang bekerja di rumah. Namun ayahnya lebih sering
meredakan ibunya yang segera risau bila keadaan berubah atau sesuatu yang tidak
diinginkan, terjadi.
Dulu, tiap
pagi Leo akan turun dari kamarnya di lantai dua dan melihat ibunya sedang mengatur
sarapan di meja makan. Bubur nasi kental yang mengepul harum, telur ayam
kampung setengah matang untuk dibubuhi sedikit garam, segelas susu hangat.
Ketiga anak harus menghabiskan semua itu, tidak boleh tidak. Pak dan Bu Tani akan menangis bila nasi di piring tidak
dihabiskan, kata ibunya.
Anak-anak
dan ayahnya duduk di meja makan, menunggu segala kebaikan dari tangan ibunya
yang cekatan. Kemudian ayahnya akan mengantar mereka ke sekolah. Ayahnya yang
agak pendiam itu bekerja lebih pagi dari sesamanya yang lain. Siang hari,
ayahnya menyuruh sopir menjemput mereka di sekolah, untuk mengantar pulang.
Di rumah,
Bik Lasmi sudah menanti dengan setia. Anak-anak sudah tahu apa yang harus
dilakukan setibanya di rumah. Mandi, mengenakan pakaian rumah, duduk di meja
makan, menyantap makan siang buatan Si Bibik.
Di meja
makan, Bik Lasmi menyediakan rawon lengkap, sayur asam dan kawan-kawannya,
lodeh bersantan manis, ayam goreng ikan asin, sambal. Di antara ketiga anak,
Leo yang paling sering bertanya apa ini apa itu kepada Bik Lasmi, dan Bik Lasmi
akan menjawab ini-itu dengan sabar. Abangnya hanya mengunyah dan menghabiskan
makanannya, tak peduli pembicaraan adiknya dengan Bik Lasmi. Sementara adik
bungsu mereka yang masih balita itu, dijaga oleh babysitter, ikut berceloteh
tak penting dan terkekeh-kekeh girang menyaksikan kedua abangnya makan.
Bik Lasmi
bukan orang baru di rumah itu. Bibik ini sudah kenal ayah ibu mereka sebelum
mereka lahir. Antar mereka sudah ada kepercayaan. Anak-anak harus mendengar dan
mematuhi apa yang dikatakan Bik Lasmi.
“Jangan
menyuruh-nyuruh Bik Lasmi kalau bisa kamu kerjakan sendiri!”
Bik Lasmi
asli Madiun. Sebelum bekerja untuk orangtua mereka, ia sudah menjadi pembantu
dari satu rumah ke rumah lain. Ia sempat keluar karena menikah dan kembali ke
desanya. Di sana ia melahirkan dua anak dalam jarak dekat, Joko dan Jono. Tak
lama suaminya berselingkuh, berkali-kali, dengan janda muda tetangga mereka,
kemudian menikahi janda itu dan meninggalkan Bik Lasmi dan anak-anaknya. Balik
Bik Lasmi yang menjadi janda muda. Ia harus menghidupi dua anak karena suaminya
sama sekali tidak lagi bisa diharapkan.
Dia
bekerja di sana-sini tetapi tak membuatnya tenang dan merasa cukup. Lalu ia
menelepon ibunya, kalau-kalau ibunya perlu tenaganya. Mendengar apa yang
terjadi, ibunya meminta Bik Lasmi kembali, meski di rumah ada dua pembantu. Bik
Lasmi ke Jakarta, Joko dan Jono dititipkan kepada Mbahnya, ibunya Bik Lasmi.
Sekali dua
bulan ibunya menyuruh Bik Lasmi pulang menengok kedua anak dan orangtuanya.
Saat liburan sekolah, ibunya mendatangkan Joko, Jono, dan Mbahnya, dan tinggal
di Jakarta. Selama itu keluarga berlibur ke luar kota atau ke luar negeri. Joko
dan Jono dibiayai sekolahnya sampai tingkat yang mereka mampu. Sekarang mereka
sudah berkeluarga.
Selesai
makan Bik Lasmi mengizinkan mereka bermain sebelum tidur siang. Setelah itu mereka
harus mengerjakan pe-er dan belajar. Kadang-kadang Bik Lasmi memberi
kelonggaran tambahan waktu bermain bila mereka merengek. Nanti bangun dari
tidur siang, Bik Lasmi sudah siap dengan segelas besar jus buah segar.
Pukul lima
sore kedua orangtua mereka tiba di rumah. Tangan ibunya langsung membereskan
dan merapikan apa saja yang kelihatan canggung. Bik Lasmi akan melaporkan
kejadian hari itu. Semua lancar, anak-anak nurut, nyonya. Nyonyanya akan
mengangguk-angguk percaya, sambil tangannya terus memeriksa apakah ada debu
yang melekat di bawah meja.
Bagi
ibunya, lantai harus kesat dan dingin, tak boleh berdebu. Kalau ada yang perlu
diperbaiki, ibunya langsung mengerjakan tanpa banyak bicara, tanpa gerak
dibuat-buat sebagai penanda yang mengancam atau melecehkan para asistennya di
rumah, untuk menunjukkan bahwa mereka tidak becus bekerja. Ibunya bukan yang
sejenis itu.
Kamar
anak-anak selalu dalam kondisi bersih teratur. Pakaian tersusun rapi di dalam
lemari. Ada satu ruang khusus untuk anak-anak bermain. Mainan tak boleh dibawa
keluar ruangan agar mudah dikumpulkan dan dimasukkan lagi ke rak atau ke dalam
boks mainan. Sehabis main, anak wajib membereskan sendiri mainannya. Kalau ada
mainan yang merana tidak pada tempatnya, anak lelaki yang lain tahu betul, itu
perbuatan siapa. Dengan sedikit lirikan mata saudara mereka, si bersalah akan
menaruh mainan kembali pada tempatnya.
Sore
sehabis kerja, ayahya akan mengajak anak-anaknya berolahraga. Seringnya bermain
bulutangkis. Kubu ayahnya melawan kubu Leo dan abangnya. Dede Kiki masih
terlalu kecil ikut bermain. Kegiatan olahraga akan berlangsung satu jam. Pukul
enam selesai. Mereka berhenti sejenak untuk menurunkan suhu tubuh yang panas,
baru mereka mandi untuk ketiga kalinya hari itu.
Pukul 7
meja makan sudah siap. Mereka berpakaian rapi dan bersih menghadap makanan.
Makan malam selalu istimewa karena ibunya yang memasak. Sedikitnya ada lima
jenis hidangan tersedia. Sup, dua macam sayuran, ikan dan daging. Peralatan
makan hanya piring berukuran sedang, sendok dan sumpit, tanpa garpu. Nasi
hangat dan sup atau kuah ditaruh di mangkuk. Sayur dan lauk ditaruh di piring.
Sumpit untuk menyuapkan nasi dan menjumput sayur atau ikan, sendok untuk
mengambil kuah atau sup.
Tangan
ibunya gesit karena melayani empat laki-laki di meja makan, dan dia pun harus
makan. Bila menyediakan udang, ibunya sudah mengupas udang, anak-anak tinggal
makan. Anak-anak harus menghabiskan makanan yang ditaruh ibu di piring mereka.
“Makan
pelan-pelan. Jangan buru-buru, nanti keselek,” kata ibunya.
Makan
malam itu terasa terlalu panjang bagi anak-anak sehingga membosankan, tetapi
makanan selalu enak. Setelah dewasa Leo tahu kenapa makan malam mereka lebih
serius daripada waktu makan yang lain, karena ayahnya tak biasa makan siang.
Dia sarapan bubur, lalu buah atau jus siang hari. Karena ayah adalah kepala
rumah tangga dan tulang punggung yang mencari nafkah, ibunya menghormati dengan
menyelenggarakan makan malam berseri.
Di meja
makan anak-anak menunggu. Ibunya akan menaruh segala makanan di piring mereka.
Mereka akan ditegur kalau kelihatan malas atau melakukan gerakan-gerakan tak
perlu. Mereka tak boleh mengeluh soal makanan.
“Ini
makanan terbaik. Kita harus bersyukur punya makanan untuk dimakan,” kata
ibunya.
Pada akhir
pekan ibunya tak memasak karena ayahnya akan membawa mereka ke restoran untuk
makan malam. Kadang-kadang ayahnya mengajak satu keluarga lain ikut bersama
mereka. Dan harus mengenakan pakaian bersih saat keluar makan sebagai
penghormatan terhadap makanan dan kesehatan, dan keluarga yang diundang.
Rumah
selalu tenang dan damai. Tak pernah ada keributan atau pembicaraan tak penting
di dalamnya. Anak-anak tak pernah melihat perselisihan antara ayah dan ibu
mereka. Kalau terjadi ketegangan di antara suami-istri itu, yang terlihat
adalah ibunya berbicara lebih sedikit dan menghindari bertatapan mata dengan
ayah mereka. Makan malam akan tetap terselenggara. Namun ayahnya akan lebih
cepat meninggalkan meja makan.
Dulu ia pengikut
abangnya. Koko sering mengajaknya bermain tentara-tentaraan yang terbuat dari
plastik. Tetapi Kokonya tidak menyukai adiknya bila terlalu mengekor apa yang
dilakukannya, meski ia senang dianggap hebat oleh adiknya. Karena itu ia sering
melakukan hal-hal yang menjengkelkan adiknya.
Sebelum
Koko naik ke SMP, mereka tinggal satu kamar. Tempat tidur mereka bersisian.
Kalau turun tempat tidur, dengan sengaja agar dilihat adiknya, Koko akan mengoleskan ingus di tempat tidur
adiknya. Melihat itu, Leo yang paling pembersih dari mereka bertiga, gusar dan
meradang. Tetapi ia tidak berani marah kepada abangnya. Jadi untuk membalas, ia
akan melakukan hal sama, memaksa diri mengeluarkan ingus, kalau tidak ada ingus
ludah, lalu ia oleskan cairan itu dalam-dalam ke seprai tempat tidur abangnya.
Bagi Koko, tindakan seperti itu sama sekali tak
masalah. Melihat itu Leo menjadi kesal. Lalu dengan suara tertahan, dia akan
membuat garis pengaman, wilayah kekuasaan masing-masing. Barang siapa menyentuh
batas tempat tidur yang lain, boleh berteriak sekencangnya, mengadu kepada
orang dewasa di rumah, dan melaporkan kejahatan pelanggaran.
“Kena
batas, Koko!” teriak Leo.
Kokonya
tak peduli. Leo akan berteriak lebih keras, disambut ejekan Kokonya. Leo akan
tetap berteriak sampai ada orang dewasa naik ke lantai dua, bertanya apa
masalahnya, menentukan siapa yang lebih dulu salah, kemudian mendamaikan. Koko
bersikap tak peduli meski Leo sudah setuju berdamai.
Perseteruan
bisa berlanjut ke meja makan.
“Tet,”
ujar abangnya.
“Tot,”
jawab Leo kesal.
“Tet.”
“Tot.”
Kepala
adik mereka akan bolak-balik memandangi kedua abangnya yang bertingkah aneh.
Orangtuanya sedapat mungkin menunggu anak-anak itu berdamai dengan sukarela,
tetapi itu jarang terjadi.
Kemudian
suara saling-sahut tet-tot-tet-tot akan berfrekuensi makin cepat. Koko mengata-ngatai
tet karena Leo pernah memelihara burung betet. Leo menjawab tot, berusaha
mencocokkan potongan nama Indonesia Kokonya, Sudianto. Ia merasa sedih dengan
karangannya itu karena tidak terlalu berpengaruh membuat abangnya kesal.
“Kapan
kalian akan menghabiskan makanan kalau begini terus?” tanya ibunya putus asa.
Kadang-kadang
Leo lebih dulu iseng mengganggu Kokonya. Koko paling benci makanan dari telur.
Dia sudah muak dengan rasa telur ayam kampung setengah matang sejak kecil.
Kalau Bik Lasmi menyajikan telur di meja makan, Leo bekerja tanpa diketahui,
menanam telur di dalam nasi Koko. Dia akan tertawa penuh rasa puas mendengar
jeritan Kokonya saat menemukan potongan telur di mulutnya.
Tetapi
pada saatnya Koko adalah abang yang bertanggung jawab. Ia ingat ketika masih
kelas 4 SD, dia diganggu anak kelas 5. Dia tidak mengadu, tetapi Koko
mendatangi anak itu, mengancam akan memukulnya kalau masih mengganggu adiknya.
Diam-diam ia bangga sekali dibela oleh abangnya.
Leo kagum
kepada abangnya karena Koko pintar fisika. Koko juga lebih disukai anak-anak
perempuan di sekolah karena dia bersikap tak peduli dan suka gaya rambut
acak-acakan. Aneh sekali memang.
Ketika
SMP, ayah dan ibunya akan mengirim mereka dengan pesawat untuk berlibur ke
Bangka, ke rumah Kungkung dan Popo. Saat itu mereka lebih bisa menjadi sahabat
yang saling mengandalkan.
Sementara
itu dia merasa tidak mengenal adiknya lebih baik ia mengenal Kokonya. Adiknya
lahir ketika dia sudah sekolah dan sibuk dengan teman-temannya sendiri. Dia hanya
ingat saat-saat mereka pergi bersama dan ibunya akan lebih banyak mengurus
adiknya. Karena itu dia akan lebih sibuk dan terfokus dengan gerakan abangnya.
Kenangan
pada masa itu membuatnya rindu. Sekarang Koko Toto dan Dede Kiki menetap di
luar negeri dengan keluarga masing-masing. Hanya dia sendiri yang belum
berkeluarga. Dan itu pula yang membuat kedua orangtuanya cemas. Kesendiriannya.
Laki-laki harus berpasangan agar ada yang mengurus. Kenapa? Karena perempuan
lebih bisa mengurus dirinya sendiri daripada seorang laki-laki.
Tetapi dia
tidak menyesali keadaannya sekarang ini. Ini adalah keadaan yang paling
sempurna, menurutnya. Tak ada sesuatu pun yang kurang di dalam dirinya, apa
pun. Entah berapa kali ia berkhayal, seandainya diberi kesempatan melewati
lorong waktu, ia akan kembali ke masa itu. Bukan karena ia merasa tertinggal
sendirian, tetapi ia menginginkan perasaan yang sederhana di masa lalu.
Sedikit
banyak ia merasa mengenali jiwa Kokonya meski dia tak bisa menjelaskannya
dengan kata-kata. Dia merasa tahu betul apa yang diinginkan Koko, yang
sebenarnya. Sewaktu Koko akan berangkat ke Melbourne untuk melanjutkan sekolah
selepas SMA, wajahnya sumringah bukan main. Di bandara, ia bersemangat
mengucapkan selamat tinggal kepada orangtua dan kedua adik lelakinya.
Jenggotnya dan rambutnya sudah panjang dan ia berjanji sepasti udara kepada
ibunya untuk pergi ke tukang cukur setibanya di sana.
Ibunya
masih menyampaikan pesan-pesan terakhir dan berulang kali Koko
mengangguk-anggukkan kepalanya dengan cepat, tak sabar. Ia seperti sudah
mendengar ibunya berkata seperti itu, ratusan kali, dalam kesadarannya. Ayahnya
hanya memandangi anak sulungnya, menyalami sekali, dan menepuk lengan kiri
atasnya.
“Mami dan
Papi akan menengok bulan depan,” kalimat ibunya masih terus menyembul.
“Kalau
Mami Papi sibuk, tak usah datang tak apa,” jawab Koko cepat.
Leo
mendengar kalimat itu berbunyi, jangan tengok aku sekarang-sekarang ini. Leo
tahu, bagi Kokonya, inilah saatnya Koko menghirup udara kebebasannya sebagai
seorang laki-laki, di negeri yang baru.
Ia sering
kagum bagaimana abangnya yang tampil awut-awutan digemari banyak gadis. Tulisan
tangan Koko begitu buruk tetapi teman-temannya suka meminjam buku catatan
fisikanya seoleh-oleh mereka bisa membacanya. Nilai Koko selalu sepuluh untuk
fisika dan matematika.
Tiap kali
ibunya mengingatkan Koko untuk memasukkan kaos atau kemeja di balik celananya,
mengenakan ikat pinggang, dan menyisir rambut. Kadang-kadang Koko mendengarkan
tetapi lebih sering ia lupa. Sampai akhirnya ibunya berdamai dengan keadaan
itu, tak lagi menghabiskan waktunya hanya untuk mengomeli anak sulungnya itu.
Ketika Koko memutuskan memelihara jenggot saat SMA, ibunya hanya pasrah,
memintanya untuk rajin mencukur agar wajahnya tidak makin berantakan.
Leo merasa
tak bisa menjadi seperti Kokonya. Jalan hidup mereka berbeda. Ia merasa hidup
saat membaca. Karena itu satu saat ia memutuskan untuk tidak lagi menjadi
pengikut abangnya dan menentukan tujuannya sendiri. Menyendiri, dan membaca
kitab-kitab buddhis, sejarah Siddharta Gautama, karya sastra yang mendapat
pujian dari dunia. Ia pernah kagum kepada seorang biksu Lian Fei beraliran
Tibet yang mengatakan tubuhnya sakit,
padahal ia belum berkata sesuatu pun kepada biksu itu. Akhirnya dari biksu itu pula
ia belajar bahasa Sansekerta sambil membaca literasi kebuddhaan.
Kokonya
makin digemari gadis-gadis, Leo menenggelamkan dirinya di perpustakaan dan
meminjam buku-buku yang ada di sana. Ia merasa sudah membaca semua buku sastra
dunia yang dimiliki perpustakaan sekolahnya. Padahal ia masih punya banyak
waktu sehingga ia perlu membaca lebih banyak dan lebih banyak lagi agar bisa
melewatkan hari. Ia mendisiplin dirinya dan sedikit demi sedikit ia mulai
melatih kesadarannya dan mengenal dirinya dengan baik.
Orangtuanya
tidak mengizinkan ketiga anak lelakinya nongkrong atau keluyuran seperti anak
muda pada umumnya. Alasannya kegiatan itu tidak bermanfaat dan dilakukan oleh
orang-orang yang tidak punya tujuan hidup. Pergunakan waktu kalian sebaik
mungkin karena waktu tak bisa kembali, pesan ibunya.
Ia tahu
ibunya tidak mengatakan itu hanya sekedar membuka mulut. Ia bahkan belum pernah
melihat ibunya tidur siang atau ayahnya duduk melamun.
*
Bersambung ke bagian 4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar