Jumat, 24 April 2009

Seorang Ita Siregar




Ita Siregar, atau lebih akrab disapa Kak Ita, sebenarnya bukanlah seorang penulis. Tapi memang, tulisan-tulisan Kak Ita, menurut saya indah sekali dalam penggunaan bahasanya, seperti bahasa novel. Entahlah, mungkin karena Kak Ita pernah bekerja di sebuah majalah wanita, atau memang hal itu adalah suatu karunia, yang jelas ketika saya membaca tulisan-tulisannya, saya seakan larut di dalam tulisannya. Kak Ita begitu jelas mendiskripsikan sesuatu dalam tulisannya. Terstruktur dan pasti menggunakan Bahasa Indonesia yang baku.
Saya bekerja di sebuah lembaga pelayanan rohani. Setiap bulannya lembaga ini mengirimkan newsletter kepada simpatisan dan donatur. Suatu ketika Kak Ita menawarkan jasa untuk menjadi editor untuk newsletter kami. Ok, kami setuju. Kemudian setiap tulisan yang masuk, langsung saya forward ke Kak Ita. Beberapa hari kemudian saya menerima tulisan yang sudah diedit, dan tanpa ba bi bu langsung saya copas di newsletter.
Suatu ketika pada saat senggang, saya mencoba membaca-baca tulisan dan membandingkan antara tulisan yang belum diedit maupun yang sudah diedit. Wow, ternyata setelah mendapat sentuhan dari seorang Ita Siregar, hasilnya betul-betul luar biasa indahnya. Salut.:)
Ternyata Kak Ita piawai juga dalam menulis cerita. Blog ini berisi kumpulan cerita dari Kak Ita yang saya copas dari salah satu milis, ya.... hitung-hitung sebagai wujud kekaguman saya terhadap tulisan-tulisan Kak Ita. Selamat membaca ....

Pengagum

Ada Kisah Di Balik Karaoke

Salam alpenliebe (judul permen)!

My single fellows,
Kemarin pagi Berman sms ingatkan meeting di karaoke, maafkan aku tak berhasil muncul di sana.
Masalah keluarga. Adik sepupuku tabrakan persis di hari minggu, pelipis dekat matanya memar dan robek, perlu 23 jahitan.
Kemarin siang pulang dari rumah sakit harapan bunda pasar rebo, sehari sebelumnya aku sudah janji ke inangbaju (tante), akan menemani pulang. Kami keluar rumah sakit jam 1-an.

Berman dan kawan2,
Aku tahu takkan sebentar di rumah keluarga ini. kenal betul keluarga ini karena setahun pernah tinggal di sini. keluarga yang tadinya kemana-mana bersama, kini retak di sana-sini. udaku pergi dan punya keluarga lain, ketiga adik sepupuku bersama tanteku.
Ceritanya, edo, adik adik sepupuku yang sakit, menjemput ke rumah sakit. inanguda beli soto ayam untuk kami makan di rumah. sampai rumah, makan dan beres-beres lain. bona, adiknya edo, masih tidur lalu terbangun karena kami pulang, semalam pulang pagi jam 6.

Lalu mulailah satu peristiwa.
Edo bilang, aku akan pergi ketemu teman jam 3. Tanteku bilang, kok kamu tega sih, kakakmu pulang dari rumah sakit dan kamu langsung pergi? lagian kami perlu kamu antar ke Dokter Simanjuntak sore ini untuk mengganti perban. tapi kalo kau mau pergi, pergilah. tapi seharusnya kamu punya perasaan.

Edo mandi dan bersiap pergi. Waktu dia mau salami ibunya, disambut, 'pergi ajalah, tak usah salam kalo aku tak setuju. Adik sepupuku yang sakit bilang, 'pergilah, Do, Kak Ina tak perlu diantar ke dokter.'
Tapi Edo malah menjawab-jawab. adu mulut ibu-anak. kuping panas dengernya. Perang dingin. Si Edo main game di komputer, tapi pads komputer ditekan keras seperti ingin dihancurkan.

Ibunya berang, kok kamu jadi marah gitu? aku udah bilang kalau mau pergi, pergilah. Bona bilang, 'Do, si mamah udah bilang, lu pergi pergi aja.'

Akhirnya aku bilang, 'Ayo, Do. kamu pergi. sekalian kakak pulang, nebeng kamu sampai halte buswei.'

Sudah lebih jam 5.
Di mobil, aku ngomel ke Edo, 'Kamu ini aneh banget. udah tahu si mamah itu kayak gitu dari dulu, kamu masih menjawab-jawab gak penting.'
Edo jawab, 'habis kesal. seakan-akan aku ini anak durhaka.'
Kami tiba di halte buswei. edo basa-basi, sampai sini aja, kak?
Kamu udah terlambat. memang kamu mau antar sampai mana? Mari, kataku sambil tarik kepala adikku, mencium pipinya dalam-dalam, sambil bilang, jangan ngebut!
Nggak! jawab Edo cepat, tapi waktu aku naik tangga buswei mobilnya sudah raib entah belok kemana.

Aku pulang ke Rawamangun, ke Ace Hardware beli beberapa barang yang sudah kucatat kuperlu, lalu makan Bakso Bandung sendiri.

Begitulah kemarin. Nah sekarang, gimana karaoke kalian? berhasilkah?


Salam karaoke,
Ita

Sehari Bersama Tuhan Yang Seru

Jumat malam. Kami berjanji bertemu pukul 20.00 di kantor Eka di bank Danamon, Gran Melia Hotel. Kak Krisna dengan sabar menunggu saya jemput ke rumahnya. Saya baru berhasil keluar dari pertemuan pada jam yang sama. Janji jam 8 berangkat jam 8. Itulah kisah kasih karunia dalam hidup.

“Kami makan dulu,” teks saya ke Ruth, yang bertanya posisi kami. Ruth yang sedianya sudah di apartemen Semanggi, musti balik ke rumah gara-gara ponsel tertinggal. Di atas jam 21.00, kami hanya berhasil menemukan Hoka Hoka Bento di Pancoran, yang menyisakan yakiniku suam-suam kuku, saus sambal, dan mayones. Akua. Tak apalah. Yang penting perut terisi dan tidak kembung nantinya. Kak Krisna makan es sarang burung yang legit-manis.

Eka sudah melintas di tol Jagorawi Sentul ketika Devi menelepon saya, memberitahu bahwa mereka baru akan berputar karena Ruth kebablasan nyetir sampai Jatiwaringin. Rupanya alam bawah sadar Ruth berpikir dia akan mampir di rumah Bang Edu. Ahaha. Kebablasan yang lain, Kak Uti.

Kami berhenti di MM Juice, naik sedikit sehabis keluar tol Ciawi. Tak lama mobil Ruth muncul. Eka membiarkan Ruth memimpin. Sampai Cilember. Tapi hampir di jalan Pesantren, Ruth salah belok. Kecurigaannya pasti setelah melihat turunan jalan yang kelewat curam.

“Mau kemana, Neng?” tanya sekumpulan tukang ojeg.

“Ke rumah Pak Siregar,” jawab Ruth.

“Oh, jalan Pesantren. Masih satu jalan lagi, Neng. Mau diantar?”

Tukang ojeg yang baik. Terimakasih, Mang.

Kami mengobrol apa saja hingga hampir pukul 2 dini hari. Tawa abis tengah malam. Menertawakan apa saja. Kak Krisna yang hanya rela kasih 5 ribu saja waktu ditilang polisi. Atau Ruth yang merasa heran kapan persisnya dirinya diangkat sebagai mediator oleh keluarga. Hehe. Tapi, waduh. Mata sudah tidak bisa kompromi, bo!

Saya terbangun karena sinar keputihan di balik gorden jendela. Jam 7. Waktu tidur cukup. Satu per satu kami bangun. Menyisir rambut karena akan menyalami Pak Siregar, yang sudah duduk rapi membaca buku politik-nya Pak Yakob Tobing. Lalu entah bagaimana kami meneruskan mengobrol sambil ngemil kacang goreng tepung bumbu dan cheestik di salah satu sudut di luar rumah.

“Kok makannya gitu?” tegur Pak Siregar. Petik sayur, makan makanan sehat, tutur beliau. Betul, ladies. Kenapa kita lupa ya soal itu?

Selesai berdiskusi satu babak pagi itu, kami mandi. Segar. Saya membuat kopi. Pagi yang sangat cerah. Udara bersih sudah sejak tadi menyentuh dinding paru-paru yang sudah terbiasa dengan polusi Jakarta. Adik Pak Siregar datang. Dua Siregar bertegur sapa. Ruth, mediator keluarga, nimbrung. Kami memutuskan untuk membeli-pesan makan siang, melewatkan sarapan. Nasi timbel komplet. Dua Siregar tidak turut makan karena akan berkunjung ke kebun anggrek Mr. Taiwan. Ruth bilang, mereka biasa dimasakkan makanan segar hasil kebun bila mampir ke sana. Itu lebih otentik. Percayalah. Daripada nasi pulen timbel.

Sebelum makan siang tiba, gerombol kedua tiba. Lima orang. Bersama beragam kotak berisi makanan yang sudah disiapkan Anse untuk kami ber-15 selama sehari-semalam di sini. Tak lama rombongan lain juga tiba. Dari kejauhan, Kak Linda, sang supir, segera tampak dengan rambutnya yang merah bersemangat. Kami saling sapa, tertawa. Aha, kita bertemu lagi di sini, teman. Selamat datang!

Ruang keluarga jadi ramai dan hangat. Anse dengan gesit menyiapkan meja makan. Naning yang baik dan Tuti salah satu dari si kembar warga Cikarang ikut membantu. Ade sibuk mencatat lagu-lagu. Anita belum mau memasang keyboardnya. Ruth memasang VCD Hymm Songs. Beberapa lagu sendu, beberapa bersemangat. Kami menunggu kwartet ganteng menyanyikan ‘It is well with my soul’. Yes, it is well with my soul. Anita menceritakan historis lagu itu. Corrina memandang saya, berkata setengah tak percaya, “Ini kwartet yang ganteng itu teh?”

Kami tak terburu-buru menikmati makan siang. Sup buntut yang lezat-gurih. Udang campur kentang balado. Pangsit goreng. Ditutup semangka merah yang manis. Aku pesan ke ibu kantin di kantor, begitu Anse, menjawab pertanyaan, “Kamu yang masak?” Ada sunquick di dapur. Tentu saja. Ada Anse, ada Sunquick.

Setelah dua Siregar meninggalkan rumah kembali ke Jakarta, kami ber-merenge 30 menitan. Lumayan berkeringat. Badan jadi lebih ringan beberapa kilo. Devi sudah ‘mencuri’ start SBT lebih dulu. Semedi di kamar. Ade memilih lagu. Anita berlatih kunci nada.

Sore mendung. Angin bertiup dingin-segar. Beberapa kami duduk di beranda. Menghadap ke hamparan rerumputan yang rapi tertata. Hijau. Tanah yang berundak tak rata. Pandangan patah. Di ujung sana tampak kabut tipis. Lalu hujan. Ade sudah turun melihat kolam renang. Airnya tak terlalu bersih, katanya. Untunglah. Jadi ada alasan tak berenang. Anse menggoreng lumpia isi sayuran-daging di dapur. Dengan rawit pedas. Aduh, sedapnya. Boleh ambil lebih dari satu ya? Saya bikin kopi cangkir kedua.

Pukul 7 kami berkumpul melingkar. Kak Damaris mengarahkan suasana. Berbagai peristiwa terjadi dalam kehidupan kita. Sedih dan gembira. Berhasil dan gagal. Tapi, apakah kita melihat Allah dalam setiap peristiwa itu? Mari kita sama-sama membaca. Mazmur 63 yang indah. Syair yang diciptakan dari semesta seorang raja Israel yang merindukan Allahnya di gurun Yehuda yang sepi dan lengang. Dalam satu syairnya, sang raja mengungkap pernyataan hasil sebuah perenungan panjang, “Sebab kasih setia-Mu lebih baik daripada hidup.” Oh Tuhan, apa artinya hidup tanpa kesetiaan-Mu? “Tubuhku rindu kepada-Mu, seperti tanah yang kering dan tandus, tiada berair.” Oh Tuhan, seorang raja saja berkata, apa artinya hidup tanpa kesetiaan-Mu? Engkaulah Raja di setiap peristiwa 2008 kami.

Malam itu saya merasa sendu. Menahan diri tak menangis tapi menangis. Tuhan itu baik. Tak pernah tak ada di sekitar kita. Teman sekelompok diskusinya kecilku, -Kak Uli, Tuti, Kak Krisna, terus berjuang bersama janji-janji Allah. Kami telah belajar berbagi hidup. Belajar mengatasi apa saja yang mampir dalam kehidupan.

Malam itu ditutup dengan menyanyi sukarela. Riuh rendah. Lagunya mulai dari Sio mamae sampai Sepanjang jalan kenangan. Kak Krisna penyanyi kami yang tangguh. Entah bagaimana kami harus membayar honornya nanti. Lagu yang dinyanyikan cukup banyak. Setelah lagu kemesraan, kami menutup malam. Tak ada suara-suara setelah masuk kamar. Atau saya yang segera terlelap? Ya, antara itulah.

Pukul 6 saya saat teduh dan menulis beberapa catatan. Juga Eka. Kami akan lebih dulu turun ke Jakarta karena ada urusan. Berlima dengan Devi, Kak Ati, Corrina. Selesai sarapan kami berangkat. Setelah membayar iuran dunk! Mang Pepeng membawakan kami singkong. Aduh, udah pulang duluan, dapet singkong pula, seru K Damaris.

Malam pukul 20.00. Ruth menyapa lewat YM. Katanya SBT lanjutan siang itu berlangsung seru. Sehabis sharing mampir ke kebun anggrek. Kak Linda dan Kak Damaris beli beberapa varian. Turun ke Jakarta baru pukul 1730. Wah, itu betulan seru. Yang lalu-lalu paling lama kami turun jam 4. Bagaimana serunya, Kak Uti? Aduh, capek! Nanti aja ceritanya hari Kamis di Cikini. Ya, jangan lupa nanti ada Mbak Nurendah juga. Sampai jumpa di cerita berikutnya ya!

Gong Xi Fa Chai 2009