PEMATANG SIANTAR
Ke Aceh
Burung
besi akan menerbangkan Leo Suwandi di udara selama dua jam, dari Jakarta ke
Medan. Siang nanti ia dijadwalkan bertemu orang-orang penting di perusahaan
yang meminangnya bekerja di sana. Mereka sudah menanti kehadirannya.
Segalanya
terasa baru baginya. Dua hari lalu sampai empat tahun sebelumnya, dia masih
berjalan bersama orang-orang yang berbicara dalam bahasa yang paling indah di
dunia, di kota paling romantis sedunia.
Seperti
komputer yang sedang membuka catatan-catatan pengalaman masa lalu di Sumatera
Utara, perasaan girang dan masygul bergantian menampakkan diri. Peristiwa demi
peristiwa muncul seperti deretan film.
Sekarang
ia di ruang tunggu bandara, menunggu panggilan petugas mempersilakan penumbang
naik pesawat. Ia tak suka membaca dalam situasi seperti ini. Kegiatan yang
disukainya di tempat seperti ini hanyalah duduk, mungkin dengan secangkir teh
atau segelas cokelat panas di tangan, mengawati orang berlalu-lalang, yang
menekuni urusannya sendiri. Ia memandangi mereka diam-diam dengan gerak leher
yang luwes, karena dia merasa harus bertindak sopan dalam hal ini, agar orang
tak menangkap matanya yang celamitan ingin tahu.
Ia sungguh
terhibur hanya dengan memandangi laki-laki dan perempuan dan anak-anak tampil
seadanya, dengan gerak tertentu dan ekspresi
biasa-bosan-kesal-cemberut-manyun-menyebalkan-bersemangat menempel pada wajah
mereka.
Sering
sekali ia berpikir orang-orang itu adalah dirinya sendiri. Ia paham orang lain
pun bisa memperhatikan dirinya seperti ia mengawasi mereka sekarang, dan
memberi penilaian. Terkadang ia tersenyum dalam hati memperhatikan gerak lucu
atau saraf ingin tahunya naik menunggu bagaimana orang menyelesaikan
persoalannya saat itu. Karena itu saraf-saraf di tubuhnya bisa merileks atau
menegang. Ia akan berpura-pura melengoskan kepalanya ke arah lain agar tak kendara
dia sedang mengamati. Tetapi begitu dia kembali, adegan sudah berganti atau
hilang sama sekali, dan hatinya merasa tertinggal. Akan ke mana semua orang
ini?
Orang
berada di bandar udara untuk maksud pergi ke satu destinasi. Tiket sudah di
tangan sebagai syarat terjadinya kepindahan itu. Kemungkinan yang ada setelah
itu adalah, apakah destinasi yang dituju nantinya akan akan membuatnya lebih
bahagia dari keadaan sekarang? Tak satu pun tahu kedalaman rasa seseorang. Tak
satu mengira apakah penampilan wajah itulah yang ada di hatinya. Apakah
orang-orang ini akan bahagia dengan kepergian itu atau tidak? Pertanyaan itu
juga dia tujukan kepada dirinya sendiri.
Ketika dia
masih bersama orangtua, ia tak memikirkan destinasi. Ia menuruti apa yang
diperintahkan untuk diikuti. Bertahun-tahun sekolah, ia pergi dari rumah ke
sekolah, dari sekolah ke rumah. Pada akhir pekan, ke restoran untuk makan malam
bersama. Pada kali libur, ia ke rumah saudara atau ke luar negeri. Ia tak perlu
mengkhawatirkan ke mana mereka pergi. Tubuhnya menurut saja karena ia
mempercayai orangtuanya. Orangtua takkan membawa anak-anaknya ke tempat yang
berbahaya. Mereka akan memastikan tempat tujuan itu sesuatu yang menyenangkan
dan baik untuk anaknya.
Setelah
dewasa, tiap kali ia akan bergerak, dia sendiri harus menimbang, apakah betul
destinasi itu yang ingin ditujunya? Apakah keputusan itu akan membawanya pada
harapan yang ingin dikejarnya.
Medan.
Medan bukan kota yang asing baginya. Ketika ia dan teman-temannya aktif
menggerakkan kelompok-kelompok di kampung-kampung sekitar Sumatera Utara, ia
juga melintas ke kota ini. Ketika sekolah di Kuala Lumpur, tiap libur semester
dia berada di bandara Polonia, naik bus ke Siantar, atau dijemput kawan-kawan
seperjuangannya. Medan seharusnya tidak lagi asing baginya, seperti dirinya
bagi kota itu.
Ingatannya
pada kota ini membuatnya serndu. Ketegasan dan kekerasan hati penduduknya,
sedikit banyak sesuai dengan caranya. Penampilan yang teguh dan keras kepala di
luar tetapi hati yang mudah jatuh di dalam, juga mendekati karakternya.
Penduduk Medan bukan sedang bertingkah kasar atau tidak sopan. Tetapi,
begitulah mereka.
Di
bandara, ia dijemput kawan yang ditemuinya ketika di satu tempat ia duduk
memandangi rumput dan domba-domba di desa kecil itu. Sebenarnya ia tak suka
diperlakukan seperti itu tetapi temannya mendesak. Di kantor, ia memperkenalkan
Leo kepada seluruh pegawai sebagai Manager Baru urusan hubungan keluar, yang
kekuasaannya setara Pengambil Keputusan Tertinggi di sana. Suara Leo akan turut
menentukan satu tindakan atau keputusan kantor.
Leo tidak
terlalu terkesan dengan perkenalan yang kedengarannya hebat itu. Ia pun tak
terlalu peduli di mana dia duduk, bentuk kursi yang akan dia duduki, arah pintu
masuk ke ruangannya, kendaraan yang akan dia pakai. Dia belum melakukan apa-apa
jadi belum terbukti apakah dia mampu bekerja seperti yang dikatakan oleh
kawannya saat memperkenalkan tadi. Perasaan mampu tak sama dengan kenyataan di
lapangan. Keberhasilan manusia ditandai dengan pekerjaan kecil yang sudah
dikerjakan tangannya bukan dengan rencana besar yang masih dalam angannya.
Perusahaan
dengan cepat menyerahkan berkas-berkas menjadi gunung di meja kerja Leo. Gunung
itulah sebanyak persoalan yang mereka miliki terkait tanah dan masyarakat
lokal. Bukan dibiarkan dengan sengaja tetapi seperti menunggu ratu adil yang
berhadapan dengan tetua adat, pejabat lokal, pemilik tanah, menyelesaikan
persoalan, bukan tambah memperpanjang urusan. Reputasi Leo memotivasi gerakan
akar rumput dan keberanian menjawab gertakan level penguasa serta kemurnian
semangat mudanya, dianggap sesuai untuk pekerjaan ini. Dia bisa menjadi
jembatan dan panutan. Jangan menganggap enteng kemudaan seseorang. Sekali ia
bertekad apa pun dia berikan kecuali satu pertimbangan.
Leo tak
suka membuang waktu. Ia dengan cepat memetakan posisi perusahaan dan
keseluruhan masalah yang dihadapinya. Dengan segera pula ia merencanakan
tindakan pemulihan. Perkebunan luas milik perusahaan membentang dari Aceh,
Medan, Sibolga, Nias, Padang, Pekanbaru.
Ia akan
mulai dengan Aceh, daerah yang menurutnya genting. Penduduk dan tanah mereka
dikenal keras dan liat. Pemerintah dibuat terpontang-panting melakukan upaya
damai dengan mereka. Ia belum tahu apa yang akan dia lakukan tetapi ia punya
keyakinan itu di dalam dirinya.
“Pekan
depan saya ke Aceh,” kata Leo setelah dua minggu menelisik gunung
persoalan.
“Kamu
perlu seorang untuk mendampingi ke sana.”
“Tak
perlu. Saya hanya perlu kendaraan yang bisa diandalkan.”
“Untuk
mengarahkan jalan?”
“Saya akan
tahu.”
“Atau
didampingi aparat sehingga ...?”
“Tidak.
Tujuan saya berbicara dengan mereka. Bukan menjelaskan posisi kita. Saya akan
mendengarkan mereka, dari situ, kita tahu apa yang harus kita lakukan.”
“Mereka
biasanya ... .”
“Ya, saya
mengerti.”
Perusahaan
menyiapkan kendaraan Land Cruizer untuk perjalanan itu. Sekali lagi Leo
memeriksa kondisi mobil, ban, radio dan tape, sabuk pengaman, kunci sentral,
dan semua mesin berfungsi baik. Ia menepuk tubuh mobil dengan satu kekuatan
tertentu seolah berkata bahwa ia mempercayainya dan agar ia mendampinginya
sampai di lokasi dan dapat diandalkan. Dia memang memutuskan berangkat
sendirian tetapi sama sekali tak berniat melakukan perjalanan konyol yang
membahayakan dirinya.
Bila mobil
ini mengecewakan pada perjalanan pertama ini, maka itu adalah kebersamaan
mereka yang pertama dan terakhir. Ia ingin segala sesuatu yang bersatu dengan
dirinya, memiliki kualitas yang sedikitnya sama. Memiliki ketahanan dan dapat
diandalkan. Ia tak ingin menyerahkan diri kepada sesuatu yang tak dikenalnya,
tak diyakininya. Sekarang dirinya telah mempercayai mobil putih itu,
sepenuhnya. Ia tahu tiap kali instingnya benar.
Ia
tersenyum mengingat romantisme yang ia miliki atas barang-barang yang
dimilikinya. Di tangannya, barang bertahan dalam kondisi baik sampai masa
pengabdiannya selesai. Seperti manusia, ia yakin benda memiliki masa aktif dan
istirahat. Tak selamanya barang yang ada padanya, akan selalu ada. Saat
memiliki barang, pada saat sama ia merasa tidak memiliki barang itu. Barang itu
bukan miliknya, tetapi milik dirinya sendiri. Manusia memperoleh izin
menggunakan barang itu sampai ia menentukan nasibnya sendiri: mati.
Aceh adalah
Serambi Mekkah. Tanahnya kaya, alam dan airnya memberi kehidupan. dan tanah,
berkah dari Yang Mahakuasa, yang bila dikelola sebaik-baiknya oleh tangan
manusia-manusia berhati lurus, akan mengembalikan kepada anak-anak yang lahir
di atasnya, menjadi sejahtera. Namun , manusia seringkali keliru menempatkan
diri bila ia pada posisi tertentu, mengira diri lebih berhak mendapat lebih
banyak daripada yang seharusnya. Berpikir Alam Semesta tak bermata tak
bertelinga, berpikir segala sesuatu akan berjalan seperti pikirannya, yang
sesat. Manusia akan menjadi manusia bila dia berlaku sebagai manusia atau tubuhnya
manusia tetapi jiwanya binatang.
Leo
memandang dirinya. Ia berkulit terang dan rambutnya lurus. Orang yang akan dia
temui berkulit gelap dan berambut ikal. Bahasa mereka beda. Keyakinan mungkin tak
sama. Tetapi ia tak khawatir dengan perbedaan itu. Ia percaya manusia sejati
memiliki keluhuran budi dan kejernihan hati yang berprinsip sama.
Ia sudah
menghubungi orang kontak perusahaan di sana. Dia percaya orang itu akan tahu
apa yang harus dilakukan.
*
Hampir
pukul delapan malam ia meninggalkan rumah kontrakannya. Ia akan melewati jalan
lintas timur trans Sumatra. Pertama menuju Tebing Tinggi, Binjai, lalu Stabat,
Pangkalan Brandan, Langsa, dan berakhir di Lhok Seumawe. Perjalanan 900 km ini
akan ditempuhnya selama 12 jam. Dia menyiapkan diri dengan beberapa botol air
minum dan makanan kecil dan rokok. Ia merasa kekuatannya penuh. Seluruh
tubuhnya siap melakukan perjalanan panjang ini. Kesadaran dirinya berada dalam
puncak terbaiknya.
Mobilnya
berlari dengan kecepatan 100 km per jam. Tiba di luar batas kota, ia menambah
kecepatan ke angka 120 bahkan 140 km. Meski mobil melesat seperti terbang
tetapi tubuhnya tetap tenang. Ia menguasai kemudi sambil mendengarkan lagu-lagu
tahun 80-an yang disukainya. Ia mengunci seluruh lunci mobil dan merasa aman.
Saat-saat seperti ini ia sering menyadari bahwa dirinya ternyata seorang
soliter, yang menyukai kesendirian, tanpa memerlukan pertimbangan orang
lain.
Melewati
perkampungan ia masih melihat lampu-lampu yang menyala suram dari rumah-rumah
sederhana penduduk. Saat tak ada lagi secercah cahaya, dia memastikan di
kiri-kanan jalan hanyalah deretan pepohonan belum bernama, tanah keras yang
membukit, atau jurang yang dalam.
Kendaraan
lain mulai sepi melintas. Sesekali mobilnya berpapasan dengan kendaraaan atau
truk atau motor. Terkadang pengemudi sopan membunyikan klakson saat mereka
berdekatan, seakan berkata: hati-hati menyetir, dan Leo akan membalas dengan
klakson, menjawab, terimakasih.
Lautan
kegelapan dan keheningan tiba pada puncaknya. Matanya tak bisa lagi menatap
dahan atau pepohonan, hanya akan terpaku pada selurus jalan yang dibuka lampu
sorot mobilnya. Tangan bekerja akan mengikuti lekuk-lekuk jalan, sepenuhnya ia
tergantung pada cahaya penunjuk jalan.
Ia dan
mobilnya sendirian meluncur, tenang. Suara musik di mobilnya ia biarkan seperti
berbisik. Angin malam di luar sana pasti lebih dingin menusuk karena ia bisa
merasakannya sampai di dalam mobil, tanpa penyejuk udara tetapi terasa sejuk.
Jaket yang memeluk tubuhnya lekat sampai leher. Ia menikmati keadaan
betul-betul sendirian meluncur dalam ketidakpastian membelah malam. Hatinya
bersih dan tak bersyak wasangka.
Pukul dua
pagi dia tiba di wilayah Gayo. Peta yang dia bawa sepertinya memberitahukan
keberadaan itu. Hutan Leuseur adalah belantara yang dilindungi pemerintah.
Jalanan kecil dan rusak, berkelok-kelok naik turun. Sore pukul enam pun suasana
gelap-gulita.
Ia menjadi
awas karena sekonyong-konyong di belakangnya ada mobil, sepertinya Kijang
Innova. Instingnya mengatakan mobil itu mengejarnya. Untuk membuktikannya ia
harus menguji. Ia memperlambat laju kendaraan, mobil di belakangnya mengikuti,
berjalan lebih pelan. Saat itulah dia tahu mobil itu memburunya.
Mau
bermain denganku, ayo! hatinya mengeras. Ia tancap gas, kekuatan mobilnya
melesat seperti setan. Kedua mobil tidak siap dengan tindakan itu, berlari
mengikuti berlari. Leo harus siapa karena bagaimana pun mereka sudah tahu medan
sementara dia masih meraba-raba. Mereka pun menyetir sampai mobil terdengar
mendecit.
Pada satu
tikungan, salah satu mobil tiba-tiba muncul dari balik kegelapan ke jalan, lalu
satu jendela terbula dan salah seorang melempar jangkar dengan kecepatan kilat.
Otomatis Leo menginjak gas, tetapi salah ujung jangkar bercabang empat dan
ujung-ujungnya diganduli besi itu, mengenai kaca mobil depan kanan, retak. Leo
lega karena mobilnya tak tertangkap. Jangkar yang biasanya diikat ke pohon itu,
terlepas. Tetapi kalau sampai terjadi jangkar itu mengurung mobil yang
dijeratnya, mobil akan terguling masuk perangkap.
Setelah
terbebas, kakinya terus menginjak gas dan tak beranjak dari sana. Ketika harus
membelok ke kiri atau kanan di jalanan kecil itu, ia membanting setir dengan
ban belakang. Begitulah kebiasaan yang dia tahu dari para sopir trans Sumatra
yang terkenal kelincahannya melewati jalan berkelok di tepi-tepi jurang.
Matanya
melirik speedo meter menunjukkan angka 160 km. Seketika telinganya bisa
mendengar decit suara ban. Kesadarannya penuh dan matanya berwaspada, tetapi
kepalanya dingin. Dalam beberapa menit ia menunggu kemudian ia memastikan
mereka tak mungkin menyusulnya.
*
Fajar
belum merekah ketika ia tiba di satu desa. Masih sepi. Ia membuka jendela
mobil, udara dingin menusuk, berhembus masuk. Langsung ia tutup kembali.
Pintu-pintu rumah masih tertutup. Tidak ada gerakan atau tanda-tanda kehidupan.
Dia memperlambat laju sambil melihat ke kiri-kanan. Dia merasa perlu
beristirahat sejenak, sekedar mengumpulkan kekuatannya dengan segelas teh
panas.
Pada satu
jalan, berjarak lima meter darinya, ia melihat seseorang sedang membuka tutup
warung sederhana. Melihat itu ia gembira. Ia berhenti dekat warung, laki-laki
itu berdiri menatap mobilnya, menunggu. Leo mematikan lampu sorot, mesin mobil,
lalu ia turun, meregangkan tubuhnya.
“Pagi,
Pak.”
Laki-laki
itu berwajah gelap, hampir tidak bisa dikenali gurat-gurat pada wajahnya. Ia
berdiri enggan, tak menjawab.
“Saya
menuju ke Takengon. Masih jauh dari sini?”
“Tidak
lagi. Satu jam dari sini.”
“Ada teh
di warung ini?”
“Ya. Tapi
kami belum merebus air.”
“Saya perlu
teh panas, bisa? Saya akan menunggu,” kata Leo dengan suara lunak.
Laki-laki
itu mengangguk, kemudian pergi, cepat kembali dengan bangku kayu panjang dan
ditaruhnya di depan mulut warung. Leo tetap berdiri, menggerakkan tubuhnya,
mengeluarkan rokok putih dari sakunya. Dia memantik pemantiknya, mengisap rokok
dengan nikmatnya.
“Dari
mana?” tanya laki-laki itu.
“Siantar.”
Laki-laki
itu mengangguk, kemudian menghilang lebih lama. Harum teh lebih dulu muncul
baru laki-laki-laki itu. Ia membayangkan kesegaran teh akan menghangatkan
jantungnya yang kedinginan. Ia menghirup aroma teh ke dalam dirinya, meniup
asap sekilas kemudian memonyongkan mulutnya, menyeruput airnya dengan nikmat,
membasahi bibirnya yang nyaris beku dalam AC mobil. Laki-laki itu memperhatikan
gerak-gerik Leo tanpa suara.
“Sudah
lama tidak hujan, Pak?” Leo bisa merasakan dari debu di sepatunya.
“Ya, lama
sekali. Adik mau ke mana?”
“Takengon.”
“Menengok
keluarga?”
“Bukan,
urusan pekerjaan.”
Lelaki itu
bukan jenis orang yang terlalu ingin tahu. Mereka mengobrol cuaca tapi itu pun
sekedarnya saja. Selesai mengisap tiga rokok putih, ia pamit. Ia tertegun
mendengar laki-laki itu menyebut lima ratus sebagai biaya segelas teh panas
panas yang nikmat. Ia menyerahkan uang lima ribu, menunggu kembalian, dan
berterima kasih. Sebenarnya ia ingin laki-laki itu menyimpan sisa uang tetapi
khawatir tindakannya akan membangkitkan harga dirinya teracam. Dia tak ingin
jadi pahlawan kesiangan. Laki-laki itu sudah melihat kaca depan kanan mobil
yang retak tetapi tidak tertarik bertanya. Leo pun tak merasa perlu
menjelaskan. Dia pamit sekali lagi dengan bunyi klaksonnya.
“Hati-hati,”
ia mendengar suara bersahabat dari laki-laki itu.
Leo
membunyikan klakson sekali lagi.
Sejam
kemudian seorang bocah kurus berwajah gembira dengan sigap memberitahu rumah
Haji Abdullah, rumah ketua adat, tempat pertemuan mereka saat itu. Senang
melihat anak pintar itu, Leo menawarkan sekotak susu cokelat dan sebungkus Oreo
kepadanya. Bocah itu tak malu-malu menerima pemberian Leo, mengucapkan
terimakasih sambil berlari menjauh.
Tepat
pukul 7 ia berbelok dan matanya melihat beberapa orang berdiri di depan satu
rumah. Pasti itulah rumah yang dimaksud si bocah. Sekitar 30 orang berdiri
berkelompok-kelompok. Di depannya tersedia kursi-kursi plastik seperti acara
khitanan.
Mereka
sudah siap membicarakan masalah lahan 20 hektar mereka, batin Leo. Ia memarkir
mobilnya dalam jarak tatap pandang mereka, di tempat yang menurutnya aman,
sambil ia berpikir-pikir kata apa yang pertama kali akan diucapkannya nanti.
Assalamualaikum, batinnya pasti.
Dia
melirik sekilas ke kaca spion sebelum turun dari mobil. Ia melangkah dan
berusaha mengingat lagi bagaimana mengucapkan assamualaikum dengan benar.
Tetapi ketika ia mengangkat wajahnya, seseorang sedang berjalan ke arahnya
dengan langkah lebar.
Seketika
ia merasa terselamatkan karena itu pastilah Syarif, orang kontak perusahaan
yang sudah dia telepon beberapa waktu lalu.
Ia mengenakan baju koko tipis berwarna putih pecah. Kumis tipis menghias
wajahnya yang berisi dan sehat. Ia masih muda dan cerdas. Senyumnya yang sudah
terbit dari kejauhan menunjukkan kesiapannya.
“Selamat
datang di desa kami, Pak Leo. Saya Syarif,” kata orang itu mengulurkan
tangannya.
Leo
tersenyum, segera menyambut tangan itu, menjabatnya erat sambil menatap kedua
mata hitam di depannya. Ia membungkukkan lehernya karena Syarif hanya setinggi
dadanya. Genggaman tangan Syarif yang menutup telapak tangannya baik-baik
memberinya harapan. Dia suka orang yang berjabat tangan dengan kesungguhan hati
seperti itu.
“Saya
sudah mengira Pak Leo setinggi ini. Dari suaranya yang besar,” katanya tertawa.
Leo ikut
tertawa renyah. Otot-otot tubuhnya makin rileks.
“Jadi
hanya sendirian menyetir dari Siantar? Dua belas jam?”
“Iya,
Pak.”
“Wah,
hebat sekali. Pak Leo sangat awas dan sehat sekali, ya. Sekarang pun masih
kelihatan segar. Bagaimana di perjalanan tadi?”
Sembari
menunjukkan kaca mobilnya yang retak di sebelah kanan, ia menceritakan ia mulai
dibuntuti dua mobil ketika memasuki Gayo. Setelah itu kakinya terus menginjak
gas dan tetap di gigi satu.
“Mereka
cekatan melempar jangkar. Hampir kena saya. Untung saya hantam terus gas,” kata
Leo.
“Kami
beberapa kali mendengar berita itu, Pak Leo. Syukurlah Pak Leo selamat.”
Syarif
mengajak Leo masuk ke rumah pertemuan. Rumah itu dindingnya terbuat dari papan
dan setengahnya seng, juga atapnya. Tak tampak langit-langit, hanya
tulang-tulang kayu yang menopang rumah tampak jelas. Bagian dalam rumah tampak
terang karena semua lampu menyala. Rumah berbentuk segi empat itu luas dan
serba lapang.
Leo
menyalami mereka satu per satu sambil menyebutkan namanya dengan jelas.
Sesekali ia mengomentari mereka yang ia salami. Akibat tindakan itu, semua yang
belum bersalaman dengannya, berdiri, menunggu tangan mereka disalami wakil
perusahaan dari Medan itu. Tuan rumah, Haji Abdullah, menyerukan sesuatu ke
bagian belakang rumah, setelah itu tak lama piring-piring pisang goreng dan
bergelas-gelas kopi panas diedarkan.
“Enaknya
saya panggil apa kepada bapak-bapak ini? Saya tak mau salah memanggil orang.
Saya sendiri, bapak-bapak banyak, saya takut dikeroyok,” canda Leo. Semua orang
tertawa.
Pagi itu
berlangsung santai. Wajah-wajah memperlihatkan senyum. Pemandangan itu membuat Leo
melupakan perjalanan malamnya yang berbahaya. Ia tidak merasa letih atau
mengantuk padahal semalaman ia terjaga.
Sambil
menikmati pisang goreng, ia mendengarkan Syarif berdiri di tengah-tengah
mereka, menjelaskan siapa Leo dan maksud kedatangannya. Setelah itu ia
mempersilakan Leo menggantikan tugasnya berdiri di depan mereka. Leo
menampilkan senyum yang paling segar pagi itu. Ia mendengarkan sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya meski dia sudah tahu permasalahan mereka dengan
perusahaan. Sementara dia masih mencari-cari apa yang akan dia lakukan setelah
ini. Jujur dia belum ada sesuatu di kepalanya kecuali ingin mendengar langsung
dari warga, apa di dalam hati mereka. Hanya yang dia tahu, pertimbangan
terhadap konflik ini adalah bahwa dia perlu menegakkan keadilan dalam beberapa
rupa kemungkinan.
“Silakan
utarakan uneg-uneg hati bapak-bapak di sini, mumpung saya ada di sini. Saya
mendengarkan dan kita akan sama-sama mencari solusi yang baik untuk perusahaan
dan Bapak-bapak di sini,” katanya.
Perusahaan
telah menggunakan tanah mereka dijadikan perkebunan sejak beberapa tahun lalu.
Mereka galau karena berpikir tanah mereka takkan kembali ke tangan mereka
karena tanah ulayat itu tak bersurat tak bersertifikat. Kekuatan hukumnya lemah
dan mereka tidak punya bukti apa-apa untuk mempertahankan tanah itu. Padahal
itulah satu-satunya milik mereka.
Kesimpang-siuran
antar mereka tentang masalah ini, juga adanya provokasi dari orang-orang yang
ingin mengambil keuntungan dari kekisruhan ini, menambahkan panas hati
penduduk. Mereka mengancam menghancurkan ladang dan merusak panen. Selama ini
aparat yang didelegasikan tugas –aparat itu sebenarnya adalah juga penduduk
lokal, untuk menjaga ladang perkebunan itu selalu memihak kepada pihak
perusahaan dan menganggap enteng keresahan warga serta melakukan tindak kekerasan
kepada siapa saja yang berani menyerang perkebunan. Suasana panas ini bikin
rumit dan panas situasi.
Setelah
itu Syarif memimpin diskusi dan tanya jawab yang ditujukan kepada Leo sebagai
wakil perusahaan. Tiba-tiba seorang bapak berdiri dan mendekati Leo, meminta
izin mencoba rokok putihnya. Leo tertawa karena dia sedikit waswas dengan
gerakan itu. Dengan senang hati dia menaruh dua bungkus rokok putih di atas
meja. Setelah itu hampir orang yang ada di sana mencoba rokok itu. Setelah itu
mereka tertawa karena mengisap rokok putih itu tidak bermakna apa-apa bagi
mereka.
Setelah
tiga jam ia merangkum semua hasil pembicaraan dan atas nama perusahaan ia
menawarkan mereka bahwa perusahaan akan membuatkan sertifikat, sehingga
masing-masing akan memiliki surat resmi kepemilikan atas tanah itu. Mereka
setuju dengan usul itu. Selain itu Leo berkata bahwa perusahaan akan menerima
tenaga kerja kurang-lebih 70% dari daerah mereka, khusus di perkebunan wilayah
mereka. Sebanyak 30% adalah pekerja luar daerah.
Masalah
selesai saat itu juga, semua orang senang. Haji Abdullah yang tampaknya biasa
berbicara dengan tangan yang bergerak sibuk, mengajak Leo dan semua yang hadir
makan siang. Selesai, dia memerintahkan Syarif dan beberapa orang mengantar Leo
keliling kampung. Walhasil Leo tinggal di sana selama dua hari karena tak
sampai hati menolak permintaan mereka melihat ini dan itu, makan bersama, dan
mencicipi banyak warung kopi. Saat itu temannya di perusahaan menelepon untuk
memastikan semuanya baik-baik saja. Leo menjawab semuanya baik-baik saja.
Orang-orang
kampung menghadiahi segala macam makanan, tas Muslim yang dibuat oleh
perempuan-perempuan mereka, senjata rencong yang pegangannya gading gajah yang
halus dan keras, kepada Leo. Baginya, itu sebuah kehormatan dan penerimaan yang
dalam tak basa-basi dari penduduk asli. Ia melihat itu dan hatinya tergerak, merasa
tidak bisa ia menerima semua kebaikan itu.
Di kantor,
ia berbagi pengalaman berkunjung ke Aceh. Semua mendengarkan tidak percaya.
Keberhasilan pertama itu membesarkan hati mereka yang mendengar. Pemimpin
perusahaan mendukung sepenuhnya apa pun yang diperlukan berikutnya. Leo
menyelesaikan masalah perusahaan seperti hantu, kata mereka.
*
Bersambung ke bagian 9