Selasa, 22 November 2011

Memaafkan

Agustus 1998 adalah bulan berlumur kepedihan. Meski saya patah hati dan sangat kecewa terhadap Bill, saya merenung sendirian dan mengaku dalam hati bahwa saya mencintainya. Saya harus mendukungnya dalam perang politik yang sedang berlangsung ini.

Sebagai istri, saya betul-betul ingin mencekik lehernya. Dia telah membohongi saya. Tetapi saya memutuskan untuk mengendalikan emosi. Meski dia adalah suami saya, dia juga adalah Presiden saya. Kegagalannya untuk bisa dipercaya bukan hanya di hadapan saya, tetapi juga bagi seluruh negeri.

Tantangan pribadi dan politik silih berganti memenuhi benak saya. Namun Bill dan saya sepakat untuk mengikuti bimbingan konseling, untuk melihat kelangsungan pernikahan kami selanjutnya. Saya juga akan menemani Bill ketika ia menjelaskan masalah ini kepada Chelsea, putri kami. Bill menangis ketika saya menyadarkan bahwa dia harus melakukan tugas penting ini. Chelsea sangat mengagumi Bill, dan kenyataan ini akan menyakitkan mereka berdua.

Bill harus bertanggung jawab atas perilaku negatif yang sudah dilakukannya. Tetapi saya sadar sepenuhnya bahwa masalah ini akan lebih banyak menyinggung saya dan Chelsea secara pribadi, dan bukan untuk disalahgunakan dalam rangka pertanggungjawaban kepada publik.

Selama beberapa minggu Bill meminta maaf kepada saya, Chelsea, teman-temannya, anggota kabinet, staff dan koleganya. Pada satu pertemuan doa saat sarapan pagi di Gedung Putih bersama para pemimpin agama, Bill mengakui kesalahan dan dosanya. Dia akan mengajukan permohonan maaf kepada seluruh rakyat. Tetapi dia tidak akan mundur dari jabatannya.

”Jika penyesalan saya tulus dan berlangsung terus, maka yang baik akan datang pada negeri ini, pada saya dan keluarga saya. Anak-anak dapat melihat dan belajar secara mendalam bahwa integritas adalah penting dan mementingkan diri sendiri itu salah. Saya percaya Tuhan bisa mengubah kita dan membuat kita menjadi kuat di tempat-tempat yang sebelumnya sudah rusak,” kata Bill waktu itu.

Stevie Wonder menelepon saya. Dia bertanya apakah dia bisa datang ke Gedung Putih untuk bertemu dengan saya. Saya mengiyakan. Dan di satu ruang yang tersedia piano, Stevie menyanyikan satu lagu khusus yang dia ciptakan untuk saya. Beberapa teman ikut mendengarkan. Lagu itu tentang kekuatan pengampunan. Stevie menyanyikan bait refrain secara berulang, “Kau tidak perlu berjalan di atas air …”

Sambil mendengarkan dia bermain piano dan menyanyi, saya menggeser kursi saya sedikit demi sedikit mendekatinya. Sampai akhirnya saya duduk di sampingnya. Ketika Stevie selesai menyanyi, air mata sudah memenuhi mata saya. Ini adalah sentuhan paling indah yang diberikan kepada saya pada masa-masa sulit ini.

Waktu itu Nelson Mandela melakukan tugas kenegaraan dan berkunjung ke Gedung Putih. Dia berpidato singkat namun lembut dan penuh filosofi. Dia secara khusus menyatakan kasih yang tulus dan hormat kepada Bill. Dia berkata, ”Moral kita tidak akan membuat kita meninggalkan teman-teman kita. Tetapi jika harapan tidak seperti apa yang kita doakan dan impikan, kita harus yakin bahwa kemuliaan terbesar dalam hidup adalah bukan karena kita tidak pernah jatuh, tetapi tetap bangkit setiap kali kita jatuh.”

Saya sendiri masih berusaha untuk bangkit. Saya tertantang untuk memaafkan Bill. Jika Mandela yang sudah dipenjara bertahun-tahun bisa memaafkan lawan politiknya, saya pun seharusnya bisa.

Dalai Lama datang untuk memberi kekuatan. Ia memberi saya selendang doa putih sebagai simbol dukungannya. Ia mendorong saya untuk tidak putus asa. Ia juga berharap saya dapat bangkit dari kepahitan dan kemarahan, meski atas nama rasa sakit dan ketidakadilan.
Begitu banyak teladan dan bantuan kasih sayang dari banyak teman. Saya memaafkan Bill, meski saya tahu itu sulit.

Dikisahkan oleh Hillary Clinton dalam bukunya Living History.

26 Juli 2011

Kunang-kunang Itu Tetap Terbang

Avi memeluk ranselnya. Dagunya mampir di ujungnya. Ia memandang ke luar jendela tetapi tidak benar-benar memperhatikan. Sementara kereta Prambanan Express Yogya-Solo terus melaju. Penjual resmi berkereta dorong sudah dua kali lewat di hadapannya.

Sejak membeli karcis tadi, bahkan di Jakarta ketika memutuskan menjenguk Eva, isi kepalanya terus berputar. Pasalnya, ia belum menemukan kalimat pas untuk menghibur nanti. Malam ini ia akan menginap di rumah Eva.

Tabah ya, Va. Kuatkan hatimu. Tuhan itu baik. Gusti Allah selalu memberi percobaan yang tidak akan melebihi kekuatan kita. Kau seharusnya bersyukur. Kalau sel-sel kankernya sudah menjalar ke jantung, gimana?

Aduh, basi, batin Avi menggeleng-gelengkan kepalanya.

Dua bulan lalu, Eva, sahabat masa kecilnya, divonis terkena kanker pada payudara. Dokter melakukan tindakan pengangkatan benjolan 1,5 cm sekaligus payudara sebelah kanannya. Bagaimana menyarankan untuk bersyukur dalam keadaan ini?

Avi ingat masa kecil mereka. Sejak dulu Eva bermimpi menjadi kunang-kunang. Kalau mereka berlibur di rumah Nenek Eva di Wonosari, malam-malam mereka akan duduk di halaman belakang yang bersisian dengan sungai, menunggu kunang-kunang muncul entah dari mana. Lalu mereka akan berlomba mengejar puluhan kerlip yang beterbangan memecah malam.

”Sekarang aku kunang-kunang bersayap satu,” keluh Eva di layar selular Avi, selesai operasi waktu itu.

Avi bingung menjawab apa. Dia tidak akan mampu menyelami kepedihan Eva, bagaimana pun dia berusaha.

”Memangnya kunang-kunang bersayap ya, Va?” hanya itu jawaban Avi.

Beberapa penumpang bergerak. Avi bertanya posisi kereta kepada tetangga di sebelahnya. Stasiun depan sudah Purwasari, jawabnya. Ah, aku harus bersiap, jawab Avi sambil berterimakasih. Avi menggendong ranselnya, menunggu kereta berhenti.

Tiba di rumah Eva, beberapa teman rupanya sedang berkunjung. Avi ikut nimbrung. Ia gembira Eva keliharan riang bercengkerama. Mereka tidak bercerita masalah operasi atau rencana kemoterapi. Tetapi tiap kali memandang Eva, hatinya tergores nyeri mengingat pelbagai peristiwa buruk yang baru menimpa sahabat tersayangnya itu.

Selepas mandi dan makan malam, mereka duduk santai di perpustakaan mungil Eva. Kepala Avi masih dipenuhi kebingungan kalau pembicaraan tentang kanker tiba. Perasaannya kacau, tetapi dia berusaha tenang.

”Mau lihat bekas operasinya, Vi?” tanya Eva tiba-tiba.

Avi dengan cepat mengiyakan. Eva memperlihatkan bekas operasi yang masih ditutup perban. Lalu ia mulai bercerita lagi sejak awal virus itu ditemukan di dalam dirinya. Lalu dalam sekejap air matanya sudah berleleran tak berhenti.

”Sekarang aku merasa tidak berarti, Vi. Aku ingin menggugat tetapi entah kepada siapa. Tidak ada gunanya aku rajin olahraga, makan makanan sehat, berhati-hati. Dokter tidak memberiku pilihan kecuali operasi. Kau bayangkan, Vi. Aku baru saja kehilangan mobil, lalu tiba-tiba kanker ini. Aku harus kehilangan anggota tubuhku yang berharga, nanti kemoterapi, lalu rambutku habis. Di mana keadilan Tuhan, Vi?”

Avi tak sanggup bicara. Kelenjar air matanya mulai bekerja dan ia merasa panas. Ia biarkan saja Eva sibuk mengurus air matanya yang terus turun.

Lalu tiba-tiba entah ide dari mana, Avi berkata, ”Kau bilanglah kekecewaanmu sama Tuhan, Va. Marahlah padaNya. Bilang kau kecewa. Setelah kau puas, maafkan dirimu, terima keadaanmu. Dia selalu mendengar keluh kita, Vi. Kau tahu itu. Dia mengerti.”

Avi sudah kembali di Jakarta, ketika Eva menulis pesan pendek ke layar selular sahabatnya.

”Terimakasih, Vi. Sebelumnya aku tertekan karena orang terus-menerus menasihatiku untuk bersyukur menerima semua ini. Itu kan nggak jujur. Aku tak bisa pura-pura. Aku sudah katakan semua kekecewaanku kepada Tuhan. Sekarang aku lebih lega. Dan aku akan terus terbang, Vi, meski dengan satu sayap.”

Avi terharu membacanya. Padahal aku pun bingung bagaimana menghiburmu waktu itu, Va. Pastilah Tuhan juga yang kasih aku gagasan mengatakan itu kepadamu, batin Avi. (Buat SBK)

23 Juli 2011

Kacang Merah Hari Itu

Bulan lalu Linda memutuskan ke rumah kakaknya di Cianjur untuk menyelesaikan pekerjaannya. Dia merasa di Jakarta terlalu banyak gangguan. Sebelum berangkat, dia berjanji dalam hati untuk tidak berkomentar apa pun yang ditemuinya di sana.

Linda suka bangun pagi, hari libur atau biasa. Moni, kakaknya bangun siang saat libur. Linda suka baca, kakaknya suka nonton teve. Dia bisa berjam-jam di depan televisi, sambil tiduran, sambil ketawa-ketawa sendiri. Dan dia sudah berdamai dengan itu semua.

Tiba di rumah kakaknya, ternyata Gindo, keponakannya, ada di sana. Dia baru tiba dari Yogyakarta, lewat Semarang, pantura, dan beberapa kota Jawa Barat lain. Maret lalu dia baru lulus seni murni dari ISI Yogyakarta. Sekarang dia merayakannya dengan tour naik vespa, bersama seorang temannya. Katanya, para pecinta vespa di seluruh Indonesia akan kumpul di Taman Mini Jakarta.

Linda berdoa lagi dalam hati, bertekad, takkan sebaris pun kata untuk menasihatinya.
Gindo seorang pelukis. Dia punya dunianya sendiri. Dia menceritakan pengalamannya dalam perjalanan. Dia memperlihatkan foto-foto dan orang-orang yang mereka temui. Rambutnya gimbal, dan dia sangat bangga dengan penampilannya. Linda dan kakaknya mendengarkan. Linda berpikir, saya akan memasak selama dia dan kawannya itu di rumah.

Kadang-kadang keponakannya bangun pada jam makan siang. Linda langsung menyodorkan segelas air untuk diminum habis.

Lalu Linda bilang, “Makan, Gin. Tante udah masak.”

”Gindo gak biasa bangun langsung makan, Tan,” katanya.

Linda setuju saja. Sementara dalam pikirannya prinsip-prinsip hidup sehat sudah terpatri. Linda mengkhawatirkan kesehatan keponakannya. Mungkin Gindo sudah hapal cerita Linda, bahwa sel-sel darah merah berkualitas dibentuk ketika manusia tidur lelap sekitar pukul satu dan dua pagi, sementara dia masih asyik melukis dan merokok dan minum kopi. Dulu Linda bilang bahwa dunia ini berputar sesuai porosnya, siang untuk bekerja, malam untuk tidur, bukan sebaliknya.

Bahwa kita perlu makan makanan sehat dan istirahat cukup, karena tubuh ... bla bla bla.
Beberapa hari berlangsung damai. Gindo terus bercerita. Tentang pameran lukisannya. Tentang lagu yang ditulis dan dia nyanyikan dan rekam sendiri. Tentang dosen dan hidup para pelukis dan Yogyakarta. Sesekali Linda memberikan susu segar sambil dia bercerita, dan Gindo langsung meminumnya tanpa berpikir, lalu Linda bersyukur dalam hati, lumayan gizi masuk ke tubuhnya.

Tak lama Gindo dan temannya harus pergi ke pertemuan vespa itu. Linda dan kakaknya membekali banyak makanan ke ranselnya, dan Gindo komentar, ”Aduh, ini untuk kemping seminggu.”

Lalu tinggallah Linda dan Moni, kakaknya.

Moni jarang memasak. Dia hanya sendiri di rumah (suaminya sudah lama meninggal) dan tidak suka memasak. Di dapurnya jarang ada bawang merah atau cabai. Hanya ada minyak goreng dan garam. Selebihnya dia membeli makanan.

Tapi Linda terus memasak tiap pagi. Kali ini untuk mereka berdua. Lama kelamaan Linda berpikir, masak cukup menghabiskan waktu juga. Sementara pekerjaan masih banyak. Jadi dia setuju dengan gagasan kakaknya untuk membeli makanan saja.

Moni punya langganan rumah makan Padang. Menurutnya, semua yang disajikan di sana enak. Katanya, Si Uda pemilik restoran, pintar meracik bumbu bawal bakar dengan sambal dabu-dabu khas orang Manado, yaitu irisan cabai rawit, bawang merah, tomat hijau segar, lalu dikucuri sedikit minyak dan jeruk nipis.

Satu siang Moni pulang membawa makanan favoritnya itu. Linda mengakui kesempurnaan rasa bawal. Sambal dabu-dabunya segar dan pedas. Mereka makan sambil ngobrol gembira dan mulut kepedasan.

“Waktu lu masak kemarin, gua stres deh,” ucap Moni.

”Oya? Kenapa?” tanya Linda.

”Abis, gua kan jadinya harus makan di rumah. Rasanya, gua makan terus tiap hari,” jawabnya.

”Oh gitu?” komentar Linda.

”Iya. Gua kan nggak gitu suka makan. Inget nggak dulu gua kena maag dan dirawat sama dokter mini tetangga kita, gara-gara males makan?”

”Oh ya ya. Gua inget,” jawab Linda.

”Terus, waktu lu masak kacang merah, gua tambah stres,” kata Moni lagi.

“Hah, kenapa?”

“Enak sih, tapi gua kan nggak suka kacang merah. Anak-anak juga. Kemarin gua bisikin Gindo,

‘Gin, makan kacang merahnya. Si Tante udah capek-capek masak tuh’. Hahaha....”
Mereka ketawa lepas. Tetapi Linda merenung, betapa menderitanya mereka gara-gara kacang merah yang menurutnya sehat dan bergizi. Dalam hati dia berjanji lagi, untuk diam dan mendengarkan, dan tidak merasa diri benar.

Siapa Memberi Akan Menerima

Jalanan sepi. Langit sudah gelap sejak Julia keluar dari rumahnya tadi. Hujan turun tidak deras tetapi padat. Ia menyesal karena menolak tawaran Sony, anak mereka, untuk mengantar menjemput suaminya di rumah sakit.

Sekarang mobil mahalnya terhenti di tengah jalan. Dia sudah berusaha menelepon tetapi belum satu panggilan pun tersambung. Jadi dia hanya bisa menunggu.

Kemudian kaca mobilnya diketuk. Ia kaget. Seorang laki-laki berwajah kusut di luar sana. Wajahnya terkena tetes-tetes hujan, bertanya, “Ada masalah? Saya Brian Anderson. Ada yang bisa saya bantu?”

Julia ragu-ragu. Orang baik atau jahatkah dia? Tanpa menunggu Julia menjawab, laki-laki itu berlalu, memperhatikan apa yang salah pada mobil mogok itu. Julia masih di dalam mobil. Laki-laki itu kembali ke kaca jendelanya.

“Bannya kempes. Saya bisa bantu ganti. Ada ban serep?”

Akhirnya Julia mengangguk. Ia membuka bagasi mobil secara otomatis. Laki-laki itu bekerja dalam hujan, membongkar dan memasang ban mobil. Sementara Julia tetap di dalam mobil.

Tak lama selesailah. Laki-laki itu meminta Julia menyalakan mesin, dan berhasil. Tangan dan jas hujannya tampak kotor.

“Terima kasih. Berapa saya harus bayar?” tanya Julia sambil membuka kaca jendela. Laki-laki itu berjalan ke arah mobil tuanya yang sudah payah.

“Tidak usah, Bu. Saya pas bisa bantu, itu saja. Kalau mau memberi, berikan kepada orang yang tampaknya perlu,” jawab laki-laki itu.

Julia menyesal telah menaruh syak wasangka kepada si penolong tersebut.

Lalu suaminya mengirim pesan pendek, minta dibawakan kopi panas. Pada sisi jalan dia melihat sebuah restoran kecil. Julia parkir dan memesan kopi panas untuk suaminya dan cokelat hangat untuk dirinya.

Seorang pelayan perempuan tersenyum manis ketika mengantar pesanan dan bon. Perutnya buncit, tampaknya sedang hamil delapan bulan. Wajahnya letih, tetapi mata dan bibirnya tersenyum. Tiba-tiba Julia ingat laki-laki yang menolongnya tadi. Ia menyerahkan uang 100 dolar, lalu perempuan hamil itu memintanya menunggu sementara dia ke kasir.

Saat kembali, tempat duduk Julia sudah kosong. Dia berlari ke luar restoran untuk mengejar, tetapi mobilnya pun sudah tidak kelihatan. Perempuan hamil itu kembali ke tempat duduk untuk membersihkan meja, dan mendapati 400 dolar tergeletak di bawah tisu, dengan tulisan, ”Untukmu. Kau pasti membutuhkannya.”

Malam itu sang calon ibu muda pulang dengan perasaan berbeda. Bagaimana Ibu itu tahu bahwa aku dan suamiku membutuhkan uang ini, bisiknya tak habis pikir.

Sampai di rumah, dia mendapati suaminya jatuh tertidur di sofa, menunggunya. Perempuan itu berjalan mendekat, mencium suaminya, berbisik, “Jangan khawatir, Brian Anderson. Kita punya uang sekarang. Semuanya akan baik-baik saja.”

Pepatah tua berkata, siapa memberi, kepadanya akan diberi.

Dari satu sumber

19 Juli 2011

Guru

Ia lahir begitu manis, seperti bayi pada umumnya. Ayahnya sangat bangga kepada anak perempuannya. Di matanya, ia akan tumbuh normal, bahkan mungkin sudah belajar bicara di usia enam bulan.

Ketika berusia 19 bulan, bayi itu terkena demam. Begitu kerasnya sakit itu sampai si bayi nyaris meninggal. Ia lemah dan tidak bisa merespons suara atau lambaian tangan ibunya di depan matanya.

Siapa bakal menyangka sakit itu akan membuatnya buta dan tuli?

Kini si anak manis dihantar ke dunianya yang baru, yang serba sunyi. Tak lama ia pun kehilangannya kemampuan untuk berbicara. Karena keadaan tidak menyenangkan yang bertubi-tubi ini, si anak menjadi mudah marah dan sulit diatur. Pada saat frustasi, ia hanya bisa melempar barang, menarik lampu, atau membuat kekacauan lainnya. Keadaan itu membuat orangtuanya tidak sanggup mengatasi perangainya.

Lalu orangtua itu mencari guru bagi putri kesayangan mereka.

Seorang perempuan yang baru lulus kuliah datang kepada mereka. Ia tersenyum lebar ketika diperkenalkan kepada calon muridnya. ”Dia sangat manis,” ujarnya. Kedua orangtua itu menceritakan sejarah anak mereka. Guru muda itu memandang orangtua yang putus asa itu, mengangguk dan berkata, ”Dia akan berhasil seperti anak-anak lainnya.”

Sang guru memperkenalkan diri kepada calon muridnya. Si gadis kecil memberontak. Guru itu dengan penuh pengertian menerima perilaku negatif si anak. Ia sungguh perlu bantuan, batinnya.

Dan guru itu mulai mendisiplin si anak. Dia melarang anak itu mengambil makanan seenaknya di meja makan. Dia mengajar makan dengan sendok garpu. Ia mencuci dan menyisir rambut muridnya. Tetapi si gadis kecil terus memberi perlawanan. Dalam minggu pertama mereka bekerja sama, sang guru kehilangan dua gigi serinya karena dipukul oleh sang murid.

Sang guru muda tidak menyerah. Ia terus berfokus diri. Ia mengeja huruf demi huruf ke telapak tangan si gadis. Gadis kecil itu dapat mengulang gerakan tangan guru di dalam benaknya, tetapi tidak mengerti maksudnya.

Sampai pada satu hari yang baik, terjadilah perubahan.

Sang guru mengajak muridnya ke sumur di belakang rumah. Ia mendekatkan tangan mungil itu di bawah aliran air dari pompa. Lalu si guru menuliskan huruf a-i-r ke telapak tangan itu. Bersama aliran sejuk air yang menyembur di tangannya, si gadis tiba-tiba menemukan sebuah misteri yang membuka kesadarannya.

Melihat gerakan itu, sang guru dengan cepat mengeja kata p-o-m-p-a, lalu setiap benda yang disentuh tangan kecil itu, termasuk namanya sendiri. Hari itu si murid belajar 30 kata baru. Tiga bulan kemudian, 300 kata baru.

Di usia lima tahun, si gadis kecil telah mahir menggunakan 60 gerakan bahasa tubuh untuk berkomunikasi seperti kata ”ayah”, ”ibu”, dan lainnya. Ia menjadi gadis yang riang dan berani. Orangtua dan keluarga dekat melihat keajaiban sudah terjadi pada gadis kecil mereka.

Dengan segala ketidakmampuannya, sang murid belajar naik kuda, naik sepeda, berenang, bahkan berkemah. Ketika dewasa, dia berhasil kuliah di universitas untuk orang normal dan lulus dengan pujian. Namanya dikenal dan kisahnya menggugah dunia. Ketika sang guru meninggal, sang murid menulis sebuah memoar untuk gurunya. Dan ketika ia meninggal, ia dimakamkan, dekat di samping makam gurunya.

Dialah Helen Keller, dan gurunya, Anne Sullivan.


21 Juli 2011

Cerita 1001 Malam

Cerita ini berasal dari Persia. Alkisah, Raja Syahryar baru saja menikah. Dia gusar ketika mengetahui bahwa istri adiknya berselingkuh. Tidak lama berselang, permaisurinya pun kedapatan melakukan hal yang sama. Raja naik pitam dan menghukum mati istrinya.
Dalam kepahitan karena pengkhianatan yang tidak pernah diduganya tersebut, Raja berkesimpulan bahwa perempuan itu tidak setia.

Sejak itu Raja memutuskan menikah untuk satu malam saja. Keesokan paginya, istri barunya harus dihukum mati. Malam berikutnya, Raja akan mengawini perempuan lain, lalu paginya dihukum mati. Begitu seterusnya sampai habislah perawan di negeri tersebut.

Penasihat kerajaan, orang yang bertanggung jawab menyediakan perawan untuk Raja, mulai bingung. Dia tidak tahu lagi ke mana harus mencari perawan.

Syeherazad, anak perempuan satu-satunya yang sangat dicintainya, memperhatikan kegundahan hati sang ayah.

”Ayah, kenapa wajah Ayah kelihatan kusut?” tanya Syeherazad khawatir.

Lalu sang ayah menceritakan masalah yang tengah dihadapinya. Di luar perkiraan, Syeherazad menawarkan diri untuk diserahkan menjadi pengantin semalam bagi Raja.

“Tidak, anakku sayang. Kau takkan pernah Ayah serahkan kepada Raja yang sudah kehilangan akal itu,” tekadnya.

“Percayalah kepadaku, Ayah. Aku takkan dihukum mati. Aku akan menjadi permaisuri untuk waktu yang lama.”

“Bagaimana bisa, anakku?”

“Serahkan saja kepadaku. Malam ini, jadikan aku pengantin Raja.”

Akhirnya malam itu Syeherazad menghadap Raja. Sepanjang malam sang ayah gelisah tidak bisa tidur karena memikirkan nasib anak perempuannya. Namun, keesokan harinya Raja tidak menghukum seorang pun. Begitu pula malam berikutnya, lalu malam berikutnya, dan seterusnya.

Apa yang telah dilakukan anakku kepada Raja, batin sang ayah.

Beginilah rahasia Syeherazad yang cerdik. Pada malam perkawinannya dengan Raja, ia mendongeng satu cerita tetapi tidak sampai tamat. Karena ingin mendengar kelanjutan cerita itu, keesokan harinya Raja menunda untuk menghukum.

Malam kedua, Syeherazad melakukan hal yang sama. Dia mendongeng cerita baru tetapi tidak sampai habis. Karena ingin mengetahui akhir cerita, lagi-lagi Raja menunda untuk menghukum.
Syeherazad mempunyai banyak sekali cerita dan dia pendongeng yang pintar. Ia menceritakan kisah roman, komedi, tragedi. Emosi Raja turun naik mendengar pelbagai cerita itu. Ia menangis bila sedih, tertawa bila lucu.

Demikian dilakukan Syeherazad sampai 1001 malam. Dan pada malam terakhir ia bercerita, Raja sudah lupa pada hukumannya.

Dari berbagai sumber

14 Juli 2011

No Kissing Please

Manusia tetaplah manusia. Berstatus apapun ia.

13 September 1993. Bill Clinton adalah Presiden Amerika Serikat ke-42.
Ruang Biru lantai utama Gedung Putih. Matahari masih bersinar hangat pada hari-hari terakhir musim panas. Inilah momen yang akan disaksikan jutaan orang di seluruh dunia. Sekitar 2500 undangan tak sabar menyaksikan langsung peristiwa bersejarah ini. Chelsea Clinton dan keempat anak Wakil Presiden Al Gore telah meminta izin dari sekolah untuk datang telat pagi ini.

Yitzhak Rabin Perdana Menteri Israel dan Yasser Arafat Ketua PLO berada di ruang lain. Sebentar lagi mereka akan menandatangani perjanjian perdamaian baru, Israel-Palestina. Bill Clinton berada di antara keduanya.

Arafat seperti biasa, muncul dengan pakaian khasnya. Kopiah hijau zaitun dan senjata melekat di pinggang. Clinton berbisik, mengusulkan untuk menanggalkan senjata karena penampilan itu akan merusak kesan perdamaian selain tempat itu memang sudah aman. Arafat mendengarkan Clinton.

Kepada Rabin, Clinton mengingatkan bahwa setelah penandatanganan, kedua belah pihak harus berjabat tangan. Dengan demikian dunia menyaksikan bahwa mereka benar-benar telah berdamai.

“Baik. Tapi tidak dengan ciuman,” jawab Rabin tegas. Ia mengingatkan kebiasaan Arafat, yang selalu hangat dengan salam tradisional orang Arab, mencium kedua pipi setelah berjabat tangan.
Diam-diam Clinton mendiskusikan masalah kecil ini dengan Hillary dan beberapa yang lain. Tony Lake memberi ide segar. Setelah penandatanganan, Clinton pertama akan menjabat tangan Arafat. Lake berasumsi, kalau Arafat tidak mencium Clinton, bisa dipastikan ia pun tidak akan mencium Rabin.

Lalu mereka mempraktekkan. Lake berperan Clinton, Clinton berperan Arafat.
Saat Clinton menjabat tangan Lake dan berusaha mendekat, Lake menaruh tangan kirinya di lengan kanan Clinton, memberi tekanan yang menyebabkan siku sedikit menekuk, sehingga Clinton sulit bergerak. Akibatnya, jabat tangan selesai tanpa ciuman.

Mereka berlatih sekali lagi. Sekarang Clinton berperan dirinya. Berhasil. Kemudian kerumunan kecil itu bubar setelah tertawa ramai karena masalah telah selesai.

Kini tibalah saat yang mendebarkan. Ketiga delegasi menandatangani perjanjian. Clinton menyalami Arafat, kemudian Rabin. Setelah itu Clinton mempersilakan kedua pemimpin bersalaman. Jabatan tangan terjadi, tanpa ciuman. Wajah Rabin melembut. Mata Arafat bersinar senang. Ruangan dipenuhi tepuk tangan.

Arafat wafat pada 11 November 2004 pada usia 75 tahun. Rabin pada 4 November 1995 pada usia 73 tahun.

Dari buku My Life oleh Bill Clinton.

18 Juli 2011

Manna: Padi dari Surga

Sejarah purba mencatat bahwa bangsa Israel pernah dijajah oleh bangsa Mesir selama 430 tahun. Satu kurun waktu yang panjang. Dan ketika Musa memimpin bangsa itu keluar dari tanah Mesir, jumlah mereka sekitar 600 ribu orang belum termasuk anak-anak.

Mereka akan menempuh perjalanan menuju tanah baru yang disebut tanah perjanjian. Jarak dari Mesir menuju tempat itu seyogyanya dapat ditempuh selama dua minggu dengan berjalan kaki. Tetapi pada kenyataannya mereka memerlukan waktu 40 tahun untuk tiba ke tempat tujuan.

Yang menjadi pertanyaan di sini adalah bagaimana mereka makan selama masa pengembaraan yang panjang itu? Mereka tidak mengolah tanah, tidak menanam benih.

Kitab suci mencatat mereka makan makanan yang disebut manna, setiap hari. Manna secara ajaib turun seperti hujan gerimis halus pada waktu malam menjelang subuh. Tampilannya serupa embun beku dan turun bersama embun. Warnanya putih, manna mempunyai rasa enak dan bergizi. Karena bentuknya seperti benih, manna harus terlebih dulu diolah, baru kemudian dibuat menjadi berjenis makanan.

Para arkeolog berspekulasi tentang makanan yang unik ini. Bagaimana pun mereka perlu mencari bukti-bukti sejarah di sini. Karena bentuknya mirip biji ketumbar, mereka memperkirakan manna berasal dari tumbuhan yang tumbuh pada masa purba di wilayah Mediterania. Nama tumbuhan sejenis itu adalah tamarisk.

Mereka meneliti tentang kemungkinan pepohonan tamarisk tumbuh di sepanjang rute perjalanan orang Israel. Tanaman ini unik. Ia meneteskan cairan manis dari ranting-ranting pohon yang berjatuhan ke tanah. Cairan itu harus dikumpulkan pada malam hari karena saat pagi matahari terbit, cairan itu segera menghilang karena menguap kecuali ia terlindungi dari sinar.

Tetapi tanaman ini tidak berbuah sepanjang tahun. Pepohonan ini hanya memproduksi buahnya pada periode yang singkat tiap tahun. Jadi, tanaman ini tidak dapat diandalkan menjadi persediaan makanan orang Israel selama pengembaraan menuju tanah perjanjian.
Manna adalah misteri Ilahi. Karena keajaibannya, beberapa menyebut manna sebagai ”gandum dari langit” atau ”roti dari surga” atau ”roti malaikat”. Kalau saja manna turun di bumi Indonesia, mungkin akan disebut ”padi dari surga”.

(Dari berbagai sumber)

7 Juli 2011

Iman

Pada satu hari di Missionaries Cinta Kasih, Kalkuta. Seorang novis (orang baru) yang bertugas di dapur pergi menemui Ibu Teresa. Ia memberi tahu bahwa tidak ada lagi makanan di gudang persediaan dapur para suster. Sejak pagi tadi sekitar 300 suster sudah pergi menjalankan tugasnya masing-masing ke sudut-sudut kota, dan akan kembali ke pos untuk makan siang. Sementara itu para petugas dapur belum mengerjakan apa-apa karena tidak ada bahan makanan untuk dimasak.
Ibu Teresa memandang novis belia itu, bertanya, “Suster, kamu bertanggung jawab untuk urusan dapur?”
“Ya, Ibu,” jawab si novis.
Ibu Teresa mengangguk, dan dengan tenang dia berkata, “Kalau begitu, pergilah ke kapel. Katakan kepada Tuhan bahwa kita tidak mempunyai makanan lagi di dapur.”
Novis itu berlalu. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran tetapi dia pergi juga ke kapel seperti yang diperintahkan. Setelah itu Ibu Teresa melanjutkan pekerjaannya, seolah-olah persoalan mereka sudah teratasi.
Tak berapa lama bel rumah mereka berdering. Seseorang mencari Ibu Teresa. Ibu Teresa segera menemui orang di depan pintu, yang ternyata seorang sopir truk pemerintah. Wajahnya nampak khawatir, berkata, “Ibu, hari ini sekolah-sekolah negeri melakukan aksi mogok dan mereka sudah menyuruh siswa-siswi untuk pulang. Saya sopir pemerintah dan kami mempunyai ribuan bungkus roti. Kami tidak tahu akan dibawa ke mana makanan sebanyak ini. Apakah Ibu Teresa bisa memanfaatkannya?”
Ibu Teresa tersenyum, segera menandatangi surat tanda terima yang dibawa sopir itu.
Misionaris Cinta Kasih didirikan pada tahun 1948 oleh Ibu Teresa. Mereka memfokuskan diri bekerja untuk menolong orang-orang miskin di perkampungan kumuh di seluruh Kalkuta, India. Ibu Teresa memulai misi ini dengan turun sendiri ke jalan dengan uang 5 rupee di tangan.
Tahun 1997 ketika Ibu Teresa berpulang dalam usia 87 tahun, Misionaris ini memiliki lebih dari 3500 suster di 610 misionaris cabang, di 123 negara di seluruh dunia.
“Bila Tuhan bekerja, Dia yang akan memberkati. Kita tidak melakukan apa-apa,” ujarnya dalam sebuah catatan.

10 Juli 2011

Anak

Seorang ibu bercerita tentang anaknya si enam tahun. Dia menjemput si anak di sekolah, dan di mobil, sambil menyetir teman saya bertanya, ”Gimana sekolah hari ini, sayang?” Si enam tahun tidak menjawab. Si ibu melirik ke arah anaknya sekilas, bertanya sekali lagi, dan anaknya masih tidak menjawab. ”Oh, anak Ibu sedang mogok bicara, ya?” goda sang ibu. ”Bukan, Bu,” jawab si enam tahun, ”Ibu kan bilang anak-anak tidak boleh ngajak bicara orang yang sedang menyetir.”

Anak berpikir polos. Namun gagasan yang muncul dari pikirannya terkadang menakjubkan. Kita akan selalu menarik pelajaran dari percakapan dengan seorang anak. Seperti satu kutipan cerita yang menarik ini.

Satu hari seorang ayah muda, Rudy, mengajak Andre anak laki-lakinya yang berusia 8 tahun untuk berlibur. Mereka tinggal di kota besar, karena itu sang ayah ingin memperlihatkan kepada anaknya tentang kehidupan yang berbeda di desa. Di sana mereka tinggal beberapa hari di rumah satu keluarga sederhana dengan fasilitas seadanya.

Dalam perjalanan pulang si ayah bertanya kepada si anak, ”Bagaimana menurutmu liburan kita, Ndre?”

”Asyik, Yah,” jawab si anak gembira.

”Oya? Gimana asyiknya? Coba ceritakan kepada Ayah,” tanggap Rudy dengan antusias.

”Kita punya satu ekor anjing, mereka punya empat. Kita punya kolam renang di tengah rumah, mereka punya sungai yang panjaang sekali di belakang rumah. Kita punya lampu-lampu hias untuk menerangi taman waktu malam, mereka punya bintang-bintang yang banyak sekali di langit. Teras rumah kita dibatasi pagar, halaman rumah mereka luas sampai-sampai tak muat untuk dipagari. Kita punya dua pembantu di rumah untuk membantu kita, mereka punya banyak teman dan tetangga yang mau membantu kapan saja. Kita harus beli makanan untuk makan kita sehari-hari, mereka tinggal mengambil sendiri di kebun. Rumah kita punya pintu gerbang untuk melindungi kita dari orang-orang jahat, mereka punya satu desa untuk saling menjaga.”

Mendengar penjelasan Andre, Rudy terdiam.

Kemudian Andre berkata lagi dengan riang,” Terimakasih mengajak aku liburan di desa, Yah. Aku jadi tahu betapa miskinnya kita dan betapa kayanya mereka.”

7 Juli 2011