Sabtu, 06 Juni 2015

Tangan Kiri Tuhan (Cerber #4)

Pagar Rumah
Hari Minggu itu ibunya sudah menyiapkan pesta kecil siang hari. Ia minta izin keluar rumah pagi itu untuk mengunjungi rumah lama mereka di Kebayoran Baru. Sebelumnya dia sudah meminta izin kepada pemilik rumah yang baru agar ia bisa masuk dan melihat kembali isi rumahnya. Ia ingin sekaligus menuntaskan rasa rindunya.
Pagar rumah mereka terbuat dari besi setinggi dua meter dan dicat hijau tua. Rumah itu paling besar di lingkungan situ, dan tampak kuat karena dinding yang mengelilingi rumah tebal dan tinggi. Di atas dinding bagian depan rumah ada kawat berduri.
Ia melihat kamar mandi kamarnya, ruang bermain mereka, lapangan bulu tangkis. Semua masih sama. Pagar besi hijau tua masih kelihatan kokoh. Dua pohon palem kian tinggi dan pohon mangga yang berdahan rendah itu tetap malas berbuah, hanya berdaun rimbun. Tak banyak yang berubah.
Halaman rumah itu luas. Bisa tempat parkir empat mobil. Dua pohon palem yang tumbuh kian tinggi dan pohon mangga, memayungi tanah di bawahnya. Di beranda yang sempit itu ada satu meja dan dua kursi yang jarang diduduki pemilik rumah. Halaman selalu bersih dari daun-daun yang jatuh, tanah dibiarkan terbuka tanpa rumput. 
Seberang rumah agak ke kiri ada tanah kosong. Biasanya pukul 3-4 sore lapangan itu riuh dengan suara anak-anak yang bermain. Kadang-kadang suara itu seolah-olah memanggil-manggil Leo dan Kokonya keluar. Mata-mata mereka memandang Bik Lasmi penuh harap. Bik Lasmi mengerti arti tatapan itu. Ia mengizinkan kedua anak laki-laki berdiri berpegangan pagar, menyaksikan anak-anak di lapangan berlarian, bermain bola, dan menarik layang-layang.
Kadang-kadang satu dua anak di sana balik memandangi sebaya mereka yang ada di balik pagar, berlama-lama. Kedua kubu anak-anak itu seperti saling mengukur diri masing-masing. Mereka tidak bisa saling melintas. Sering Bik Lasmi ingin membiarkan mereka ke luar dan bertemu anak-anak yang sedang bermain itu, tetapi tak pernah dilakukannya.
Kerapkali Leo tergerak melihat dahi anak-anak yang mengilat karena berkeringat. Ia ingin bermain bersama mereka, agar dirinya berkeringat seperti itu. Tetapi sebentar kemudian Bik Lasmi akan menyuruh mereka masuk karena harus menjalani tidur siang. Pernah ia bandel dan  menolak, Bik Lasmi mengejar-ngejar. Ia lalu menaiki tangga, masuk kamar, lalu tutup pintu. 
Kadang-kadang Bik Lasmi mengajak ketiga anak naik ke loteng tempat menjemur pakaian, dan menunjukkan letak gedung RRI di sana. Kebaikan Bik Lasmi kepada mereka, mereka boleh menonton televisi sebentar asalkan mereka sudah belajar dan mengerjakan pe-er.
Rumah selalu tenang dan damai. Tak pernah ada keributan atau pembicaraan tak penting di dalamnya. Anak-anak tak pernah melihat perselisihan antara ayah dan ibu mereka. Kalau terjadi ketegangan di antara suami-istri itu, yang terlihat adalah ibunya berbicara lebih sedikit dan menghindari bertatapan mata dengan ayah mereka. Makan malam akan tetap terselenggara. Namun ayahnya akan lebih cepat meninggalkan meja makan.
Ayahnya cenderung tenang dan pendiam. Ibunya lebih banyak bicara karena dialah yang harus mengatur orang-orang yang bekerja di rumah. Namun ayahnya lebih sering meredakan ibunya yang segera risau bila keadaan berubah atau sesuatu yang tidak diinginkan, terjadi.
Di lingkungan tempat tinggal, orangtuanya dikenal murah hati. Meskipun gerbang pagar rumah mereka tinggi, mereka tak melupakan kesejahteraan di luar sana. Mereka percaya kesejahteraan di dalam pagar takkan berarti apa-apa dengan serba kekurangan di luar pagar.
Tiap Lebaran ibunya mengatur ratusan bungkus sembako untuk dibagikan melalui ketua RT. Pada bulan Agustus ayahnya menyumbangkan hadiah-hadiah bagi pemenang perlombaan-perlombaan. Orangtuanya tak keberatan diangkat menjadi pengurus kesejahteraan gereja atau vihara, menyokong yayasan-yayasan yang mengurus lansia, anak-anak yatim piatu dan orang dengan kecacatan.   
Rumah berpagar tinggi itu menjadi saksi banyak peristiwa di dalamnya. Leo merasa terikat dengan rumah di selatan Jakarta itu. Ketika dia di Eropa meneruskan sekolahnya, rumah itu dijual tahun 2002 tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, kepada ketiga anak. Dia dan dua saudara lelakinya protes kepada orangtua mereka. Ayahnya menjawab, mereka ingin ganti suasana. Mereka membeli rumah baru di Pondok Indah, yang lingkungannya lebih cocok untuk usia mereka. Itu pun sering kosong karena mereka ke Melbourne menengok cucu atau ke Kanada, menengok cucu yang lain.
Rumah besar mereka biasa menampung saudara-saudara orangtua mereka dari Bangka. Mereka ke Jakarta untuk kuliah atau bekerja. Ayah dan ibunya menawarkan tempat tinggal sementara, sampai mereka mendapat tempat atau rumah baru. Saudara-saudara senang tinggal di rumah karena ibunya adalah nyonya rumah yang baik. Ibunya tetap menyelenggarakan makan malam yang panjang, bersama tamu-tamu di rumah itu. Meski sudah lama keluar dari rumah itu, saudara-saudara yang pernah tinggal bersama di rumah itu, tetap berhubungan baik dan menganggap orangtua mereka adalah orangtua juga.
Orangtuanya suka menolong anggota-anggota keluarga yang susah. Ibunya dituakan oleh tujuh saudaranya meski dia dalam posisi anak nomor lima. Kakak perempuan sulungnya tinggal Di Guangzhou, tiga adik laki-lakinya dan bungsu mereka, pernah tinggal di rumah, dan sekarang sudah jadi “orang”.
Indonesia, batinnya sendirian. Mengingat negeri itu, sering membuatnya sedih tanpa sebab. Pesawat sedikit berguncang seiring perutnya turun lebih rendah. Biasanya perlu dua tiga puluh menit pesawat menyentuh bumi, setelah pengumuman pilot, bahwa pesawat akan landing. Waktu yang cukup untuk mempersiapkan hatinya. Sesungguhnya hatiku tak pernah benar-benar pergi dari negeri ini. Ia ingin berdamai dengan perasaannya, bahwa negeri ini tak mencintainya sebulat hati, seperti ia mencintai Tanah Air ini, sebulat-bulat hatinya.
Lamunannya membuyar ketika pramugari berwajah manis mengucapkan terima kasih ketika ia hendak menuruni tangga pesawat. Siapa memiliki senyum manis di wajah yang manis, pikirnya, dan tersenyum sendirian.
Tak lama udara malam Jakarta hangat menyentuh pipinya. Rasa rindunya seperti berdetap-detap. Dua minggu lalu dia memaketkan barang-barang miliknya ke Tanah Air. Beberapa barang ia tinggalkan untuk teman-teman dekatnya. Sebagai tanda manis dan kenang-kenangan. Bahwa ia pernah berada di antara mereka dan mereka bersamanya. Sekarang isi apartemennya kosong. Selamat tinggal, Prancis.
Ia belum mendengar barang-barang itu sudah tiba di rumah orangtuanya di Pondok Indah. Dia selalu merasa melekat pada beberapa barang. Dia bukanlah seorang yang terlalu suka menghabiskan uang berbelanja. Ia selalu memikirkan apakah dia cukup pantas membeli barang ini dan itu, sebelum melakukannya.
Akhirnya dia pulang. Sementara berjalan ia merasa banyak kenangan yang berlompatan ingin keluar. Ia mengingat beberapa prosa liris yang ditulisnya dalam bahasa Prancis, yang ia tulis pada jam-jam senggang. Orang bilang bahasa paling indah di dunia. Tetapi bukan bahasa untuk mengungkap rasa bahasanya.
Pikirannya masih meloncat-loncat ketika menunggu bagasinya keluar. Lalu ia mendorong keretanya menuju taksi. Ia tak menyangka masih banyak manusia di bandara meski hampir tengah malam. Dari mana saja mereka dan akan pergi ke mana?
Tubuhnya yang kekar itu pastinya mudah dikenali dari kejauhan sekalipun. Ia menjadi waspada ketika merasa seseorang sedang mengawasinya. Ia terus mendorong keretanya dengan kecepatan sama sementara mengumpulkan tenaga di kedua tangannya. Tiba-tiba ia merasa ia punya banyak musuh seperti ia punya banyak teman, di negeri ini. 
“Wandi!” 
Ia terus berjalan. Wandi? Apakah orang itu memanggilnya atau orang lain? Hanya orang-orang tertentu memanggilnya dengan sebutan itu.
“Wan, Wandi!” kali ini orang itu menepuk pundaknya.
Leo menoleh, memandang cepat ke arah lawan. Dalam sedetik otot-ototnya merileks. Wajah di depannya begitu akrab pada satu masa. Teman main caturnya. Ia sering ke rumah temannya yang tinggal di Gang Tekong, dekat Vihara. Hanya sepuluh menit berjalan kaki.
Dulu ia main catur di komputer, belajar dari kakak sepupunya. Ia diajari bagaimana kuda melangkah, benteng dan menteri, gambit raja, gambit menteri. Lalu di SMA ia bertemu Prandi. Ternyata ia bisa main catur. Pertama kali, ia mengalahkan Leo dengan mudah. Lalu beberapa kali lagi. Itu bikin Leo penasaran. Ia membeli buku permainan catur dan belajar teknik dan strategi. Tidak perlu banyak jalan, dengan taktik yang cerdik, lawan bisa mati tercekik, dalam beberapa langkah. Sejak itu Prandi selalu kalah, dan hanya menertawakan kekalahannya. Ia tak tertarik mengembalikan kejayaannya pernah mengalahkan Leo.
“Bobby Fischer suka pembukaan Inggris kalau ia bermain di papan putih. Gary Kasparov akan membuka dengan pertahanan Sisilia kalau bermain di papan hitam,” kata Leo.
Prandi tidak mau memikirkannya. Dan Leo tak mau berdebat soal itu. Ia meminjami buku-buku caturnya tetapi Prandi terlalu malas membaca. Akhirnya permaianan caturnya mandeg sampai sana, dan Leo mulai bosan bermain dengan kawan yang terus-menerus kalah, tak memberi perlawanan, apalagi  bermain indah. Sebenarnya catur adalah permainan strategi yang indah. Prandi berhenti bermain sebelum memahami keindahannya.
“Gua, Prandi. Masih ingat? Papan catur kita masih gua simpan, Wan.” 
“Iya, Prandi. Mana bisa lupa?”
“Lu masih seperti dulu. Anak gua udah tiga, Wan. Lu gimana? Udah kawin?”
Leo menjawab belum dan Prandi tertawa. Lalu la bercerita usahanya sebagai agen merek komputer di pertokoan Mangga Dua dan Roxy Tomang. Dia cukup bahagia dengan itu karena bisa menghidupi keluarga kecilnya dan keluarga istrinya, lebih dari cukup.
“Main ke rumahku. Atau ke rumah ibuku, yang dulu,” kata Prandi.
Leo mengangguk tetapi tidak berjanji. Prandi memaksa mengantarnya pulang. Katanya, ia baru saja mengantar saudara istrinya berangkat ke luar negeri. Sebenarnya Leo agak enggan karena malas, Prandi akan bertanya banyak hal, kehidupannya setelah mereka berpisah.
“Gua udah tahu, lu bakal telat kawin karena banyak maunya,” ujarnya tertawa.
Leo ikut tertawa. Padahal hatinya berdoa agar Prandi tidak terlalu panjang ingatannya mengingat Viona, teman perempuan di SMA, yang mampu mengocok-ngocok perasaannya dengan rasa sedih, gembira, kecewa, dan cemas. Ia tak tahu apakah Viona cinta pertamanya. Atau cinta monyetnya. Mulutnya tak pernah mengucapkan kata itu. Namun di dalam lubuk jiwanya terdalam, ia tahu gadis itu pun memahami getar-getar dari dirinya.
Anak perempuan berambut lurus panjang, berwajah tirus dan lembut itu, tinggal di Kelapa Gading. Tiap pagi ia sekolah diantar oleh sopir. Ransel besar di pundaknya kelihatan tidak seimbang dengan tubuh tipisnya. Apa saja yang ada di tasnya yang besar itu, dulu Leo sering berpikir itu. Belakangan ia tahu, anak itu membawa sendiri makan siangnya dan segala peralatan makan. Pukul 10 ia minum jus berwarna satu botol cukup besar. Siang hari ia membuka bekalnya di kantin, duduk bersama teman-teman perempuannya. Dan matanya selalu tertawa, sementara mulutnya mengunyah pelan, sambil sesekali berbicara. 
Kenapa, tanya Leo. Enam bulan ia berjuang menghadapi kanker. Entah kanker apa. Krisis keuangan yang melanda negeri ini, ketakutan yang menggentarkan etnisnya, tak sepadan dengan berita kehilangan Viona.
Ia ingat ketika mereka lulus SMA, ia merasa aneh mendengar Viona takkan melanjutkan kuliah, hanya berlatih piano, menghadirkan guru ke rumah.
“Kenapa nggak kuliah?” tanyanya.
“Tak perlu kuliah. Aku tak memerlukannya,” jawab Viona tertawa berderai-derai.
Sekarang ia mengerti kenapa. Dan ia mengutuk dirinya karena tak tahu kondisi itu. Meninggal di usia muda dalam kondisi cantik dan segar? Kenapa hidup terlalu cepat tidak adil? Memang matanya hanya mengucurkan satu dua tetes air mata waktu mendengar berita itu, namun itu yang paling membuat kelopak matanya nyeri tak terperi.  
“Lu tahu berita terakhir tentang Viona, kan?” tanya Prandi.
Leo terkejut karena Prandi mengingatnya. Leo mendengus pelan dengan suara perut.
“Lu nggak kawin-kawin, apa karena dia?”
Kemudian anak-beranak itu saling berjabat tangan seperti kawan lama yang lama tak berjumpa. Kebiasaan itu terjadi ketika anak-anak di rumah itu pergi menyeberang lautan, meneruskan cita-cita. Ibunya melaporkan tentang kebiasaan baru ayahnya, berenang tiap pagi satu jam, sebelum sarapan.  
“Kenapa Siantar kalau perusahaanmu di Medan, Liong?” tanya ayahnya dalam bahasa Hakka.
Mendengar bahasa itu lagi, yang biasa mereka pakai di rumah, kenangan-kenangan itu muncul lagi. Setiap kali di negeri orang, ia selalu ingin berbicara dengan bahasanya sendiri, bahasa Indonesia, logat Hakka, logat Bangka. 
Sejak ia kecil orangtuanya berbahasa Hakka kepada anak-anaknya di rumah, tetapi berbahasa Indonesia kepada Bibik atau sopir atau pekerja lain. Begitu pula anak-anak berbahasa Hakka kepada orangtuanya, kecuali kalau ada orang lain yang tidak mengerti bahasa itu. Itu sebabnya anak-anak berbahasa Hakka sebaik mereka berbahasa Indonesia.
“Siantar tak jauh dari Medan, Papi. Siantar pusat segala sesuatu. Tak macet. Kota kecil. Banyak orang berpengaruh dari Siantar.”
“Perhatikan tempat tinggalmu dan orang-orang di sekitarmu. Kapan berangkat?”
“Lusa, Papi.”
Ayahnya takkan menginterogasi. Ia selalu puas dan mempercayai penjelasan anak-anaknya. Itulah yang menyebabkan anak-anaknya tidak berbohong karena perkataaan mereka, itulah yang akan dipercayai oleh orangtua mereka, selamanya.  
“Mami sudah undang beberapa saudara makan di rumah besok siang. Mereka ingin tahu keadaanmu,” kata ibunya.
Leo hanya mengangguk-angguk, memperhatikan isi meja makan. Sedikit banyak ia tahu apa yang dimaksudkan oleh ibunya, mereka ingin tahu keadaanmu.
Pertemuan keluarga adalah untuk saling mengetahui kabar. Apalahi sekarang keluarga besar tersebar ke mana-mana tempat di seluruh dunia. Beberapa bahkan sudah mengganti kewarganegaraan, semudah mengganti telapak tangan. Pertemuan keluarga sering memberi kejutan diharapkan atau tak diharapkan. Mungkin ia akan melihat wajah-wajah manis yang akan dikenalkan kepadanya.
Beberapa kali ibunya bertanya jodoh, tentang perempuan yang mungkin sudah menjadi kekasihnya, tentang rencana berumah tangga. Leo berjanji, akan mengabari ibunya kalau dia siap dengan itu semua. Tetapi siapa yang tahu dia telah siap dengan itu semua? Koko dan Dede sudah menikah. Mereka sepertinya mudah berpacaran dan menemukan tambatan hati mereka. Dan mereka bahagia.
Ia tahu setiap orangtua ingin anak-anaknya berpasangan, baru setelah itu mereka tenang. Tentang upaya itu, ia ingin ibunya merasa bahagia melihatnya. Baginya, kebahagiaan ibunya adalah kebahagiaannya juga.
Di meja makan ada laksa, masakan khas Bangka yang terbuat dari beras dan ikan parang, dimasak dalam kuah santan bercampur kuning kunyit dan bermacam bumbu sedap. Di sudut sana ada getas, camilan ikan tenggiri, yang bisa dimakan langsung atau sebagai lauk nasi. Di kotak lain siput gunggung. Makanan istimewa yang hanya ia temukan kalau berlibur ke kampungnya di Bangka.
“Mami minta tolong Ce Fenny kirim makanan ini. Siapa tahu kamu rindu makanan bangka. Itu ada bolu kujo. Masih banyak Mami simpan di dapur.” 
Sejak masih gadis ibunya sudah menjiwai betul memasak gulai ikan laut khas Bangka atau sup kuah kepiting yang bukan main gurihnya. Kepiting melimpah di Bangka karena pulau itu memiliki banyak pantai berkarang. Kepiting-kepiting betina senang bersembunyi di balik batu untuk melindungi ratusan telur dalam perut mereka.
Penduduk mencari sendiri kepiting yang diinginkan untuk dimasak menjadi lauk di rumah atau membeli kepiting hidup di pasar dengan harga murah. Kepiting-kepiting segar berwarna oranye hijau diikat kuat-kuat dengan tali rafia agar mereka tak berjalan keluar dari ember atau baskom. Berat satu kepiting bisa sampai tiga kilogram. Karena kepiting hidup tak tergantung musim, anak-anak bisa menikmati sup kuah kepiting kapan saja.
Poponya di Bangka, nenek dari pihak ibunya, cekatan memasak kepiting. Pertama, kulit keras kepiting akan disikat bersih-bersih dengan sikat khusus, sampai ke sela-sela capit, dalam keadaan binatang itu terikat dan hidup. Kemudian kepiting-kepiting akan dimasukkan ke kukusan panas beberapa saat, dikeluarkan dan dipecahkan kulit kerasnya dengan palu, barulah ditentukan akan dibuat sup atau diberi bumbu lada hitam atau dimasak asam manis. Pesta kepiting bisa dilakukan kapan saja oleh keluarga besar.   
“Kalau tinggal lama di Siantar, bangun rumah sajalah,” kata ayahnya.
“Iya, Papi.”
Leo ingin lebih banyak berkata “ya” kepada ayah ibunya karena koko dan dedenya sudah pergi, hanya dia sendirian di sini, dalam pemandangan orangtua mereka.
*

Bersambung ke bagian 5 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar