Pagar Rumah
Hari
Minggu itu ibunya sudah menyiapkan pesta kecil siang hari. Ia minta izin keluar
rumah pagi itu untuk mengunjungi rumah lama mereka di Kebayoran Baru.
Sebelumnya dia sudah meminta izin kepada pemilik rumah yang baru agar ia bisa masuk
dan melihat kembali isi rumahnya. Ia ingin sekaligus menuntaskan rasa rindunya.
Pagar
rumah mereka terbuat dari besi setinggi dua meter dan dicat hijau tua. Rumah
itu paling besar di lingkungan situ, dan tampak kuat karena dinding yang
mengelilingi rumah tebal dan tinggi. Di atas dinding bagian depan rumah ada
kawat berduri.
Ia melihat
kamar mandi kamarnya, ruang bermain mereka, lapangan bulu tangkis. Semua masih
sama. Pagar besi hijau tua masih kelihatan kokoh. Dua pohon palem kian tinggi
dan pohon mangga yang berdahan rendah itu tetap malas berbuah, hanya berdaun
rimbun. Tak banyak yang berubah.
Halaman
rumah itu luas. Bisa tempat parkir empat mobil. Dua pohon palem yang tumbuh
kian tinggi dan pohon mangga, memayungi tanah di bawahnya. Di beranda yang
sempit itu ada satu meja dan dua kursi yang jarang diduduki pemilik rumah.
Halaman selalu bersih dari daun-daun yang jatuh, tanah dibiarkan terbuka tanpa
rumput.
Seberang
rumah agak ke kiri ada tanah kosong. Biasanya pukul 3-4 sore lapangan itu riuh
dengan suara anak-anak yang bermain. Kadang-kadang suara itu seolah-olah
memanggil-manggil Leo dan Kokonya keluar. Mata-mata mereka memandang Bik Lasmi
penuh harap. Bik Lasmi mengerti arti tatapan itu. Ia mengizinkan kedua anak
laki-laki berdiri berpegangan pagar, menyaksikan anak-anak di lapangan
berlarian, bermain bola, dan menarik layang-layang.
Kadang-kadang
satu dua anak di sana balik memandangi sebaya mereka yang ada di balik pagar,
berlama-lama. Kedua kubu anak-anak itu seperti saling mengukur diri
masing-masing. Mereka tidak bisa saling melintas. Sering Bik Lasmi ingin
membiarkan mereka ke luar dan bertemu anak-anak yang sedang bermain itu, tetapi
tak pernah dilakukannya.
Kerapkali
Leo tergerak melihat dahi anak-anak yang mengilat karena berkeringat. Ia ingin
bermain bersama mereka, agar dirinya berkeringat seperti itu. Tetapi sebentar
kemudian Bik Lasmi akan menyuruh mereka masuk karena harus menjalani tidur
siang. Pernah ia bandel dan menolak, Bik
Lasmi mengejar-ngejar. Ia lalu menaiki tangga, masuk kamar, lalu tutup pintu.
Kadang-kadang
Bik Lasmi mengajak ketiga anak naik ke loteng tempat menjemur pakaian, dan
menunjukkan letak gedung RRI di sana. Kebaikan Bik Lasmi kepada mereka, mereka
boleh menonton televisi sebentar asalkan mereka sudah belajar dan mengerjakan
pe-er.
Rumah
selalu tenang dan damai. Tak pernah ada keributan atau pembicaraan tak penting
di dalamnya. Anak-anak tak pernah melihat perselisihan antara ayah dan ibu
mereka. Kalau terjadi ketegangan di antara suami-istri itu, yang terlihat
adalah ibunya berbicara lebih sedikit dan menghindari bertatapan mata dengan
ayah mereka. Makan malam akan tetap terselenggara. Namun ayahnya akan lebih
cepat meninggalkan meja makan.
Ayahnya
cenderung tenang dan pendiam. Ibunya lebih banyak bicara karena dialah yang
harus mengatur orang-orang yang bekerja di rumah. Namun ayahnya lebih sering
meredakan ibunya yang segera risau bila keadaan berubah atau sesuatu yang tidak
diinginkan, terjadi.
Di
lingkungan tempat tinggal, orangtuanya dikenal murah hati. Meskipun gerbang
pagar rumah mereka tinggi, mereka tak melupakan kesejahteraan di luar sana.
Mereka percaya kesejahteraan di dalam pagar takkan berarti apa-apa dengan serba
kekurangan di luar pagar.
Tiap
Lebaran ibunya mengatur ratusan bungkus sembako untuk dibagikan melalui ketua
RT. Pada bulan Agustus ayahnya menyumbangkan hadiah-hadiah bagi pemenang
perlombaan-perlombaan. Orangtuanya tak keberatan diangkat menjadi pengurus
kesejahteraan gereja atau vihara, menyokong yayasan-yayasan yang mengurus
lansia, anak-anak yatim piatu dan orang dengan kecacatan.
Rumah
berpagar tinggi itu menjadi saksi banyak peristiwa di dalamnya. Leo merasa
terikat dengan rumah di selatan Jakarta itu. Ketika dia di Eropa meneruskan
sekolahnya, rumah itu dijual tahun 2002 tanpa pemberitahuan terlebih dahulu,
kepada ketiga anak. Dia dan dua saudara lelakinya protes kepada orangtua
mereka. Ayahnya menjawab, mereka ingin ganti suasana. Mereka membeli rumah baru
di Pondok Indah, yang lingkungannya lebih cocok untuk usia mereka. Itu pun
sering kosong karena mereka ke Melbourne menengok cucu atau ke Kanada, menengok
cucu yang lain.
Rumah
besar mereka biasa menampung saudara-saudara orangtua mereka dari Bangka.
Mereka ke Jakarta untuk kuliah atau bekerja. Ayah dan ibunya menawarkan tempat
tinggal sementara, sampai mereka mendapat tempat atau rumah baru.
Saudara-saudara senang tinggal di rumah karena ibunya adalah nyonya rumah yang
baik. Ibunya tetap menyelenggarakan makan malam yang panjang, bersama tamu-tamu
di rumah itu. Meski sudah lama keluar dari rumah itu, saudara-saudara yang
pernah tinggal bersama di rumah itu, tetap berhubungan baik dan menganggap
orangtua mereka adalah orangtua juga.
Orangtuanya
suka menolong anggota-anggota keluarga yang susah. Ibunya dituakan oleh tujuh
saudaranya meski dia dalam posisi anak nomor lima. Kakak perempuan sulungnya
tinggal Di Guangzhou, tiga adik laki-lakinya dan bungsu mereka, pernah tinggal
di rumah, dan sekarang sudah jadi “orang”.
Indonesia,
batinnya sendirian. Mengingat negeri itu, sering membuatnya sedih tanpa sebab.
Pesawat sedikit berguncang seiring perutnya turun lebih rendah. Biasanya perlu
dua tiga puluh menit pesawat menyentuh bumi, setelah pengumuman pilot, bahwa
pesawat akan landing. Waktu yang cukup untuk mempersiapkan hatinya.
Sesungguhnya hatiku tak pernah benar-benar pergi dari negeri ini. Ia ingin
berdamai dengan perasaannya, bahwa negeri ini tak mencintainya sebulat hati,
seperti ia mencintai Tanah Air ini, sebulat-bulat hatinya.
Lamunannya
membuyar ketika pramugari berwajah manis mengucapkan terima kasih ketika ia
hendak menuruni tangga pesawat. Siapa memiliki senyum manis di wajah yang
manis, pikirnya, dan tersenyum sendirian.
Tak lama
udara malam Jakarta hangat menyentuh pipinya. Rasa rindunya seperti
berdetap-detap. Dua minggu lalu dia memaketkan barang-barang miliknya ke Tanah
Air. Beberapa barang ia tinggalkan untuk teman-teman dekatnya. Sebagai tanda
manis dan kenang-kenangan. Bahwa ia pernah berada di antara mereka dan mereka
bersamanya. Sekarang isi apartemennya kosong. Selamat tinggal, Prancis.
Ia belum
mendengar barang-barang itu sudah tiba di rumah orangtuanya di Pondok Indah.
Dia selalu merasa melekat pada beberapa barang. Dia bukanlah seorang yang
terlalu suka menghabiskan uang berbelanja. Ia selalu memikirkan apakah dia
cukup pantas membeli barang ini dan itu, sebelum melakukannya.
Akhirnya
dia pulang. Sementara berjalan ia merasa banyak kenangan yang berlompatan ingin
keluar. Ia mengingat beberapa prosa liris yang ditulisnya dalam bahasa Prancis,
yang ia tulis pada jam-jam senggang. Orang bilang bahasa paling indah di dunia.
Tetapi bukan bahasa untuk mengungkap rasa bahasanya.
Pikirannya
masih meloncat-loncat ketika menunggu bagasinya keluar. Lalu ia mendorong
keretanya menuju taksi. Ia tak menyangka masih banyak manusia di bandara meski
hampir tengah malam. Dari mana saja mereka dan akan pergi ke mana?
Tubuhnya
yang kekar itu pastinya mudah dikenali dari kejauhan sekalipun. Ia menjadi
waspada ketika merasa seseorang sedang mengawasinya. Ia terus mendorong
keretanya dengan kecepatan sama sementara mengumpulkan tenaga di kedua tangannya.
Tiba-tiba ia merasa ia punya banyak musuh seperti ia punya banyak teman, di
negeri ini.
“Wandi!”
Ia terus
berjalan. Wandi? Apakah orang itu memanggilnya atau orang lain? Hanya
orang-orang tertentu memanggilnya dengan sebutan itu.
“Wan,
Wandi!” kali ini orang itu menepuk pundaknya.
Leo
menoleh, memandang cepat ke arah lawan. Dalam sedetik otot-ototnya merileks.
Wajah di depannya begitu akrab pada satu masa. Teman main caturnya. Ia sering
ke rumah temannya yang tinggal di Gang Tekong, dekat Vihara. Hanya sepuluh
menit berjalan kaki.
Dulu ia
main catur di komputer, belajar dari kakak sepupunya. Ia diajari bagaimana kuda
melangkah, benteng dan menteri, gambit raja, gambit menteri. Lalu di SMA ia
bertemu Prandi. Ternyata ia bisa main catur. Pertama kali, ia mengalahkan Leo
dengan mudah. Lalu beberapa kali lagi. Itu bikin Leo penasaran. Ia membeli buku
permainan catur dan belajar teknik dan strategi. Tidak perlu banyak jalan,
dengan taktik yang cerdik, lawan bisa mati tercekik, dalam beberapa langkah.
Sejak itu Prandi selalu kalah, dan hanya menertawakan kekalahannya. Ia tak
tertarik mengembalikan kejayaannya pernah mengalahkan Leo.
“Bobby
Fischer suka pembukaan Inggris kalau ia bermain di papan putih. Gary Kasparov
akan membuka dengan pertahanan Sisilia kalau bermain di papan hitam,” kata Leo.
Prandi
tidak mau memikirkannya. Dan Leo tak mau berdebat soal itu. Ia meminjami
buku-buku caturnya tetapi Prandi terlalu malas membaca. Akhirnya permaianan
caturnya mandeg sampai sana, dan Leo mulai bosan bermain dengan kawan yang
terus-menerus kalah, tak memberi perlawanan, apalagi bermain indah. Sebenarnya catur adalah
permainan strategi yang indah. Prandi berhenti bermain sebelum memahami
keindahannya.
“Gua,
Prandi. Masih ingat? Papan catur kita masih gua simpan, Wan.”
“Iya,
Prandi. Mana bisa lupa?”
“Lu masih
seperti dulu. Anak gua udah tiga, Wan. Lu gimana? Udah kawin?”
Leo
menjawab belum dan Prandi tertawa. Lalu la bercerita usahanya sebagai agen
merek komputer di pertokoan Mangga Dua dan Roxy Tomang. Dia cukup bahagia
dengan itu karena bisa menghidupi keluarga kecilnya dan keluarga istrinya,
lebih dari cukup.
“Main ke
rumahku. Atau ke rumah ibuku, yang dulu,” kata Prandi.
Leo
mengangguk tetapi tidak berjanji. Prandi memaksa mengantarnya pulang. Katanya,
ia baru saja mengantar saudara istrinya berangkat ke luar negeri. Sebenarnya
Leo agak enggan karena malas, Prandi akan bertanya banyak hal, kehidupannya
setelah mereka berpisah.
“Gua udah
tahu, lu bakal telat kawin karena banyak maunya,” ujarnya tertawa.
Leo ikut
tertawa. Padahal hatinya berdoa agar Prandi tidak terlalu panjang ingatannya
mengingat Viona, teman perempuan di SMA, yang mampu mengocok-ngocok perasaannya
dengan rasa sedih, gembira, kecewa, dan cemas. Ia tak tahu apakah Viona cinta
pertamanya. Atau cinta monyetnya. Mulutnya tak pernah mengucapkan kata itu.
Namun di dalam lubuk jiwanya terdalam, ia tahu gadis itu pun memahami
getar-getar dari dirinya.
Anak
perempuan berambut lurus panjang, berwajah tirus dan lembut itu, tinggal di
Kelapa Gading. Tiap pagi ia sekolah diantar oleh sopir. Ransel besar di
pundaknya kelihatan tidak seimbang dengan tubuh tipisnya. Apa saja yang ada di
tasnya yang besar itu, dulu Leo sering berpikir itu. Belakangan ia tahu, anak
itu membawa sendiri makan siangnya dan segala peralatan makan. Pukul 10 ia
minum jus berwarna satu botol cukup besar. Siang hari ia membuka bekalnya di
kantin, duduk bersama teman-teman perempuannya. Dan matanya selalu tertawa,
sementara mulutnya mengunyah pelan, sambil sesekali berbicara.
Kenapa,
tanya Leo. Enam bulan ia berjuang menghadapi kanker. Entah kanker apa. Krisis
keuangan yang melanda negeri ini, ketakutan yang menggentarkan etnisnya, tak
sepadan dengan berita kehilangan Viona.
Ia ingat
ketika mereka lulus SMA, ia merasa aneh mendengar Viona takkan melanjutkan
kuliah, hanya berlatih piano, menghadirkan guru ke rumah.
“Kenapa
nggak kuliah?” tanyanya.
“Tak perlu
kuliah. Aku tak memerlukannya,” jawab Viona tertawa berderai-derai.
Sekarang
ia mengerti kenapa. Dan ia mengutuk dirinya karena tak tahu kondisi itu.
Meninggal di usia muda dalam kondisi cantik dan segar? Kenapa hidup terlalu
cepat tidak adil? Memang matanya hanya mengucurkan satu dua tetes air mata
waktu mendengar berita itu, namun itu yang paling membuat kelopak matanya nyeri
tak terperi.
“Lu tahu
berita terakhir tentang Viona, kan?” tanya Prandi.
Leo
terkejut karena Prandi mengingatnya. Leo mendengus pelan dengan suara perut.
“Lu nggak
kawin-kawin, apa karena dia?”
Kemudian
anak-beranak itu saling berjabat tangan seperti kawan lama yang lama tak
berjumpa. Kebiasaan itu terjadi ketika anak-anak di rumah itu pergi menyeberang
lautan, meneruskan cita-cita. Ibunya melaporkan tentang kebiasaan baru ayahnya,
berenang tiap pagi satu jam, sebelum sarapan.
“Kenapa
Siantar kalau perusahaanmu di Medan, Liong?” tanya ayahnya dalam bahasa Hakka.
Mendengar
bahasa itu lagi, yang biasa mereka pakai di rumah, kenangan-kenangan itu muncul
lagi. Setiap kali di negeri orang, ia selalu ingin berbicara dengan bahasanya
sendiri, bahasa Indonesia, logat Hakka, logat Bangka.
Sejak ia
kecil orangtuanya berbahasa Hakka kepada anak-anaknya di rumah, tetapi
berbahasa Indonesia kepada Bibik atau sopir atau pekerja lain. Begitu pula
anak-anak berbahasa Hakka kepada orangtuanya, kecuali kalau ada orang lain yang
tidak mengerti bahasa itu. Itu sebabnya anak-anak berbahasa Hakka sebaik mereka
berbahasa Indonesia.
“Siantar
tak jauh dari Medan, Papi. Siantar pusat segala sesuatu. Tak macet. Kota kecil.
Banyak orang berpengaruh dari Siantar.”
“Perhatikan
tempat tinggalmu dan orang-orang di sekitarmu. Kapan berangkat?”
“Lusa,
Papi.”
Ayahnya
takkan menginterogasi. Ia selalu puas dan mempercayai penjelasan anak-anaknya.
Itulah yang menyebabkan anak-anaknya tidak berbohong karena perkataaan mereka,
itulah yang akan dipercayai oleh orangtua mereka, selamanya.
“Mami
sudah undang beberapa saudara makan di rumah besok siang. Mereka ingin tahu
keadaanmu,” kata ibunya.
Leo hanya
mengangguk-angguk, memperhatikan isi meja makan. Sedikit banyak ia tahu apa
yang dimaksudkan oleh ibunya, mereka ingin tahu keadaanmu.
Pertemuan
keluarga adalah untuk saling mengetahui kabar. Apalahi sekarang keluarga besar
tersebar ke mana-mana tempat di seluruh dunia. Beberapa bahkan sudah mengganti
kewarganegaraan, semudah mengganti telapak tangan. Pertemuan keluarga sering
memberi kejutan diharapkan atau tak diharapkan. Mungkin ia akan melihat
wajah-wajah manis yang akan dikenalkan kepadanya.
Beberapa
kali ibunya bertanya jodoh, tentang perempuan yang mungkin sudah menjadi
kekasihnya, tentang rencana berumah tangga. Leo berjanji, akan mengabari ibunya
kalau dia siap dengan itu semua. Tetapi siapa yang tahu dia telah siap dengan
itu semua? Koko dan Dede sudah menikah. Mereka sepertinya mudah berpacaran dan
menemukan tambatan hati mereka. Dan mereka bahagia.
Ia tahu
setiap orangtua ingin anak-anaknya berpasangan, baru setelah itu mereka tenang.
Tentang upaya itu, ia ingin ibunya merasa bahagia melihatnya. Baginya,
kebahagiaan ibunya adalah kebahagiaannya juga.
Di meja
makan ada laksa, masakan khas Bangka yang terbuat dari beras dan ikan parang,
dimasak dalam kuah santan bercampur kuning kunyit dan bermacam bumbu sedap. Di
sudut sana ada getas, camilan ikan tenggiri, yang bisa dimakan langsung atau
sebagai lauk nasi. Di kotak lain siput gunggung. Makanan istimewa yang hanya ia
temukan kalau berlibur ke kampungnya di Bangka.
“Mami
minta tolong Ce Fenny kirim makanan ini. Siapa tahu kamu rindu makanan bangka.
Itu ada bolu kujo. Masih banyak Mami simpan di dapur.”
Sejak
masih gadis ibunya sudah menjiwai betul memasak gulai ikan laut khas Bangka
atau sup kuah kepiting yang bukan main gurihnya. Kepiting melimpah di Bangka
karena pulau itu memiliki banyak pantai berkarang. Kepiting-kepiting betina
senang bersembunyi di balik batu untuk melindungi ratusan telur dalam perut
mereka.
Penduduk
mencari sendiri kepiting yang diinginkan untuk dimasak menjadi lauk di rumah
atau membeli kepiting hidup di pasar dengan harga murah. Kepiting-kepiting
segar berwarna oranye hijau diikat kuat-kuat dengan tali rafia agar mereka tak
berjalan keluar dari ember atau baskom. Berat satu kepiting bisa sampai tiga
kilogram. Karena kepiting hidup tak tergantung musim, anak-anak bisa menikmati
sup kuah kepiting kapan saja.
Poponya di
Bangka, nenek dari pihak ibunya, cekatan memasak kepiting. Pertama, kulit keras
kepiting akan disikat bersih-bersih dengan sikat khusus, sampai ke sela-sela
capit, dalam keadaan binatang itu terikat dan hidup. Kemudian kepiting-kepiting
akan dimasukkan ke kukusan panas beberapa saat, dikeluarkan dan dipecahkan
kulit kerasnya dengan palu, barulah ditentukan akan dibuat sup atau diberi
bumbu lada hitam atau dimasak asam manis. Pesta kepiting bisa dilakukan kapan
saja oleh keluarga besar.
“Kalau
tinggal lama di Siantar, bangun rumah sajalah,” kata ayahnya.
“Iya,
Papi.”
Leo ingin lebih
banyak berkata “ya” kepada ayah ibunya karena koko dan dedenya sudah pergi,
hanya dia sendirian di sini, dalam pemandangan orangtua mereka.
*Bersambung ke bagian 5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar