Sabtu, 06 Juni 2015

Tangan Kiri Tuhan (Cerber #6)

C’est La Vie 
Satu sore Leo selesai latihan karate. Dia berjalan dua menit menuju halte bus yang ramai di dekat Blok M. Matahari masih bersinar tetapi tak lagi terasa panasnya. Dari kejauhan dia sudah melihat penghuni halte. Mbak Sri penjual rokok dan minuman dalam kotak kaca, Bang Ucok calo penumpang yang selalu ramai berteriak, Pak Udin penjual gorengan. Sesekali kalau pagi hari, ada Mang Jajat, penjual koran.
Mereka mengenali wajah Leo karena sering berlama-lama di halte itu, mengamati apa yang ada di sana, sesekali ikut ngobrol dan tertawa. Meski ia tidak membeli rokok atau minuman atau gorengan, atau apa pun, tidak masalah buat mereka. Karena sering di sana, ia tahu apa yang menjadi masalah buat mereka, berapa penghasilan mereka tiap hari, bagaimana mereka bergulat dengan hidup tiap hari untuk menghidupi keluarga yang di rumah atau di kampung.
Mbak Sri, janda beranak dua, bersyukur dapat berjualan di pinggir jalan, punya penghasilan bersih lima puluh ribu sehari, dan dia bisa menghidupi dua anaknya. Bang Ucok, calo yang mengutip uang dari kernet-kernet bus atau mikrolet tidak peduli dengan hidupnya. Yang penting baginya, bisa melewati hari makan dua kali sehari. Sayangnya ia tidak bisa menabung karena uangnya selalu habis untuk membeli buntut. Pak Udin yang suka tertawa itu biasa berhemat agar bisa dua bulan sekali pulang ke Cirebon, menyetor uang kepada istri dan biaya tiga anaknya yang sekolah.      
Rumah mereka adalah di jalanan atau kontrak bersama teman dalam satu ruang yang kecil dan sederhana –atau buruk keadaannya- agar harganya bisa ditekan. Meski kelihatan hidup kekurangan dan seadanya tetapi mereka bisa tertawa lebar, menertawakan dirinya atau bersyukur hanya karena bisa hidup.
Mereka tidak pernah tahu apa itu fungsi negara, posisi rakyat dalam suatu negeri, kenapa keadaan mereka berakhir seperti itu. Mereka hanya sibuk berpikir bagaimana melewatkan hari itu dengan perut sempat terisi nasi. Yang lain-lain akan dipikirkan selanjutnya, kalau sempat. Begitulah orang kecil. Tak terlalu memikirkan siapa yang salah dan mesti disalahkan dalam hal penderitaan mereka. Mereka menjalani kehidupan ini begitu saja, menunggu semuanya selesai, dan mereka percaya itulah nasib mereka yang sesungguhnya. Melarat sepanjang hidup.  
Leo tidak tahu bagaimana memberi judul keadaan itu. Keluarganya yang serba terstruktur dan terencana, dan mereka yang hidup di jalan, yang biasa terjun bebas, tak peduli angin bertiup ke mana, yang penting bisa hidup Seperti langit di atas dan bumi di bawah. Si kaya dan si miskin.
“Kau ini tunggu, apa, Leo? Bengong saja kulihat sejak tadi. Itu angkotmu sudah datang!” jerit Bang Ucok.   
Leo menengok ke arah Bang Ucok dan tersenyum. Angkot yang mengarah ke jalanan kompleks rumahnya akan lewat. Ia bersiap. Angkot itu menurunkan penumpang persis di depannya berdiri. Penumpang itu duduk di depan, disamping supir. Leo langsung masuk ke sana setelah berteriak kepada Bang Ucok. Tubuhnya yang bongsor segera memenuhi ruang.
Mobil langsung meluncur cepat. Sampai ke satu perempatan mobil di depan jalan melambat dan membuat sopir di sebelahnya tidak sabar. Dia menyalip mobil itu, belok kiri, dan entah kapan munculnya, seorang polisi bermotor mengejarnya, mendahului, lalu memberi tanda kepada si sopir untuk menepi. Melihat itu si sopir mengutuk, “Sial!”
Mobil menepi. Polisi turun dari motor di depan sana, berjalan menuju angkot yang ditumpangi Leo. Sopir menunggu sambil tangannya menyiapkan kantong kulit. Wajah si polisi kini memenuhi jendela kanan mobil.
“Salah saya apa, Pak?” tanya si sopir.
Polisi itu memandang si sopir dengan tatapan tak senang mendengar pertanyaan tantangan seperti itu. “Kesalahan kamu? Ini!”
Orang berseragam itu mencengkeram kepala si sopir dengan kedua tangannya, menarik kepala itu ke atas sehingga si sopir seperti menaikkan badannya, kemudian kepala itu dijedukkan ke bagian atas jendela mobil, dan berbunyi keras: duk! Sopir itu tidak membalas, hanya diam dengan wajah mengeras.
“Sekarang kamu tahu salahmu, hah?”
Setelah mengatakan itu si polisi berjalan menjauh, naik ke motornya, lalu pergi. Sebelum motor itu menghilang dari pandang, si sopir menghidupkan mesin, mengutuk dalam bahasa daerah sambil memukul kemudi, menjalankan kendaraannya dengan kasar.
“Puki mak kau!” kutuk si sopir dengan suara keras tetapi ditujukan kepada dirinya sendiri.  
Leo tidak tahu apakah akan ikut mengutuk atau diam. Siapa yang lebih salah dan siapa yang lebih kasar? Hukuman fisik seperti tadi, siapa yang berhak? Apa yang menyebabkan si polisi merasa lebih kuat daripada si sopir? Kenapa si sopir tak berani membalas atau membela diri?   
Leo menoleh ke kanan, melihat si sopir. Wajahnya ruwet, rambutnya lebat berminyak, kulit mukanya kasar dan kotor. Keadaan yang sulit dia bayangkan.    
Ia memberi tanda berhenti kepada sopir, menyerahkan sepuluh ribu, dan berniat memberi sisanya kepada si sopir tetapi tak tahu cara yang layak sampai saat itu. Jadi dia memutuskan berbalik arah melangkah, berpura-pura tak tahu kalau uangnya lebih. Tetapi baru tiga langkah, si sopir memanggil dengan suara keras, “Ini kembalian uangmu, hei!”
Ah, gumamnya sendirian, sopir itu masih mempunyai harga diri yang mengagumkan. Dia tidak mau dikasihani dengan uang recehan dari tangannya. Hatinya merasa senang dan prihatin sekaligus.
Hidup macam apa yang dijalani si sopir? Bang Udin, Mbak Sri, Bang Ucok? Siapa yang memikirkan nasib mereka? Bagaimana bentuk bantuan dari negara agar bisa menyentuh mereka? Lalu polisi itu, kenapa dia?  Ia kini meyakini ada begitu banyak hal yang belum selesai dipikirkan bersama di luar pagar gerbang besinya.
Lalu tiba-tiba dia sudah berada dalam satu pertemuan. Cukup rumit mengingat bagaimana akhirnya dia ada di sana, saat itu, waktu yang tepat. Pertemuan itu diadakan dalam ruangan di rumah tua, entah milik siapa, tetapi cukup besar untuk menampung semua yang hadir. Ada beberapa perempuan muda, tetapi lebih banyak laki-laki seusianya. Seorang laki-laki dewasa berdiri di depan mereka, berbicara tentang sesuatu. Semua yang duduk serius mendengarkan. Mungkin ada sekitar 20-30 orang.
Gerak tubuh si pembicara rileks dan sederhana. Ia mengenakan baju putih lengan pendek. Kacamatanya berbingkai hitam, terkesan seperti seorang intelektual yang pintar. Rambutnya dipotong pendek rapi. Di tangan kirinya melingkar jam tangan kulit. Sesekali matanya tersenyum, mengajukan beberapa pertanyaan retoris kepada audiens.
Ia mendengarkan saja karena belum paham apa yang dibicarakan. Ia pun belum pernah mendengarkan pembicarakan serupa itu. Sesudah si baju putih itu duduk, seorang yang lebih muda menggantikan berdiri di depan, berbicara. Kemudian diskusi-diskusi mereka membuatnya terpesona.
Dalam waktu singkat ia terlibat. Seperti yang lain, ia rela mengeluarkan uang dari koceknya, membeli minuman dan nasi bungkus, untuk mereka makan sendiri, dalam pertemuan-pertemuan mereka. Kadang-kadang mereka akan iuran untuk membayari seseorang untuk datang ke pertemuan mereka dan berbicara di sana. Kadang-kadang mereka mendapat sedikit dana sumbangan dari seseorang untuk kegiatan mereka.
Dan sekarang dia menjadi bagian dari kelompok pertemuan itu. Hatinya turut dibangkitkan karena apa yang dibicarakan itu sesuatu yang penting, yang akan mengubah negeri ini menjadi lebih baik dan lebih adil. Menurut pemikirannya, dengan melakukan beberapa upaya, kelak orang-orang seperti Mbak Sri, Pak Udin, Bang Ucok, para pengemis dan pengelana, sopir dan orang berseragam, mendapat perlakuan kehidupan yang tidak terlalu jauh bedanya. Seorang manusia harus dijadikan manusia sehingga ia bisa mengenal dirinya dengan baik dan bisa memperlakukan orang lain dengan penuh hormat.  
Saat libur sekolah, ia tidak lagi mengikuti acara orangtuanya. Ia tak keberatan ayah ibunya berangkat ke Bangka atau berlibur ke tempat lain. Dia bisa mengatur sendiri apa yang akan dia lakukan di hari-hari libur. Begitu juga dua orang saudaranya.
Satu kali mereka berencana akan berkunjung ke Sumatera Utara, khususnya Siantar. Menurut teman-teman, di sana ada beberapa pertemuan seperti yang mereka lakukan di sini. Leo ikut dalam rombongan itu. Mereka menggunakan jeep seorang teman, milik orangtuanya.
Tangan Leo ringan sekali membayari bensin dan makan mereka berlima selama perjalanan. Ia, tiga teman sebaya, dan seorang mentor. Seorang teman sudah memastikan mesin jeep tua itu akan bertahan dua hari dua malam, menyusuri jalanan trans Sumatera. Dari Jakarta mereka menyeberang melalui Bakau Heni, Lampung terus ke utara. 
Mereka bergantian menyetir. Pemandangan hijau di kiri-kanan, kadang-kadang mata mereka menjumpai gunung hijau di kejauhan sana, kemudian mendekat, dan kembali menjauh, dan menemukan gunung hijau yang lain. Pohon-pohon tinggi, semak liar, tanah-tanah membukit, dataran tanah yang jauh dan berwarna cokelat atau hijau, kadang terik matahari galak bersinar atau awan putih berarak mengikuti. Alam Negeri Ini mirip ke mana pun kau pergi, kecuali nama-nama pepohonan yang berbeda dan khas. 
Jalanan aspal terkadang jelek terkadang mulus. Perjalanan ini cukup menyenangkan karena dilalui bersama. Melewati tanaman hijau tidak bernama di sepanjang jalanan panjang yang sunyi. Di kiri-kanan pepoponan dan semak raksasa. Ia bersemangat melakukan sesuatu yang berharga di Siantar dan sekitarnya.
Bila perjalanan sudah terlalu panjang dan perut sudah meraung-raung, mereka berhenti di rumah makan sederhana. Mereka bertemu orang-orang berbicara dengan bahasa berbeda, gaya bahasa Indonesia dengan aksen yang belum pernah didengar. Pengalaman mandi di rumah penduduk atau tempat makan, adalah pengalaman yang menggelikan dan girang sekaligus. Ia berpikir, kalau ibunya tahu, dia takkasn mengalami semua ini.
“Kita harus berjuang dan belajar bertahan dalam situasi apa pun sampai cita-cita kita tercapai,” kata mentornya.
Leo tergugah ketika mendengar kata berjuang. Ia belum pernah berjuang untuk orang lain di luar dirinya dan keluarganya. Ini sesuatu yang baru dan ia tak bisa menceritakan besarnya perasaan ini. Betapa luas negeri ini, betapa kaya tanah ini, kini ia lihat sendiri, berhadapan dengan manusia-manusia lain sesama anak negeri, seperti dirinya.
Hari ketiga mereka tiba di tujuan, Pematang Siantar. Kota kecil itu terbesar kedua setelah Medan di Sumatera Utara. Udaranya sejuk karena banyak pepohonan besar di jalan-jalan kota, warisan zaman dulu, seperti kota Bogor di Jawa Barat. Bahkan mungkin yang lebih cocok dijuluki sebagai kota hujan adalah Pematang Siantar daripada Bogor, karena lebih seringnya hujan muncul. Kota ini menyenangkan dan mengesankan bagi Leo karena apa yang dia lakukan di sana dan orang-orang pertama yang dia temui adalah sekumpulan orang yang bersemangat dan baru mengubah diri dan hidupnya. 
Teman-teman yang tahu tentang kedatangan mereka menunggu kedatangan mereka. Mereka bisa saling memandang wajah dan mendengar suara. Selama ini hanya tahu nama. Kopi panas yang harum, roti ganda, dan pisang goreng yang manis menghangatkan mereka. Hari pertama mereka berjumpa kelompok-kelompok diskusi dan mulai mengagendakan kegiatan dan pertemuan. Hari itu Leo menyadari banyaknya tugas yang harus dia emban dan ia bersemangat untuk itu. Semangat mudanya tersalurkan dengan baik di sini.
Lalu dengan cepat ia sudah akan menyelesaikan sekolah menengah atasnya. Ia memikirkan lokasi lanjutan sekolahnya. Orangtuanya mengusulkan Melbourne agar dekat dengan Koko, sehingga mereka lebih mudah menengok. Tetapi ayahnya memberi pilihan bebas kepadanya. Kalian harus melihat dunia yang lebih luas, alasan ayahnya. 
Akhirnya Leo memilih Malaysia dengan beberapa pertimbangan. Orangtuanya setuju dan tidak mempertanyakan karena ia sudah cukup menjelaskan alasan jurusan manajemen ekonomi yang diambilnya di universitas di Kuala Lumpur itu, cukup baik. Bagi Leo sendiri, negara itu bertetangga dan memudahkannya bolak-balik Medan-Pematang Siantar.  
Ia mengurus sendiri surat dan keterangan yang diperlukan untuk bisa diterima di universitas itu, mencari tempat tinggal sesuai standar ibunya agar orangtua itu tenang. Tiap liburan semester ia lari ke Siantar, berkumpul bersama kawan-kawan dan mengerjakan tugas yang sudah diagendakan, semampunya. Ia betul-betul melibatkan diri dengan kegiatan  membantu masyarakat desa dengan hal-hal yang nyata dan langsung menyentuh kehidupan mereka. Selain itu masyarakat desa yang sederhana mulai tercerahkan memahami hak dan kewajiban sebagai warganegara. 
Waktu terus mengejarnya. Dia menyelesaikan sekolahnya di Kuala Lumpur, dan untuk menyenangkan orangtuanya, ia pergi ke Eropa, sekolah lebih lanjut. Kali ini dia tidak bisa lagi bolak-balik bertemu dengan masyarakat yang telah dibinanya. Tetapi masa itu telah membekas dalam tindakan-tindakannya. Satu saat aku akan kembali ke kota itu, pikirnya dengan hati tetap. Dan dia kembali, meski untuk tujuan yang berbeda.

*

Bersambung ke bagian 7 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar