C’est La Vie
Satu sore
Leo selesai latihan karate. Dia berjalan dua menit menuju halte bus yang ramai
di dekat Blok M. Matahari masih bersinar tetapi tak lagi terasa panasnya. Dari
kejauhan dia sudah melihat penghuni halte. Mbak Sri penjual rokok dan minuman
dalam kotak kaca, Bang Ucok calo penumpang yang selalu ramai berteriak, Pak
Udin penjual gorengan. Sesekali kalau pagi hari, ada Mang Jajat, penjual koran.
Mereka
mengenali wajah Leo karena sering berlama-lama di halte itu, mengamati apa yang
ada di sana, sesekali ikut ngobrol dan tertawa. Meski ia tidak membeli rokok
atau minuman atau gorengan, atau apa pun, tidak masalah buat mereka. Karena
sering di sana, ia tahu apa yang menjadi masalah buat mereka, berapa
penghasilan mereka tiap hari, bagaimana mereka bergulat dengan hidup tiap hari
untuk menghidupi keluarga yang di rumah atau di kampung.
Mbak Sri,
janda beranak dua, bersyukur dapat berjualan di pinggir jalan, punya
penghasilan bersih lima puluh ribu sehari, dan dia bisa menghidupi dua anaknya.
Bang Ucok, calo yang mengutip uang dari kernet-kernet bus atau mikrolet tidak
peduli dengan hidupnya. Yang penting baginya, bisa melewati hari makan dua kali
sehari. Sayangnya ia tidak bisa menabung karena uangnya selalu habis untuk
membeli buntut. Pak Udin yang suka tertawa itu biasa berhemat agar bisa dua
bulan sekali pulang ke Cirebon, menyetor uang kepada istri dan biaya tiga anaknya
yang sekolah.
Rumah
mereka adalah di jalanan atau kontrak bersama teman dalam satu ruang yang kecil
dan sederhana –atau buruk keadaannya- agar harganya bisa ditekan. Meski
kelihatan hidup kekurangan dan seadanya tetapi mereka bisa tertawa lebar,
menertawakan dirinya atau bersyukur hanya karena bisa hidup.
Mereka
tidak pernah tahu apa itu fungsi negara, posisi rakyat dalam suatu negeri,
kenapa keadaan mereka berakhir seperti itu. Mereka hanya sibuk berpikir
bagaimana melewatkan hari itu dengan perut sempat terisi nasi. Yang lain-lain
akan dipikirkan selanjutnya, kalau sempat. Begitulah orang kecil. Tak terlalu
memikirkan siapa yang salah dan mesti disalahkan dalam hal penderitaan mereka.
Mereka menjalani kehidupan ini begitu saja, menunggu semuanya selesai, dan
mereka percaya itulah nasib mereka yang sesungguhnya. Melarat sepanjang
hidup.
Leo tidak
tahu bagaimana memberi judul keadaan itu. Keluarganya yang serba terstruktur
dan terencana, dan mereka yang hidup di jalan, yang biasa terjun bebas, tak
peduli angin bertiup ke mana, yang penting bisa hidup Seperti langit di atas
dan bumi di bawah. Si kaya dan si miskin.
“Kau ini
tunggu, apa, Leo? Bengong saja kulihat sejak tadi. Itu angkotmu sudah datang!”
jerit Bang Ucok.
Leo
menengok ke arah Bang Ucok dan tersenyum. Angkot yang mengarah ke jalanan
kompleks rumahnya akan lewat. Ia bersiap. Angkot itu menurunkan penumpang
persis di depannya berdiri. Penumpang itu duduk di depan, disamping supir. Leo
langsung masuk ke sana setelah berteriak kepada Bang Ucok. Tubuhnya yang
bongsor segera memenuhi ruang.
Mobil
langsung meluncur cepat. Sampai ke satu perempatan mobil di depan jalan
melambat dan membuat sopir di sebelahnya tidak sabar. Dia menyalip mobil itu,
belok kiri, dan entah kapan munculnya, seorang polisi bermotor mengejarnya,
mendahului, lalu memberi tanda kepada si sopir untuk menepi. Melihat itu si
sopir mengutuk, “Sial!”
Mobil
menepi. Polisi turun dari motor di depan sana, berjalan menuju angkot yang
ditumpangi Leo. Sopir menunggu sambil tangannya menyiapkan kantong kulit. Wajah
si polisi kini memenuhi jendela kanan mobil.
“Salah
saya apa, Pak?” tanya si sopir.
Polisi itu
memandang si sopir dengan tatapan tak senang mendengar pertanyaan tantangan
seperti itu. “Kesalahan kamu? Ini!”
Orang berseragam
itu mencengkeram kepala si sopir dengan kedua tangannya, menarik kepala itu ke
atas sehingga si sopir seperti menaikkan badannya, kemudian kepala itu
dijedukkan ke bagian atas jendela mobil, dan berbunyi keras: duk! Sopir itu
tidak membalas, hanya diam dengan wajah mengeras.
“Sekarang
kamu tahu salahmu, hah?”
Setelah
mengatakan itu si polisi berjalan menjauh, naik ke motornya, lalu pergi.
Sebelum motor itu menghilang dari pandang, si sopir menghidupkan mesin,
mengutuk dalam bahasa daerah sambil memukul kemudi, menjalankan kendaraannya
dengan kasar.
“Puki mak
kau!” kutuk si sopir dengan suara keras tetapi ditujukan kepada dirinya
sendiri.
Leo tidak
tahu apakah akan ikut mengutuk atau diam. Siapa yang lebih salah dan siapa yang
lebih kasar? Hukuman fisik seperti tadi, siapa yang berhak? Apa yang
menyebabkan si polisi merasa lebih kuat daripada si sopir? Kenapa si sopir tak
berani membalas atau membela diri?
Leo
menoleh ke kanan, melihat si sopir. Wajahnya ruwet, rambutnya lebat berminyak,
kulit mukanya kasar dan kotor. Keadaan yang sulit dia bayangkan.
Ia memberi
tanda berhenti kepada sopir, menyerahkan sepuluh ribu, dan berniat memberi
sisanya kepada si sopir tetapi tak tahu cara yang layak sampai saat itu. Jadi
dia memutuskan berbalik arah melangkah, berpura-pura tak tahu kalau uangnya
lebih. Tetapi baru tiga langkah, si sopir memanggil dengan suara keras, “Ini
kembalian uangmu, hei!”
Ah,
gumamnya sendirian, sopir itu masih mempunyai harga diri yang mengagumkan. Dia
tidak mau dikasihani dengan uang recehan dari tangannya. Hatinya merasa senang
dan prihatin sekaligus.
Hidup
macam apa yang dijalani si sopir? Bang Udin, Mbak Sri, Bang Ucok? Siapa yang
memikirkan nasib mereka? Bagaimana bentuk bantuan dari negara agar bisa
menyentuh mereka? Lalu polisi itu, kenapa dia?
Ia kini meyakini ada begitu banyak hal yang belum selesai dipikirkan
bersama di luar pagar gerbang besinya.
Lalu
tiba-tiba dia sudah berada dalam satu pertemuan. Cukup rumit mengingat
bagaimana akhirnya dia ada di sana, saat itu, waktu yang tepat. Pertemuan itu
diadakan dalam ruangan di rumah tua, entah milik siapa, tetapi cukup besar
untuk menampung semua yang hadir. Ada beberapa perempuan muda, tetapi lebih
banyak laki-laki seusianya. Seorang laki-laki dewasa berdiri di depan mereka,
berbicara tentang sesuatu. Semua yang duduk serius mendengarkan. Mungkin ada
sekitar 20-30 orang.
Gerak
tubuh si pembicara rileks dan sederhana. Ia mengenakan baju putih lengan
pendek. Kacamatanya berbingkai hitam, terkesan seperti seorang intelektual yang
pintar. Rambutnya dipotong pendek rapi. Di tangan kirinya melingkar jam tangan
kulit. Sesekali matanya tersenyum, mengajukan beberapa pertanyaan retoris
kepada audiens.
Ia
mendengarkan saja karena belum paham apa yang dibicarakan. Ia pun belum pernah
mendengarkan pembicarakan serupa itu. Sesudah si baju putih itu duduk, seorang
yang lebih muda menggantikan berdiri di depan, berbicara. Kemudian
diskusi-diskusi mereka membuatnya terpesona.
Dalam
waktu singkat ia terlibat. Seperti yang lain, ia rela mengeluarkan uang dari
koceknya, membeli minuman dan nasi bungkus, untuk mereka makan sendiri, dalam
pertemuan-pertemuan mereka. Kadang-kadang mereka akan iuran untuk membayari
seseorang untuk datang ke pertemuan mereka dan berbicara di sana. Kadang-kadang
mereka mendapat sedikit dana sumbangan dari seseorang untuk kegiatan mereka.
Dan
sekarang dia menjadi bagian dari kelompok pertemuan itu. Hatinya turut
dibangkitkan karena apa yang dibicarakan itu sesuatu yang penting, yang akan
mengubah negeri ini menjadi lebih baik dan lebih adil. Menurut pemikirannya,
dengan melakukan beberapa upaya, kelak orang-orang seperti Mbak Sri, Pak Udin,
Bang Ucok, para pengemis dan pengelana, sopir dan orang berseragam, mendapat
perlakuan kehidupan yang tidak terlalu jauh bedanya. Seorang manusia harus
dijadikan manusia sehingga ia bisa mengenal dirinya dengan baik dan bisa
memperlakukan orang lain dengan penuh hormat.
Saat libur
sekolah, ia tidak lagi mengikuti acara orangtuanya. Ia tak keberatan ayah
ibunya berangkat ke Bangka atau berlibur ke tempat lain. Dia bisa mengatur
sendiri apa yang akan dia lakukan di hari-hari libur. Begitu juga dua orang
saudaranya.
Satu kali
mereka berencana akan berkunjung ke Sumatera Utara, khususnya Siantar. Menurut
teman-teman, di sana ada beberapa pertemuan seperti yang mereka lakukan di
sini. Leo ikut dalam rombongan itu. Mereka menggunakan jeep seorang teman,
milik orangtuanya.
Tangan Leo
ringan sekali membayari bensin dan makan mereka berlima selama perjalanan. Ia,
tiga teman sebaya, dan seorang mentor. Seorang teman sudah memastikan mesin
jeep tua itu akan bertahan dua hari dua malam, menyusuri jalanan trans
Sumatera. Dari Jakarta mereka menyeberang melalui Bakau Heni, Lampung terus ke
utara.
Mereka
bergantian menyetir. Pemandangan hijau di kiri-kanan, kadang-kadang mata mereka
menjumpai gunung hijau di kejauhan sana, kemudian mendekat, dan kembali
menjauh, dan menemukan gunung hijau yang lain. Pohon-pohon tinggi, semak liar,
tanah-tanah membukit, dataran tanah yang jauh dan berwarna cokelat atau hijau,
kadang terik matahari galak bersinar atau awan putih berarak mengikuti. Alam
Negeri Ini mirip ke mana pun kau pergi, kecuali nama-nama pepohonan yang
berbeda dan khas.
Jalanan
aspal terkadang jelek terkadang mulus. Perjalanan ini cukup menyenangkan karena
dilalui bersama. Melewati tanaman hijau tidak bernama di sepanjang jalanan
panjang yang sunyi. Di kiri-kanan pepoponan dan semak raksasa. Ia bersemangat
melakukan sesuatu yang berharga di Siantar dan sekitarnya.
Bila
perjalanan sudah terlalu panjang dan perut sudah meraung-raung, mereka berhenti
di rumah makan sederhana. Mereka bertemu orang-orang berbicara dengan bahasa
berbeda, gaya bahasa Indonesia dengan aksen yang belum pernah didengar.
Pengalaman mandi di rumah penduduk atau tempat makan, adalah pengalaman yang
menggelikan dan girang sekaligus. Ia berpikir, kalau ibunya tahu, dia takkasn
mengalami semua ini.
“Kita
harus berjuang dan belajar bertahan dalam situasi apa pun sampai cita-cita kita
tercapai,” kata mentornya.
Leo tergugah
ketika mendengar kata berjuang. Ia belum pernah berjuang untuk orang lain di
luar dirinya dan keluarganya. Ini sesuatu yang baru dan ia tak bisa
menceritakan besarnya perasaan ini. Betapa luas negeri ini, betapa kaya tanah
ini, kini ia lihat sendiri, berhadapan dengan manusia-manusia lain sesama anak
negeri, seperti dirinya.
Hari
ketiga mereka tiba di tujuan, Pematang Siantar. Kota kecil itu terbesar kedua
setelah Medan di Sumatera Utara. Udaranya sejuk karena banyak pepohonan besar
di jalan-jalan kota, warisan zaman dulu, seperti kota Bogor di Jawa Barat.
Bahkan mungkin yang lebih cocok dijuluki sebagai kota hujan adalah Pematang
Siantar daripada Bogor, karena lebih seringnya hujan muncul. Kota ini
menyenangkan dan mengesankan bagi Leo karena apa yang dia lakukan di sana dan
orang-orang pertama yang dia temui adalah sekumpulan orang yang bersemangat dan
baru mengubah diri dan hidupnya.
Teman-teman
yang tahu tentang kedatangan mereka menunggu kedatangan mereka. Mereka bisa
saling memandang wajah dan mendengar suara. Selama ini hanya tahu nama. Kopi
panas yang harum, roti ganda, dan pisang goreng yang manis menghangatkan
mereka. Hari pertama mereka berjumpa kelompok-kelompok diskusi dan mulai
mengagendakan kegiatan dan pertemuan. Hari itu Leo menyadari banyaknya tugas
yang harus dia emban dan ia bersemangat untuk itu. Semangat mudanya tersalurkan
dengan baik di sini.
Lalu
dengan cepat ia sudah akan menyelesaikan sekolah menengah atasnya. Ia
memikirkan lokasi lanjutan sekolahnya. Orangtuanya mengusulkan Melbourne agar
dekat dengan Koko, sehingga mereka lebih mudah menengok. Tetapi ayahnya memberi
pilihan bebas kepadanya. Kalian harus melihat dunia yang lebih luas, alasan
ayahnya.
Akhirnya
Leo memilih Malaysia dengan beberapa pertimbangan. Orangtuanya setuju dan tidak
mempertanyakan karena ia sudah cukup menjelaskan alasan jurusan manajemen
ekonomi yang diambilnya di universitas di Kuala Lumpur itu, cukup baik. Bagi
Leo sendiri, negara itu bertetangga dan memudahkannya bolak-balik
Medan-Pematang Siantar.
Ia
mengurus sendiri surat dan keterangan yang diperlukan untuk bisa diterima di
universitas itu, mencari tempat tinggal sesuai standar ibunya agar orangtua itu
tenang. Tiap liburan semester ia lari ke Siantar, berkumpul bersama kawan-kawan
dan mengerjakan tugas yang sudah diagendakan, semampunya. Ia betul-betul
melibatkan diri dengan kegiatan membantu
masyarakat desa dengan hal-hal yang nyata dan langsung menyentuh kehidupan
mereka. Selain itu masyarakat desa yang sederhana mulai tercerahkan memahami
hak dan kewajiban sebagai warganegara.
Waktu
terus mengejarnya. Dia menyelesaikan sekolahnya di Kuala Lumpur, dan untuk
menyenangkan orangtuanya, ia pergi ke Eropa, sekolah lebih lanjut. Kali ini dia
tidak bisa lagi bolak-balik bertemu dengan masyarakat yang telah dibinanya.
Tetapi masa itu telah membekas dalam tindakan-tindakannya. Satu saat aku akan
kembali ke kota itu, pikirnya dengan hati tetap. Dan dia kembali, meski untuk
tujuan yang berbeda.
*
Bersambung ke bagian 7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar