Sabtu, 16 Mei 2009

Uang: Urgent!

Tidak banyak orang yang melihat dengan matanya sendiri
dan merasakan dengan hatinya sendiri.
-Albert Einstein (1879-1955)

Strategies for Financial Breakthrough
Wawasan Baru untuk Memenangi Problem Keuangan
Oleh Eugene Strite
Penerbit GOlite resources 2008
192 hal + xvii

Pada suatu Minggu pagi yang cerah saya dan seorang teman mendengarkan kotbah pendeta Poltak JB Sibarani, yang dia juduli: 6 Manfaat Merenungkan Firman Allah setiap hari. Judul yang sederhana. Juga penjelasannya ringan-tegas.

Manfaat pertama: apa saja yang diperbuatnya (orang yang merenungkan Firman Allah setiap hari) berhasil (ibarat pohon akan menghasilkan buah pada musimnya). Sesederhana itu, Pendeta? Ya. Bagaimana kalau belum berhasil? Apa Anda sudah melakukan sesuatu? Sudah, Pendeta. Yang Anda lakukan menyenangkan Tuhan? Absolut, Pendeta. Hm, kalau begitu ini belum musimnya. Bersabar sedikit lagi ya. Ehm, bagaimana kalau tidak berhasil juga, Pendeta? Anda percaya kepada Tuhan yang memberi janji? Sudahkah Anda mengenal Dia dengan merenungkan Firman Allah setiap hari? Ampun, Pendeta….

Sebuah hubungan sebab-akibat yang tak terbantahkan. Manfaat kedua, yaitu ….

Seorang teman baik saya lemas karena ratusan juta uangnya amblas ditelan Indeks Saham dalam jangka tiga hari. Teman saya yang lain tertekan melihat industri di tanah air melemah, perusahaan-perusahaan ditutup, ribuan karyawan segera dirumahkan, perdagangan lesu. Saya yang kurang sensitif menambah kekhawatiran mereka dengan berkatan bahwa masalah seperti itu sedang terjadi di mana-mana, lalu berbagi cerita bos Amerika saya yang mengatakan bahwa perpustakaan terbesar di Pennsylvania pun tutup gara-gara tak tahan membayar operasional. Bahkan dua puluh lima ribu orang sudah di-PHK di Negara bagian itu. Wajah mereka menekuk kian suram.

Catatan kesaksian
Lalu, apa ada kaitan kotbah dengan buku Strategies for Financial Breakthrough (SFB), Wawasan baru untuk memenangi problem keuangan? Sangat bertautan karena buku yang ditulis Eugene Strite ini sangat kental rasa ketermilikan pengarangnya. Bisa dibilang SFB adalah kesaksian pribadi Eugene. Ia meringkus puluhan tahun pengalamannya bergumul dengan Kitab Suci dan keuangan keluarganya dalam halaman-halaman SFB.

Di sisi lain SFB seperti buku panduan pakar keuangan, Safir Senduk misalnya. Bukunya terjual ratusan ribu kopi karena hal praktis yang ia paparkan. Ia yang berkata bahwa orang yang bekerja dengan pola 9-5 pun dapat menjadi kaya. Seperti Safir, Eugene mengharamkan kegiatan menggali lubang-hutang. Kegiatan ini akan mengalihkan fokus seseorang ke masalah pribadinya dan bukan ke hal-hal yang mulia.

Di FSB hutang disimbolkan sebagai rubah-rubah kecil. Zaman dulu rubah hidup di daerah berbatu-batu, tempat biasanya anggur ditanam. Kebun anggur adalah simbol hubungan kasih yang intim (dari Allah dan manusia). Rubah menyerang buah dan akar kebun-kebun anggur karena ia menggali liang dan membongkar tanah.

Mungkin perbedaannya mereka adalah bahwa Safir hadir dengan teori-teori ekonomi praktis yang dipahami dunia. Sedangkan Eugene, mendasarkan seluruhnya pada prinsip ekonomi Kerajaan. Di SFB Eugene mengajak pembaca untuk membangun piramida alami (mandiri secara ekonomi) dan piramid rohani (memberkati orang lain atau membantu misi penginjilan).
Buku ini ditulis dengan amat jelas sehingga memungkinkan pembaca tak perlu melakukan analisa ekonomi tertentu. Menarik karena penulis menggambarkan perumpamaan talenta di Matius 25 sebagai uang. Bila Anda seorang pelukis, bisa saja Anda menggambarkan talenta sebagai bakat melukis atau penulis, bakat menulis. Sah-sah saja, bukan? Ada banyak jalan ke Roma.

Man of Experience vs Man of Argument
Saya melihat Eugene di satu Sabtu petang di satu gereja yang menerbitkan SFB. Ia orang biasa, seperti kita-kita inilah. Mengaku hanya lulus SMA, lahir dan besar di keluarga petani dan berpikir akan berakhir menjadi petani pula. Ia tak pernah menduga Tuhan membawanya dari kesempatan ke kesempatan lain, sampai kini ia pendiri World Harverst Outreach of Chambersburg, Pennsylvania, yang dikenal di Amerika dan luar Amerika. Ia dijuluki a man of experience daripada a man of argument. Ia memimpin organisasi yang tumbuh besar karena secara tekun mengilhami dan menghidupi “ekonomi Kerajaan”. Gerakannya ini telah mengutus banyak misi ke seluruh dunia untuk mengabarkan Injil dan menjadi berkat.

Eugene mengajak pembaca untuk melongok ke hatinya sendiri. Ia mengutip apa yang dikatakan Tuhan Yesus bahwa berkata tak seorang pun mampu mengabdi ke dua tuan. Tidak ada wilayah netral dalam hal ini. Kita pasti ‘mencintai’tuan yang satu dan ‘membenci’ tuan yang lain. Titik. Bahwa berurusan dengan Tuhan tidak ada kaitannya dengan memberi persepuluhan, mengajar di sekolah minggu, berpuasa, kalau semua itu tidak diawali dari hati.

Lalu masalah ‘attitude’. Pembaca akan dibawa untuk bersikap memahami prinsip ekonomi Kerajaan, yaitu menabur untuk menuai lebih banyak. Prinsip ini bertentangan dengan apa yang ditawarkan dunia. Eugene berbagi kisah satu gereja yang 60% jemaatnya pengangguran dan diliputi kemiskinan. Kembali ke masalah hati, bahwa kemiskinan terjadi bukan hanya karena kurang uang tapi juga kesempatan dan miskin pemahaman. Tidak diceritakan prosesnya tapi di akhir bab gereja ini tiba pada kehidupan yang lebih layak dan mampu memberkati komunitas lain.

Eugene menggambarkan Tuhan sebagai partner manusia dalam mengembangkan ekonomi Kerajaan. Tuhan memberkati setiap benih yang ditabur dan manusialah yang harus mau menabur, bukan Tuhan. Tentang kekayaan dan kesejahteraan, Eugene mengaitkan soal persepuluhan, yang adalah sepuluh persen dari seluruh pendapatan. Zaman dahulu orang-orang yang tidak mengenal Allah memberi persepuluhan karena takut dewa-dewa akan marah. Di sini disebutkan kita memberi persepuluhan sebagai penghormatan kepada Allah dan mengakuinya sebagai sumber segala berkat (Kembali lagi ke masalah hati, Anda tidak bisa memberi persepuluhan dengan terpaksa dan bermuram durja).

Begitu seriusnya hal perpuluhan sampai Tuhan memerintahkan bangsa Israel untuk mempersembahkan seekor domba, lengkap dengan bagian lemak yang disukai Tuhan (hal 101) untuk setiap keledai sulung yang dilahirkan induk keledai. Kalau tidak, Tuhan memberi perintah agar batang leher keledai itu dipatahkan (hal 111). (Bisakah Anda bayangkan bila Anda tidak memberi persepuluhan, Allah mematahkan batang leher… keledai Anda?). Hormatilah Allah dengan memberi persepuluhan. Mungkinkan Dia memberkati kita dengan memberi persembahan (hal 103).

Eugene yang telah bergumul dengan masalah keuangan selama puluhan tahun mengungkap bahwa uang memiliki jiwa. Ia berperan kuat, mengarahkan, mengendalikan, menghancurkan, bahkan menutup mata-hati manusia menjadi buta sehingga ia tidak bisa melihat karunia Tuhan.
Saya jadi ingat lagu di sekolah minggu dulu: Apa yang dicari orang? Uang. Apa yang dicari orang pagi, siang, sore, petang? Uang, uang, uang. Lagu yang aneh kalau saya pikir sekarang. Kenapa anak kecil diyakinkan sejak dini kebiasaan orang dewasa dari masa ke masa? Lalu di sekolah ketemu peribahasa: Ada uang abang disayang, tak ada uang abang ditendang. Aduh, kasihan si abang jadi korban. Jadi jika Anda membaca SFB dengan mata dan hati sekaligus, buku ini bukan lagi satu strategi tetapi sebuah kebenaran.

Ita Siregar, November 2008

Jumat, 08 Mei 2009

GOMER

Marilah kita mengenal dan berusaha sungguh-sungguh mengenal Tuhan,
Ia pasti muncul seperti fajar,
Ia akan datang kepada kita seperti hujan,
Seperti hujan pada akhir musim yang mengairi bumi.
Hosea Beeri, 800-700SM

Abdi Allah itu duduk tenang. Dua laki-laki kira-kira sebayanya yang juga menunggu, melakukan gerakan berdiri-duduk sambil menjaga jarak satu sama lain di ruang berbentuk setengah lingkaran di lantai dua rumah itu. Tak ingin saling kenal, tak ingin bertanya. Setiap kali abdi Allah melirik ke salah satunya, sepasang mata itu pasti kedapatan sedang menatap-lekat kepadanya, dengan tatapan yang tak bisa ia terka maknanya.

Gomer pastilah istimewa, batin abdi Allah itu sambil melakukan gerakan tak penting, meraba topi kainnya yang berpincuk di ujung kepalanya. Memikirkan hal ganjil itu, diam-diam rasa malu menyusup ke seluruh dirinya. Namun tubuhnya tetap tenang. Ia meneruskan pikirannya dengan gugup. Gomer diminati banyak laki-laki kesepian, yang terlalu sibuk dengan bisnisnya, tak sempat bertemu keluarga, mencari pelepasan lain. Laki-laki haus sentuhan, laki-laki kurang penghargaan. Ia mengernyitkan keningnya lembut ketika mengingat lagi arti Gomer. Lengkap. Kue kismis yang paling diminati. Bara api.

Mengingat itu ia tersenyum kecil. Sudut-sudut bibirnya tertarik ke atas. Wajah bayinya yang tak berlekuk tampak penuh. Janggutnya yang hitam lebat berkilat memenuhi setengah bagian pipinya sampai ke bawah dagu dan di atas bibirnya, membuat kulit wajahnya tampak lebih bersih. Tak begitu tertata seperti janggut-janggut kedua kawan yang sedang bersamanya, yang dibentuk sesuai budaya mereka, dengan mata pisau yang tajam dan diolesi ramuan minyak damar dicampur serai wangi khusus.

Mata abdi Allah itu bersinar lembut. Keseluruhan dirinya melukiskan kegembiraan yang muncul dari kejujuran dan keyakinan yang tak terbantahkan. Kadang-kadang ia terlihat seperti pemalu. Terlebih kali ini, ia sedang merasa canggung menanggapi perintah Yang Maha Atas, yang tak bisa dipahaminya hingga detik ini, namun hatinya menerima. Tuanku ya Raja Semesta, Engkau adalah Mak Comblang yang aneh, batinnya tak berpikir. Kemudian hatinya menjadi lebih gelisah mengingat Gomer.

Perintah yang aneh. Belum pernah ia mendengar perintah seperti ini sebelumnya. Kepada abdi-abdi mana pun yang pernah hidup sebelumnya. Namun pesan itu datang dengan kuat dan lembut. Hatinya berusaha membantah kebenaran pesan itu. Tapi kata-kata itu terus melekat di dalam dirinya, memenuhinya, tak bisa menyangkal. Bahkan ia telah dengan sengaja mengeleng-gelengkan kepalanya kuat-kuat agar suara kebenaran itu melenceng ke luar. Tapi tindakan itu malah membuatnya berpikir lebih jernih. Perintah yang tegas dan jelas, kini tersimpan baik di hatinya. Hingga akhirnya ia menyerah, menundukkan kepala dengan lemas. Aku hanyalah seorang hamba. Aku ingin belajar memahamiMu, Ya Yang Maha Tinggi, batinnya pasrah.
Ia kembali mengamati kedua laki-laki yang bersamanya. Dari model janggut mereka, ia bisa mengira kebangsaan mereka. Ditambah cara berpakaian yang menunjukkan mereka adalah seorang pedagang dan seorang pejabat pemerintahan.

Kini ia tersipu menyadari kebodohannya. Tatapan penuh teka-teki dari kedua kawan ini tentulah dari jubahnya yang berpotongan sederhana, terdiri dari dua lapis dan ikat pinggang kain agar jubah tak terlepas dari pinggangnya. Pakaian adalah simbol yang tampak dan sengaja dibuat agar kebangsaan mudah dikenali. Kenapa melupakan hal sederhana ini? Namun orangtuanya yang takut akan Tuhan telah mendidiknya agar tidak mengambil kesimpulan dari penampilan.

Dalam lamunannya, mata abdi Allah itu mengikuti gerak laki-laki pedagang yang bergegas masuk menghilang di balik tirai berwarna marun, ketika mendengar suara kecil nyaring memanggil dari arah dalam tirai. Seketika tirai bergoyang kencang lalu dengan cepat lurus terdiam, karena kedua ujungnya diganduli gulungan benang.

Tiba-tiba tercium sesuatu yang hangat dan wangi. Seorang perempuan muda dengan aroma jasmin muncul dari bawah tangga di sudut ruang, menaruh kue kismis hangat di atas meja, mengerling genit bergantian kepada abdi Allah dan laki-laki si pejabat pemerintahan, berseru malu-malu dengan suara yang nyaring dan manja, “Silakan. Kue kismis. Takaran kue ini diukur sendiri oleh Gomer dengan resep rahasia yang terus menerus disempurnakan hingga rasanya tak tertandingi di kota ini. Anda perlu datang kembali untuk mengingat rasanya yang istimewa.” Lalu sepasang kakinya yang kecil lincah menuruni tangga seperti sedang menari.

Penjelasan yang menakjubkan untuk perjalanan sepotong kue. Resep rahasia. Ditakar dengan baik. Terus disempurnakan untuk mendapat citarasa tak tertandingi.

Abdi Allah memandang kue kismis di atas meja. Dengan latar belakang tadi, kue kismis itu tampak lebih berharga dan menggiurkan karena semilir kismisnya harum bercampur wangi rempah kayu manis dan pala. Apakah karena namanya berarti kue kismis lalu Gomer perlu menghidangkan ini kepada para tamunya?

Kawan sepenunggunya telah sibuk mengunyah, rahang bawahnya naik-turun dengan cepat, menandakan ia bukan orang yang sabar, dengan mata memandang lurus ke luar jendela. Dilihatnya awan memutih, bergegas bergerombol. Lalu pejabat itu berbalik dan mengambil satu roti kismis kedua. Penjabat yang tidak puas dan tidak tahu porsinya. Menyadari hanya bergerak sendiri, ia melirik abdi Allah itu dengan ekor matanya, menyadari kawan seruangannya belum beranjak demi seroti kismis pun. Itulah memang pekerjaannya, menunggu, batin laki-laki itu sinis.

Di dalam hati abdi Allah itu memutuskan untuk tidak mencicipi kue kismis karena khawatir konsentrasinya membuyar karena kenikmatan yang ditimbulkannya. Namun harum kismis dan remah yang terus menerus mendera hidungnya, membuat perutnya tiba-tiba mengosong. Cepat ia menghibur diri. Ia pandangi sekeliling dinding yang bercat marun dengan gradasi warna terang hingga pekat, memberi kesan artistik yang hangat sekaligus ramai. Jendela melebar di sepanjang dinding yang dibiarkan terbuka ke udara, mengalirkan udara segar setiap kali. Ia melihat awan tampak mendung di luar sana, seperti mengandung sedikit air, tapi kemudian langit berwarna putih. Terang.

Serentak dengan satu gerakan kasar, tubuh pejabat pemerintah itu menegak. Wajahnya lurus, mulutnya merengut. Bunyi cemplang dari mulutnya menunjukkan rasa kesal. Kaki kanan ia entakkan ke lantai semen dingin yang meredam bunyi di sana. Ia seorang pejabat pemerintahan yang mudah terusik, bagaimana ia bisa mengatasi kepanikan rakyat? Apakah ia telah lupa mengunci loker berisi uang rakyat? Atau kaget karena ia telah melewati batas pikirannya? Pakaian suteranya melambai-lambai saat ia berlari menuju anak tangga yang berbentuk putaran, melangkah melompati dua anak tangga sekaligus.

Kepergian laki-laki itu membuat jantung abdi Allah itu berdebar serentak tanpa dikomando. Batinnya mengharap laki-laki itu kembali. Lima menit, sepuluh menit, dua puluh menit. Tidak kembali.

Jantungnya seakan copot ketika dirinya belum lagi pulih dan laki-laki pedagang telah keluar dari balik tirai marun, wajahnya tampak segar dan puas, segera menggelinding menuruni tangga. Rasa nyaman sang abdi Allah menguap. Ia tak bisa berdoa. Tak mungkin berdoa. Kenapa laki-laki pedagang itu begitu cepat di dalam sana? Apakah ia sudah menyesuaikan dengan harganya?

Hening beberapa waktu. Tiba-tiba dari balik tirai kamar terdengar seruan, “Masih adakah di luar?”

Abdi Allah itu berdiri tegak. Jubah sederhananya membuatnya merasa hangat. Rasa tentram tumbuh dengan cepat di hatinya. Gomer, yang akan ditemuinya ini, manusia perempuan yang lengkap dengan kebahagiaan, kesedihan, kepenatan, kekuatan, yang memerlukan dirinya untuk mencintai dan dicintai dengan tulus, dengan kasih kekal. Ia meluruskan dirinya, melangkah ketika seruan kedua kali terdengar.

Kedua tangannya lembut menceraikan kain tirai dari tengah-tengah, lalu tubuhnya masuk, segera hidungnya menghirup harum mawar yang semilir. Tubuhnya sangat nyaman. Hening. Ia menghentikan langkahnya. Menunggu. Lalu dirinya merasakan sebuah energi lembut mendekat ke arahnya.

Setubuh perempuan menjelma tepat di depan abdi Allah. Harum manis semerbak, parfum beraroma bunga dan buah, parfum mahal yang disimpan di kotak alabaster yang elegan untuk melindunginya dari sinar yang akan mengubah wanginya. Abdi Allah itu tenang mengamati keseluruhan wajah itu: kecantikan yang menakjubkan. Ia bersyukur karena menatap wajah secantik ini, sedekat ini.

Bola matanya besar, celak yang terbuat dari antimoni dan bubuk halus seng sehingga membuat mata hitamnya lebih legam dan melindungi telaga putih yang cemerlang di tengahnya, yang dikelilingi bulu mata lentik tebal berdesakan demi melindungi kedua mata menawan itu. Tulang pipinya tinggi bersemu merah muda, lalu bibir merah delima yang lembut segar. Kulit wajahnya halus dan terang karena telah dirawat dengan mur dan minyak badam. Pakaiannya sutra halus yang melebar di kedua ujung tangannya dan lipitan sempurna yang membentuk buah pinggulnya ke belakang. Sebuah cincin emas kecil bergantung di hidungnya, hingga bibir atasnya. Rambut hitam ikal dan dijalin, diikat lembut di atas kepalanya dengan jepit hias emas dan mutiara. Pengikut mode dengan modal kuat.

Hati abdi Allah itu meratapi dirinya yang selalu berwajah datar seperti gurun di musim kering, yang tetap seperti itu sementara perempuan itu sedang menyebarkan uap bunga musim semi yang ramah. Akankah dia tertarik kepadaku, ya Allahku? batinnya menyesal.

“Kau seorang suci. Jangan membuka jalan kesalahan pertama. Kasihanilah Allahmu. Aku pun tidak meminta pengampunan atas dosa-dosaku. Pergilah. Kita tidak mempunyai urusan satu sama lain,” terdengar halus suara Gomer seperti aliran air yang bergelombang tenang.

“Sejak saat ini kita berurusan,” jawab abdi Allah tenang.

Perempuan itu mengangkat alisnya yang tebal, kecantikannya yang lain, bagaikan sabit bulan purnama, berkata, “Katakanlah urusanmu.”

“Aku meminangmu sebagai istriku,” ujar abdi Allah tegas.

Kembali hening. Perempuan itu memiringkan kepalanya. Ia selalu tertarik kepada laki-laki agak pemalu. Tapi telah lama ia tidak berharap untuk bisa hidup normal seperti perempuan bermartabat. Menikah dan punya anak. Yang ia tahu hanyalah bahwa kehidupannya akan berakhir pada satu titik dan setelah itu tak tahu apa. Mungkin ia akan berakhir di jalanan. Pernikahan baginya sesuatu yang terlalu mulia, bahkan mengangankannya pun ia tak sanggup. Dan sekarang, tak tanggung-tanggung, seorang abdi Allah berwajah bayi, berdiri di hadapannya, berkata dengan sederhana bahwa ia melamar menjadi istri. Bukanlah itu sebuah ironi. Atau tragedi? Baginya terlalu dramatis. Hanya ada di cerita-cerita khayalan di antara teman-temannya.

“Berikan satu alasan kenapa aku harus menerima pinanganmu?”

“Karena aku telah diperintah demikian.”

“Siapa yang memberimu perintah ganjil seperti itu?

“Allahku. Pencipta langit dan bumi ini, Pemilik semesta alam raya.”

Perempuan itu termangu. Kepalanya semakin miring.

*

“Ayah, kau takkan percaya siapa yang kulihat di pasar tadi waktu pulang sekolah,” ucap Yizrel dengan mata melotot sementara mulutnya dipenuhi nasi dan tubuhnya condong ke depan, mengesankan pentingnya apa yang tadi ia lihat.

Sang ayah menatapnya tenang, menjawab, “Tentu aku percaya. Kau yang ada di sana dan kau adalah saksi yang penting.”

“Tidak, Kak. Jangan bilang Ayah. Kakak sudah janji tadi!” seru adik perempuannya menyela, dengan wajah memelas dan suara hampir menangis.

“Uma, aku tadi memang berjanji takkan bercerita kepada Ayah. Tapi ini hal penting. Keluarga kita bukan bahan cerita di kampung ini. Apa kau mau?” bentak Yizrel dengan nada kesal sementara Uma sudah menangis, menelan makanannya tergesa didesak isak sedihnya. Usia mereka yang tidak terpaut jauh, membuat mereka bersahabat baik.

Sang ayah memandang keduanya berganti-ganti, berusaha tetap tenang, sementara di dalam hatinya seperti ada yang meluap-luap. Ia telah belajar mempercayai Majikannya dengan sepenuh jiwanya selama ini. Bahkan jalan-jalan gelap di depannya yang tidak memberinya pertanda setitik sinar sekali pun.

“Ibu di pasar. Pakaiannya buruk. Ia jelek sekali, Ayah. Aku malu melihatnya!” bentak Yizrel, tak sabar dengan keadaan itu. Sang ayah bisa tersenyum melihat Yizrel yang meletup-letup tidak sabar seperti letupan uap stew domba sedap yang biasa dimasak Sifra untuk mereka. Seperti ibunya.

“Lakukanlah sesuatu, Ayah. Jemputlah Ibu,” tangis Uma.

Yizrel memandang adiknya dengan gemas, “Jangan, Ayah. Ibu akan meninggalkan kita lagi. Dia tidak pernah sayang kepada kita, Uma. Tidak kepada Ayah atau aku. Ibu hanya ingin menyenangkan dirinya.”

Abdi Allah itu memandang Yizrel, putra sulungnya itu, yang meskipun ia berbicara dengan jengkel kepada Uma, adiknya, tapi matanya mengembang air mata. Hatinya yang lembut dan gelisah itu tak bisa menipu. Ia merindu ibunya. Seperti dirinya.

“Yizrel, darimana kamu tahu Ibu hanya ingin menyenangkan dirinya? Ayah yakin Ibu selalu mengingat dan rindu kalian meskipun ia tidak selalu bersama kita. Ibu hanya belum menemukan jalan. Pada waktunya, Ayah akan menjemput Ibu dan Ibu akan bersama kita selamanya, Yizrel,” ujar abdi Allah itu tegas kepada putra sulungnya.

Yizrel mengusap air matanya yang jatuh. Ia tahu ayahnya tidak pernah berbohong. Dan ayah selalu berusaha menghiburnya dan Uma setiap kali mereka rindu kepada Ibu.

“Ayah, sebenarnya aku memang ingin ibu pulang,” aku Yizrel. Tangis Uma reda. Wajahnya tampak cerah melihat Yizrel yang kini berubah cengeng.

“Kemarilah,” kata abdi Allah itu. Yizrel mendekat. Ayahnya sudah mengembangkan kedua tangan untuk memeluk. “Anakku, Allah ingin kita mengampuni orang lain, apapun kesalahannya dan siapapun orangnya, sebanyak tujuh kali tujuh kali tujuh, anakku. Termasuk Ibu. Kita membutuhkan Ibu, bukan? Sekarang, habiskan makananmu, jaga adik-adikmu sementara Sifra membersihkan meja dan piring. Setelah itu Ayah dan Sifra akan ke pasar menjemput Ibu,” kata abdi Allah itu.

Yizrel mengangguk-anggukkan kepalanya. Matanya diusapnya berulang-ulang seolah tak ingin tangisnya berjejak di sana.

Abdi Allah itu berdiri, memandang si dua tahun Ami, si anak kenangan, yang usianya menunjukkan rentang waktu sang ibu meninggalkannya. Ami yang malang, tak pernah dicintai tangan perempuan yang melahirkannya. Tapi ia telah menjadi bayi yang manis, tersenyum seolah berterimakasih kepada tangan yang mengelus dan menggendongnya. Ia memegang tangan Sifra, pengasuh ketiga anaknya yang setia, dari suku Benyamin yang dikirim ayahnya untuk menolong keluarga abdi Allah.

“Sifra, siapkan padi jelai yang dikirim orang Efraim itu kemarin kepada kita. Bawa juga jubah nyonyamu yang masih baik. Kita akan membawanya ke pasar,” perintah abdi Allah itu sambil mengangkat Ami ke udara dan bayi manis itu terkekeh-kekeh.

“Baik, Tuan.”

“Yizreel, jaga adik-adikmu. Ayah dan Sifra akan kembali dengan segera.”

Abdi Allah itu menuju kamarnya. Hatinya tidak tahan. Melihat Yizreel bersikap kepadanya sama seperti ia bersikap kepada Tuan Allah. Ia sungguh memahami kegelisahan putranya tersayang, karena ia juga mengalami kegelisahan yang sama, berusaha memahami Tuan Allah yang pikiranNya sungguh tak terduga harapannya. Yizreel, anakku, kita hanyalah hamba Allah, yang akan pergi ke mana Allah membawa kita, tanpa perlu bertanya. Kita takkan sanggup mengerti pikiranNya yang besar di kepala kita yang kecil. Dialah Matahari kita di waktu siang, Bulan di kala malam. Ayah pun tak mengerti, Nak. Tapi setiap kali Ayah mengerti kenapa Ayah tidak mengerti.

Ia membiarkan airmatanya yang hangat meluncur ke pipi lalu jubahnya. Tiba-tiba sesuatu ia lihat dengan jelas. Yizreel tak perlu tahu semua rencananya karena Yizreel takkan mengerti, seperti ia juga tak perlu melihat keseluruhan gambar rencana Tuan Allah terhadap hidupnya dan Gomer, karena ia takkan mengerti.

“Ya, Tuan Allah. Betapa dahsyatnya karya-Mu. Berikanlah aku pengertian untuk sanggup mengasihimu dengan tulus,” bisiknya sendirian.

Allah telah mempersiapkan hatinya. Ia telah mencintai Gomer selama ini, tak peduli Gomer telah kesekian kalinya meninggalkannya bersama anak-anak, pergi bersama laki-laki yang sanggup memenuhi keinginannya membeli pakaian-pakaian indah yang dibawa kapal-kapal pedagang dari kota Tarsis dan perlengkapan kosmetika tradisional Mesir yang diramu khusus untuk keabadian kecantikan ratu-ratu mereka.

“Lihatlah, Hosea, aku bukan perempuan yang tepat untukmu, tak cukup menjadi ibu anak-anakmu. Hidupku di jalan raya, tubuhku merindu keindahan dan pujian. Kau selalu ramah kepadaku, tapi aku tak sanggup setia seperti dirimu. Layanilah Allahmu, sumber kehidupanmu dan anak-anakmu. Hanya, izinkan aku pergi bersama keinginanku.”

Gomer, Gomer, aku sungguh mengerti keadaanmu, keinginanmu, tapi tak cukup kata dariku untuk membeberkan kasihku kepadamu. Aku telah mencintaimu sebelum aku mengenalmu, sebelum aku merasakan lezatnya kue kismis takaranmu. Aku bukan mencintaimu karena apa yang telah kaulakukan padaku. Aku mencintaimu karena keseluruhan dirimu. Mengertikah kau cinta semacam ini, Gomer?

Allah telah berbicara kepadanya menjelang fajar tadi. Kata-kata penuh kekuatan yang memberinya harapan. Bagaimana aku tahu kali ini akan berhasil, Tuan Allahku?

Aku akan memulihkan ketidaksetiaan mereka
Mengasihi mereka dengan tulus
Sebab marahKu telah reda
Aku akan menjadi seperti embun pagi bagi Israel
Ia akan mekar menjadi bunga bakung yang indah
Ia akan menjulurkan akarnya kuat-kuat seperti pohon mawar
Ranting-rantingnya akan merambat tinggi

Kecantikannya seperti pohon zaitun
Dan termasyur bagaikan kayu aras
Mereka akan kembali dan diam dalam naungan-Ku
Mereka akan tumbuh subur bagaikan kebun yang dirawat pemiliknya
Akan lebat berbunga seperti pohon anggur
Harum mereka akan tercium sampai jauh seperti anggur dari Lebanon.

Air matanya mengalir, matanya menjadi panas. Ia merindu Gomer.

Jadi, mengapa engkau telah berlaku tidak setia kepada-Ku sehingga engkau pergi
bersama berhala-berhalamu?

Akulah yang selama ini telah memelihara hari-harimu
Telah menjadi pohon sanobar yang hijau sepanjang tahun bagimu
Karena Aku, isi kebunmu menghasilkan buah yang matang dan harum-ranum


Abdi Allah itu kini mengerti kenapa seorang bapak dengan wajah bijaksana dari suku Efraim berjalan kaki puluhan kilometer demi menemuinya, memberinya salam dan memberi sekantong perak berisi 15 syikal perak atau setara dengan 161 gram perak dan sehomer jelai atau seberat 180 liter dan seekor domba jantan berumur dua tahun.

“Tuan Allah memintaku memberimu semua ini. Ia sendiri yang mempersiapkannya untukmu. Terimalah,” kata lelaki bijaksana itu.

Abdi Allah itu menyembunyikan kantong perak di balik jubahnya yang lebar dan membagi jelai dalam dua karung sehingga ia dan Sifra bisa membawanya. Mereka tiba di pasar lewat tengah hari. Matahari telah membayang dua puluh sentimeter panjangnya dari kepala mereka. Hampir pukul tiga sore. Tapi pasar masih tampak ramai.

Dari kejauhan abdi Allah itu melihat satu kerumunan. Seorang laki-laki berteriak-teriak seperti orang gila, berusaha menarik peminat untuk membeli seorang perempuan yang sekarang sudah tidak lagi memuaskan dahaya tubuhnya namun masih bisa bermanfaat bila dijadikan budak untuk bekerja di ladang atau mengurus ternak atau menjadi selimut malam bila sesekali diperlukan. Laki-laki itu tergesa menjual sebelum harga perempuan itu semakin turun karena usia tua tak berguna.

Perempuan untuk dijual itu adalah Gomer. Hati abdi Allah itu bergetar penuh penyesalan mengingat istrinya mungkin sudah lebih dari setengah hari dipertontonkan kepada seisi pasar dan tidak seorang pun memedulikannya. Ia menengok ke sisi kirinya, melihat wajah Sifra yang redup dan mata berkaca-kaca memandang nyonyanya bersandar tak berdaya pada sebuah tiang, berusaha menutupi wajahnya dengan rambutnya yang masai. Tak tahan melihat pemandangan itu dan mulut laki-laki yang terus meracau, Abdi Allah itu melangkah lebar ke arah laki-laki pedagang. Sifra mengikutinya dari belakang.

Gomer. Kecantikan yang sudah tidak muda lagi. Namun sisa-sisa kemolekan tubuhnya masih bisa terlihat meski sudah mengembang karena usia dan tiga anak yang lahir darinya. Dan laki-laki pedagang itu dengan sengaja membuka tubuh Gomer agar terlihat hampir seluruhnya untuk menggambarkan apa yang ditawarkan benar adanya. Ia terus meracau menyebutkan harga, ingin barang dagangannya laku sebelum malam tenggelam.

Mulut pedagang itu berhenti berbicara ketika melihat seorang dengan jubah sederhana berhenti satu meter di hadapannya. Ia terdiam karena sepertinya ia masih mengingat bahwa perempuan miliknya pernah menjadi istri seorang abdi Allah. Sungguh di luar perkiraannya bila abdi Allah itu kini datang menebusnya setelah perempuan ini memuaskan dirinya dengan berbagai laki-laki dari segala bangsa.

“Perempuan ini istriku, aku datang akan menebusnya. Sekantong perak ini nilainya lebih dari cukup untuk membayar biaya yang kaukeluarkan ketika istriku bersamamu. Juga dua karung jelai ini sebagai tambahan sebagai ucapan terimakasihku telah merawat istriku,” ucap abdi Allah itu sambil memandang laki-laki penjual tepat di bola matanya.

Laki-laki pedagang itu tidak berbicara sepatah kata pun, kecuali menerima kantung perak dari tangan sang abdi Allah.

Gomer menoleh seketika mendengar suara yang pernah sangat dikenalnya. Abdi Allah itu memandang Gomer. Gomer memandang suaminya dan Sifra berganti-ganti dengan bibir gemetar. Abdi Allah itu segera mengambil jubah dari tangan Sifra, mendekat ke arah Gomer, menutupi tubuh hampir telanjang itu perlahan. Ia merangkul bahu Gomer, mencium rambut-rambut di kepalanya, berbisik, “Mari kita pulang ke rumah. Kami menunggumu. Maafkan telah membiarkanmu terlalu lama di sini, Gomer.”

Gomer akan angkat bicara tapi abdi Allah itu memberi isyarat untuk diam. Sifra mengusap matanya, sementara sang pedagang berdiri bergeming, dengan sekantung perak di tangana dan dua karung berjejer di dekat kakinya.

Pasar yang tadi senyap itu mulai bersuara kembali. Hari semakin sore. Abdi Allah itu tersenyum lembut kepada Gomer, berkata pelan bahwa Sifra sudah memasak stew domba untuk menyambut kedatangannya, yang rasanya hampir menyamai kelezatan stew buatannya. Sifra mengangguk dalam-dalam, membenarkan perkataan tuannya. Gomer memandang Sifra, membiarkan air matanya jatuh, seolah berkata, terimakasih, Sifra, setelah ini akulah yang akan memasak stew domba untuk keluargaku.

Bibirnya semakin bergetar. Untuk pertama kalinya ia menyebut nama Allah suaminya, di hatinya yang remuk.

*

Buat JJ
Ita Siregar, Maret 2009

DOA hanya untuk kalangan terbatas

Doa dapat mengatasi kegelisahan, meringankan kecemasan, mengembangkan rasa tenang, mengusir rasa sepi, serta memperkuat kekerabatan.
Reader Digest’s Indonesia edisi Juli 2006

Peristiwa ini sekitar enam bulan lalu.

Pada satu Sabtu siang saya dan Otta Pandjaitan ke Immanuel Jalan Proklamasi Jakarta. Rivelino, seorang teman yang bertemu di toko buku ini, memperkenalkan saya dengan gadis mungil berambut supercepak dan berkacamata. Namanya Imelda Bukit. Melihat penampilannya siang itu, saya tak percaya mendengar bahwa dia baru saja berhasil melawan sel-sel kanker yang menggerogoti tubuhnya. Senyum ramahnya berkembang beberapa kali, menyatakan hal yang sama dengan saya.

“Seperti mimpi,” aku lulusan MIPA jurusan Statistik Universitas Padjadjaran ini.

Saya mengajaknya bertemu lain waktu karena ingin mendengar kisahnya lebih detail. Dia menyambut hangat ajakan itu. Lalu kami menentukan hari Jumat selepas jam kantor minggu berikutnya. Masih di tempat sama, kami mengobrol santai sambil menikmati teh hangat di kesejukan AC. Dengan seksama saya mendengarkan gadis 28 tahun yang sudah lima tahun bergabung di Matari Advertising sebagai Research Executive. Sore itu dia terlihat ceria dan bebas. Sangat menarik.

Sakit perut yang tak kunjung reda
Bermula di awal September 2005, Imelda merasa perutnya sakit, mual setiap makan, dan susah buang air besar. Dokter umum mendiagnosis gejala tersebut maag, meresepkan obat maag tapi selama seminggu sakit di perutnya tidak berkurang. Kembali ke dokter yang sama dan kembali mendapat obat yang sama pula, dengan tambahan anjuran untuk bersabar. Pernah sekitar pukul 2-3 dini hari, dia muntah-muntah, dan membalur perutnya banyak-banyak dengan minyak kayu putih, berharap itu hanya masuk angin biasa.
Seorang teman yang mengamati perubahan pola makan Imelda di kantor, menganjurkan untuk segera ke internis untuk pemeriksaan lebih lanjut. Imelda memang semakin kurus sementara perut kian membuncit seperti terkena busung lapar.
Belum sempat memeriksakan diri ke internis, tanggal 24 September, Imelda bersama dua saudaranya, Kak Irma dan Bang Indra, harus terbang ke Locimba, Kabanjahe, Sumatera Utara. Keluarga besar mereka akan mengadakan perhelatan istimewa, pernikahan Kak Irma pada 30 September 2005.

Di pesawat Imelda lemas karena sudah sekian lama dia tidak bisa makan. Ibunda yang menjemput di bandara sempat mengkhawatirkan keadaan putrinya namun tetap menggangap itu sakit biasa. Sampai di rumah tubuh Imelda semakin lemah dengan perkembangan rasa sakit yang tak terkatakan. Dia hanya sanggup berbaring dengan meringkuk di kasur karena bila meluruskan badan rasa sakit itu akan menghebat.

Tanggal 26 September malam, saat berusaha menyuapi adiknya, Kak Irma meraba perut Imelda dan merasa sesuatu yang keras di sebelah kanan perut. Ia menelepon Paman mereka di Kabanjahe dan meminta agar Imelda segera dibawa ke klinik internis. Di sana tensi darahnya diukur. Cukup tinggi memang. Lalu dilakukan USG. Dokter internis sempat menggoda, semoga Imelda tidak sedang hamil. Tampilan di USG memperlihatkan adanya benjolan di abdomen atau perut Imelda sebesar kepalan petinju pria dewasa dengan diameter 9cm. Dokter internis menganjurkan untuk segera ke dokter bedah untuk diperiksa lebih lanjut. Sayangnya hari itu dokter bedah tidak praktek.

Merasa khawatir dengan kondisi keponakannya, Paman sangat menyarankan keluarga agar membawa Imelda kembali ke Jakarta. Kondisi Imelda sudah sangat lemah, tidak bisa berpikir, sementara rasa sakit di perutnya tidak pernah menghilang barang sedetikpun.

Meskipun pernikahan akan berlangsung dalam beberapa hari ke depan, keluarga berunding dan memutuskan Bang Indra yang akan menemani Imelda ke Jakarta. Sebelumnya Kak Irma sudah menelepon dr Togar, ahli tumor (Onkolog) RS Cikini, memberitahu soal kondisi adiknya. Tanggal 27 September 2005 Indra bersama Imelda terbang ke Jakarta dan langsung dibawa ke RS Cikini dan pada hari yang sama pula dilakukan pemeriksaan dan opname.

Kanker getah bening
Sejak berada di rumah sakit Imelda mendapat tindakan intens, diantaranya pemeriksaan darah, check-up seluruh tubuh, foto sinar-X, citiscan. Ahli kandungan memeriksa kalau-kalau masalahnya ada pada rahim. Yang mengkhawatirkan adalah hanya dalam waktu dua hari -27 sampai 29 September-, benjolan sekepalan tangan sudah menjadi 12cm, lalu 24cm. Tubuh Imelda waktu itu serupa wanita hamil yang menderita kekurangan gizi.

Tanggal 30 September 2005 adalah hari pemberkatan pernikahan Kak Irma di Kabanjahe, dan pada hari yang sama pula tim dokter melakukan biopsi beberapa jaringan di perut Imelda. Karena sakit yang hebat Imelda tidak menyadari apa yang tengah terjadi, hanya saat siuman ia sudah berada di ruang ICU. Makanan dan obat disuplai lewat infus. Selama tiga hari di ICU, Imelda dua kali memuntahkan cairan kental berwarna hitam yang bila dijumlahkan sebanyak setengah liter.

Tim dokter menyimpulkan bahwa Imelda menderita kanker lymphoma non-Hodgkin burkitt stadium 3b. Andai saja terlambat sedikit, akan menyebabkan akibat yang fatal sifatnya. Sel-sel kanker tumbuh dengan cepat. Tim dokter menyarankan kepada keluarga agar Imelda melakukan kemoterapi untuk menghentikan pertumbuhan sel kankernya. Sempat ada ketidaksepakatan di antara tim dokter karena hematolog (ahli darah) menyarankan kemoterapi dilakukan 14 hari setelah otopsi atau setelah luka mengering. Hal ini untuk menghindari kekhawatiran timbulnya pendarahan saat dilakukan kemoterapi dan pasien sulit menerima transfusi darah pada saat seperti itu.

Tapi ketua tim dokter, dr Karmel, dokter senior usia lanjut tetap membesarkan hati keluarga dan percaya bahwa kemoterapi ini perlu dilakukan secepatnya agar pasien benar-benar sembuh. Keluarga setuju kalau itu adalah yang terbaik untuk Imelda.

Pada dasarnya kemoterapi yang dijalani setiap pasien kanker berbeda-beda sesuai kondisi masing-masing. Imelda sendiri menjalani kemoterapi proticol codox dengan 6 seri terapi. Masing-masing seri memakan waktu 15 hari dengan biaya berkisar Rp10-13 juta rupiah di setiap serinya.

Imelda menjalani hari-hari terapi yang panjang, membosankan, sekaligus melelahkan. Satu kotak ukuran boks kotak mi instan dipenuhi berbagai jenis obat untuk setiap seri kemoterapinya. Selama menjalani terapi tubuh Imelda panas sementara suhu tubuh tetap normal. Itu bukan karena demam tapi karena pengaruh obat yang kuat. Keluarga, kerabat, teman, atau siapa pun yang sedang menjenguk, sibuk mengipasi Imelda yang terus menerus kepanasan meskipun berada di ruang sejuk ber-AC.

Di seri pertama rambut Imelda mulai rontok. Buku, lagu-lagu yang menghibur, kehadiran orang-orang yang mengasihi dan percaya akan kesembuhan, membuat Imelda sanggup bertahan, bahkan di seri-seri terakhir kemoterapi yang telah membuat kulit kepalanya bersih dari rambut alias botak. Dukungan dan semangat dari orang di sekeliling Imelda, termasuk para perawat yang bergantian merawatnya, telah menjadi hiburan tersendiri bagi Imelda.

Intensif Imelda menjalani terapi selama 6 bulan. Masa yang lebih dari cukup untuk membuatnya untuk menghargai hidup. Masa yang tidak sepi dari rasa curiga yang kerap muncul saat rasa sakit tak terkira menggerogoti sel-sel ketenangan hidupnya, yang tidak menghilang sebelum tidur. Sering Imelda merasa inilah akhir hidupnya. Namun setiap kali bangun, bernapas, bertemu hari baru, dia bersyukur lagi. Itulah hal terbaik yang bisa dilakukannya selama sakit.

Kini Imelda paham betul arti sabar, menyerahkan diri kepada sang pemilik hidup, menangis dalam sukacita, tertawa dalam kesakitan, berharap dalam keputusasaan, menerima seluruh kebaikan dari orang-orang di sekelilingnya. Ia mengalami Tuhan yang telah menyegarkan aliran darahnya dan menyembuhkan sel-sel sarafnya dari kanker yang mematikan.
“Setiap hari saya berkeinginan kuat untuk memberi yang terbaik di hari itu sebab saya telah mengalami masa bahwa mungkin saya tidak akan punya kesempatan esok. Hidup saya bernilai,” ujarnya sungguh-sungguh.

Efek doa menurut ilmu pengetahuan
Mengukur dan menganalisa efek doa terhadap kesehatan telah menjadi cabang ilmu pengetahuan –sebagian orang mengatakan ilmu pengetahuan lancung – yang terus berkembang. Statistik Kesehatan di Amerika telah melakukan penelitian dan melaporkan bahwa lebih dari setengah yang disurvei pernah dalam satu waktu berdoa untuk kesehatan mereka. Para kardiolog mengaku bahwa 97 persen pasien mereka berdoa sebelum melakukan bedah jantung.

Dari 5600 responden, 41 persen berkata doa dijawab dengan kesembuhan fisik. Dalam kondisi doa tidak menjawab kesehatan fisik, 74 persen responden berkata bahwa alasan terpenting adalah hal itu karena tidak sesuai dengan rencana Tuhan. Lebih dari sepertiga responden setuju bahwa yang paling penting dalam doa adalah merasakan keintiman dengan Tuhan. Sebanyak 28 persen responden untuk mencari petunjuk Tuhan, sedangkan 67 persen menghabiskan waktu doa selama 6 bulan untuk hanya bersyukur.

Sebelumnya dunia sains telah membuktikan efek kehidupan spiritualitas yang dapat mengurangi stres dan efektif dalam meningkatkan sistem kekebalan tubuh seseorang. Collen McClain-Jacobson, peneliti di Universitas Fordham Universitas New York City, telah meneliti untuk waktu yang cukup lama, untuk membuktikan bahwa orang yang memiliki kehidupan spiritualitas yang baik, hidupnya lebih lama daripada yang tidak. Pada tahun 2001, penelitian yang dilakukan terhadap wanita dengan kanker payudara membuktikan bahwa mereka yang berdoa memiliki lebih banyak sirkulasi sel-sel darah putih dan jumlah pada limfosit daripada yang tidak berdoa. Tahun 2002 dilakukan studi pada pasien AIDS dan menemukan bahwa pasien yang berdoa memiliki tekanan hormon kortikol yang paling rendah dan umur mereka lebih panjang.

Dalam kasus Imelda, tidak perlu dipertanyakan banyaknya orang yang berdoa untuknya. Keluarga, tim dokter, perawat, kerabat, saudara, teman, teman ibunya, teman saudaranya, kelompok doa. Berbagai gaya dalam berdoa tak menjadi soal dalam menyalurkan semangat kesembuhan melalui tangan para dokter, obat-obat yang dimakan, membuat keputusan-keputusan tepat oleh keluarga, dan memelihara hati rapuh pasien untuk terus dikuatkan. Tidak ada yang akan menyangkal soal ini. Sepenggal doa tidak boleh disangsikan keberadaan dan kedahsyatan hasilnya.

Ita Siregar, Agustus 2006
Dari berbagai sumber

Memaknai Hidup dengan Menulis

Every time someone tells a story, and tells it well, the gospel is served.
Eugene Peterson, penulis The Message

SAYA SEDANG berpikir-pikir. Alkitab adalah keajaiban kata-kata. Di sini, berbagai pengalaman manusia biasa menjadi luar biasa karena Allah yang cerlang cemerlang terlibat di dalamnya. Alkitab berisi kata-kata biasa. Tapi bila dibaca, direnungkan, dilakukan, dipercayai, dinikmati, akan membuat pembacanya percaya diri menjalankan hidup, tahu diri, bisa berpikir jernih, tahu mana yang baik dan jahat, tidak berputar-putar menentukan pilihan-pilihan dalam hidup, membuat tulang-belulang sehat, penuh semangat, ceria, harmonis dengan alam, memahami pikiran dan karakter Penciptanya. Dan ketika hidup manusia itu berakhir di dunia ini, dia pasti akan bertemu dengan Tuhan di surga. Hebat sekali, kan?

Saya masih berpikir-pikir. Kenapa perbandingan orang yang gemar baca Alkitab dan yang tidak suka cukup besar? Bagaikan langit dan bumi. Saya melihat contoh rielnya. Keluarga besar saya sangat menghargai Alkitab. Buku yang cukup tebal itu ditempatkan di rak buku terbaik, aman di sana beberapa hari, sampai akhirnya di awal minggu, dikebut supaya debunya hilang, dibawa serta ke gereja. Di sana Alkitab dibaca dengan penuh rasa hormat.

Abang saya sangat percaya bahwa Alkitab itu bahasa malaikat. Cukup dibaca sekali-kali saja. Itu sebabnya dia sangat serius ketika mendapat kesempatan untuk membacanya. Dia paham hanya malaikat yang mengerti bahasa malaikat. Atau keponakan saya. Dia berpikir Alkitab cocok dibaca saat dia dewasa. Setiap kali mengajak dia bersaat teduh, kami akan berakhir dengan keributan kecil. Pasalnya, dia banyak bertanya hanya hal arti kata, tanda baca, dan bukan arti keseluruhan cerita untuk hidupnya. Dia tak percaya ketika saya katakan bahwa kalau kita sering baca Alkitab, karakter kita akan terus berkembang menjadi lebih baik.

Kenapa bisa salah kaprah begini? Di mana titik awalnya? Apa mungkin karena bahasa yang dipakai Alkitab bukan bahasa yang popular? Apa karena butuh banyak energi untuk mengerti isinya? Yang paling aman memang menyalahkan si buruk rupa iblis setan sedang terus menerus berusaha mengalihkan perhatian manusia ke hal-hal lain yang lebih menyenangkan. Si hitam jelek itu memang cocok menjadi kambing hitam di segala acara!

BAHASA: AKSES KE BANYAK ORANG
Eugene Peterson adalah sebuah contoh. Dia seorang pendeta yang diberkati Tuhan karena buah karya tulisannya. Di tahun 1993, penerbit Nav Press menerbitkan tulisan Peterson, The Message: the New Testament in Contemporary English, tulisan ulang Alkitab atau The Holy Bible. Tulisan itu membumi karena memakai bahasa sederhana dan mudah dimengerti siapa pun. Waktu teman saya meminjami The Message, saya tak berhenti membacanya, sampai tiba saatnya mengembalikan buku.

Eugene kecil lahir dan dibesarkan di kota kecil Kalispell, Montana. Orang tuanya memiliki usaha pemotongan daging. Setiap hari dia membantu orang tuanya. Yang membuatnya berbeda dari anak-anak lain adalah Eugene kecil senang mendengarkan percakapan orang-orang di ranch, tukang kayu, peternak, penduduk desa. Seperti percakapan berirama dan beritme.
Ketika menjadi pendeta Presbyterian kebiasaan itu berulang. Dia mendengarkan, memperhatikan, menyimak. Selebihnya, dia menulis, mengajar. Dia sangat suka berada di dekat murid-muridnya dan mendiskusikan banyak hal. Juga tentang sastra dan pelayanan. Itulah hidupnya.

Peterson sudah menulis sekitar 20 buku, menulis artikel untuk berbagai majalah saat penerbit menawarkan dia untuk menulis ulang The Holy Bible. Meskipun saat itu dia sudah dikenal masyarakat Amerika, dia tidak menerima tawaran itu seketika. Enam bulan dia dan istri berdoa dan mendiskusikan apakah mereka akan menerima tawaran itu. Dia paham betul Alkitab bukanlah sekedar tulisan berbahasa agung yang bisa ditulis ulang begitu saja dengan bahasa sehari-hari. Itu memerlukan hikmat Allah dan percaya diri yang besar bahwa apa yang dilakukan adalah benar.

Dia mulai mencoba menulis. Dari kisah yang diceritakan Matius. Tidak berhasil. Dia merasa tidak mampu melakukan tugas itu. “Siapa saya ini sampai perlu menulis ulang Alkitab?” pikirnya. Tapi dia terus menulis dan melakukan eksplorasi. Akhirnya, ketika sampai ke kisah Kotbah Yesus di bukit, sesuatu di dalam dirinya berkobar-kobar. Dia bersemangat sekali dan mampu menulis ulang dengan bahasa yang berbeda tanpa kehilangan makna dan doktrin-doktrin penting. Dia berbisik sendiri, “Saya bisa melakukannya.”

Pertama kali terbit, The Message terjual sebanyak 6 juta eksemplar. Jumlah yang fantastis. Bandingkan dengan buku terlaris dunia edisi pertama Harry Potter, Harry Potter & the Order of the Phoenix terjual 6,8 juta eksemplar atau 80 juta kopi dari kelima bukunya. Atau novel terkenal trilogi The Lord of the Ring terjual 100 juta kopi dari 40 bahasa.

The Message dibuat dalam berbagai bentuk. Keseluruhan kitab, perjanjian baru, Mazmur, Amsal. Banyak komentar muncul dari pendeta, ahli bahasa dan umat. Masyarakat Amerika membaca dan menikmati Alkitab yang selama ini telah ditinggalkan. Meskipun Eugene mempunyai ijazah master di bidang bahasa Semit dari John Hopkins University, toh ada juga pihak-pihak yang menuduh tulisannya melecehkan kemuliaan Allah dan terlalu sederhana.

Peterson tidak terlalu memusingkan kehebohan publik tentang The Message. Dia mengabaikan 300 permintaan untuk berbicara di banyak acara di berbagai negara bagian. Dia berusaha hidup seperti biasanya. Dia menulis, mengajar dan sangat menyukai berada di tengah mahasiswanya.

Bono, penyanyi terkenal Irlandia dari kelompok musik U2, adalah salah seorang yang bersyukur diterbitkannya The Messsage. Sebagai penulis syair lagu, Bono memuji kerja keras Peterson yang menurutnya adalah gabungan seorang penyair sekaligus kecerdasan seorang sarjana. Dia sangat terkesan karena untuk pertama kalinya dia bisa menikmati Alkitab, dan merasa bahwa buku itu memang ditulis khusus untuk dirinya.

MENGUMPULKAN MAKNA
Kita mungkin tidak pernah tahu kalau banyak pemimpin Kristen adalah penulis yang amat produktif. Pemimpin tertinggi umat Katolik di dunia, Paus Paulus II, adalah penulis yang banyak karyanya. Tidak hanya soal doktrin tetapi beliau juga menulis naskah drama dan puisi. Penulis lain, JRR Tolkien, penulis The Lord of the Ring, CS Lewis menulis fiksi dan seluk beluk gereja Katolik, Charles Swindoll - penulis favorit saya - menulis tokoh-tokoh Alkitab dengan ulasan mendalam. Swindoll telah menulis 59 buku, 5 buku mini, 38 buklet dan artikel yang tak terhitung jumlahnya. Selama menjadi penulis, dia telah menerima 11 Anugerah Medali Emas untuk karyanya. Sebut lagi Larry Crabb, James Dobson, Tomy Campolo, Philip Yancey, Derek Prince. Atau pendeta Stephen Tong di tanah air kita.

Tulisan boleh dikatakan merupakan refleksi kekayaan batin dan harapan-harapan penulis tentang dirinya, orang-orang terdekatnya, komunitas, bangsa, dan kehidupan manusia pada umumnya. Dr Elva McAlaster dari Greenville University mengulas secara detail tentang menulis sebagai pelayanan. Kita sering mendengar bahwa pendeta, gembala, penginjil adalah panggilan. Dr Elva percaya bahwa seperti pengkhotbah, penulis pun merupakan panggilan. Penulis menulis ketika dia mengalami sesuatu yang sangat berarti dalam hidupnya, sedih atau gembira, dan ingin membagikan semua yang dialaminya itu dalam bentuk tulisan. Penulis memimpikan bahwa apa yang disampaikannya lewat tulisan bisa dipahami dan dinikmati oleh pembacanya.

Tidak semua penulis bisa menulis apa saja. Seorang penyair dengan mudahnya membuat satu dua baris kata puitis tentang hujan. Tapi tidak berdaya bila harus menulis fiksi ilmiah. Ada penulis yang sangat menikmati menulis dialog-dialog pada naskah drama, yang lain dalam bentuk prosa panjang dalam satu novel panjang. Dr Elva berkata, “Ikuti ke mana hatimu mengarahkan. Kesempurnaan ada di sana.” Mengikuti gaya orang menulis hanya akan kita kehilangan diri kita dan lepas dari jiwa tulisan itu.

Peterson berkata kita hidup di dunia cerita. Cerita-cerita memerlukan kesatuan dalam roh, seni, kesatuan dan imajinasi. Semuanya tidak bertentangan dengan Allah. Allah menciptakan seni dan kreativitas. Allah menciptakan kata, bahasa. Karena itulah kata adalah energi yang keluar dari kekudusan Allah sendiri. Allah melalui tangan manusia mengungkapkan kehendakNya. Alkitab adalah kumpulan cerita. Cerita tentang Yesus. KelahiranNya, hidupNya, pelayananNya, kematianNya. Alkitab tidak menceritakan doktrin yang Yesus ajarkan.

Itu sebabnya Peterson beranggapan penulis bukanlah jurnalis. Jurnalis mengantarkan fakta-fakta kepada pembacanya. Tapi seorang penulis mengumpulkan makna-makna, menyatukan cerita-cerita itu menjadi satu framework yang lebih besar. Sedangkan Allahlah yang memiliki seluruh cerita.

YOU ARE WHAT YOU WRITE
Hidup penulis adalah bahasa yang difungsikan sebagai alat penyampai pesan dengan mempertimbangkan seni, kreativitas, imajinasi, rasa, keinginan, ketekunan, kepercayaan, dan penghargaan terhadap setiap makna kata. Terus menerus makna berubah dan kata-kata memiliki kemampuan menakjubkan untuk mempengaruhi orang lain. Peterson sudah sampai pada kepercayaan bahwa kata-kata adalah suci, kudus, murni. Kata-kata akan muncul karena adanya sebuah hubungan yang mendalam dan doa. Hidup yang berdoa, bukan lagi sekedar melakukan aktivitas-aktivitas doa.

Menulis juga sebuah proses belajar yang tak pernah habis. Prosesnya diusahakan, diperhatikan. Tidak terjadi begitu saja. Sedangkan kita seringkali tergoda dengan kehidupan kompromi dengan nilai-nilai di sekitar. Saya merasa kebanyakan orang sekarang ini – semoga ini hanya perasaan sinis saya saja terhadap orang Kristen – adanya kecenderungan meningkatnya manusia beragama namun juga dibarengi dengan ketidakmampuan menyesuaikan diri antara apa yang dipercayai dan apa yang dilakukan.

Juga terjadi di komunitas Kristen. Melakukan aktivitas-aktivitas gereja, melakukan doa rutin yang menyayat hati di kelompok-kelompok doa, berdoa untuk pemimpin, komunitas, masyarakat yang lebih luas, bahkan negara dan bangsa. Tetapi ketika dihadapkan dengan konflik, diri seperti segera memutuskan diri dari Allah dan merasa ini semua terpisah dari Sang Pencipta. Tidak cakap menangkap esensi dari apa yang dibangun selama ini dengan kegiatan-kegiatan itu. Hal lucu adalah mendengar seorang Kristen berdoa dengan sungguh-sungguh, minta kepastian Tuhan karena hatinya ragu apakah perasaan ini datangnya dari Allah atau bukan, yaitu ketika dirinya jatuh cinta kepada seorang yang sudah beristri, bersuami, atau yang tidak percaya.

Hal ini bisa terjadi pada penulis saat menulis. Kendala untuk mengaitkan kehidupan beribadah dengan pendalaman makna kata. Saya kira ini tidak terjadi untuk banyak penulis. Minimal itu pengalaman saya. Dulu saya pikir menulis terpisah sama sekali dalam hal melayani. Melayani di gereja yang saya pahami waktu itu adalah berkotbah di hadapan jemaat, mengajarkan Alkitab, menyanyi, bermain musik. Tapi saya tidak bisa melihat kaitan antara pengeksplorasian kata dengan pelayanan.

Tapi perasaan itu sudah berubah seiring dengan waktu dan terbukanya Alkitab di mata saya. Saya kagum dengan tulisan-tulisan yang ada di sana, ketika menceritakan sebuah kehidupan seseorang dengan jelas dan tak ditutup-tutupi. Itu adalah cerita. Dan ini menyenangkan saya. Saya bisa menulis apa saja fakta yang saya lihat dan yang saya percayai.

Saya percaya bila penulis merasa penting untuk memberi makna dalam setiap aspek hidupnya dalam rangka membuat rangkaian cerita yang sejalan dengan plot dan karakter Pencipta, kata-kata yang mengalir tidak terbatas. Kata diciptakan oleh Allah dan semuanya bermakna. Buruk dan baik. Dangkal dan dalam. Suci dan kotor. Setiap kita berhubungan dengan apa yang kita lihat, kata-kata sudah berkaitan dengan sendirinya. Dirangkai menjadi kalimat-kalimat yang terbuka. Kita membuat koneksi, mencari plot dan karakter yang sempurna. Dengan seni, kreativitas, imajinasi, kata-kata akan lebih merefleksikan kepada kita dan lingkungan kita bagaimana cerita terbentuk.

Tidak ada seorang pun yang peduli dengan apa yang akan ditulis seorang penulis. Pembaca tidak tahu apakah penulis akan menulis sesuatu untuk dibaca, sesuatu yang baik atau ada maksud di belakang semua itu. Hanya penulis sendiri yang tahu. Penulis akan merasa aman dengan penulis lainnya. Bukan untuk membuat perbandingan tapi untuk menikmati perbedaan di antara persamaan. Tak seorang pun peduli, kita akan menjadi penulis yang baik atau tidak.

Saya akhiri dengan kata-kata dari Charles Swindoll tentang sikap. Dia berkata bahwa semakin lama dia semakin mempercayai betapa pentingnya sikap dalam menghadapi hidup. Sikap lebih penting dari sekedar fakta. Sikap lebih penting dari hal masa lalu kita, pendidikan kita; daripada uang, keadaan, kegagalan, kesuksesan, yang orang pikirkan atau katakan atau lakukan. Lebih penting daripada penampilan, talenta, keterampilan. Sikap dapat mengubah perusahaan, gereja, rumah. Kita tidak dapat mengubah masa lalu, kita tidak dapat mengubah fakta orang-orang di sekitar kita. Kita tidak dapat mengubah hal yang tak terelakkan. Yang dapat kita lakukan adalah melakukan hal yang dapat kita lakukan. Itulah sikap kita. Hidup adalah 10% apa yang terjadi dan 90% adalah bagaimana reaksi kita terhadap hal tersebut. Itulah sikap.

Akhirnya menulis adalah pilihan. Sebuah petualangan rohani seumur hidup, sebuah pencerahan makna-makna, sebuah komunitas, sebuah tanggung jawab, sebuah pelayanan. Dan sebuah kegembiraan tentu saja.

Ita Siregar, dari berbagai sumber
September 2004

Paradoks

Minggu 12 April. Di mimbar GKI Layur kebaktian jam 5 pagi, Pendeta John Panuluh bercerita pengalamannya memimpin renungan di acara hening paska di jemaah Sunter. Acara itu dimaksudkan untuk mengenang pengorbanan Yesus sebagai Anak Domba paska. Acara diakhiri dengan makan-makan ‘seadanya’ sambil bersilaturahmi. Kepada koordinator acara, Pendeta John usul, kalau merenung paska, cocoknya tidak disediakan makanan. Alasannya, acara makan yang ramai dan mengenyangkan akan mengaburkan konsentrasi jemaah yang sedang merenungkan kepahitan sebuah pengorbanan. Mungkin maksudnya, sulit membayangkan lapar ketika perut kenyang. (Saya jadi ingat catatan Paska dari seorang teman tentang acara Maundy Thursday di gereja di Coventry, Inggris, kebiasaan jemaah gereja makan hidangan salah satunya sayuran pahit, untuk mengenang pengorbanan Paska).

Tentang hal tersebut, saya jadi ingat satu bagian tentang konflik Kristen-Hindu di buku The God of Small Things yang ditulis oleh Arundhati Roy, novel yang mendapat hadiah Booker Prize tahun 2001. Novel bersetting tahun 1960-an, di Kerala, satu daerah India yang masa itu sarat pergolakan politik, bercampur beragam masalah etnis, adat, agama di masyarakatnya yang bagaikan benang kusut.

Pada tahun 1860-an Syrian Christians sudah menyebar di Kerala. Beberapa keluarga India Hindu berpindah agama menjadi Kristen, terutama kaum sudra, kasta terendah dalam tatanan Hindu, atau disebut juga Paravan, Pelayas atau Pulayas, setelah mendengar dari pendeta Kristen bahwa agama ini tidak mengenal kasta. Setiap orang sama di mata Tuhan dan tidak ditentukan berdasar status ekonomi atau politik. Tapi ternyata fakta di lapangan tidak seideal teori.

Para pelayas tidak berangkat ke mana-mana setelah menjadi Kristen. Kaum pelayas (The Untouchables) harus merangkak bila memasuki rumah kaum brahmana (The Touchables). Mereka harus berjalan mundur sambil mengelap lantai yang habis diinjak, karena begitu rendahnya kaum pelayas sehingga lantai yang diinjaknya tidak layak diinjak kaum brahmana. Roy menyebutnya: Caste Hindus dan Caste Christians. Demi menyelamatkan konflik budaya-agama, gereja di Kerala bermodel kasta. Gereja para sudra mempunyai pendeta yang juga dari sudra dan tata ibadah khusus sudra. Menarik? Memprihatinkan. Mereka tak terbebas dari hukum kasta yang mengikat seumur hidup mereka, meski bukan maksud hendak mengabaikan penebusan pengorbanan kayu salib. Tapi sungguh sulit keluar dari bayangan ini. Pelayas tetaplah pelayas. Ada tanda darah atau tidak.

Di sisi yang lain, orang Israel mengenang malam paska yang sangat nyata dengan sejarah hidup mereka. Ketika akan keluar dari Mesir, mereka diburu Firaun, menahan mereka hingga selalu gagal meninggalkan Mesir. Menjelang tulah yang ke-10, Tuhan berbicara hal sangat penting kepada bangsa Israel lewat Musa, bahwa setiap keluarga Israel harus mengorbankan domba jantan usia setahun yang tak bercela, yang setelah domba disembelih, setiap keluarga mengusapkan darah domba (kambing juga boleh) di palang pintu rumah. Jangan sampai lupa. Karena malam itu, Tuhan akan menyusur ke seluruh tanah Mesir untuk ‘membunuh’ anak sulung manusia dan hewan. Dan setiap palang pintu rumah dengan tanda darah, Tuhan akan melewatkan ‘(pembunuhan itu)’.

Malam yang mengerikan. Satu kematian di rumah-rumah keluarga Mesir, di mana-mana. Kehilangan harapan sulung. Pastinya lebih mencekam dari ketegangan 14 Mei 1998 yang terjadi di tanah air. Itu tak seberapanya. Tak mungkin menghibur yang lain. Bahkan Firaun kehilangan calon putra mahkotanya. Tak terbayang sikap orang Israel terjaga tengah malam ketika tetangga Mesir mereka menjerit dengan lengkingan menyayat hati. Sementara keluarga mereka baik-baik saja. Apakah mereka bersyukur karena tidak kehilangan satu anggota keluarga pun? Saya tidak tahu.

Firaun dan para penasehatnya tak menunggu. Mereka tahu bahwa semua kepahitan ini datangnya dari Yang Maha Berdaulat Sembahan bangsa Israel. Tuhan telah memaksa mereka menelan sayur yang luar biasa pahitnya hingga menyakitkan perut. Mereka tak mau berkompromi lagi dengan orang Israel kali ini. Dalam ketegangan, kepedihan, dan kemarahan Firaun yang menjadi tak berdaya itu menyuruh orang Israel pergi. Malam itu juga. Bangsa yang sudah mengabdi kepada bangsanya selama 430 tahun. Waktu yang sangat panjang. Hingga sekarang, orang Israel mengenang malam paska dalam satu romantisme yang sangat mendalam, tentang malam saat mereka terlewatkan dari kematian.

Membayangkan jemaah Sunter, Kristen tapi Hindu ala Roy, malam orang Israel dilewatkan kematian, saya merenung yang lain. Apakah kita pernah dikungkung belenggu yang dibebaskan secara nyata? Belenggu hutang yang menjerat dari waktu ke waktu. Belenggu penyakit yang hampir mematikan. Belenggu seks yang begitu menggoda. Belenggu korupsi yang mendarah daging. Belenggu daya tarik dunia ini dan belenggu-belenggu pribadi lainnya?

Bila ya, kita mungkin bisa rasakan saat menelan sayur pahit di malam paska. Kalau tidak, bagaimana memahami dengan benar makna belenggu dosa yang mengikat dan pengorbanan kayu salib? Kalau kita tidak pernah mencintai hingga terluka, bagaimana bisa berkata cinta tanpa pengorbanan itu sia-sia? Bila cinta itu tak terbatas, bagaimana menerangkan kepada sekelompok yang percaya bahwa cinta itu tersekat-sekat? Apakah terlalu sulit?

Sebelum meninggalkan mimbar pagi itu, Pendeta John Panuluh mengumumkan bahwa akan ada hidangan seadanya selepas ibadah subuh ini. Hanya bubur ayam yang tidak seenak bubur ayam langganan. Saya makan bubur ayam di gereja. Rasanya enak gurih karena kaldu ayamnya kental. Belum pernah saya makan bubur ayam seenak itu. Sepanjang perjalanan pulang saya memikirkan bagaimana cara memasak bubur yang enak itu, melupakan rencana menelan sayur pahit.

Ita Siregar, Minggu gembira 2009

Detail

(Menyusuri keindahan kematian Tuhanku Yesus). Jumat Agung. GKI Layur Rawamangun. Saya ibadah jam 9 pagi dengan Yola, teman serumah. Dari rumah jaraknya cuman lima menit berjalan kaki. Tak sengaja kami berdua berpakaian hitam. Alasan saya adalah bertepatan saya punya baju baru. Sampai di gereja warna yang sama mendominasi pakaian jemaah. Menarik sekali membaca warna yang menyimbol duka dalam sebuah ibadah. Tapi seperti saya, wajah-wajah tidak menampilkan sedang berduka. Biasa saja, datar. Saya tergoda untuk menulis ini, memikirkan masalah pribadi saja sudah ribet, boro-boro merenung ulang sejarah duka yang pernah ada di hari Jumat.

Sebuah salib yang langsing, entah terbuat dari apa, tapi dari jarak 5 meter, tampak seperti terbuat dari kayu bulat yang permukaannya kasar, berwarna cokelat kayu, tergantung di atas mimbar. Tidak langsung menarik perhatian, tapi menggetarkan kalau lama-lama dipandang.
Lagu-lagu terpilih yang dinyanyikan sangat tidak menggugah. Sengkoknya banyak bernada setengah, lagu yang tidak pernah saya kenal. Untungnya piano berdenting asyik, instrumen yang saya suka. Yang lain, kelebihan lagu-lagu NKB adalah, syairnya berbentuk puisi sederhana yang bermakna dalam dan sering menukik karena berupa pertanyaan pribadi dan jawabnya diam-diam saja di dalam hati, hingga tersipu sendiri menyanyi-ucapkan syair. Di akhir ibadah, muncullah lagu abadi yang amat saya kenal, SalibNya, tapi dengan syair berbeda. Saya jadi ingat ibu saya almarhum yang setiap kali terharu menyanyikan lagu itu.

Pagi yang akrab. Tuhan menjawab pertanyaan-pertanyaan pribadi saya lewat kotbah Pendeta Samuel Lie. Menurut Pendeta Lie, seorang (tokoh) besar, baru (benar-benar) besar kalau setelah mati namanya terus didengung-dengungkan di dunia orang hidup. Berbagai kisah selama tokoh itu hidup, menarik perhatian secara global, dan barang-barangnya bisa dijual (dilelang) dengan harga fantastis. Pendeta Lie mencontohkan Lady Diana dari Inggris. Saat kematiannya karangan bunga dan ucapan duka dari dunia, dikumpulkan dan seluruhnya selapangan bola. Surat-surat pribadi yang ditulis tangan kepada sahabat-sahabatnya, laku jutaan dolar di balai lelang Christy. Kalau itu saya, diobralpun mungkin barang-barang saya tidak menarik perhatian orang. (Hehe, belum tentu juga, Pendeta. Minimal jemaat Layur takkan tega takkan membeli barang lelanganmu kelak.)

Lalu tiba pada kematian manusia Yesus, Pendeta Lie mengutip beberapa pendapat para ahli tentang model kematian tak lazim itu: digantung di kayu salib. Kematian yang memalukan. Karena gaya mati yang tidak indah itu, beberapa ahli menganggap misi Komunitas Atas untuk menebus warga dunia dari dosa tidak berhasil. Wong tokoh utamanya saja tergantung tak terhormat di atas kayu, kesakitan dan berdarah karena duri-duri yang melingkar di kepalanya menusuk-nusuk saraf kulit, belum lagi paku panjang yang tertanam di dua pergelangan tangan dan telapak kakinya, bau amis darah telah lama menguap karena kering kepanasan digantung selama kurang-lebih tiga jam.

Kenapa jadi begini ya? Jauh dari sensasional. Tidak ada panitia protokuler yang mengatur jalannya prosesi kematian, apalagi penguburan dengan segala kehormatan.

Setelah mengucapkan 7 kata (kalimat), kata Pendeta Lie, Si Sulung itu menyerahkan nyawanya. Habis dipatahkan tidak berdaya. Tapi setelah itu, bumi gelap gulita. Matahari berhenti bersinar. Dari tengah hari hingga berlangsung tiga jam. Saksi mata dari Tabernakel, tempat yang lumayan jauh dari bukit Tengkorak, melaporkan bahwa gorden sepanjang 24 meter robek dari atas ke bawah, tidak jelas siapa pelakunya. Apa yang bisa dilakukan manusia dalam kegelapan total? Seorang Centurion (kepala dari 100 prajurit) dari kerajaan Romawi bergumam sendiri, yang berada di lokasi saat itu, bergumam mengaku, orang ini tidak bersalah.

Kenapa Markus, Lukas, Yohanes, tidak detail mencatat tiga jam kegelapan yang terjadi waktu itu, tanya Pendeta Lie. Kenapa penyiksaan tubuh yang mengandung banyak kekerasan itu begitu sederhana ditulis? (Waktu berjalan melewati deretan perempuan yang menangis karena terharu melihat pemandangan Yesus, Yesus malah berkata, jangan menangis melihat saya seperti ini, ibu-ibu, tangisilah dirimu dan anak-anakmu.) Apa yang ingin Yesus katakan tentang empati sedih manusia terhadap kematiannya yang tragis? Apakah Ia mengetahui sensasi-sensasi salah dari adat manusia yang melebih-lebihkan emosi daripada tegar berfokus pada esensi rencana kekekalan yang sedang berlangsung saat itu?

Di film Passion of the Christ, Mel Gibson menggambarkan peristiwa via dolorosa ini menjadi visual yang sungguh mendebarkan. Maria, ibu Yesus, mengikuti detik-demi-detik penyiksaan anak sulungnya itu dengan wajah pucat tak berdaya, tanpa bicara sepatah kata, mengusapkan darah segar putranya yang tertumpah di lantai jalanan, sendirian, mengotori wajah dan pakaiannya, memandang dengan jantung terkoyak, anak yang lahir dari rahimnya 33 tahun lalu, tergantung. Gaya mati yang tak pernah mampir di kepalanya. Anakku tercinta.

Seperti halnya Mel Gibson memvisualisasikan dengan berani kematian Yesus, saya senantiasa tertarik detail. Usaha menjelaskan. Sebuah fasilitas yang dianggap dapat memudahkan pembaca untuk menggambarkan suatu peristiwa di benaknya. Keterampilan menghidupkan suasana.
Kembali lagi ke pertanyaan Pendeta Lie, kenapa para penulis Injil tidak menulis beberapa kata sifat lagi agar membuat laporan lebih detail? Bila kita hanya punya waktu lima belas menit untuk membaca ulang peristiwa Jumat, mungkin apa yang dibaca tidak banyak bicara. Kita perlu duduk lebih rileks, merenung dengan sikap menanti, meramu rentetan peristiwa di kepala, sesuai dengan kemampuan berimajinasi. Hasilnya bagaimana? Akan banyak pengamatan yang berbeda tentu saja.

Penjelasan Pendeta Lie simpel. Bahwa penulis injil menulis peristiwa Jumat itu begitu sederhana karena mungkin mereka ingin lebih menekankan pada makna kristologisnya. (Saya teruskan, bukan menulis untuk membangun emosi pembaca.) Bila demikian, ini adalah kematian bersahaja yang begitu percaya diri. Gaya mati yang tak perlu penjelasan detail. Cinta kepadaNya akan memberi cerita baru setiap kali membaca kisah ‘Once Upon a (Good) Friday. Detail tanpa ketulusan cinta, takkan berhasil.

Selamat Paska.

Ita Siregar, Paska 2009

Teh Manis Hari Kamis

KAMI bertemu setiap Kamis. Sore. Di luar dan di dalam Kapel mungil milik PGI Cikini, yang beratap tinggi dan kokoh, bangunan sederhana warisan Belanda yang bersejarah. Bagi kami.
Nama Aty Patras menjadi jaminan kami bisa memakai tempat ini. Kami akan duduk saling menunggu di depan Kapel, sebuah ruangan yang berfungsi seperti Kapel: untuk ibadah, dengan bangku-bangku kayu panjang. Hanya, ini tempat terbuka, berisiko tertiup angin sepoi atau tiris air hujan kalau sedang hujan. Kegiatan makan-minum dilakukan di sini, sebelum kami diskusi di dalam Kapel.

Kami datang untuk PA atau PD. Belakangan atau sebenarnya sudah lama, kami bertemu karena ingin berbagi cerita (dan makanan). Cerita apa saja. Cerita kantor. Cerita orangtua yang sedang sakit. Cerita jawaban doa. Cerita Pemilu (pilih siapa April nanti?) Cerita gosip pejabat atau pemerintah di koran (dengan gaya seorang ahli). Cerita hujan dan banjir (lagi musim). Cerita pengalaman macet. Cerita fragmen-kloning-sekuencing (ini persoalan Ika yang sedang S2). Tentang the fall of Leiman’s Brothers (ini serius Eureka alias Eka). Tentang alergi dan obat (Kak Linda), lalu KPK. Tentang program Nav. Cerita pengalaman seru membaca Al-Kitab. Tentang bermacam model laki-laki (sedikit ahli soal ini ..hmh). Tentang cerita lucu milik sendiri atau orang lain. Cerita Tuhan Yesus. Bumbu sio mai. Tentang Malaikat. Tentang Bapa di Surga. Tentang kekekalan. Tentang musik klasik Pak Stephen Tong (Kak Marsel update). Yang terakhir Kamis kemarin, tentang dimana beli pisang goreng yang enak.

Kami bercerita sambil PA. Sambil PD kami bercerita. Bercerita PA atau PD. PA atau PD bercerita. Sesekali doa berantai nasional. Tidak pernah kurang bahan PA dan PD. Tidak pernah habis cerita tentang PD dan PA. Banyak cerita mengalir pada waktu PA dan PD. Kadang direncanakan seringkali spontan. Tak pernah cukup waktu. Waktu PD, sambil bercerita dan kalau masih ada sisa waktu, kami akan mengumpulkan pokok doa dan berdoa. Waktu PA, sambil bercerita dan kalau masih ada sisa waktu lebih sedikit, kami akan membahas bahan PA. Yang jelas kami ada di sana setiap Kamis. No matter what! Di tempat itu. Bisa berdua, bertiga, berempat, berdelapan. Kami bertemu. Randevu. Di sanalah sudah pasti. Kamis sore.

Teknis rutinnya, Rabu malam atau Kamis pagi, saya akan mengirim teks SMS ke teman-teman, mengingatkan randevu nanti sore di Cikini, dan menyebutkan si anu giliran jadi pemimpin diskusi, yang artinya juga penyedia konsumsi (entah kapan ide ini bermulai). Yang satu merespons bisa datang, yang lain tidak bisa karena ada urusan atau kadang-kadang tak menjawab yang bisa saja tiba-tiba muncul atau sama sekali tidak datang.

Kami favorit makan bihun goreng (haram) restoran CS (Cipta Selera). Resto Cina, empat rumah di belakang Bakmi Top 99, seberang jalan rumah sakit. Bisa delivery, telepon-antar. Tapi lama. Kami seringnya beli-bungkus atau makan di tempat, lalu sms ke teman-teman yang belum datang, “Langsung ke CS, ya.” Satu kali Meylan, mantan pendatang Kamis sore sebelum menikah, berkunjung. Kangen, katanya. Karena lapar dia mengajak kami makan di CS. Sabar, suaminya, bergabung. Karena makan bersama butuh waktu lebih lama, kami menghabiskan waktu Kamis sore kami di sana. Tolong tanpa udang ya, Mas Koki. Kak Linda alergi segala macam ikan akhir-akhir ini. Kalau sedang ingin makan ikan, dia sudah siapkan antihistaminnya (lupa namanya), agar alergi tidak terlalu berlebihan akibatnya.

Tapi sudah lama saya temukan bihun goreng enak tandingan, yang tidak haram, kaki lima di pinggir jalan pintu masuk rumah sakit. (Yang ini Kak Linda sudah pasti bisa nikmati karena zonder i-ikanan. Hanya telur.) Tukang jualannya dua anak muda. Si mas pembuat bihun-mi-nasi goreng itu sangat demonstratif waktu menggoreng. Ia cekatan mengontrol gagang kayu pemegang kuali, mengayun nasi atau mi atau bihun di atas kuali lalu kembali ke penggorengan dengan kecepatan energi yang terukur dan pas. Kalau tidak terkontrol, saya yakin isi kuali akan terbuang ke luar kuali atau berhamburan tak beraturan di kuali. Uniknya, selama melakukan itu, kaki kanannya ikut bergerak cepat, naik-turun setinggi lutut, seolah mengatur keseimbangan antara kerja kaki dan tangan. Mereka tinggal di Tanah Tinggi. Bila jualan habis yang mungkin sampai pukul 11 malam, keuntungan 150ribu sehari.

“Wah, lumayan dong, Mas.”

“Iya, Mbak. Cuma kerja gini capek. Belum belanjanya ke pasar.”

“Mana ada kerja yang nggak capek, Mas. Saya juga kerja capek.” Hehe, si mas demonstratif tak ada alasan lagi berbantah. Terimalah hidup yang capek tapi melakukan sesuatu yang bermanfaat demi kemaslahatan bersama, mas. (Kalau butuh hiburan segar di Kamis sore, saya akan beli bihun goreng, menonton si mas bihun berdemo masak).

Kak Krisna suka sekali teh manis. Hujan-hujan minum teh manis asyik deh, katanya. Dia menularkan kegemarannya itu dengan menyediakan teh manis di randevu Kamis kami kalau sedang giliran memimpin. Dia benar-benar mau dirinya direpotkan. Dia akan membeli teh manis panas di rumah makan sederhana persis di depan rumah sakit. Teh manis itu dimasukkan ke dalam plastik, diberi sedotan, lalu lehernya diikat karet. Dijamin tidak tumpah.

Sudah beberapa kali ini Kak Krisna menawarkan diri menyediakan teh manis, siapapun memimpin diskusi. Kali ini dia yang meracik. Dia sengaja pulang ke rumah sehabis jam kantor, membawa termos air panas, si kembar putih-biru yang penampilannya segar. Katanya kakaknya baru membeli si kembar. Lalu nampan berisi gelas-gelas plastik, beberapa teh celup Goalpara yang dimasukkan di plastik, gula di wadah Tupperware kecil, sendok-sendok plastik untuk mengaduk. Seperti piknik. Karena persediaan air panas cukup banyak, kami bisa berulang kali bikin teh, dengan atau tanpa gula.

Kamis terakhir kemarin, surprise! surprise! Dari mobilnya Kak Kris menatang nampan plastik berisi cangkir-cangkir gelas vintage ,bermotif-warna cokelat, lengkap dengan pisinnya, teh celup Goalpara, gula. Lalu ia kembali ke mobilnya untuk mengambil si kembar termos putih-biru.

“Ya ampun, Kak Kris, ini mah piknik!” teriak Eka.

“Waw.. kita seperti orang Inggris!” seru saya kagum. Maksudnya, orang Inggris katanya bertradisi minum teh dengan proper. Kegiatan menikmati suasana ngobrol dan minum teh.
Kak Kris tersenyum khas, yang ber-he-he-he dengan suara rendah-pelan. Saya baru sadar Kak Kris memakai baju terusan cantik berwarna biru-ungu. Kalau kata orang Batak, baju untuk ke gereja.

“Iya, aku pakai baju ini di rumah, sekalian dicuci nanti,” jawabnya.
Kami makan sio mai yang Eka beli di dekat kantor lamanya, di belakang Bidakara. Asli enak. Bumbunya pas. Sambalnya tak terlalu pedas, ditambah kecap manis kental, lalu dikucuri jeruk limo kecut-segar.

Jadi, kapan kita piknik beneran nih? Kak Kris bilang dia baru saja ke museum Ibu Tien di Taman Mini. Saya jadi ingat Anse yang akan mati-kutu kalau diajak ke museum. Gimana kalau tur wisata ke kota tua Jakarta? Iya ya, kita ini di Jakarta tak pernah tahu Jakarta. Gimana caranya? sambar Kak Aty. Hahaha. Kamis sore yang sempurna.

Sore itu kami meneruskan diskusi dari workbook Menjadi Garam dan Terang. Halaman 67. Hanya nomor tiga. Saja. Perumpamaan seorang penabur.

Penabur menabur benih. Benih jatuh di tanah-hati yang kurang banyak, jatuh di hati-berbatu, jatuh di hati-berbelukar. Dengan keadaan itu, benih bisa tumbuh, tapi sebentar, karena terlilit masalah kurang tanah, berbatu, berbelukar. Bisa sih tumbuh, tapi merana, lama-lama kering, mati. Tapi kenapa Yesus mesti ngomong dengan cara perumpamaan, tidak langsung ke pokok permasalahan? Karena ia seorang seniman agung yang sensitif dan berbakat (itu menurut saya). Ia mengajak pendengarnya memahami posisi benih yang adalah firman Tuhan, kondisi tanah sama dengan keadaan hati, tumbuh adalah proses yang mesti diwaspadai dari ilalang, dan lebatnya buah adalah hasil kita memelihara hati-tanah tetap sehat dan steril.

Doa memampukan seseorang dapat merasakan ilalang yang ‘diam-diam’ tumbuh di samping benih yang ditabur. Seberapa tahu kita tentang ilalang yang mungkin tumbuh di hati teman, keluarga, bahkan diri kita sendiri? Ilalang adalah penghalang seseorang bisa ‘mendengar’ dan ‘melihat’. Pengetahuan tentang ilalang akan menjadi kata kunci berdoa strategis. Seperti berperang dengan baik. Hemat senjata, hemat waktu. Bagaimana kita tahu ilalang yang tumbuh di hati kita atau di hati orang-orang sekitar kita, kecuali kita gaul dengan Sang Pemilik Hati Orang?

Ya, begitulah cerita Kamis sore kami kami. Sesungguhnya banyak cerita kami tertinggal di dalam dan luar Kapel. Dan kami senang cerita-cerita itu tersimpan di sana. Tenang selama enam hari dan di hari ketujuh cerita akan bertambah satu babak. Panjang atau pendek, tergantung semangat kami bercerita. Kesedihan dan kebosanan. Kegagalan dan mimpi. Keputusasaan. Kelegaan. Tawa dan luka. Cinta dan keadilan. Kesepian dan bahagia. Ada di sana. Di dalam dan luar Kapel Cikini. Di dinding-dindingnya. Di sudut-sudut ruangannya. Di bawah bangku-bangku panjang yang terbuat dari kayu jati kualitas zaman dulu yang sepertinya takkan pernah rusak sampai kiamat saking kuatnya. Di mimbar. Di kaca-kaca. Di jendela-jendela patri.
Bahkan cerita-cerita itu sudah memadati udara yang tak nampak namun bisa dihirup dengan pasti. Janji-janji Tuhan yang kami percayai melayang-layang bagaikan ratusan bahkan ribuan balon ulangtahun warna-warni yang memantul lembut di langit-langit Kapel. Ramai sekaligus diam. Saat mengamati satu balon, kami akan ingat satu peristiwa di satu Kamis sore. Kalau tidak pernah mencengar cerita itu, cukup bergumam, “Oh, aku tak datang pas hari itu.”

Begitulah sepenggal cerita dari Kapel Cikini. Setiap Kamis sore.

Awal Maret 2009