Jumat, 18 Desember 2009

Christ The Lord Out of Egypt

Membaca Buku
Christ The Lord Out of Egypt
Sebuah Novel
Oleh Anne Rice
Ballantine Books New York
Cetakan tahun 2005
317 hal + 20 hal komentar pengarang

Dari Mesir Kupanggil Anak-Ku. –Matius 2:15

Kehidupan selebritas selalu menarik untuk dikonsumsi. Cerita Yesus misalnya, tokoh yang seluruh hidupnya kontroversial, banyak ditulis kalangan pro-kontra. Yang pro dengan bukti-buktinya, yang kontra berspekulasi soal hal-hal ajaib yang dilakukan Yesus dan peristiwa kebangkitannya sebagai mitos, mirip cerita dewa-dewi agama-agama kuno pada masyarakat purba.

Di buku suci pengikut Kristus sendiri tidak banyak mencatat kehidupan Yesus, kecuali kelahiran dan sedikit petunjuk di masa kecil dan lebih pada pengalaman sehari-hari Yesus yang intens dengan keduabelas muridnya. Anne Rice, penulis buku ini yang lahir dan dibesarkan secara Katolik Roma, adalah salah satu ilmuwan yang setuju dengan gagasan Yesus sebagai kebenaran, berdasarkan riset panjang yang dilakukan secara pribadi.

Seperti novel fenomenal The Da Vinci Code karangan Dan Brown, detail peristiwa, sejarah, pakaian, makanan, tanaman, yang diperlihatkan dalam novel ini, berdasarkan data akurat. Sedangkan karakter dan alur cerita dibuat imajinatif. Dari referensi yang sangat kaya itulah buku ini menjadi begitu informatif menyoal tradisi keluarga Yahudi, romantisme orang Yahudi kepada Allah (mereka), situasi sosial dan ekonomi masyarakat pada masa itu, kondisi cuaca, profesi tukang kayu, bentuk rumah, keadaan geografis dan tanah, yang memungkinkan semua peristiwa ini terjadi. Itulah ukuran Rice ketika membawa pembacanya berpetualang secara riel ke masa Yesus kecil.

Dari Mesir ke Nazareth
Novel ini berusaha mengungkap apa yang sekiranya terjadi saat Yesus di usia tujuh tahun, dengan mengambil setting perjalanan keluarga besar pulang kampung ke Nazareth, kota kecil di wilayah Yudea, Israel. Ini adalah kali pertama mereka merayakan Paskah di rumah Allah (mereka) di Yerusalem, setelah tujuh tahun tinggal di Mesir. Kerinduan mudik terlaksana setelah berita matinya Raja Herodes, yang memerintahkan membunuh anak usia di bawah dua tahun ketika Yesus lahir dan yang membuat orang tua Yesus (Yusuf dan Maria) melarikan diri ke Mesir.

Nah, dalam perjalanan pulang kampung itulah berbagai peristiwa terurai. Mereka menemui hal-hal sulit. Waktu itu Yerusalem adalah kota panas, pusat konflik politik antara penguasa Romawi dan berbagai lapisan masyarakat Yahudi. Bahkan tepat di hari Paskah terjadi demonstrasi besar-besaran di sekitar bait Allah Yerusalem. Banyak orang sipil terbunuh dalam huru-hara itu. Kota-kota kecil sengaja dibakar. Kekacauan di mana-mana. Penduduk lari kocar-kacir menyelamatkan diri. Kelompok-kelompok bandit menjarahi kampung-kampung. Termasuk di Nazareth, kampung halaman mereka.

Mereka lelah. Yusuf, sebagai kepala keluarga dari 15 anggota keluarga itu, mengambil tanggung jawab yang besar untuk berkorban bagi keluarga. Dia menjadi juru bicara keluarga dan setiap anggota keluarga hormat kepadanya. Ketika tentara Romawi meminta paksa salah satu dari mereka ikut ke kota, laki-laki dewasa di keluarga itu saling mengajukan diri bercerai dari keluarga dan rela menjadi martir.

Masalah internal keluarga berkembang, cara Rice untuk memfokuskan cerita bahwa keluarga ini masih belum memahami kehadiran Yesus di tengah-tengah mereka. Keluarga ini adalah saksi hidup bagaimana Maria hamil, cara Yesus lahir dan peristiwa sebelum dan sesudahnya. Mereka bernostalgia, saling mengingatkan malaikat yang datang kepada Maria yang waktu itu berusia tiga belas tahun, rombongan orang bijak dari Timur, petunjuk bintang, mimpi Yusuf, dan berakhir dengan pelarian mereka ke Mesir malam itu. Dan potongan-potongan cerita itu berhenti kalau Yesus ada di sekitar mereka dan ikut mendengar.

Yesus ingin tahu apa dan siapa dirinya. Ia terus bertanya tapi tak satu pun memberi kepastian. Jawaban itu kemudian muncul dalam satu rekonsiliasi keluarga, antara James dan Yesus, ketika abang tirinya itu mengaku kepada Yesus, bagaimana ia sudah membenci sejak Yesus lahir. Alasannya sederhana dan sangat anak-anak. James iri melihat seluruh perhatian tiba-tiba terpusat kepada adiknya dan sejak kelahiran itu hidup mereka tak berhenti bertanya. (Menurut buku ini, James adalah abang Yesus, selisih enam tahun, anak dari istri pertama Yusuf yang meninggal sebelum bertunangan dengan Maria)

Masa Kecil
Bayangkanlah Yesus sedang bermain, anak yang agak besar menakali dan mengejar. Lalu sambil berlari Yesus berteriak, “Kamu nggak akan sampai ke tujuan!” Eleazar, nama anak itu, jatuh lalu meninggal. Dalam keadaan kampung kacau, Yesus menyelinap masuk ke rumah tempat Eleazar dibaringkan, lalu berbisik, ”Eleazar, bangun!” Seketika Eleazar hidup dan bangun.
Memakai gaya bercerita ‘aku’ dari sudut pandang Yesus kecil, penulis novel berusaha mengungkap emosi dan perasaan Yesus terhadap keluarga, lingkungan, dan dirinya sendiri. Yesus digambarkan anak yang rajin, penuh empati, pintar (bisa berbahasa Yunani, Aram, Ibrani, Latin) dan memiliki keistimewaan khusus untuk anak usianya.

Oleh Philo, guru agamanya, Yesus dianggap sebagai perpustakaan karena bisa menjawab pertanyaan apa saja. Oleh bibinya, Yesus dianggap ‘berisi’ ketika meminta Yesus menyembuhkan pamannya yang sakit. Atau ketika turun salju, Yusuf bertanya, “Kamu tadi berdoa minta salju ya?”

Rice menyusun percakapan-percakapan bernas antara Yesus dan seorang Rabbi yang mengujinya sebelum masuk sekolah.

“Kenapa orang Feniks memotong rambut Samson?” tanya Rabbi dalam bahasa Yunani.
“Bukan orang Feniks, Pak, tapi orang Filistin,” jawab Yesus kecil.

Saya mengagumi Rice yang berhasil menemukan kalimat-kalimat jenius yang diucapkan Yesus kecil ketika ia menjelaskan pernyataan ‘Tuhan adalah tukang kayu seumur hidupnya’.
Sebagai penyeimbang Yesus sebagai bocah manusia, Rice menjelaskan keengganan Yesus menjawab pertanyaan-pertanyaan orang dewasa, ketika pamannya bertanya, “Ada di mana kalimat ‘Ia akan makan dadih dan madu sampai ia tahu menolak yang jahat dan memilih yang baik’?” Yesus kecil menjawab, “Di kitab Yesaya, tapi yang lainnya aku tak ingat.”

Plot berkembang baik. Rice tidak terburu-buru membeberkan kelebihan-kelebihan untuk menarik hati pembaca menyenangi Yesus kecil. Ia telah dengan tekun membangun cerita yang mengemukakan kemungkinan bagaimana anak dengan kualitas manusia dan Allah sekaligus, berpikir dan bertindak. Dengan bijak Rice menggambarkan kesulitan Yusuf dan Maria sebagai orang tua yang ingin melindungi Yesus kecil dari pendapat-pendapat sosial tentang kelahirannya dan mempercayakan Allah sebagai Penanggungjawab atas semua peristiwa ini.

Setelah membaca buku ini, saya merasa dicerahkan dalam memahami catatan di Injil Matius, “Anak itu (Yesus) bertambah besar dan menjadi kuat, penuh hikmat, dan kasih karunia Allah ada pada-Nya’ (Matius 2:40) dan kesan Lukas tentang Maria, “Tetapi Maria menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya” (Lukas 2:16).

Ita Siregar, Desember 2009