Kembali untuk Bekerja
Leo
kembali ke tanah air untuk bekerja di Agroindo Global Medan, Sumatra Utara.
Saat itu dia sudah berpikir pulang setelah empat tahun di negeri orang. Sekolah
dan bekerja.
Koko sudah
menikah dan memutuskan tinggal di Kanada dengan Desi, istrinya. Dede baru
menyelesaikan kuliahnya di Melbourne,
akan meneruskan S2, dan sudah jatuh cinta pada kota itu, berencana akan
menetap, dan berupaya menjadi penduduk permanen di sana.
Orangtua
mereka mendukung anak-anak mendapat pendidikan setinggi yang mereka mau. Hidup
di belahan dunia mana saja bukan masalah asalkan mampu mengekspresikan diri
sebagai manusia yang bermanfaat. Hidup bukanlah hidup sekedar tetapi hidup
meninggalkan kesan baik dan menjadi contoh bagi generasi selanjutnya, begitu
orangtua mereka berkata.
Sementara
Leo belum menentukan di mana ia akan menetap nantinya. Kadang-kadang jauh di
lubuk hatinya ia memilih tinggal di tanah yang sudah melahirkannya. Pikiran itu
sudah mengikutinya ke mana pun ia pergi. Ia merasa beberapa sisi dalam hidupnya
tersembunyi dari pengetahuan orangtuanya, ketika ia ke pertemuan-pertemuan itu,
yang membakar semangatnya untuk berjuang bagi rakyat kecil. Namun selama ini
seperti yang ia ketahui, orangtuanya memiliki nilai kemanusiaan yang tinggi dan
suka membantu sesamanya.
Berjuang
bagi orang lain berarti dia akan memberikan diri seumur hidupnya. Kalau kita
berhasil, kita bisa bertemu di mana saja di dunia ini, jarak tidak soal, kata
ayahnya. Aku belum memutuskan, masih akan memikirkan, di mana aku tinggal dan
menetapkan diri, begitu kata batinnya berkali-kali.
Pada akhir
pekan ia biasa pergi ke desa-desa berbeda dan melihat kehidupan di sana. Ia
suka menyetir sendirian di jalanan yang panjang dan sepi dan memikirkan apa
saja yang mampir di kepalanya. Ia membiarkan angin keluar masuk dari jendela
mobilnya yang terbuka lebar.
Udara di
negeri empat musim jarang berdebu dan selalu mengesankan. Ia bisa membaui
rumput atau bunga atau pepohonan yang dibawa angin. Ia akan membiarkan dirinya
tersesat dan menemukan tempat baru yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya.
Hal-hal sederhana itu membuat hatinya bahagia dan bersemangat. Ia kurang suka
terlalu lama berada di kota besar yang ramai dengan orang berlalu-lalang dan
sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia sulit menikmati kehidupan malam di cafe
atau pub yang menyajikan musik-musik keras atau lembut sepanjang malam. Dadanya
cepat merasa sesak dan terkungkung. Meski sesekali ia mau juga diajak ke
tempat-tempat seperti itu. Teman-teman dekatnya tahu benar sifatnya ini dan
mereka tidak memaksa.
Leo tahu ia
seorang penyendiri dan kadang-kadang pemalu. Ia senang mengerjakan segala
sesuatu sendiri, tak perlu bantuan orang, meski ia meminta bantuan orang. Ia
seorang yang setia kawan, bisa diandalkan oleh kawan-kawannya. Namun hanya kepada
lingkungan terdekatnya saja ia bisa bercerita apa saja, melucu di depan mereka,
menghadirkan hiburan gratis yang menghibur. Rasa percaya dirinya penuh. Ia
jarang menyesali masa lalu kecuali seharusnya ia bisa bertindak lebih baik
lagi.
Inilah cerita
akhir pekannya. Bertemu warga desa dan melihat hidup yang sederhana. Banyak
penduduk desa menyewakan satu atau dua kamar mereka kepada turis domestik atau
orang asing tinggal di rumah mereka karena penginapan-penginapan kecil
seringkali penuh pada akhir minggu. Fasilitas yang tersedia hanya sarapan makan
dan air panas. Selebihnya mengatur diri sendiri. Mendengarkan petani-petani
menceritakan pengalaman puluhan tahun dari alam mereka, adalah kesukaan Leo.
Apa yang mereka kerjakan, itulah yang mereka hasilkan. Mereka tak peduli apa
yang terjadi di dunia yang lain dan tak merasa perlu informasi terbaru tiap
saat.
Saat itu
Leo duduk di satu restoran kecil untuk makan siang. Rumah makan itu dikerjakan
oleh sepasang suami istri dan harus menunggu cukup lama untuk satu hidangan
lengkap. Tetapi suami-istri itu pasangan yang ramah dan mereka berdua suka
memasak. Sayuran dan bahan makanan termasuk bumbu mereka ambil dari kebun
sendiri dan tetangga-tetangga mereka. Baru satu menit ia duduk di sana, seorang
berwajah Asia yang lembut mendorong pintu depan dan masuk. Ia menoleh ke arah
orang itu ketika mendengar orang itu tidak masuk untuk makan tetapi bertanya
apakah dia bisa menumpang buang air kecil. Saat itulah tatapan mereka bertemu.
“Hai, Leo.
Di sini kamu rupanya selama ini?”
Mereka
berjabat tangan erat sambil tertawa girang karena pertemuan tak sengaja ini.
Pemilik rumah makan ikut bergembira tempatnya menjadi reuni sepasang kawan
lama. Ia menghadiahi bir cuma-cuma kepada sepasang sahabat lama itu. Teman itu
mengosongkan isi kemihnya kemudian duduk berhadapan dengan Leo, makan siang
bersama, sampai teman baiknya itu mengeluhkan masalah yang tak kunjung berakhir
yang merongrong perusahaannya.
Saat itu
juga ia merasa Leolah orang yang paling
tepat yang mereka cari selama ini. Mendengar itu Leo tertawa saja. Dia tidak
menjawab apa pun. Sebelum kembali ke tanah air, teman itu bertemu Leo sekali
lagi di Paris, kali ini dia memohon lebih serius dan meminta Leo betul-betul
mempertimbangkannya. Dia berjanji akan menyediakan apa saja yang diperlukan Leo
untuk kembali ke Tanah Air.
“Pertemuan
kita pasti sudah diatur oleh Tuhan. Kamu harus datang ke perkebunan kami dan
menyelamatkan perusahaan itu.”
Leo
tersenyum mengingat temannya itu seorang Katolik yang tiap kali mengaitkan
segala sesuatu dalam hidup dengan Tuhan. Bahwa tak satu titik pun peristiwa di
dunia ini terjadi tanpa izin-Nya. Tuhan memberi makan burung-burung di udara
dan mereka tidak pernah kekurangan meski tak pernah menabur benih dan menuai,
katanya.
Perusahaan
itu memiliki perkebunan jagung di beberapa tempat di Sumatra dan mempekerjakan
dua ribu orang. Momok besar kantor adalah anah warga lokal yang dipakai sebagai
perkebunan dan komunikasi yang mentok dengan penduduk lokal. Sampai sekarang
ada puluhan masalah pelik belum diselesaikan karena tak seorang pun sanggup
berbicara dengan masyarakat adat. Apa yang mereka lakukan sekarang hanyalah
menyelesaikan konflik-konflik yang muncul tetapi tidak membereskan masalah
akarnya. Mendengarkan temannya menceritakan masalah mereka, hatinya tergerak.
Berbicara
dengan para petani dan pemilik tanah desa adalah makanan sehari-harinya ketika
pertama ke Siantar dulu. Meski mereka orang sederhana tetapi pikiran mereka
jernih dan mereka tahu apa hak dan kewajiban mereka. Mereka mengenal tanah yang
mereka garap, dengan baik. Mereka berbicara dengan bahasa yang sederhana,
sesederhana ia makan nasi setiap hari. Begitu nyata dan ada. Mereka mengatakan
kebiasaan dan sifat alami tanah, apa yang bagus dan yang tidak bagus untuk.
Mereka memperlakukan tanah seperti tanah itu adalah anak mereka sendiri, atau
bahkan ibu mereka.
Leo melihat
cara mereka memperlakukan tanah mereka, berbicara kepada tanah, tentang tanah,
dan kepercayaan mereka, bahwa tanah akan berbalik menumbuhkan apa yang
diharapkan pemiliknya. Tanah adalah ibu. Ia tonggak penting yang menyokong
segala kehidupan di dalam dan di atasnya. Tanah tak akan berkhianat. Dia diam
di sana, tak bergerak tak bicara, hanya menyerahkan diri sebaik-baiknya kepada
siapa pun yang memercayainya. Ia bertahan dalam masa kering dan masa basah,
keras dan gembur. Ia memampukan pepohonan memberi buah sesuai takdirnya. Ia
mendengarkan segala pujian yang diberikan kepada segala tumbuhan karena
kebaikan yang dihasilkan.
Tanah
bekerja diam-diam. Ia mengumpulkan air dan mencari makanan bagi akar-akar yang
menjulur dalam perutnya. Namun demikian tanah juga perlu istirahat sedikit
waktu. Ia perlu bermeditasi sekian lamanya, agar dapat membersihkan diri dari
keburukan yang mencoba ikut tinggal di dalamnya. Ia akan membersihkan diri dan
kembali pada fitrahnya: menjadi sumber kehidupan segala tumbuhan.
Di dalam
tanah tersimpan segala kekayaan yang akhirnya diperebutkan manusia. Tanah
menyimpan misteri. Siapa menguasai tanah, menguasai sumber alam. Siapa
menguasai sumber alam, dia memiliki segalanya. Bagi orang desa, tanah adalah
segalanya. Lebih daripada mata pencaharian. Dari tanah mereka hidup dan
menyandarkan harapan hidup.
Di sana,
pertama kali Leo menyentuh fisik tanah dengan tangannya. Ia merasa kelembutan
dan penyerahan sebongkah tanah, sepenuhnya, ketika tangannya meremas pelan,
membuat tanah itu terurai, terburai. Baginya, itu tanda sebuah kerendahhatian,
yang mau membuka diri, dan membiarkan dirinya dibaca. Seorang petani mengerti
bagaimana sifat dan kondisi tanah. Tanah itu sendiri berbicara tentang dirinya,
berkomunikasi kepada manusia tentang kesedihan dan kegembiraan, yang
digambarkan dengan buah yang dihasilkan. Tanah yang menumbuhkan segala bahan
makanan. Baik dan buruk.
Setelah
itu Leo belajar menghargai tanah dan segala filosofi yang menyertainya. Ia
membayangkan tanah menumbuhkan padi, padi berubah gabah, gabah menjadi beras,
ditanak menjadi nasi, yang ia makan tiap hari. Tanpa kecuali. Lalu ia
membayangkan nasi berubah darah, yang mengalir di seluruh tubuhnya, ada di
dalam dirinya, tanpa perlu membicarakannya. Tubuhnya senantiasa berteriak
‘nasi’. Ia bisa merasakan kerinduannya mengunyah rasa nasi di mulutnya, jika
dalam dua hari saja ia tidak memakannya. Nasi telah menjadi satu dengannya, di
dalam dirinya. Ia merasakan romantika sentimentil yang belum pernah ia rasakan
sebelumnya.
Bagaimana
kalau tanah tak lagi sanggup menumbuhkan apa pun di atasnya? Apa jadinya padi
bila tak lagi tumbuh di tanah? Seandainya tangan petani tak lagi terampil
membaca tanah yang digarapnya, bagaimana memberi nama kehidupan? Siapa
memastikan semua akan berjalan dengan sendirinya, seperti biasa, tanpa
keingkaran?
Selama
hidup belum pernah ia memahami gagasan seperti itu. Ia berpikir hidup hanyalah
hidup dan sudah seharusnya demikian. Matahari dan bumi akan berputar pada
porosnya dan semua akan baik-baik saja. Sekarang dia mengerti apa kaitan
dirinya dengan segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Pada setiap tindakan yang
ia berikan, itulah respons terhadap apa yang dia terima. Pada saat itu dia
sadar, di mana ia memutuskan untuk berdiri, di situ akan menentukan sikap dan
respons yang akan diberikan. Selamanya ia tak mungkin terpisah dengan tanah
yang menumbuhkan padi, menjadi beras, menjadi nasi, menjadi darah, di nadinya.
Lalu sejak
itu, dengan seluruh jiwa raganya, ia mengikatkan diri dengan tanah, yang sudah
membesarkan dirinya, menumbuhkan pemahamannya, menuntut penyerahan dirinya. Ia
takkan berpaling, takkan berbuat khianat, kepada tanah yang telah
melahirkannya. Bahkan untuk memikirkannya, takkan sanggup. Tiap kali
mengingatnya, hatinya tergetar. Saat itu tanah memanggilnya kembali. Jangan
pikir aku tak mengerti. Jangan pikir aku tak memikirkan semua itu, batinnya.
Sekalipun dirinya berada jauh di seberang samudra, tetapi hatinya tertinggal di
sini, di tanah ini, tanah yang menopangnya tumbuh, menjadi manusia yang buahnya
manis, bijaksana, penuh welas asih.
“Aku
bersedia,” ujar Leo mantap seperti ia berjanji di altar pernikahan.
“Kami
menunggumu kedatanganmu dengan senang hati,” jawab temannya bahagia.
*
Hari
Minggu pagi ibunya sudah sibuk menyiapkan makan siang dari dapurnya. Leo pamit
untuk keluar rumah sebentar, untuk menyusuri jalanan Jakarta setelah ia menghabiskan
semangkuk bubur nasi yang kental, rasa yang dia inginkan untuk menghadirkan
masa kecilnya yang penuh kebahagiaan.
“Jangan
buat orang terlalu lama menunggumu,” pesan ibunya.
Jalan
protokol tidak padat pada hari libur mingguan seperti ini. Tak lama mobilnya
sudah berada di sekitar Kelapa Gading. Sebenarnya dia tak pernah tahu di mana
sebenarnya gadis berambut hitam lurus panjang itu tinggal. Yang jelas di salah
satu rumah di sana. Entah di bagian tengah, di ujung, di belakang. Rumah
berpagar atau dengan taman yang indah. Tidak ada sesuatu pun tertinggal di
kepalanya karena ingatan tentang itu dia tak pernah miliki. Dia tak tahu kapan persisnya
ia berdamai dengan semua yang pernah menarik
relung-relungnya begitu kuat.
Ia
kerap berpikir gadis itu selalu menunggunya untuk kembali ke Jakarta. Dan
ketika bertemu muka dengan muka gadis itu akan bertanya kepadanya, ke mana saja
kamu selama ini? Lalu sambil memandang ke dalam matanya, ia akan menjawab
dengan sabar, menunggu.
“Menunggu
apa?” desak gadis itu.
“Menunggu
saat seperti ini,” jawabnya berusaha tenang padahal setengah mati ia ingin
mendekap gadis itu erat dengan dua tangannya, lalu memastikan dengan berkata,
aku tak pernah pergi dari sini, kamu tak pernah tahu soal itu, kan?
Kenapa
dunia selalu menyaji kerinduan yang tertunda? Kenapa dunia berusaha mewujudkan
romansa terbaik di celah gagalnya kemustahilan? Apalah cinta teruji oleh tabir
yang menyelubunginya? Tetapi tak ada yang perlu dibuktikan di sini. Semuanya
selesai. Ia hanya beperkara dengan dirinya. Dan dia akan menyelesaikannya di
sini, sekarang, agar masa lalu tak lagi menjadi bayang-bayang dalam benaknya. Baginya,
cinta bagaikan dinding yang tak pernah diketahui sesuatu pun di baliknya.
Dia
menghela napas panjang, menggeret mobilnya menjauh dari kompleks perumahan itu.
Tak ada yang terbawa bersama dirinya. Kenangan itu tertinggal di sini,
baik-baik. Dia menarik napas dan menahannya, sambil menekan gas dengan kakinya,
mengganti perseneling dan meluncur lebih cepat. Ibunya sudah menunggu. Dan
kerabat dan keluarga dekat. Perutnya pun sudah memanggil-manggil untuk diisi
setelah sarapannya tadi pagi.
Udara
Jakarta masih hangat, sehangat hatinya. Ia tiba di rumah pada waktu yang tepat,
rumah sudah penuh orang. Semua wajah memandang ke arahnya ketika ia muncul dari
pintu. Beberapa sepupu dekatnya menghambur memeluknya, memukul perutnya pelan,
dan tertawa sambil memeriksa wajahnya yang memerah karena tak ada sesuatu pun
yang ingin dikatakannya.
“Lihatlah
anak itu! Senyumnya tak berubah, seakan tak ada satu pun masalah dia pikirkan,”
seru satu suara yang dikenalnya dengan baik.
Leo
melebarkan senyumnya memandang wajah orang yang bersuara itu. Ia tertawa dengan
suara keras. Ia ingat dialah yang bertanya kepadanya, apakah dia akan menjadi
ikan besar di samudera yang luas. Para orangtua memandangnya dan tertawa
senang. Ia bertanya kabar setiap orang. Ia menjawab pertanyaan apa saja dengan
hati ringan. Makanan yang tersedia siang itu semuanya enak terasa.
Heran
juga tak seorang pun bertanya kepadanya soal pasangan. Ia menyaksikan ibunya
berada di mana-mana, berjalan berkeliling sambil tersenyum, dan menawarkan siapa
saja keluarganya untuk makan lebih banyak, menghabiskan isi meja makan. Hari
itu berlalu dengan tenang dan manis. Tak satu pun perlu dikhawatirkan.
*
Bersambung ke bagian 8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar