Sabtu, 06 Juni 2015

Tangan Kiri Tuhan (Cerber #7)

Kembali untuk Bekerja
Leo kembali ke tanah air untuk bekerja di Agroindo Global Medan, Sumatra Utara. Saat itu dia sudah berpikir pulang setelah empat tahun di negeri orang. Sekolah dan bekerja.  
Koko sudah menikah dan memutuskan tinggal di Kanada dengan Desi, istrinya. Dede baru menyelesaikan kuliahnya di Melbourne,  akan meneruskan S2, dan sudah jatuh cinta pada kota itu, berencana akan menetap, dan berupaya menjadi penduduk permanen di sana.
Orangtua mereka mendukung anak-anak mendapat pendidikan setinggi yang mereka mau. Hidup di belahan dunia mana saja bukan masalah asalkan mampu mengekspresikan diri sebagai manusia yang bermanfaat. Hidup bukanlah hidup sekedar tetapi hidup meninggalkan kesan baik dan menjadi contoh bagi generasi selanjutnya, begitu orangtua mereka berkata.
Sementara Leo belum menentukan di mana ia akan menetap nantinya. Kadang-kadang jauh di lubuk hatinya ia memilih tinggal di tanah yang sudah melahirkannya. Pikiran itu sudah mengikutinya ke mana pun ia pergi. Ia merasa beberapa sisi dalam hidupnya tersembunyi dari pengetahuan orangtuanya, ketika ia ke pertemuan-pertemuan itu, yang membakar semangatnya untuk berjuang bagi rakyat kecil. Namun selama ini seperti yang ia ketahui, orangtuanya memiliki nilai kemanusiaan yang tinggi dan suka membantu sesamanya.
Berjuang bagi orang lain berarti dia akan memberikan diri seumur hidupnya. Kalau kita berhasil, kita bisa bertemu di mana saja di dunia ini, jarak tidak soal, kata ayahnya. Aku belum memutuskan, masih akan memikirkan, di mana aku tinggal dan menetapkan diri, begitu kata batinnya berkali-kali. 
Pada akhir pekan ia biasa pergi ke desa-desa berbeda dan melihat kehidupan di sana. Ia suka menyetir sendirian di jalanan yang panjang dan sepi dan memikirkan apa saja yang mampir di kepalanya. Ia membiarkan angin keluar masuk dari jendela mobilnya yang terbuka lebar.
Udara di negeri empat musim jarang berdebu dan selalu mengesankan. Ia bisa membaui rumput atau bunga atau pepohonan yang dibawa angin. Ia akan membiarkan dirinya tersesat dan menemukan tempat baru yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya. Hal-hal sederhana itu membuat hatinya bahagia dan bersemangat. Ia kurang suka terlalu lama berada di kota besar yang ramai dengan orang berlalu-lalang dan sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia sulit menikmati kehidupan malam di cafe atau pub yang menyajikan musik-musik keras atau lembut sepanjang malam. Dadanya cepat merasa sesak dan terkungkung. Meski sesekali ia mau juga diajak ke tempat-tempat seperti itu. Teman-teman dekatnya tahu benar sifatnya ini dan mereka tidak memaksa.
Leo tahu ia seorang penyendiri dan kadang-kadang pemalu. Ia senang mengerjakan segala sesuatu sendiri, tak perlu bantuan orang, meski ia meminta bantuan orang. Ia seorang yang setia kawan, bisa diandalkan oleh kawan-kawannya. Namun hanya kepada lingkungan terdekatnya saja ia bisa bercerita apa saja, melucu di depan mereka, menghadirkan hiburan gratis yang menghibur. Rasa percaya dirinya penuh. Ia jarang menyesali masa lalu kecuali seharusnya ia bisa bertindak lebih baik lagi. 
Inilah cerita akhir pekannya. Bertemu warga desa dan melihat hidup yang sederhana. Banyak penduduk desa menyewakan satu atau dua kamar mereka kepada turis domestik atau orang asing tinggal di rumah mereka karena penginapan-penginapan kecil seringkali penuh pada akhir minggu. Fasilitas yang tersedia hanya sarapan makan dan air panas. Selebihnya mengatur diri sendiri. Mendengarkan petani-petani menceritakan pengalaman puluhan tahun dari alam mereka, adalah kesukaan Leo. Apa yang mereka kerjakan, itulah yang mereka hasilkan. Mereka tak peduli apa yang terjadi di dunia yang lain dan tak merasa perlu informasi terbaru tiap saat.
Saat itu Leo duduk di satu restoran kecil untuk makan siang. Rumah makan itu dikerjakan oleh sepasang suami istri dan harus menunggu cukup lama untuk satu hidangan lengkap. Tetapi suami-istri itu pasangan yang ramah dan mereka berdua suka memasak. Sayuran dan bahan makanan termasuk bumbu mereka ambil dari kebun sendiri dan tetangga-tetangga mereka. Baru satu menit ia duduk di sana, seorang berwajah Asia yang lembut mendorong pintu depan dan masuk. Ia menoleh ke arah orang itu ketika mendengar orang itu tidak masuk untuk makan tetapi bertanya apakah dia bisa menumpang buang air kecil. Saat itulah tatapan mereka bertemu.
“Hai, Leo. Di sini kamu rupanya selama ini?”
Mereka berjabat tangan erat sambil tertawa girang karena pertemuan tak sengaja ini. Pemilik rumah makan ikut bergembira tempatnya menjadi reuni sepasang kawan lama. Ia menghadiahi bir cuma-cuma kepada sepasang sahabat lama itu. Teman itu mengosongkan isi kemihnya kemudian duduk berhadapan dengan Leo, makan siang bersama, sampai teman baiknya itu mengeluhkan masalah yang tak kunjung berakhir yang merongrong perusahaannya.
Saat itu juga ia merasa Leolah  orang yang paling tepat yang mereka cari selama ini. Mendengar itu Leo tertawa saja. Dia tidak menjawab apa pun. Sebelum kembali ke tanah air, teman itu bertemu Leo sekali lagi di Paris, kali ini dia memohon lebih serius dan meminta Leo betul-betul mempertimbangkannya. Dia berjanji akan menyediakan apa saja yang diperlukan Leo untuk kembali ke Tanah Air.
“Pertemuan kita pasti sudah diatur oleh Tuhan. Kamu harus datang ke perkebunan kami dan menyelamatkan perusahaan itu.”
Leo tersenyum mengingat temannya itu seorang Katolik yang tiap kali mengaitkan segala sesuatu dalam hidup dengan Tuhan. Bahwa tak satu titik pun peristiwa di dunia ini terjadi tanpa izin-Nya. Tuhan memberi makan burung-burung di udara dan mereka tidak pernah kekurangan meski tak pernah menabur benih dan menuai, katanya.
Perusahaan itu memiliki perkebunan jagung di beberapa tempat di Sumatra dan mempekerjakan dua ribu orang. Momok besar kantor adalah anah warga lokal yang dipakai sebagai perkebunan dan komunikasi yang mentok dengan penduduk lokal. Sampai sekarang ada puluhan masalah pelik belum diselesaikan karena tak seorang pun sanggup berbicara dengan masyarakat adat. Apa yang mereka lakukan sekarang hanyalah menyelesaikan konflik-konflik yang muncul tetapi tidak membereskan masalah akarnya. Mendengarkan temannya menceritakan masalah mereka, hatinya tergerak. 
Berbicara dengan para petani dan pemilik tanah desa adalah makanan sehari-harinya ketika pertama ke Siantar dulu. Meski mereka orang sederhana tetapi pikiran mereka jernih dan mereka tahu apa hak dan kewajiban mereka. Mereka mengenal tanah yang mereka garap, dengan baik. Mereka berbicara dengan bahasa yang sederhana, sesederhana ia makan nasi setiap hari. Begitu nyata dan ada. Mereka mengatakan kebiasaan dan sifat alami tanah, apa yang bagus dan yang tidak bagus untuk. Mereka memperlakukan tanah seperti tanah itu adalah anak mereka sendiri, atau bahkan ibu mereka.
Leo melihat cara mereka memperlakukan tanah mereka, berbicara kepada tanah, tentang tanah, dan kepercayaan mereka, bahwa tanah akan berbalik menumbuhkan apa yang diharapkan pemiliknya. Tanah adalah ibu. Ia tonggak penting yang menyokong segala kehidupan di dalam dan di atasnya. Tanah tak akan berkhianat. Dia diam di sana, tak bergerak tak bicara, hanya menyerahkan diri sebaik-baiknya kepada siapa pun yang memercayainya. Ia bertahan dalam masa kering dan masa basah, keras dan gembur. Ia memampukan pepohonan memberi buah sesuai takdirnya. Ia mendengarkan segala pujian yang diberikan kepada segala tumbuhan karena kebaikan yang dihasilkan.
Tanah bekerja diam-diam. Ia mengumpulkan air dan mencari makanan bagi akar-akar yang menjulur dalam perutnya. Namun demikian tanah juga perlu istirahat sedikit waktu. Ia perlu bermeditasi sekian lamanya, agar dapat membersihkan diri dari keburukan yang mencoba ikut tinggal di dalamnya. Ia akan membersihkan diri dan kembali pada fitrahnya: menjadi sumber kehidupan segala tumbuhan. 
Di dalam tanah tersimpan segala kekayaan yang akhirnya diperebutkan manusia. Tanah menyimpan misteri. Siapa menguasai tanah, menguasai sumber alam. Siapa menguasai sumber alam, dia memiliki segalanya. Bagi orang desa, tanah adalah segalanya. Lebih daripada mata pencaharian. Dari tanah mereka hidup dan menyandarkan harapan hidup.
Di sana, pertama kali Leo menyentuh fisik tanah dengan tangannya. Ia merasa kelembutan dan penyerahan sebongkah tanah, sepenuhnya, ketika tangannya meremas pelan, membuat tanah itu terurai, terburai. Baginya, itu tanda sebuah kerendahhatian, yang mau membuka diri, dan membiarkan dirinya dibaca. Seorang petani mengerti bagaimana sifat dan kondisi tanah. Tanah itu sendiri berbicara tentang dirinya, berkomunikasi kepada manusia tentang kesedihan dan kegembiraan, yang digambarkan dengan buah yang dihasilkan. Tanah yang menumbuhkan segala bahan makanan. Baik dan buruk.
Setelah itu Leo belajar menghargai tanah dan segala filosofi yang menyertainya. Ia membayangkan tanah menumbuhkan padi, padi berubah gabah, gabah menjadi beras, ditanak menjadi nasi, yang ia makan tiap hari. Tanpa kecuali. Lalu ia membayangkan nasi berubah darah, yang mengalir di seluruh tubuhnya, ada di dalam dirinya, tanpa perlu membicarakannya. Tubuhnya senantiasa berteriak ‘nasi’. Ia bisa merasakan kerinduannya mengunyah rasa nasi di mulutnya, jika dalam dua hari saja ia tidak memakannya. Nasi telah menjadi satu dengannya, di dalam dirinya. Ia merasakan romantika sentimentil yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Bagaimana kalau tanah tak lagi sanggup menumbuhkan apa pun di atasnya? Apa jadinya padi bila tak lagi tumbuh di tanah? Seandainya tangan petani tak lagi terampil membaca tanah yang digarapnya, bagaimana memberi nama kehidupan? Siapa memastikan semua akan berjalan dengan sendirinya, seperti biasa, tanpa keingkaran?
Selama hidup belum pernah ia memahami gagasan seperti itu. Ia berpikir hidup hanyalah hidup dan sudah seharusnya demikian. Matahari dan bumi akan berputar pada porosnya dan semua akan baik-baik saja. Sekarang dia mengerti apa kaitan dirinya dengan segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Pada setiap tindakan yang ia berikan, itulah respons terhadap apa yang dia terima. Pada saat itu dia sadar, di mana ia memutuskan untuk berdiri, di situ akan menentukan sikap dan respons yang akan diberikan. Selamanya ia tak mungkin terpisah dengan tanah yang menumbuhkan padi, menjadi beras, menjadi nasi, menjadi darah, di nadinya.
Lalu sejak itu, dengan seluruh jiwa raganya, ia mengikatkan diri dengan tanah, yang sudah membesarkan dirinya, menumbuhkan pemahamannya, menuntut penyerahan dirinya. Ia takkan berpaling, takkan berbuat khianat, kepada tanah yang telah melahirkannya. Bahkan untuk memikirkannya, takkan sanggup. Tiap kali mengingatnya, hatinya tergetar. Saat itu tanah memanggilnya kembali. Jangan pikir aku tak mengerti. Jangan pikir aku tak memikirkan semua itu, batinnya. Sekalipun dirinya berada jauh di seberang samudra, tetapi hatinya tertinggal di sini, di tanah ini, tanah yang menopangnya tumbuh, menjadi manusia yang buahnya manis, bijaksana, penuh welas asih.
“Aku bersedia,” ujar Leo mantap seperti ia berjanji di altar pernikahan.
“Kami menunggumu kedatanganmu dengan senang hati,” jawab temannya bahagia.  
*
Hari Minggu pagi ibunya sudah sibuk menyiapkan makan siang dari dapurnya. Leo pamit untuk keluar rumah sebentar, untuk menyusuri jalanan Jakarta setelah ia menghabiskan semangkuk bubur nasi yang kental, rasa yang dia inginkan untuk menghadirkan masa kecilnya yang penuh kebahagiaan.
“Jangan buat orang terlalu lama menunggumu,” pesan ibunya.
Jalan protokol tidak padat pada hari libur mingguan seperti ini. Tak lama mobilnya sudah berada di sekitar Kelapa Gading. Sebenarnya dia tak pernah tahu di mana sebenarnya gadis berambut hitam lurus panjang itu tinggal. Yang jelas di salah satu rumah di sana. Entah di bagian tengah, di ujung, di belakang. Rumah berpagar atau dengan taman yang indah. Tidak ada sesuatu pun tertinggal di kepalanya karena ingatan tentang itu dia tak pernah miliki. Dia tak tahu kapan persisnya ia  berdamai dengan semua yang pernah menarik relung-relungnya begitu kuat.
Ia kerap berpikir gadis itu selalu menunggunya untuk kembali ke Jakarta. Dan ketika bertemu muka dengan muka gadis itu akan bertanya kepadanya, ke mana saja kamu selama ini? Lalu sambil memandang ke dalam matanya, ia akan menjawab dengan sabar, menunggu.
“Menunggu apa?” desak gadis itu.
“Menunggu saat seperti ini,” jawabnya berusaha tenang padahal setengah mati ia ingin mendekap gadis itu erat dengan dua tangannya, lalu memastikan dengan berkata, aku tak pernah pergi dari sini, kamu tak pernah tahu soal itu, kan?
Kenapa dunia selalu menyaji kerinduan yang tertunda? Kenapa dunia berusaha mewujudkan romansa terbaik di celah gagalnya kemustahilan? Apalah cinta teruji oleh tabir yang menyelubunginya? Tetapi tak ada yang perlu dibuktikan di sini. Semuanya selesai. Ia hanya beperkara dengan dirinya. Dan dia akan menyelesaikannya di sini, sekarang, agar masa lalu tak lagi menjadi bayang-bayang dalam benaknya. Baginya, cinta bagaikan dinding yang tak pernah diketahui sesuatu pun di baliknya.
Dia menghela napas panjang, menggeret mobilnya menjauh dari kompleks perumahan itu. Tak ada yang terbawa bersama dirinya. Kenangan itu tertinggal di sini, baik-baik. Dia menarik napas dan menahannya, sambil menekan gas dengan kakinya, mengganti perseneling dan meluncur lebih cepat. Ibunya sudah menunggu. Dan kerabat dan keluarga dekat. Perutnya pun sudah memanggil-manggil untuk diisi setelah sarapannya tadi pagi.
Udara Jakarta masih hangat, sehangat hatinya. Ia tiba di rumah pada waktu yang tepat, rumah sudah penuh orang. Semua wajah memandang ke arahnya ketika ia muncul dari pintu. Beberapa sepupu dekatnya menghambur memeluknya, memukul perutnya pelan, dan tertawa sambil memeriksa wajahnya yang memerah karena tak ada sesuatu pun yang ingin dikatakannya.
“Lihatlah anak itu! Senyumnya tak berubah, seakan tak ada satu pun masalah dia pikirkan,” seru satu suara yang dikenalnya dengan baik.
Leo melebarkan senyumnya memandang wajah orang yang bersuara itu. Ia tertawa dengan suara keras. Ia ingat dialah yang bertanya kepadanya, apakah dia akan menjadi ikan besar di samudera yang luas. Para orangtua memandangnya dan tertawa senang. Ia bertanya kabar setiap orang. Ia menjawab pertanyaan apa saja dengan hati ringan. Makanan yang tersedia siang itu semuanya enak terasa.
Heran juga tak seorang pun bertanya kepadanya soal pasangan. Ia menyaksikan ibunya berada di mana-mana, berjalan berkeliling sambil tersenyum, dan menawarkan siapa saja keluarganya untuk makan lebih banyak, menghabiskan isi meja makan. Hari itu berlalu dengan tenang dan manis. Tak satu pun perlu dikhawatirkan.


Bersambung ke bagian 8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar