Selasa, 22 November 2011

Kunang-kunang Itu Tetap Terbang

Avi memeluk ranselnya. Dagunya mampir di ujungnya. Ia memandang ke luar jendela tetapi tidak benar-benar memperhatikan. Sementara kereta Prambanan Express Yogya-Solo terus melaju. Penjual resmi berkereta dorong sudah dua kali lewat di hadapannya.

Sejak membeli karcis tadi, bahkan di Jakarta ketika memutuskan menjenguk Eva, isi kepalanya terus berputar. Pasalnya, ia belum menemukan kalimat pas untuk menghibur nanti. Malam ini ia akan menginap di rumah Eva.

Tabah ya, Va. Kuatkan hatimu. Tuhan itu baik. Gusti Allah selalu memberi percobaan yang tidak akan melebihi kekuatan kita. Kau seharusnya bersyukur. Kalau sel-sel kankernya sudah menjalar ke jantung, gimana?

Aduh, basi, batin Avi menggeleng-gelengkan kepalanya.

Dua bulan lalu, Eva, sahabat masa kecilnya, divonis terkena kanker pada payudara. Dokter melakukan tindakan pengangkatan benjolan 1,5 cm sekaligus payudara sebelah kanannya. Bagaimana menyarankan untuk bersyukur dalam keadaan ini?

Avi ingat masa kecil mereka. Sejak dulu Eva bermimpi menjadi kunang-kunang. Kalau mereka berlibur di rumah Nenek Eva di Wonosari, malam-malam mereka akan duduk di halaman belakang yang bersisian dengan sungai, menunggu kunang-kunang muncul entah dari mana. Lalu mereka akan berlomba mengejar puluhan kerlip yang beterbangan memecah malam.

”Sekarang aku kunang-kunang bersayap satu,” keluh Eva di layar selular Avi, selesai operasi waktu itu.

Avi bingung menjawab apa. Dia tidak akan mampu menyelami kepedihan Eva, bagaimana pun dia berusaha.

”Memangnya kunang-kunang bersayap ya, Va?” hanya itu jawaban Avi.

Beberapa penumpang bergerak. Avi bertanya posisi kereta kepada tetangga di sebelahnya. Stasiun depan sudah Purwasari, jawabnya. Ah, aku harus bersiap, jawab Avi sambil berterimakasih. Avi menggendong ranselnya, menunggu kereta berhenti.

Tiba di rumah Eva, beberapa teman rupanya sedang berkunjung. Avi ikut nimbrung. Ia gembira Eva keliharan riang bercengkerama. Mereka tidak bercerita masalah operasi atau rencana kemoterapi. Tetapi tiap kali memandang Eva, hatinya tergores nyeri mengingat pelbagai peristiwa buruk yang baru menimpa sahabat tersayangnya itu.

Selepas mandi dan makan malam, mereka duduk santai di perpustakaan mungil Eva. Kepala Avi masih dipenuhi kebingungan kalau pembicaraan tentang kanker tiba. Perasaannya kacau, tetapi dia berusaha tenang.

”Mau lihat bekas operasinya, Vi?” tanya Eva tiba-tiba.

Avi dengan cepat mengiyakan. Eva memperlihatkan bekas operasi yang masih ditutup perban. Lalu ia mulai bercerita lagi sejak awal virus itu ditemukan di dalam dirinya. Lalu dalam sekejap air matanya sudah berleleran tak berhenti.

”Sekarang aku merasa tidak berarti, Vi. Aku ingin menggugat tetapi entah kepada siapa. Tidak ada gunanya aku rajin olahraga, makan makanan sehat, berhati-hati. Dokter tidak memberiku pilihan kecuali operasi. Kau bayangkan, Vi. Aku baru saja kehilangan mobil, lalu tiba-tiba kanker ini. Aku harus kehilangan anggota tubuhku yang berharga, nanti kemoterapi, lalu rambutku habis. Di mana keadilan Tuhan, Vi?”

Avi tak sanggup bicara. Kelenjar air matanya mulai bekerja dan ia merasa panas. Ia biarkan saja Eva sibuk mengurus air matanya yang terus turun.

Lalu tiba-tiba entah ide dari mana, Avi berkata, ”Kau bilanglah kekecewaanmu sama Tuhan, Va. Marahlah padaNya. Bilang kau kecewa. Setelah kau puas, maafkan dirimu, terima keadaanmu. Dia selalu mendengar keluh kita, Vi. Kau tahu itu. Dia mengerti.”

Avi sudah kembali di Jakarta, ketika Eva menulis pesan pendek ke layar selular sahabatnya.

”Terimakasih, Vi. Sebelumnya aku tertekan karena orang terus-menerus menasihatiku untuk bersyukur menerima semua ini. Itu kan nggak jujur. Aku tak bisa pura-pura. Aku sudah katakan semua kekecewaanku kepada Tuhan. Sekarang aku lebih lega. Dan aku akan terus terbang, Vi, meski dengan satu sayap.”

Avi terharu membacanya. Padahal aku pun bingung bagaimana menghiburmu waktu itu, Va. Pastilah Tuhan juga yang kasih aku gagasan mengatakan itu kepadamu, batin Avi. (Buat SBK)

23 Juli 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar