Selasa, 22 November 2011

Kacang Merah Hari Itu

Bulan lalu Linda memutuskan ke rumah kakaknya di Cianjur untuk menyelesaikan pekerjaannya. Dia merasa di Jakarta terlalu banyak gangguan. Sebelum berangkat, dia berjanji dalam hati untuk tidak berkomentar apa pun yang ditemuinya di sana.

Linda suka bangun pagi, hari libur atau biasa. Moni, kakaknya bangun siang saat libur. Linda suka baca, kakaknya suka nonton teve. Dia bisa berjam-jam di depan televisi, sambil tiduran, sambil ketawa-ketawa sendiri. Dan dia sudah berdamai dengan itu semua.

Tiba di rumah kakaknya, ternyata Gindo, keponakannya, ada di sana. Dia baru tiba dari Yogyakarta, lewat Semarang, pantura, dan beberapa kota Jawa Barat lain. Maret lalu dia baru lulus seni murni dari ISI Yogyakarta. Sekarang dia merayakannya dengan tour naik vespa, bersama seorang temannya. Katanya, para pecinta vespa di seluruh Indonesia akan kumpul di Taman Mini Jakarta.

Linda berdoa lagi dalam hati, bertekad, takkan sebaris pun kata untuk menasihatinya.
Gindo seorang pelukis. Dia punya dunianya sendiri. Dia menceritakan pengalamannya dalam perjalanan. Dia memperlihatkan foto-foto dan orang-orang yang mereka temui. Rambutnya gimbal, dan dia sangat bangga dengan penampilannya. Linda dan kakaknya mendengarkan. Linda berpikir, saya akan memasak selama dia dan kawannya itu di rumah.

Kadang-kadang keponakannya bangun pada jam makan siang. Linda langsung menyodorkan segelas air untuk diminum habis.

Lalu Linda bilang, “Makan, Gin. Tante udah masak.”

”Gindo gak biasa bangun langsung makan, Tan,” katanya.

Linda setuju saja. Sementara dalam pikirannya prinsip-prinsip hidup sehat sudah terpatri. Linda mengkhawatirkan kesehatan keponakannya. Mungkin Gindo sudah hapal cerita Linda, bahwa sel-sel darah merah berkualitas dibentuk ketika manusia tidur lelap sekitar pukul satu dan dua pagi, sementara dia masih asyik melukis dan merokok dan minum kopi. Dulu Linda bilang bahwa dunia ini berputar sesuai porosnya, siang untuk bekerja, malam untuk tidur, bukan sebaliknya.

Bahwa kita perlu makan makanan sehat dan istirahat cukup, karena tubuh ... bla bla bla.
Beberapa hari berlangsung damai. Gindo terus bercerita. Tentang pameran lukisannya. Tentang lagu yang ditulis dan dia nyanyikan dan rekam sendiri. Tentang dosen dan hidup para pelukis dan Yogyakarta. Sesekali Linda memberikan susu segar sambil dia bercerita, dan Gindo langsung meminumnya tanpa berpikir, lalu Linda bersyukur dalam hati, lumayan gizi masuk ke tubuhnya.

Tak lama Gindo dan temannya harus pergi ke pertemuan vespa itu. Linda dan kakaknya membekali banyak makanan ke ranselnya, dan Gindo komentar, ”Aduh, ini untuk kemping seminggu.”

Lalu tinggallah Linda dan Moni, kakaknya.

Moni jarang memasak. Dia hanya sendiri di rumah (suaminya sudah lama meninggal) dan tidak suka memasak. Di dapurnya jarang ada bawang merah atau cabai. Hanya ada minyak goreng dan garam. Selebihnya dia membeli makanan.

Tapi Linda terus memasak tiap pagi. Kali ini untuk mereka berdua. Lama kelamaan Linda berpikir, masak cukup menghabiskan waktu juga. Sementara pekerjaan masih banyak. Jadi dia setuju dengan gagasan kakaknya untuk membeli makanan saja.

Moni punya langganan rumah makan Padang. Menurutnya, semua yang disajikan di sana enak. Katanya, Si Uda pemilik restoran, pintar meracik bumbu bawal bakar dengan sambal dabu-dabu khas orang Manado, yaitu irisan cabai rawit, bawang merah, tomat hijau segar, lalu dikucuri sedikit minyak dan jeruk nipis.

Satu siang Moni pulang membawa makanan favoritnya itu. Linda mengakui kesempurnaan rasa bawal. Sambal dabu-dabunya segar dan pedas. Mereka makan sambil ngobrol gembira dan mulut kepedasan.

“Waktu lu masak kemarin, gua stres deh,” ucap Moni.

”Oya? Kenapa?” tanya Linda.

”Abis, gua kan jadinya harus makan di rumah. Rasanya, gua makan terus tiap hari,” jawabnya.

”Oh gitu?” komentar Linda.

”Iya. Gua kan nggak gitu suka makan. Inget nggak dulu gua kena maag dan dirawat sama dokter mini tetangga kita, gara-gara males makan?”

”Oh ya ya. Gua inget,” jawab Linda.

”Terus, waktu lu masak kacang merah, gua tambah stres,” kata Moni lagi.

“Hah, kenapa?”

“Enak sih, tapi gua kan nggak suka kacang merah. Anak-anak juga. Kemarin gua bisikin Gindo,

‘Gin, makan kacang merahnya. Si Tante udah capek-capek masak tuh’. Hahaha....”
Mereka ketawa lepas. Tetapi Linda merenung, betapa menderitanya mereka gara-gara kacang merah yang menurutnya sehat dan bergizi. Dalam hati dia berjanji lagi, untuk diam dan mendengarkan, dan tidak merasa diri benar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar