Selasa, 22 November 2011

Memaafkan

Agustus 1998 adalah bulan berlumur kepedihan. Meski saya patah hati dan sangat kecewa terhadap Bill, saya merenung sendirian dan mengaku dalam hati bahwa saya mencintainya. Saya harus mendukungnya dalam perang politik yang sedang berlangsung ini.

Sebagai istri, saya betul-betul ingin mencekik lehernya. Dia telah membohongi saya. Tetapi saya memutuskan untuk mengendalikan emosi. Meski dia adalah suami saya, dia juga adalah Presiden saya. Kegagalannya untuk bisa dipercaya bukan hanya di hadapan saya, tetapi juga bagi seluruh negeri.

Tantangan pribadi dan politik silih berganti memenuhi benak saya. Namun Bill dan saya sepakat untuk mengikuti bimbingan konseling, untuk melihat kelangsungan pernikahan kami selanjutnya. Saya juga akan menemani Bill ketika ia menjelaskan masalah ini kepada Chelsea, putri kami. Bill menangis ketika saya menyadarkan bahwa dia harus melakukan tugas penting ini. Chelsea sangat mengagumi Bill, dan kenyataan ini akan menyakitkan mereka berdua.

Bill harus bertanggung jawab atas perilaku negatif yang sudah dilakukannya. Tetapi saya sadar sepenuhnya bahwa masalah ini akan lebih banyak menyinggung saya dan Chelsea secara pribadi, dan bukan untuk disalahgunakan dalam rangka pertanggungjawaban kepada publik.

Selama beberapa minggu Bill meminta maaf kepada saya, Chelsea, teman-temannya, anggota kabinet, staff dan koleganya. Pada satu pertemuan doa saat sarapan pagi di Gedung Putih bersama para pemimpin agama, Bill mengakui kesalahan dan dosanya. Dia akan mengajukan permohonan maaf kepada seluruh rakyat. Tetapi dia tidak akan mundur dari jabatannya.

”Jika penyesalan saya tulus dan berlangsung terus, maka yang baik akan datang pada negeri ini, pada saya dan keluarga saya. Anak-anak dapat melihat dan belajar secara mendalam bahwa integritas adalah penting dan mementingkan diri sendiri itu salah. Saya percaya Tuhan bisa mengubah kita dan membuat kita menjadi kuat di tempat-tempat yang sebelumnya sudah rusak,” kata Bill waktu itu.

Stevie Wonder menelepon saya. Dia bertanya apakah dia bisa datang ke Gedung Putih untuk bertemu dengan saya. Saya mengiyakan. Dan di satu ruang yang tersedia piano, Stevie menyanyikan satu lagu khusus yang dia ciptakan untuk saya. Beberapa teman ikut mendengarkan. Lagu itu tentang kekuatan pengampunan. Stevie menyanyikan bait refrain secara berulang, “Kau tidak perlu berjalan di atas air …”

Sambil mendengarkan dia bermain piano dan menyanyi, saya menggeser kursi saya sedikit demi sedikit mendekatinya. Sampai akhirnya saya duduk di sampingnya. Ketika Stevie selesai menyanyi, air mata sudah memenuhi mata saya. Ini adalah sentuhan paling indah yang diberikan kepada saya pada masa-masa sulit ini.

Waktu itu Nelson Mandela melakukan tugas kenegaraan dan berkunjung ke Gedung Putih. Dia berpidato singkat namun lembut dan penuh filosofi. Dia secara khusus menyatakan kasih yang tulus dan hormat kepada Bill. Dia berkata, ”Moral kita tidak akan membuat kita meninggalkan teman-teman kita. Tetapi jika harapan tidak seperti apa yang kita doakan dan impikan, kita harus yakin bahwa kemuliaan terbesar dalam hidup adalah bukan karena kita tidak pernah jatuh, tetapi tetap bangkit setiap kali kita jatuh.”

Saya sendiri masih berusaha untuk bangkit. Saya tertantang untuk memaafkan Bill. Jika Mandela yang sudah dipenjara bertahun-tahun bisa memaafkan lawan politiknya, saya pun seharusnya bisa.

Dalai Lama datang untuk memberi kekuatan. Ia memberi saya selendang doa putih sebagai simbol dukungannya. Ia mendorong saya untuk tidak putus asa. Ia juga berharap saya dapat bangkit dari kepahitan dan kemarahan, meski atas nama rasa sakit dan ketidakadilan.
Begitu banyak teladan dan bantuan kasih sayang dari banyak teman. Saya memaafkan Bill, meski saya tahu itu sulit.

Dikisahkan oleh Hillary Clinton dalam bukunya Living History.

26 Juli 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar