Jumat, 08 Mei 2009

Teh Manis Hari Kamis

KAMI bertemu setiap Kamis. Sore. Di luar dan di dalam Kapel mungil milik PGI Cikini, yang beratap tinggi dan kokoh, bangunan sederhana warisan Belanda yang bersejarah. Bagi kami.
Nama Aty Patras menjadi jaminan kami bisa memakai tempat ini. Kami akan duduk saling menunggu di depan Kapel, sebuah ruangan yang berfungsi seperti Kapel: untuk ibadah, dengan bangku-bangku kayu panjang. Hanya, ini tempat terbuka, berisiko tertiup angin sepoi atau tiris air hujan kalau sedang hujan. Kegiatan makan-minum dilakukan di sini, sebelum kami diskusi di dalam Kapel.

Kami datang untuk PA atau PD. Belakangan atau sebenarnya sudah lama, kami bertemu karena ingin berbagi cerita (dan makanan). Cerita apa saja. Cerita kantor. Cerita orangtua yang sedang sakit. Cerita jawaban doa. Cerita Pemilu (pilih siapa April nanti?) Cerita gosip pejabat atau pemerintah di koran (dengan gaya seorang ahli). Cerita hujan dan banjir (lagi musim). Cerita pengalaman macet. Cerita fragmen-kloning-sekuencing (ini persoalan Ika yang sedang S2). Tentang the fall of Leiman’s Brothers (ini serius Eureka alias Eka). Tentang alergi dan obat (Kak Linda), lalu KPK. Tentang program Nav. Cerita pengalaman seru membaca Al-Kitab. Tentang bermacam model laki-laki (sedikit ahli soal ini ..hmh). Tentang cerita lucu milik sendiri atau orang lain. Cerita Tuhan Yesus. Bumbu sio mai. Tentang Malaikat. Tentang Bapa di Surga. Tentang kekekalan. Tentang musik klasik Pak Stephen Tong (Kak Marsel update). Yang terakhir Kamis kemarin, tentang dimana beli pisang goreng yang enak.

Kami bercerita sambil PA. Sambil PD kami bercerita. Bercerita PA atau PD. PA atau PD bercerita. Sesekali doa berantai nasional. Tidak pernah kurang bahan PA dan PD. Tidak pernah habis cerita tentang PD dan PA. Banyak cerita mengalir pada waktu PA dan PD. Kadang direncanakan seringkali spontan. Tak pernah cukup waktu. Waktu PD, sambil bercerita dan kalau masih ada sisa waktu, kami akan mengumpulkan pokok doa dan berdoa. Waktu PA, sambil bercerita dan kalau masih ada sisa waktu lebih sedikit, kami akan membahas bahan PA. Yang jelas kami ada di sana setiap Kamis. No matter what! Di tempat itu. Bisa berdua, bertiga, berempat, berdelapan. Kami bertemu. Randevu. Di sanalah sudah pasti. Kamis sore.

Teknis rutinnya, Rabu malam atau Kamis pagi, saya akan mengirim teks SMS ke teman-teman, mengingatkan randevu nanti sore di Cikini, dan menyebutkan si anu giliran jadi pemimpin diskusi, yang artinya juga penyedia konsumsi (entah kapan ide ini bermulai). Yang satu merespons bisa datang, yang lain tidak bisa karena ada urusan atau kadang-kadang tak menjawab yang bisa saja tiba-tiba muncul atau sama sekali tidak datang.

Kami favorit makan bihun goreng (haram) restoran CS (Cipta Selera). Resto Cina, empat rumah di belakang Bakmi Top 99, seberang jalan rumah sakit. Bisa delivery, telepon-antar. Tapi lama. Kami seringnya beli-bungkus atau makan di tempat, lalu sms ke teman-teman yang belum datang, “Langsung ke CS, ya.” Satu kali Meylan, mantan pendatang Kamis sore sebelum menikah, berkunjung. Kangen, katanya. Karena lapar dia mengajak kami makan di CS. Sabar, suaminya, bergabung. Karena makan bersama butuh waktu lebih lama, kami menghabiskan waktu Kamis sore kami di sana. Tolong tanpa udang ya, Mas Koki. Kak Linda alergi segala macam ikan akhir-akhir ini. Kalau sedang ingin makan ikan, dia sudah siapkan antihistaminnya (lupa namanya), agar alergi tidak terlalu berlebihan akibatnya.

Tapi sudah lama saya temukan bihun goreng enak tandingan, yang tidak haram, kaki lima di pinggir jalan pintu masuk rumah sakit. (Yang ini Kak Linda sudah pasti bisa nikmati karena zonder i-ikanan. Hanya telur.) Tukang jualannya dua anak muda. Si mas pembuat bihun-mi-nasi goreng itu sangat demonstratif waktu menggoreng. Ia cekatan mengontrol gagang kayu pemegang kuali, mengayun nasi atau mi atau bihun di atas kuali lalu kembali ke penggorengan dengan kecepatan energi yang terukur dan pas. Kalau tidak terkontrol, saya yakin isi kuali akan terbuang ke luar kuali atau berhamburan tak beraturan di kuali. Uniknya, selama melakukan itu, kaki kanannya ikut bergerak cepat, naik-turun setinggi lutut, seolah mengatur keseimbangan antara kerja kaki dan tangan. Mereka tinggal di Tanah Tinggi. Bila jualan habis yang mungkin sampai pukul 11 malam, keuntungan 150ribu sehari.

“Wah, lumayan dong, Mas.”

“Iya, Mbak. Cuma kerja gini capek. Belum belanjanya ke pasar.”

“Mana ada kerja yang nggak capek, Mas. Saya juga kerja capek.” Hehe, si mas demonstratif tak ada alasan lagi berbantah. Terimalah hidup yang capek tapi melakukan sesuatu yang bermanfaat demi kemaslahatan bersama, mas. (Kalau butuh hiburan segar di Kamis sore, saya akan beli bihun goreng, menonton si mas bihun berdemo masak).

Kak Krisna suka sekali teh manis. Hujan-hujan minum teh manis asyik deh, katanya. Dia menularkan kegemarannya itu dengan menyediakan teh manis di randevu Kamis kami kalau sedang giliran memimpin. Dia benar-benar mau dirinya direpotkan. Dia akan membeli teh manis panas di rumah makan sederhana persis di depan rumah sakit. Teh manis itu dimasukkan ke dalam plastik, diberi sedotan, lalu lehernya diikat karet. Dijamin tidak tumpah.

Sudah beberapa kali ini Kak Krisna menawarkan diri menyediakan teh manis, siapapun memimpin diskusi. Kali ini dia yang meracik. Dia sengaja pulang ke rumah sehabis jam kantor, membawa termos air panas, si kembar putih-biru yang penampilannya segar. Katanya kakaknya baru membeli si kembar. Lalu nampan berisi gelas-gelas plastik, beberapa teh celup Goalpara yang dimasukkan di plastik, gula di wadah Tupperware kecil, sendok-sendok plastik untuk mengaduk. Seperti piknik. Karena persediaan air panas cukup banyak, kami bisa berulang kali bikin teh, dengan atau tanpa gula.

Kamis terakhir kemarin, surprise! surprise! Dari mobilnya Kak Kris menatang nampan plastik berisi cangkir-cangkir gelas vintage ,bermotif-warna cokelat, lengkap dengan pisinnya, teh celup Goalpara, gula. Lalu ia kembali ke mobilnya untuk mengambil si kembar termos putih-biru.

“Ya ampun, Kak Kris, ini mah piknik!” teriak Eka.

“Waw.. kita seperti orang Inggris!” seru saya kagum. Maksudnya, orang Inggris katanya bertradisi minum teh dengan proper. Kegiatan menikmati suasana ngobrol dan minum teh.
Kak Kris tersenyum khas, yang ber-he-he-he dengan suara rendah-pelan. Saya baru sadar Kak Kris memakai baju terusan cantik berwarna biru-ungu. Kalau kata orang Batak, baju untuk ke gereja.

“Iya, aku pakai baju ini di rumah, sekalian dicuci nanti,” jawabnya.
Kami makan sio mai yang Eka beli di dekat kantor lamanya, di belakang Bidakara. Asli enak. Bumbunya pas. Sambalnya tak terlalu pedas, ditambah kecap manis kental, lalu dikucuri jeruk limo kecut-segar.

Jadi, kapan kita piknik beneran nih? Kak Kris bilang dia baru saja ke museum Ibu Tien di Taman Mini. Saya jadi ingat Anse yang akan mati-kutu kalau diajak ke museum. Gimana kalau tur wisata ke kota tua Jakarta? Iya ya, kita ini di Jakarta tak pernah tahu Jakarta. Gimana caranya? sambar Kak Aty. Hahaha. Kamis sore yang sempurna.

Sore itu kami meneruskan diskusi dari workbook Menjadi Garam dan Terang. Halaman 67. Hanya nomor tiga. Saja. Perumpamaan seorang penabur.

Penabur menabur benih. Benih jatuh di tanah-hati yang kurang banyak, jatuh di hati-berbatu, jatuh di hati-berbelukar. Dengan keadaan itu, benih bisa tumbuh, tapi sebentar, karena terlilit masalah kurang tanah, berbatu, berbelukar. Bisa sih tumbuh, tapi merana, lama-lama kering, mati. Tapi kenapa Yesus mesti ngomong dengan cara perumpamaan, tidak langsung ke pokok permasalahan? Karena ia seorang seniman agung yang sensitif dan berbakat (itu menurut saya). Ia mengajak pendengarnya memahami posisi benih yang adalah firman Tuhan, kondisi tanah sama dengan keadaan hati, tumbuh adalah proses yang mesti diwaspadai dari ilalang, dan lebatnya buah adalah hasil kita memelihara hati-tanah tetap sehat dan steril.

Doa memampukan seseorang dapat merasakan ilalang yang ‘diam-diam’ tumbuh di samping benih yang ditabur. Seberapa tahu kita tentang ilalang yang mungkin tumbuh di hati teman, keluarga, bahkan diri kita sendiri? Ilalang adalah penghalang seseorang bisa ‘mendengar’ dan ‘melihat’. Pengetahuan tentang ilalang akan menjadi kata kunci berdoa strategis. Seperti berperang dengan baik. Hemat senjata, hemat waktu. Bagaimana kita tahu ilalang yang tumbuh di hati kita atau di hati orang-orang sekitar kita, kecuali kita gaul dengan Sang Pemilik Hati Orang?

Ya, begitulah cerita Kamis sore kami kami. Sesungguhnya banyak cerita kami tertinggal di dalam dan luar Kapel. Dan kami senang cerita-cerita itu tersimpan di sana. Tenang selama enam hari dan di hari ketujuh cerita akan bertambah satu babak. Panjang atau pendek, tergantung semangat kami bercerita. Kesedihan dan kebosanan. Kegagalan dan mimpi. Keputusasaan. Kelegaan. Tawa dan luka. Cinta dan keadilan. Kesepian dan bahagia. Ada di sana. Di dalam dan luar Kapel Cikini. Di dinding-dindingnya. Di sudut-sudut ruangannya. Di bawah bangku-bangku panjang yang terbuat dari kayu jati kualitas zaman dulu yang sepertinya takkan pernah rusak sampai kiamat saking kuatnya. Di mimbar. Di kaca-kaca. Di jendela-jendela patri.
Bahkan cerita-cerita itu sudah memadati udara yang tak nampak namun bisa dihirup dengan pasti. Janji-janji Tuhan yang kami percayai melayang-layang bagaikan ratusan bahkan ribuan balon ulangtahun warna-warni yang memantul lembut di langit-langit Kapel. Ramai sekaligus diam. Saat mengamati satu balon, kami akan ingat satu peristiwa di satu Kamis sore. Kalau tidak pernah mencengar cerita itu, cukup bergumam, “Oh, aku tak datang pas hari itu.”

Begitulah sepenggal cerita dari Kapel Cikini. Setiap Kamis sore.

Awal Maret 2009

1 komentar:

  1. Fortunes of Vegas - The Film File Europe
    MGM National Harbor 토토 디스크 was the MGM National Harbor powerballgame co k (MGM) flagship 먹튀 신고 property of the Las Vegas 토토사이트 적발 벳피스트 casino. It was the flagship 올인 구조대 property of MGM National Harbor in

    BalasHapus