Jumat, 08 Mei 2009

DOA hanya untuk kalangan terbatas

Doa dapat mengatasi kegelisahan, meringankan kecemasan, mengembangkan rasa tenang, mengusir rasa sepi, serta memperkuat kekerabatan.
Reader Digest’s Indonesia edisi Juli 2006

Peristiwa ini sekitar enam bulan lalu.

Pada satu Sabtu siang saya dan Otta Pandjaitan ke Immanuel Jalan Proklamasi Jakarta. Rivelino, seorang teman yang bertemu di toko buku ini, memperkenalkan saya dengan gadis mungil berambut supercepak dan berkacamata. Namanya Imelda Bukit. Melihat penampilannya siang itu, saya tak percaya mendengar bahwa dia baru saja berhasil melawan sel-sel kanker yang menggerogoti tubuhnya. Senyum ramahnya berkembang beberapa kali, menyatakan hal yang sama dengan saya.

“Seperti mimpi,” aku lulusan MIPA jurusan Statistik Universitas Padjadjaran ini.

Saya mengajaknya bertemu lain waktu karena ingin mendengar kisahnya lebih detail. Dia menyambut hangat ajakan itu. Lalu kami menentukan hari Jumat selepas jam kantor minggu berikutnya. Masih di tempat sama, kami mengobrol santai sambil menikmati teh hangat di kesejukan AC. Dengan seksama saya mendengarkan gadis 28 tahun yang sudah lima tahun bergabung di Matari Advertising sebagai Research Executive. Sore itu dia terlihat ceria dan bebas. Sangat menarik.

Sakit perut yang tak kunjung reda
Bermula di awal September 2005, Imelda merasa perutnya sakit, mual setiap makan, dan susah buang air besar. Dokter umum mendiagnosis gejala tersebut maag, meresepkan obat maag tapi selama seminggu sakit di perutnya tidak berkurang. Kembali ke dokter yang sama dan kembali mendapat obat yang sama pula, dengan tambahan anjuran untuk bersabar. Pernah sekitar pukul 2-3 dini hari, dia muntah-muntah, dan membalur perutnya banyak-banyak dengan minyak kayu putih, berharap itu hanya masuk angin biasa.
Seorang teman yang mengamati perubahan pola makan Imelda di kantor, menganjurkan untuk segera ke internis untuk pemeriksaan lebih lanjut. Imelda memang semakin kurus sementara perut kian membuncit seperti terkena busung lapar.
Belum sempat memeriksakan diri ke internis, tanggal 24 September, Imelda bersama dua saudaranya, Kak Irma dan Bang Indra, harus terbang ke Locimba, Kabanjahe, Sumatera Utara. Keluarga besar mereka akan mengadakan perhelatan istimewa, pernikahan Kak Irma pada 30 September 2005.

Di pesawat Imelda lemas karena sudah sekian lama dia tidak bisa makan. Ibunda yang menjemput di bandara sempat mengkhawatirkan keadaan putrinya namun tetap menggangap itu sakit biasa. Sampai di rumah tubuh Imelda semakin lemah dengan perkembangan rasa sakit yang tak terkatakan. Dia hanya sanggup berbaring dengan meringkuk di kasur karena bila meluruskan badan rasa sakit itu akan menghebat.

Tanggal 26 September malam, saat berusaha menyuapi adiknya, Kak Irma meraba perut Imelda dan merasa sesuatu yang keras di sebelah kanan perut. Ia menelepon Paman mereka di Kabanjahe dan meminta agar Imelda segera dibawa ke klinik internis. Di sana tensi darahnya diukur. Cukup tinggi memang. Lalu dilakukan USG. Dokter internis sempat menggoda, semoga Imelda tidak sedang hamil. Tampilan di USG memperlihatkan adanya benjolan di abdomen atau perut Imelda sebesar kepalan petinju pria dewasa dengan diameter 9cm. Dokter internis menganjurkan untuk segera ke dokter bedah untuk diperiksa lebih lanjut. Sayangnya hari itu dokter bedah tidak praktek.

Merasa khawatir dengan kondisi keponakannya, Paman sangat menyarankan keluarga agar membawa Imelda kembali ke Jakarta. Kondisi Imelda sudah sangat lemah, tidak bisa berpikir, sementara rasa sakit di perutnya tidak pernah menghilang barang sedetikpun.

Meskipun pernikahan akan berlangsung dalam beberapa hari ke depan, keluarga berunding dan memutuskan Bang Indra yang akan menemani Imelda ke Jakarta. Sebelumnya Kak Irma sudah menelepon dr Togar, ahli tumor (Onkolog) RS Cikini, memberitahu soal kondisi adiknya. Tanggal 27 September 2005 Indra bersama Imelda terbang ke Jakarta dan langsung dibawa ke RS Cikini dan pada hari yang sama pula dilakukan pemeriksaan dan opname.

Kanker getah bening
Sejak berada di rumah sakit Imelda mendapat tindakan intens, diantaranya pemeriksaan darah, check-up seluruh tubuh, foto sinar-X, citiscan. Ahli kandungan memeriksa kalau-kalau masalahnya ada pada rahim. Yang mengkhawatirkan adalah hanya dalam waktu dua hari -27 sampai 29 September-, benjolan sekepalan tangan sudah menjadi 12cm, lalu 24cm. Tubuh Imelda waktu itu serupa wanita hamil yang menderita kekurangan gizi.

Tanggal 30 September 2005 adalah hari pemberkatan pernikahan Kak Irma di Kabanjahe, dan pada hari yang sama pula tim dokter melakukan biopsi beberapa jaringan di perut Imelda. Karena sakit yang hebat Imelda tidak menyadari apa yang tengah terjadi, hanya saat siuman ia sudah berada di ruang ICU. Makanan dan obat disuplai lewat infus. Selama tiga hari di ICU, Imelda dua kali memuntahkan cairan kental berwarna hitam yang bila dijumlahkan sebanyak setengah liter.

Tim dokter menyimpulkan bahwa Imelda menderita kanker lymphoma non-Hodgkin burkitt stadium 3b. Andai saja terlambat sedikit, akan menyebabkan akibat yang fatal sifatnya. Sel-sel kanker tumbuh dengan cepat. Tim dokter menyarankan kepada keluarga agar Imelda melakukan kemoterapi untuk menghentikan pertumbuhan sel kankernya. Sempat ada ketidaksepakatan di antara tim dokter karena hematolog (ahli darah) menyarankan kemoterapi dilakukan 14 hari setelah otopsi atau setelah luka mengering. Hal ini untuk menghindari kekhawatiran timbulnya pendarahan saat dilakukan kemoterapi dan pasien sulit menerima transfusi darah pada saat seperti itu.

Tapi ketua tim dokter, dr Karmel, dokter senior usia lanjut tetap membesarkan hati keluarga dan percaya bahwa kemoterapi ini perlu dilakukan secepatnya agar pasien benar-benar sembuh. Keluarga setuju kalau itu adalah yang terbaik untuk Imelda.

Pada dasarnya kemoterapi yang dijalani setiap pasien kanker berbeda-beda sesuai kondisi masing-masing. Imelda sendiri menjalani kemoterapi proticol codox dengan 6 seri terapi. Masing-masing seri memakan waktu 15 hari dengan biaya berkisar Rp10-13 juta rupiah di setiap serinya.

Imelda menjalani hari-hari terapi yang panjang, membosankan, sekaligus melelahkan. Satu kotak ukuran boks kotak mi instan dipenuhi berbagai jenis obat untuk setiap seri kemoterapinya. Selama menjalani terapi tubuh Imelda panas sementara suhu tubuh tetap normal. Itu bukan karena demam tapi karena pengaruh obat yang kuat. Keluarga, kerabat, teman, atau siapa pun yang sedang menjenguk, sibuk mengipasi Imelda yang terus menerus kepanasan meskipun berada di ruang sejuk ber-AC.

Di seri pertama rambut Imelda mulai rontok. Buku, lagu-lagu yang menghibur, kehadiran orang-orang yang mengasihi dan percaya akan kesembuhan, membuat Imelda sanggup bertahan, bahkan di seri-seri terakhir kemoterapi yang telah membuat kulit kepalanya bersih dari rambut alias botak. Dukungan dan semangat dari orang di sekeliling Imelda, termasuk para perawat yang bergantian merawatnya, telah menjadi hiburan tersendiri bagi Imelda.

Intensif Imelda menjalani terapi selama 6 bulan. Masa yang lebih dari cukup untuk membuatnya untuk menghargai hidup. Masa yang tidak sepi dari rasa curiga yang kerap muncul saat rasa sakit tak terkira menggerogoti sel-sel ketenangan hidupnya, yang tidak menghilang sebelum tidur. Sering Imelda merasa inilah akhir hidupnya. Namun setiap kali bangun, bernapas, bertemu hari baru, dia bersyukur lagi. Itulah hal terbaik yang bisa dilakukannya selama sakit.

Kini Imelda paham betul arti sabar, menyerahkan diri kepada sang pemilik hidup, menangis dalam sukacita, tertawa dalam kesakitan, berharap dalam keputusasaan, menerima seluruh kebaikan dari orang-orang di sekelilingnya. Ia mengalami Tuhan yang telah menyegarkan aliran darahnya dan menyembuhkan sel-sel sarafnya dari kanker yang mematikan.
“Setiap hari saya berkeinginan kuat untuk memberi yang terbaik di hari itu sebab saya telah mengalami masa bahwa mungkin saya tidak akan punya kesempatan esok. Hidup saya bernilai,” ujarnya sungguh-sungguh.

Efek doa menurut ilmu pengetahuan
Mengukur dan menganalisa efek doa terhadap kesehatan telah menjadi cabang ilmu pengetahuan –sebagian orang mengatakan ilmu pengetahuan lancung – yang terus berkembang. Statistik Kesehatan di Amerika telah melakukan penelitian dan melaporkan bahwa lebih dari setengah yang disurvei pernah dalam satu waktu berdoa untuk kesehatan mereka. Para kardiolog mengaku bahwa 97 persen pasien mereka berdoa sebelum melakukan bedah jantung.

Dari 5600 responden, 41 persen berkata doa dijawab dengan kesembuhan fisik. Dalam kondisi doa tidak menjawab kesehatan fisik, 74 persen responden berkata bahwa alasan terpenting adalah hal itu karena tidak sesuai dengan rencana Tuhan. Lebih dari sepertiga responden setuju bahwa yang paling penting dalam doa adalah merasakan keintiman dengan Tuhan. Sebanyak 28 persen responden untuk mencari petunjuk Tuhan, sedangkan 67 persen menghabiskan waktu doa selama 6 bulan untuk hanya bersyukur.

Sebelumnya dunia sains telah membuktikan efek kehidupan spiritualitas yang dapat mengurangi stres dan efektif dalam meningkatkan sistem kekebalan tubuh seseorang. Collen McClain-Jacobson, peneliti di Universitas Fordham Universitas New York City, telah meneliti untuk waktu yang cukup lama, untuk membuktikan bahwa orang yang memiliki kehidupan spiritualitas yang baik, hidupnya lebih lama daripada yang tidak. Pada tahun 2001, penelitian yang dilakukan terhadap wanita dengan kanker payudara membuktikan bahwa mereka yang berdoa memiliki lebih banyak sirkulasi sel-sel darah putih dan jumlah pada limfosit daripada yang tidak berdoa. Tahun 2002 dilakukan studi pada pasien AIDS dan menemukan bahwa pasien yang berdoa memiliki tekanan hormon kortikol yang paling rendah dan umur mereka lebih panjang.

Dalam kasus Imelda, tidak perlu dipertanyakan banyaknya orang yang berdoa untuknya. Keluarga, tim dokter, perawat, kerabat, saudara, teman, teman ibunya, teman saudaranya, kelompok doa. Berbagai gaya dalam berdoa tak menjadi soal dalam menyalurkan semangat kesembuhan melalui tangan para dokter, obat-obat yang dimakan, membuat keputusan-keputusan tepat oleh keluarga, dan memelihara hati rapuh pasien untuk terus dikuatkan. Tidak ada yang akan menyangkal soal ini. Sepenggal doa tidak boleh disangsikan keberadaan dan kedahsyatan hasilnya.

Ita Siregar, Agustus 2006
Dari berbagai sumber

1 komentar: