Jumat, 08 Mei 2009

Detail

(Menyusuri keindahan kematian Tuhanku Yesus). Jumat Agung. GKI Layur Rawamangun. Saya ibadah jam 9 pagi dengan Yola, teman serumah. Dari rumah jaraknya cuman lima menit berjalan kaki. Tak sengaja kami berdua berpakaian hitam. Alasan saya adalah bertepatan saya punya baju baru. Sampai di gereja warna yang sama mendominasi pakaian jemaah. Menarik sekali membaca warna yang menyimbol duka dalam sebuah ibadah. Tapi seperti saya, wajah-wajah tidak menampilkan sedang berduka. Biasa saja, datar. Saya tergoda untuk menulis ini, memikirkan masalah pribadi saja sudah ribet, boro-boro merenung ulang sejarah duka yang pernah ada di hari Jumat.

Sebuah salib yang langsing, entah terbuat dari apa, tapi dari jarak 5 meter, tampak seperti terbuat dari kayu bulat yang permukaannya kasar, berwarna cokelat kayu, tergantung di atas mimbar. Tidak langsung menarik perhatian, tapi menggetarkan kalau lama-lama dipandang.
Lagu-lagu terpilih yang dinyanyikan sangat tidak menggugah. Sengkoknya banyak bernada setengah, lagu yang tidak pernah saya kenal. Untungnya piano berdenting asyik, instrumen yang saya suka. Yang lain, kelebihan lagu-lagu NKB adalah, syairnya berbentuk puisi sederhana yang bermakna dalam dan sering menukik karena berupa pertanyaan pribadi dan jawabnya diam-diam saja di dalam hati, hingga tersipu sendiri menyanyi-ucapkan syair. Di akhir ibadah, muncullah lagu abadi yang amat saya kenal, SalibNya, tapi dengan syair berbeda. Saya jadi ingat ibu saya almarhum yang setiap kali terharu menyanyikan lagu itu.

Pagi yang akrab. Tuhan menjawab pertanyaan-pertanyaan pribadi saya lewat kotbah Pendeta Samuel Lie. Menurut Pendeta Lie, seorang (tokoh) besar, baru (benar-benar) besar kalau setelah mati namanya terus didengung-dengungkan di dunia orang hidup. Berbagai kisah selama tokoh itu hidup, menarik perhatian secara global, dan barang-barangnya bisa dijual (dilelang) dengan harga fantastis. Pendeta Lie mencontohkan Lady Diana dari Inggris. Saat kematiannya karangan bunga dan ucapan duka dari dunia, dikumpulkan dan seluruhnya selapangan bola. Surat-surat pribadi yang ditulis tangan kepada sahabat-sahabatnya, laku jutaan dolar di balai lelang Christy. Kalau itu saya, diobralpun mungkin barang-barang saya tidak menarik perhatian orang. (Hehe, belum tentu juga, Pendeta. Minimal jemaat Layur takkan tega takkan membeli barang lelanganmu kelak.)

Lalu tiba pada kematian manusia Yesus, Pendeta Lie mengutip beberapa pendapat para ahli tentang model kematian tak lazim itu: digantung di kayu salib. Kematian yang memalukan. Karena gaya mati yang tidak indah itu, beberapa ahli menganggap misi Komunitas Atas untuk menebus warga dunia dari dosa tidak berhasil. Wong tokoh utamanya saja tergantung tak terhormat di atas kayu, kesakitan dan berdarah karena duri-duri yang melingkar di kepalanya menusuk-nusuk saraf kulit, belum lagi paku panjang yang tertanam di dua pergelangan tangan dan telapak kakinya, bau amis darah telah lama menguap karena kering kepanasan digantung selama kurang-lebih tiga jam.

Kenapa jadi begini ya? Jauh dari sensasional. Tidak ada panitia protokuler yang mengatur jalannya prosesi kematian, apalagi penguburan dengan segala kehormatan.

Setelah mengucapkan 7 kata (kalimat), kata Pendeta Lie, Si Sulung itu menyerahkan nyawanya. Habis dipatahkan tidak berdaya. Tapi setelah itu, bumi gelap gulita. Matahari berhenti bersinar. Dari tengah hari hingga berlangsung tiga jam. Saksi mata dari Tabernakel, tempat yang lumayan jauh dari bukit Tengkorak, melaporkan bahwa gorden sepanjang 24 meter robek dari atas ke bawah, tidak jelas siapa pelakunya. Apa yang bisa dilakukan manusia dalam kegelapan total? Seorang Centurion (kepala dari 100 prajurit) dari kerajaan Romawi bergumam sendiri, yang berada di lokasi saat itu, bergumam mengaku, orang ini tidak bersalah.

Kenapa Markus, Lukas, Yohanes, tidak detail mencatat tiga jam kegelapan yang terjadi waktu itu, tanya Pendeta Lie. Kenapa penyiksaan tubuh yang mengandung banyak kekerasan itu begitu sederhana ditulis? (Waktu berjalan melewati deretan perempuan yang menangis karena terharu melihat pemandangan Yesus, Yesus malah berkata, jangan menangis melihat saya seperti ini, ibu-ibu, tangisilah dirimu dan anak-anakmu.) Apa yang ingin Yesus katakan tentang empati sedih manusia terhadap kematiannya yang tragis? Apakah Ia mengetahui sensasi-sensasi salah dari adat manusia yang melebih-lebihkan emosi daripada tegar berfokus pada esensi rencana kekekalan yang sedang berlangsung saat itu?

Di film Passion of the Christ, Mel Gibson menggambarkan peristiwa via dolorosa ini menjadi visual yang sungguh mendebarkan. Maria, ibu Yesus, mengikuti detik-demi-detik penyiksaan anak sulungnya itu dengan wajah pucat tak berdaya, tanpa bicara sepatah kata, mengusapkan darah segar putranya yang tertumpah di lantai jalanan, sendirian, mengotori wajah dan pakaiannya, memandang dengan jantung terkoyak, anak yang lahir dari rahimnya 33 tahun lalu, tergantung. Gaya mati yang tak pernah mampir di kepalanya. Anakku tercinta.

Seperti halnya Mel Gibson memvisualisasikan dengan berani kematian Yesus, saya senantiasa tertarik detail. Usaha menjelaskan. Sebuah fasilitas yang dianggap dapat memudahkan pembaca untuk menggambarkan suatu peristiwa di benaknya. Keterampilan menghidupkan suasana.
Kembali lagi ke pertanyaan Pendeta Lie, kenapa para penulis Injil tidak menulis beberapa kata sifat lagi agar membuat laporan lebih detail? Bila kita hanya punya waktu lima belas menit untuk membaca ulang peristiwa Jumat, mungkin apa yang dibaca tidak banyak bicara. Kita perlu duduk lebih rileks, merenung dengan sikap menanti, meramu rentetan peristiwa di kepala, sesuai dengan kemampuan berimajinasi. Hasilnya bagaimana? Akan banyak pengamatan yang berbeda tentu saja.

Penjelasan Pendeta Lie simpel. Bahwa penulis injil menulis peristiwa Jumat itu begitu sederhana karena mungkin mereka ingin lebih menekankan pada makna kristologisnya. (Saya teruskan, bukan menulis untuk membangun emosi pembaca.) Bila demikian, ini adalah kematian bersahaja yang begitu percaya diri. Gaya mati yang tak perlu penjelasan detail. Cinta kepadaNya akan memberi cerita baru setiap kali membaca kisah ‘Once Upon a (Good) Friday. Detail tanpa ketulusan cinta, takkan berhasil.

Selamat Paska.

Ita Siregar, Paska 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar