Jumat, 08 Mei 2009

Paradoks

Minggu 12 April. Di mimbar GKI Layur kebaktian jam 5 pagi, Pendeta John Panuluh bercerita pengalamannya memimpin renungan di acara hening paska di jemaah Sunter. Acara itu dimaksudkan untuk mengenang pengorbanan Yesus sebagai Anak Domba paska. Acara diakhiri dengan makan-makan ‘seadanya’ sambil bersilaturahmi. Kepada koordinator acara, Pendeta John usul, kalau merenung paska, cocoknya tidak disediakan makanan. Alasannya, acara makan yang ramai dan mengenyangkan akan mengaburkan konsentrasi jemaah yang sedang merenungkan kepahitan sebuah pengorbanan. Mungkin maksudnya, sulit membayangkan lapar ketika perut kenyang. (Saya jadi ingat catatan Paska dari seorang teman tentang acara Maundy Thursday di gereja di Coventry, Inggris, kebiasaan jemaah gereja makan hidangan salah satunya sayuran pahit, untuk mengenang pengorbanan Paska).

Tentang hal tersebut, saya jadi ingat satu bagian tentang konflik Kristen-Hindu di buku The God of Small Things yang ditulis oleh Arundhati Roy, novel yang mendapat hadiah Booker Prize tahun 2001. Novel bersetting tahun 1960-an, di Kerala, satu daerah India yang masa itu sarat pergolakan politik, bercampur beragam masalah etnis, adat, agama di masyarakatnya yang bagaikan benang kusut.

Pada tahun 1860-an Syrian Christians sudah menyebar di Kerala. Beberapa keluarga India Hindu berpindah agama menjadi Kristen, terutama kaum sudra, kasta terendah dalam tatanan Hindu, atau disebut juga Paravan, Pelayas atau Pulayas, setelah mendengar dari pendeta Kristen bahwa agama ini tidak mengenal kasta. Setiap orang sama di mata Tuhan dan tidak ditentukan berdasar status ekonomi atau politik. Tapi ternyata fakta di lapangan tidak seideal teori.

Para pelayas tidak berangkat ke mana-mana setelah menjadi Kristen. Kaum pelayas (The Untouchables) harus merangkak bila memasuki rumah kaum brahmana (The Touchables). Mereka harus berjalan mundur sambil mengelap lantai yang habis diinjak, karena begitu rendahnya kaum pelayas sehingga lantai yang diinjaknya tidak layak diinjak kaum brahmana. Roy menyebutnya: Caste Hindus dan Caste Christians. Demi menyelamatkan konflik budaya-agama, gereja di Kerala bermodel kasta. Gereja para sudra mempunyai pendeta yang juga dari sudra dan tata ibadah khusus sudra. Menarik? Memprihatinkan. Mereka tak terbebas dari hukum kasta yang mengikat seumur hidup mereka, meski bukan maksud hendak mengabaikan penebusan pengorbanan kayu salib. Tapi sungguh sulit keluar dari bayangan ini. Pelayas tetaplah pelayas. Ada tanda darah atau tidak.

Di sisi yang lain, orang Israel mengenang malam paska yang sangat nyata dengan sejarah hidup mereka. Ketika akan keluar dari Mesir, mereka diburu Firaun, menahan mereka hingga selalu gagal meninggalkan Mesir. Menjelang tulah yang ke-10, Tuhan berbicara hal sangat penting kepada bangsa Israel lewat Musa, bahwa setiap keluarga Israel harus mengorbankan domba jantan usia setahun yang tak bercela, yang setelah domba disembelih, setiap keluarga mengusapkan darah domba (kambing juga boleh) di palang pintu rumah. Jangan sampai lupa. Karena malam itu, Tuhan akan menyusur ke seluruh tanah Mesir untuk ‘membunuh’ anak sulung manusia dan hewan. Dan setiap palang pintu rumah dengan tanda darah, Tuhan akan melewatkan ‘(pembunuhan itu)’.

Malam yang mengerikan. Satu kematian di rumah-rumah keluarga Mesir, di mana-mana. Kehilangan harapan sulung. Pastinya lebih mencekam dari ketegangan 14 Mei 1998 yang terjadi di tanah air. Itu tak seberapanya. Tak mungkin menghibur yang lain. Bahkan Firaun kehilangan calon putra mahkotanya. Tak terbayang sikap orang Israel terjaga tengah malam ketika tetangga Mesir mereka menjerit dengan lengkingan menyayat hati. Sementara keluarga mereka baik-baik saja. Apakah mereka bersyukur karena tidak kehilangan satu anggota keluarga pun? Saya tidak tahu.

Firaun dan para penasehatnya tak menunggu. Mereka tahu bahwa semua kepahitan ini datangnya dari Yang Maha Berdaulat Sembahan bangsa Israel. Tuhan telah memaksa mereka menelan sayur yang luar biasa pahitnya hingga menyakitkan perut. Mereka tak mau berkompromi lagi dengan orang Israel kali ini. Dalam ketegangan, kepedihan, dan kemarahan Firaun yang menjadi tak berdaya itu menyuruh orang Israel pergi. Malam itu juga. Bangsa yang sudah mengabdi kepada bangsanya selama 430 tahun. Waktu yang sangat panjang. Hingga sekarang, orang Israel mengenang malam paska dalam satu romantisme yang sangat mendalam, tentang malam saat mereka terlewatkan dari kematian.

Membayangkan jemaah Sunter, Kristen tapi Hindu ala Roy, malam orang Israel dilewatkan kematian, saya merenung yang lain. Apakah kita pernah dikungkung belenggu yang dibebaskan secara nyata? Belenggu hutang yang menjerat dari waktu ke waktu. Belenggu penyakit yang hampir mematikan. Belenggu seks yang begitu menggoda. Belenggu korupsi yang mendarah daging. Belenggu daya tarik dunia ini dan belenggu-belenggu pribadi lainnya?

Bila ya, kita mungkin bisa rasakan saat menelan sayur pahit di malam paska. Kalau tidak, bagaimana memahami dengan benar makna belenggu dosa yang mengikat dan pengorbanan kayu salib? Kalau kita tidak pernah mencintai hingga terluka, bagaimana bisa berkata cinta tanpa pengorbanan itu sia-sia? Bila cinta itu tak terbatas, bagaimana menerangkan kepada sekelompok yang percaya bahwa cinta itu tersekat-sekat? Apakah terlalu sulit?

Sebelum meninggalkan mimbar pagi itu, Pendeta John Panuluh mengumumkan bahwa akan ada hidangan seadanya selepas ibadah subuh ini. Hanya bubur ayam yang tidak seenak bubur ayam langganan. Saya makan bubur ayam di gereja. Rasanya enak gurih karena kaldu ayamnya kental. Belum pernah saya makan bubur ayam seenak itu. Sepanjang perjalanan pulang saya memikirkan bagaimana cara memasak bubur yang enak itu, melupakan rencana menelan sayur pahit.

Ita Siregar, Minggu gembira 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar