Jumat, 08 Mei 2009

GOMER

Marilah kita mengenal dan berusaha sungguh-sungguh mengenal Tuhan,
Ia pasti muncul seperti fajar,
Ia akan datang kepada kita seperti hujan,
Seperti hujan pada akhir musim yang mengairi bumi.
Hosea Beeri, 800-700SM

Abdi Allah itu duduk tenang. Dua laki-laki kira-kira sebayanya yang juga menunggu, melakukan gerakan berdiri-duduk sambil menjaga jarak satu sama lain di ruang berbentuk setengah lingkaran di lantai dua rumah itu. Tak ingin saling kenal, tak ingin bertanya. Setiap kali abdi Allah melirik ke salah satunya, sepasang mata itu pasti kedapatan sedang menatap-lekat kepadanya, dengan tatapan yang tak bisa ia terka maknanya.

Gomer pastilah istimewa, batin abdi Allah itu sambil melakukan gerakan tak penting, meraba topi kainnya yang berpincuk di ujung kepalanya. Memikirkan hal ganjil itu, diam-diam rasa malu menyusup ke seluruh dirinya. Namun tubuhnya tetap tenang. Ia meneruskan pikirannya dengan gugup. Gomer diminati banyak laki-laki kesepian, yang terlalu sibuk dengan bisnisnya, tak sempat bertemu keluarga, mencari pelepasan lain. Laki-laki haus sentuhan, laki-laki kurang penghargaan. Ia mengernyitkan keningnya lembut ketika mengingat lagi arti Gomer. Lengkap. Kue kismis yang paling diminati. Bara api.

Mengingat itu ia tersenyum kecil. Sudut-sudut bibirnya tertarik ke atas. Wajah bayinya yang tak berlekuk tampak penuh. Janggutnya yang hitam lebat berkilat memenuhi setengah bagian pipinya sampai ke bawah dagu dan di atas bibirnya, membuat kulit wajahnya tampak lebih bersih. Tak begitu tertata seperti janggut-janggut kedua kawan yang sedang bersamanya, yang dibentuk sesuai budaya mereka, dengan mata pisau yang tajam dan diolesi ramuan minyak damar dicampur serai wangi khusus.

Mata abdi Allah itu bersinar lembut. Keseluruhan dirinya melukiskan kegembiraan yang muncul dari kejujuran dan keyakinan yang tak terbantahkan. Kadang-kadang ia terlihat seperti pemalu. Terlebih kali ini, ia sedang merasa canggung menanggapi perintah Yang Maha Atas, yang tak bisa dipahaminya hingga detik ini, namun hatinya menerima. Tuanku ya Raja Semesta, Engkau adalah Mak Comblang yang aneh, batinnya tak berpikir. Kemudian hatinya menjadi lebih gelisah mengingat Gomer.

Perintah yang aneh. Belum pernah ia mendengar perintah seperti ini sebelumnya. Kepada abdi-abdi mana pun yang pernah hidup sebelumnya. Namun pesan itu datang dengan kuat dan lembut. Hatinya berusaha membantah kebenaran pesan itu. Tapi kata-kata itu terus melekat di dalam dirinya, memenuhinya, tak bisa menyangkal. Bahkan ia telah dengan sengaja mengeleng-gelengkan kepalanya kuat-kuat agar suara kebenaran itu melenceng ke luar. Tapi tindakan itu malah membuatnya berpikir lebih jernih. Perintah yang tegas dan jelas, kini tersimpan baik di hatinya. Hingga akhirnya ia menyerah, menundukkan kepala dengan lemas. Aku hanyalah seorang hamba. Aku ingin belajar memahamiMu, Ya Yang Maha Tinggi, batinnya pasrah.
Ia kembali mengamati kedua laki-laki yang bersamanya. Dari model janggut mereka, ia bisa mengira kebangsaan mereka. Ditambah cara berpakaian yang menunjukkan mereka adalah seorang pedagang dan seorang pejabat pemerintahan.

Kini ia tersipu menyadari kebodohannya. Tatapan penuh teka-teki dari kedua kawan ini tentulah dari jubahnya yang berpotongan sederhana, terdiri dari dua lapis dan ikat pinggang kain agar jubah tak terlepas dari pinggangnya. Pakaian adalah simbol yang tampak dan sengaja dibuat agar kebangsaan mudah dikenali. Kenapa melupakan hal sederhana ini? Namun orangtuanya yang takut akan Tuhan telah mendidiknya agar tidak mengambil kesimpulan dari penampilan.

Dalam lamunannya, mata abdi Allah itu mengikuti gerak laki-laki pedagang yang bergegas masuk menghilang di balik tirai berwarna marun, ketika mendengar suara kecil nyaring memanggil dari arah dalam tirai. Seketika tirai bergoyang kencang lalu dengan cepat lurus terdiam, karena kedua ujungnya diganduli gulungan benang.

Tiba-tiba tercium sesuatu yang hangat dan wangi. Seorang perempuan muda dengan aroma jasmin muncul dari bawah tangga di sudut ruang, menaruh kue kismis hangat di atas meja, mengerling genit bergantian kepada abdi Allah dan laki-laki si pejabat pemerintahan, berseru malu-malu dengan suara yang nyaring dan manja, “Silakan. Kue kismis. Takaran kue ini diukur sendiri oleh Gomer dengan resep rahasia yang terus menerus disempurnakan hingga rasanya tak tertandingi di kota ini. Anda perlu datang kembali untuk mengingat rasanya yang istimewa.” Lalu sepasang kakinya yang kecil lincah menuruni tangga seperti sedang menari.

Penjelasan yang menakjubkan untuk perjalanan sepotong kue. Resep rahasia. Ditakar dengan baik. Terus disempurnakan untuk mendapat citarasa tak tertandingi.

Abdi Allah memandang kue kismis di atas meja. Dengan latar belakang tadi, kue kismis itu tampak lebih berharga dan menggiurkan karena semilir kismisnya harum bercampur wangi rempah kayu manis dan pala. Apakah karena namanya berarti kue kismis lalu Gomer perlu menghidangkan ini kepada para tamunya?

Kawan sepenunggunya telah sibuk mengunyah, rahang bawahnya naik-turun dengan cepat, menandakan ia bukan orang yang sabar, dengan mata memandang lurus ke luar jendela. Dilihatnya awan memutih, bergegas bergerombol. Lalu pejabat itu berbalik dan mengambil satu roti kismis kedua. Penjabat yang tidak puas dan tidak tahu porsinya. Menyadari hanya bergerak sendiri, ia melirik abdi Allah itu dengan ekor matanya, menyadari kawan seruangannya belum beranjak demi seroti kismis pun. Itulah memang pekerjaannya, menunggu, batin laki-laki itu sinis.

Di dalam hati abdi Allah itu memutuskan untuk tidak mencicipi kue kismis karena khawatir konsentrasinya membuyar karena kenikmatan yang ditimbulkannya. Namun harum kismis dan remah yang terus menerus mendera hidungnya, membuat perutnya tiba-tiba mengosong. Cepat ia menghibur diri. Ia pandangi sekeliling dinding yang bercat marun dengan gradasi warna terang hingga pekat, memberi kesan artistik yang hangat sekaligus ramai. Jendela melebar di sepanjang dinding yang dibiarkan terbuka ke udara, mengalirkan udara segar setiap kali. Ia melihat awan tampak mendung di luar sana, seperti mengandung sedikit air, tapi kemudian langit berwarna putih. Terang.

Serentak dengan satu gerakan kasar, tubuh pejabat pemerintah itu menegak. Wajahnya lurus, mulutnya merengut. Bunyi cemplang dari mulutnya menunjukkan rasa kesal. Kaki kanan ia entakkan ke lantai semen dingin yang meredam bunyi di sana. Ia seorang pejabat pemerintahan yang mudah terusik, bagaimana ia bisa mengatasi kepanikan rakyat? Apakah ia telah lupa mengunci loker berisi uang rakyat? Atau kaget karena ia telah melewati batas pikirannya? Pakaian suteranya melambai-lambai saat ia berlari menuju anak tangga yang berbentuk putaran, melangkah melompati dua anak tangga sekaligus.

Kepergian laki-laki itu membuat jantung abdi Allah itu berdebar serentak tanpa dikomando. Batinnya mengharap laki-laki itu kembali. Lima menit, sepuluh menit, dua puluh menit. Tidak kembali.

Jantungnya seakan copot ketika dirinya belum lagi pulih dan laki-laki pedagang telah keluar dari balik tirai marun, wajahnya tampak segar dan puas, segera menggelinding menuruni tangga. Rasa nyaman sang abdi Allah menguap. Ia tak bisa berdoa. Tak mungkin berdoa. Kenapa laki-laki pedagang itu begitu cepat di dalam sana? Apakah ia sudah menyesuaikan dengan harganya?

Hening beberapa waktu. Tiba-tiba dari balik tirai kamar terdengar seruan, “Masih adakah di luar?”

Abdi Allah itu berdiri tegak. Jubah sederhananya membuatnya merasa hangat. Rasa tentram tumbuh dengan cepat di hatinya. Gomer, yang akan ditemuinya ini, manusia perempuan yang lengkap dengan kebahagiaan, kesedihan, kepenatan, kekuatan, yang memerlukan dirinya untuk mencintai dan dicintai dengan tulus, dengan kasih kekal. Ia meluruskan dirinya, melangkah ketika seruan kedua kali terdengar.

Kedua tangannya lembut menceraikan kain tirai dari tengah-tengah, lalu tubuhnya masuk, segera hidungnya menghirup harum mawar yang semilir. Tubuhnya sangat nyaman. Hening. Ia menghentikan langkahnya. Menunggu. Lalu dirinya merasakan sebuah energi lembut mendekat ke arahnya.

Setubuh perempuan menjelma tepat di depan abdi Allah. Harum manis semerbak, parfum beraroma bunga dan buah, parfum mahal yang disimpan di kotak alabaster yang elegan untuk melindunginya dari sinar yang akan mengubah wanginya. Abdi Allah itu tenang mengamati keseluruhan wajah itu: kecantikan yang menakjubkan. Ia bersyukur karena menatap wajah secantik ini, sedekat ini.

Bola matanya besar, celak yang terbuat dari antimoni dan bubuk halus seng sehingga membuat mata hitamnya lebih legam dan melindungi telaga putih yang cemerlang di tengahnya, yang dikelilingi bulu mata lentik tebal berdesakan demi melindungi kedua mata menawan itu. Tulang pipinya tinggi bersemu merah muda, lalu bibir merah delima yang lembut segar. Kulit wajahnya halus dan terang karena telah dirawat dengan mur dan minyak badam. Pakaiannya sutra halus yang melebar di kedua ujung tangannya dan lipitan sempurna yang membentuk buah pinggulnya ke belakang. Sebuah cincin emas kecil bergantung di hidungnya, hingga bibir atasnya. Rambut hitam ikal dan dijalin, diikat lembut di atas kepalanya dengan jepit hias emas dan mutiara. Pengikut mode dengan modal kuat.

Hati abdi Allah itu meratapi dirinya yang selalu berwajah datar seperti gurun di musim kering, yang tetap seperti itu sementara perempuan itu sedang menyebarkan uap bunga musim semi yang ramah. Akankah dia tertarik kepadaku, ya Allahku? batinnya menyesal.

“Kau seorang suci. Jangan membuka jalan kesalahan pertama. Kasihanilah Allahmu. Aku pun tidak meminta pengampunan atas dosa-dosaku. Pergilah. Kita tidak mempunyai urusan satu sama lain,” terdengar halus suara Gomer seperti aliran air yang bergelombang tenang.

“Sejak saat ini kita berurusan,” jawab abdi Allah tenang.

Perempuan itu mengangkat alisnya yang tebal, kecantikannya yang lain, bagaikan sabit bulan purnama, berkata, “Katakanlah urusanmu.”

“Aku meminangmu sebagai istriku,” ujar abdi Allah tegas.

Kembali hening. Perempuan itu memiringkan kepalanya. Ia selalu tertarik kepada laki-laki agak pemalu. Tapi telah lama ia tidak berharap untuk bisa hidup normal seperti perempuan bermartabat. Menikah dan punya anak. Yang ia tahu hanyalah bahwa kehidupannya akan berakhir pada satu titik dan setelah itu tak tahu apa. Mungkin ia akan berakhir di jalanan. Pernikahan baginya sesuatu yang terlalu mulia, bahkan mengangankannya pun ia tak sanggup. Dan sekarang, tak tanggung-tanggung, seorang abdi Allah berwajah bayi, berdiri di hadapannya, berkata dengan sederhana bahwa ia melamar menjadi istri. Bukanlah itu sebuah ironi. Atau tragedi? Baginya terlalu dramatis. Hanya ada di cerita-cerita khayalan di antara teman-temannya.

“Berikan satu alasan kenapa aku harus menerima pinanganmu?”

“Karena aku telah diperintah demikian.”

“Siapa yang memberimu perintah ganjil seperti itu?

“Allahku. Pencipta langit dan bumi ini, Pemilik semesta alam raya.”

Perempuan itu termangu. Kepalanya semakin miring.

*

“Ayah, kau takkan percaya siapa yang kulihat di pasar tadi waktu pulang sekolah,” ucap Yizrel dengan mata melotot sementara mulutnya dipenuhi nasi dan tubuhnya condong ke depan, mengesankan pentingnya apa yang tadi ia lihat.

Sang ayah menatapnya tenang, menjawab, “Tentu aku percaya. Kau yang ada di sana dan kau adalah saksi yang penting.”

“Tidak, Kak. Jangan bilang Ayah. Kakak sudah janji tadi!” seru adik perempuannya menyela, dengan wajah memelas dan suara hampir menangis.

“Uma, aku tadi memang berjanji takkan bercerita kepada Ayah. Tapi ini hal penting. Keluarga kita bukan bahan cerita di kampung ini. Apa kau mau?” bentak Yizrel dengan nada kesal sementara Uma sudah menangis, menelan makanannya tergesa didesak isak sedihnya. Usia mereka yang tidak terpaut jauh, membuat mereka bersahabat baik.

Sang ayah memandang keduanya berganti-ganti, berusaha tetap tenang, sementara di dalam hatinya seperti ada yang meluap-luap. Ia telah belajar mempercayai Majikannya dengan sepenuh jiwanya selama ini. Bahkan jalan-jalan gelap di depannya yang tidak memberinya pertanda setitik sinar sekali pun.

“Ibu di pasar. Pakaiannya buruk. Ia jelek sekali, Ayah. Aku malu melihatnya!” bentak Yizrel, tak sabar dengan keadaan itu. Sang ayah bisa tersenyum melihat Yizrel yang meletup-letup tidak sabar seperti letupan uap stew domba sedap yang biasa dimasak Sifra untuk mereka. Seperti ibunya.

“Lakukanlah sesuatu, Ayah. Jemputlah Ibu,” tangis Uma.

Yizrel memandang adiknya dengan gemas, “Jangan, Ayah. Ibu akan meninggalkan kita lagi. Dia tidak pernah sayang kepada kita, Uma. Tidak kepada Ayah atau aku. Ibu hanya ingin menyenangkan dirinya.”

Abdi Allah itu memandang Yizrel, putra sulungnya itu, yang meskipun ia berbicara dengan jengkel kepada Uma, adiknya, tapi matanya mengembang air mata. Hatinya yang lembut dan gelisah itu tak bisa menipu. Ia merindu ibunya. Seperti dirinya.

“Yizrel, darimana kamu tahu Ibu hanya ingin menyenangkan dirinya? Ayah yakin Ibu selalu mengingat dan rindu kalian meskipun ia tidak selalu bersama kita. Ibu hanya belum menemukan jalan. Pada waktunya, Ayah akan menjemput Ibu dan Ibu akan bersama kita selamanya, Yizrel,” ujar abdi Allah itu tegas kepada putra sulungnya.

Yizrel mengusap air matanya yang jatuh. Ia tahu ayahnya tidak pernah berbohong. Dan ayah selalu berusaha menghiburnya dan Uma setiap kali mereka rindu kepada Ibu.

“Ayah, sebenarnya aku memang ingin ibu pulang,” aku Yizrel. Tangis Uma reda. Wajahnya tampak cerah melihat Yizrel yang kini berubah cengeng.

“Kemarilah,” kata abdi Allah itu. Yizrel mendekat. Ayahnya sudah mengembangkan kedua tangan untuk memeluk. “Anakku, Allah ingin kita mengampuni orang lain, apapun kesalahannya dan siapapun orangnya, sebanyak tujuh kali tujuh kali tujuh, anakku. Termasuk Ibu. Kita membutuhkan Ibu, bukan? Sekarang, habiskan makananmu, jaga adik-adikmu sementara Sifra membersihkan meja dan piring. Setelah itu Ayah dan Sifra akan ke pasar menjemput Ibu,” kata abdi Allah itu.

Yizrel mengangguk-anggukkan kepalanya. Matanya diusapnya berulang-ulang seolah tak ingin tangisnya berjejak di sana.

Abdi Allah itu berdiri, memandang si dua tahun Ami, si anak kenangan, yang usianya menunjukkan rentang waktu sang ibu meninggalkannya. Ami yang malang, tak pernah dicintai tangan perempuan yang melahirkannya. Tapi ia telah menjadi bayi yang manis, tersenyum seolah berterimakasih kepada tangan yang mengelus dan menggendongnya. Ia memegang tangan Sifra, pengasuh ketiga anaknya yang setia, dari suku Benyamin yang dikirim ayahnya untuk menolong keluarga abdi Allah.

“Sifra, siapkan padi jelai yang dikirim orang Efraim itu kemarin kepada kita. Bawa juga jubah nyonyamu yang masih baik. Kita akan membawanya ke pasar,” perintah abdi Allah itu sambil mengangkat Ami ke udara dan bayi manis itu terkekeh-kekeh.

“Baik, Tuan.”

“Yizreel, jaga adik-adikmu. Ayah dan Sifra akan kembali dengan segera.”

Abdi Allah itu menuju kamarnya. Hatinya tidak tahan. Melihat Yizreel bersikap kepadanya sama seperti ia bersikap kepada Tuan Allah. Ia sungguh memahami kegelisahan putranya tersayang, karena ia juga mengalami kegelisahan yang sama, berusaha memahami Tuan Allah yang pikiranNya sungguh tak terduga harapannya. Yizreel, anakku, kita hanyalah hamba Allah, yang akan pergi ke mana Allah membawa kita, tanpa perlu bertanya. Kita takkan sanggup mengerti pikiranNya yang besar di kepala kita yang kecil. Dialah Matahari kita di waktu siang, Bulan di kala malam. Ayah pun tak mengerti, Nak. Tapi setiap kali Ayah mengerti kenapa Ayah tidak mengerti.

Ia membiarkan airmatanya yang hangat meluncur ke pipi lalu jubahnya. Tiba-tiba sesuatu ia lihat dengan jelas. Yizreel tak perlu tahu semua rencananya karena Yizreel takkan mengerti, seperti ia juga tak perlu melihat keseluruhan gambar rencana Tuan Allah terhadap hidupnya dan Gomer, karena ia takkan mengerti.

“Ya, Tuan Allah. Betapa dahsyatnya karya-Mu. Berikanlah aku pengertian untuk sanggup mengasihimu dengan tulus,” bisiknya sendirian.

Allah telah mempersiapkan hatinya. Ia telah mencintai Gomer selama ini, tak peduli Gomer telah kesekian kalinya meninggalkannya bersama anak-anak, pergi bersama laki-laki yang sanggup memenuhi keinginannya membeli pakaian-pakaian indah yang dibawa kapal-kapal pedagang dari kota Tarsis dan perlengkapan kosmetika tradisional Mesir yang diramu khusus untuk keabadian kecantikan ratu-ratu mereka.

“Lihatlah, Hosea, aku bukan perempuan yang tepat untukmu, tak cukup menjadi ibu anak-anakmu. Hidupku di jalan raya, tubuhku merindu keindahan dan pujian. Kau selalu ramah kepadaku, tapi aku tak sanggup setia seperti dirimu. Layanilah Allahmu, sumber kehidupanmu dan anak-anakmu. Hanya, izinkan aku pergi bersama keinginanku.”

Gomer, Gomer, aku sungguh mengerti keadaanmu, keinginanmu, tapi tak cukup kata dariku untuk membeberkan kasihku kepadamu. Aku telah mencintaimu sebelum aku mengenalmu, sebelum aku merasakan lezatnya kue kismis takaranmu. Aku bukan mencintaimu karena apa yang telah kaulakukan padaku. Aku mencintaimu karena keseluruhan dirimu. Mengertikah kau cinta semacam ini, Gomer?

Allah telah berbicara kepadanya menjelang fajar tadi. Kata-kata penuh kekuatan yang memberinya harapan. Bagaimana aku tahu kali ini akan berhasil, Tuan Allahku?

Aku akan memulihkan ketidaksetiaan mereka
Mengasihi mereka dengan tulus
Sebab marahKu telah reda
Aku akan menjadi seperti embun pagi bagi Israel
Ia akan mekar menjadi bunga bakung yang indah
Ia akan menjulurkan akarnya kuat-kuat seperti pohon mawar
Ranting-rantingnya akan merambat tinggi

Kecantikannya seperti pohon zaitun
Dan termasyur bagaikan kayu aras
Mereka akan kembali dan diam dalam naungan-Ku
Mereka akan tumbuh subur bagaikan kebun yang dirawat pemiliknya
Akan lebat berbunga seperti pohon anggur
Harum mereka akan tercium sampai jauh seperti anggur dari Lebanon.

Air matanya mengalir, matanya menjadi panas. Ia merindu Gomer.

Jadi, mengapa engkau telah berlaku tidak setia kepada-Ku sehingga engkau pergi
bersama berhala-berhalamu?

Akulah yang selama ini telah memelihara hari-harimu
Telah menjadi pohon sanobar yang hijau sepanjang tahun bagimu
Karena Aku, isi kebunmu menghasilkan buah yang matang dan harum-ranum


Abdi Allah itu kini mengerti kenapa seorang bapak dengan wajah bijaksana dari suku Efraim berjalan kaki puluhan kilometer demi menemuinya, memberinya salam dan memberi sekantong perak berisi 15 syikal perak atau setara dengan 161 gram perak dan sehomer jelai atau seberat 180 liter dan seekor domba jantan berumur dua tahun.

“Tuan Allah memintaku memberimu semua ini. Ia sendiri yang mempersiapkannya untukmu. Terimalah,” kata lelaki bijaksana itu.

Abdi Allah itu menyembunyikan kantong perak di balik jubahnya yang lebar dan membagi jelai dalam dua karung sehingga ia dan Sifra bisa membawanya. Mereka tiba di pasar lewat tengah hari. Matahari telah membayang dua puluh sentimeter panjangnya dari kepala mereka. Hampir pukul tiga sore. Tapi pasar masih tampak ramai.

Dari kejauhan abdi Allah itu melihat satu kerumunan. Seorang laki-laki berteriak-teriak seperti orang gila, berusaha menarik peminat untuk membeli seorang perempuan yang sekarang sudah tidak lagi memuaskan dahaya tubuhnya namun masih bisa bermanfaat bila dijadikan budak untuk bekerja di ladang atau mengurus ternak atau menjadi selimut malam bila sesekali diperlukan. Laki-laki itu tergesa menjual sebelum harga perempuan itu semakin turun karena usia tua tak berguna.

Perempuan untuk dijual itu adalah Gomer. Hati abdi Allah itu bergetar penuh penyesalan mengingat istrinya mungkin sudah lebih dari setengah hari dipertontonkan kepada seisi pasar dan tidak seorang pun memedulikannya. Ia menengok ke sisi kirinya, melihat wajah Sifra yang redup dan mata berkaca-kaca memandang nyonyanya bersandar tak berdaya pada sebuah tiang, berusaha menutupi wajahnya dengan rambutnya yang masai. Tak tahan melihat pemandangan itu dan mulut laki-laki yang terus meracau, Abdi Allah itu melangkah lebar ke arah laki-laki pedagang. Sifra mengikutinya dari belakang.

Gomer. Kecantikan yang sudah tidak muda lagi. Namun sisa-sisa kemolekan tubuhnya masih bisa terlihat meski sudah mengembang karena usia dan tiga anak yang lahir darinya. Dan laki-laki pedagang itu dengan sengaja membuka tubuh Gomer agar terlihat hampir seluruhnya untuk menggambarkan apa yang ditawarkan benar adanya. Ia terus meracau menyebutkan harga, ingin barang dagangannya laku sebelum malam tenggelam.

Mulut pedagang itu berhenti berbicara ketika melihat seorang dengan jubah sederhana berhenti satu meter di hadapannya. Ia terdiam karena sepertinya ia masih mengingat bahwa perempuan miliknya pernah menjadi istri seorang abdi Allah. Sungguh di luar perkiraannya bila abdi Allah itu kini datang menebusnya setelah perempuan ini memuaskan dirinya dengan berbagai laki-laki dari segala bangsa.

“Perempuan ini istriku, aku datang akan menebusnya. Sekantong perak ini nilainya lebih dari cukup untuk membayar biaya yang kaukeluarkan ketika istriku bersamamu. Juga dua karung jelai ini sebagai tambahan sebagai ucapan terimakasihku telah merawat istriku,” ucap abdi Allah itu sambil memandang laki-laki penjual tepat di bola matanya.

Laki-laki pedagang itu tidak berbicara sepatah kata pun, kecuali menerima kantung perak dari tangan sang abdi Allah.

Gomer menoleh seketika mendengar suara yang pernah sangat dikenalnya. Abdi Allah itu memandang Gomer. Gomer memandang suaminya dan Sifra berganti-ganti dengan bibir gemetar. Abdi Allah itu segera mengambil jubah dari tangan Sifra, mendekat ke arah Gomer, menutupi tubuh hampir telanjang itu perlahan. Ia merangkul bahu Gomer, mencium rambut-rambut di kepalanya, berbisik, “Mari kita pulang ke rumah. Kami menunggumu. Maafkan telah membiarkanmu terlalu lama di sini, Gomer.”

Gomer akan angkat bicara tapi abdi Allah itu memberi isyarat untuk diam. Sifra mengusap matanya, sementara sang pedagang berdiri bergeming, dengan sekantung perak di tangana dan dua karung berjejer di dekat kakinya.

Pasar yang tadi senyap itu mulai bersuara kembali. Hari semakin sore. Abdi Allah itu tersenyum lembut kepada Gomer, berkata pelan bahwa Sifra sudah memasak stew domba untuk menyambut kedatangannya, yang rasanya hampir menyamai kelezatan stew buatannya. Sifra mengangguk dalam-dalam, membenarkan perkataan tuannya. Gomer memandang Sifra, membiarkan air matanya jatuh, seolah berkata, terimakasih, Sifra, setelah ini akulah yang akan memasak stew domba untuk keluargaku.

Bibirnya semakin bergetar. Untuk pertama kalinya ia menyebut nama Allah suaminya, di hatinya yang remuk.

*

Buat JJ
Ita Siregar, Maret 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar