Senin, 23 November 2009

Kotak Salju*

KOTAK SALJU
*
BERITA kematian. Sama sempurnanya dengan berita kelahiran. Menggugah pedih yang mendalam atau rasa sukacita yang tinggi. Tapi semuanya biasa saja. Peristiwa-peristiwa itu akan selalu ada dan menjadi bagian tak terpisahkan dalam hidup.

Aku merasa sinis memikirkan itu. Sekaligus lega. Seperti baru saja melahirkan kalimat-kalimat cerdas. Namun setelah itu aku lemas. Karena sebenarnya berita kematian kali ini menimpa rasa sepi tak berujung di relungku.

Yang meninggal adalah: Velutha. V-e-l-u-t-h-a. Vel. Ejaan harus benar karena nama menunjukkan identitas. Aku meyakinkan diri sekali lagi bahwa Vellah yang meninggal. Dia bukan milik dunia ini lagi. Dia telah menjalani hukum alam yang kejam namun memerdekakan. Saraf-saraf tubuhnya berhenti bekerja. Tidak berdaya. Darahnya membeku. Tubuhnya keras membatu.

Aku merinding membayangkan itu. Ke manakah perginya dia? Langsung kepada Tuhan di surga atau ke tempat lain dulu? Masih melayang-layang atau sudah terpisah dari dunia ini? Mengapa dia yang meninggal? Memangnya harus aku? Maksudku, kenapa tidak orang lain saja? Apakah dia bersalah? Tapi orang bersalah pun mesti mati, bukan? Orang bilang orang baik mati muda. Jadi, aku akan mati muda. Tapi apa aku orang baik?

Vel. Sahabatku. Musuhku. Aku tak mungkin tidak mencintainya. Aku juga tak mungkin tidak membencinya. Masing-masing dengan sepenuh hati. Ih, perasaan ini benar-benar membingungkan. Tuhan, aku memang membencinya tapi sama sekali tidak mengharapkan kematiannya secepat ini.

Aku harus menengoknya. Ini penting buatku. Aku ingin rohnya melihatku datang dan menyaksikan perpisahannya dengan dunia ini. Tapi bagaimana kalau roh gentayangan bisa membaca hati manusia? Aku merinding mengingat dia membaca dinding-dinding hatiku. (Keterlaluan, siapa bilang hati mempunyai dinding?)

Dari Ibu, aku tahu Vel meninggal karena kecelakaan ski di Montana, Amerika. Dia sedang berlibur di sana dengan Chacko, tunangannya. Vel kehilangan keseimbangan ketika kereta skinya meluncur tak terkendali, tak tertahankan, tak berpikir, jatuh ke jurang yang dalam. Ia meninggal seketika saat tubuhnya menyentuh dasar jurang. Gravitasi bumi terlalu kuat menghisapnya. Tidak ada darah mengalir. Hanya luka dalam yang mematikan. Sementara Chacko sedang berada di kabin bersama teman-teman prianya, mengobrol, bermain kartu truf sambil minum scotch murni.

Ibu tahu berita itu dari Bunda Riani, Ibunda Vel, saudara kembar Ibu. Mungkin Ibu sudah menambah berita itu sedikit di sana sini, seperti kebiasaan Ibu yang senang berkhayal dengan pikirannya sendiri. Kata Ibu, Chacko stres berat. Nah, berita ini kupikir hanyalah rekayasa Ibu. Sampai sekarang aku tidak bisa percaya kalau laki-laki itu mencintai Vel.

Pesawat carteran telah menerbangkan tubuh mati Vel langsung dari Montana yang dingin. Bunda Riani dan Papa Jodi menunggu dengan gelisah yang aneh. Orangtua yang malang. Vel adalah napas hidup mereka. Anak semata wayang. Putri kebanggaan. Bidadari tercantik yang pernah ada. Mutiara yang tiada duanya. Porselen Cina termahal. Pewaris kekayaan. Semualah itu. Ya Tuhan, aku sinis mengingat sebutan-sebutan itu.

Rasa cinta dan benciku naik turun bagaikan ombak. Di rumah Vel. Bukan karena apa-apa. Tapi karena aku harus melihat wajah Chacko terpampang di mana-mana. Di dinding dekat tangga, di ruang keluarga, di atas piano kesayangan Velutha, di dekat meja makan, di dapur. Di kamar Velutha ada empat foto bermodel Chacko: sedang tertawa sendiri, dengan Vel, dengan Vel-Bunda-Papa, dengan Simba, anjingnya.

Padahal aku mencintai Chacko. Padahal ia cinta terindah yang pernah terjadi padaku. Dan ketika ia memilih Vel, aku galau, karena meski terpisah darinya, tapi ia akan menjadi anggota keluarga besar kami. Menyebalkan sekali mengingat itu.

Sebaliknya Vel selalu menyayangiku. Kemana pun pergi, dia akan membeli satu untuknya satu untukku. Kami memiliki banyak barang dengan model sama namun warna berbeda. Dia senantiasa bertanya keadaanku. Pekerjaanku. Pacar-pacarku. Kesusahanku. Kesenanganku. Dia mengkhawatirkanku lebih daripada pacar-pacar terhebatku sekalipun.

Lamunanku membuyar ketika tubuh mati itu sampai di rumah. Jantungku berdebar kencang, tidak berani mendekat ke peti. Seisi rumah menyambutnya. Lily putih dan mawar merah kesayangan Vel sudah sejak kemarin menghiasi sudut-sudut rumah. Menjadi paduan harum yang aneh menurutku. Jo, pemain piano gereja kami, memainkan partitur-partitur pendek yang terpotong, kadang-kadang menghilang, melengking, lalu berhenti pada satu nada sepi dan jarang terdatangi.

Tamu bergumam ke tamu lainnya. Mereka bilang Vel cantik sekali dengan gaun putih. Wajahnya merah segar. Di kepalanya ada mahkota bunga. Dia seperti putri tidur. Para ahli rias mayat Montana telah melakukan tugasnya dengan baik.

Hatiku tergores melihat Papa Jodi mencium bidadari kecilnya. Lembut dan sunyi. Setelah itu lelaki yang tiba-tiba tampak lebih tua itu mengusap air matanya dengan ujung baju batiknya. Bunda memintaku menuntunnya ke peti. Dia membungkuk untuk mencium gadisnya. Lama dan dramatis. Papa menarik Bunda, khawatir air mata istrinya akan jatuh ke wajah Vel yang sempurna.

“Dia cantik sekali, sayang,” bisik Bunda pelan dan bergetar, kepadaku.

Aku berdiri mematung. Canggung.

“Ciumlah dia selagi dia masih ada di sini,” bisiknya lagi.

Tanganku mengeras ketika dia berusaha menarik lenganku. Bukan tidak ingin menciumnya, Bunda, aku hanya ragu dengan ketulusanku, batinku.

Dengan lembut Bunda menarikku lagi. Aku berdiri di samping peti berukir indah karena terbuat dari kayu terbaik yang pernah ada. Aku takjub karena belum pernah melihatnya secantik itu. Wajahnya berkilau bagai salju diterpa cahaya matahari pagi. Setengah jiwaku melayang mengingat aku akan kehilangan wajah ini selamanya.

Perlahan aku membungkuk, tersenyum haru karena tiba-tiba ketulusan hatiku tumbuh cepat. Aku tidak pernah mencintaimu sebesar ini, Vel, bisikku senang. Kuusap rambut di bagian kiri kupingnya. Kucium keningnya. Wajahnya mengeluarkan kilas harum. Aku seakan melihat bibirnya terangkat, berbisik lembut ke telinga jiwaku, “Aku tahu kau selalu mencintaiku, Chel.” Tangannya merengkuhku lembut. Dia balik mencium keningku. Lama dan takjim. Jiwa kami seperti bersatu.

“Kau tahu juga isi hatiku, Vel. Maafkan aku karena kamu lebih dulu pergi!” bisikku.

Lalu tangan Bunda menyentuhku. Kami duduk saling bertumpu pada tubuh masing-masing. Sekelebat di penglihatanku, Chacko berkacamata hitam, memasuki rumah dengan tenang sambil menjinjing beberapa tas Vel. Dia kelihatan berduka. Penipu!

Aku bertemu dengannya pertama kali ketika training di San Fransisco selama enam minggu. Kami menjadi dekat. Ia selalu ada di sampingku kapan saja. Meski tidak pernah bilang mencintaiku, tapi dari gelagatnya aku percaya ia memperhatikanku. Ketika kembali ke Jakarta, Chacko bertemu Vel. Yang membuatku tidak percaya adalah Chacko berkata bahwa ia jatuh cinta kepada Vel pada pandangan pertama. Vel pun merasakan hal sama. Siapa percaya omong kosong itu? Aku tidak.

“Kau inginkan kekayaannya, Chacko!” tuduhku.

“Kuharap tidak, Rachel,” jawab Chacko tenang.

“Kau akan bosan dengannya.”

“Aku jatuh cinta kepadanya setiap hari, Rachel.”

Tidakkah ia tahu aku mencintainya dengan cinta terbaik yang pernah kupunya? Lalu aku memutuskan ini. Untuk tetap mencintai Chacko dan mulai membenci Vel. Suatu keputusan yang pahit karena aku sadar, menyakiti Vel sama dengan menyakiti diriku.

Akhirnya tubuh mati Vel ditanam dalam-dalam di dalam bumi. Tidak akan ada dia lagi di atas tanah. Hanya warna-warni bunga menandai dia pernah ada di dunia.

Termenung aku duduk di gazebo dekat kolam renang. Masih kudengar tawa cekikikan kami berenang di tengah hari bolong. Bunda memperingatkan kami untuk tidak ngobrol dengan suara keras. Tidak baik untuk gadis, alasannya. Dan biasanya kami akan mengobrol dan tertawa lebih bebas. Gaya kami duduk sudah bermacam cara. Bik Warsih sampai perlu bolak-balik membawakan jus, makanan kecil, makan siang, cola dingin, teh manis hangat, makan malam sampai akhirnya kegelapan mengusir kami. Aku tidak ingat lagi apa saja yang sudah kami bicarakan. Sebenarnya ke mana kalimat-kalimat itu pergi setelah diucapkan?

Tiba-tiba Chacko sudah berdiri di depanku. Ia tersenyum. Senyumnya mengingatkanku waktu kami pertama kali bertemu. Aku diam. Ia duduk di seberangku dengan gerak hati-hati. Tangannya memegang kotak ukiran cantik dan sebuah buku mungil.

“Ini salju dari Vel untukmu,” katanya pelan.

Aku tercekat, mengingat pembicaraan terakhirku dengan Vel di ujung telepon, sebelum keberangkatannya ke Montana.

“Aku akan ke Montana dengan Chack. Kau mau kubawakan apa, Chel?” tanya Vel.

“Salju,” jawabku ngawur.

Chacko mendorong buku mungil berkaver kulit dahan pisang kering itu ke dekatku, sambil berkata, “Vel selalu membicarakanmu. Selalu bangga padamu.”

Kerongkonganku kering.

“Dan aku sudah memutuskan untuk tetap mencintainya, Chel,” ujarnya.

Aku memandangnya. Mata terindah di dunia.

“Tentu saja, Chack. Maafkan aku selama ini,” ujarku pelan.

Ia tersenyum. Senyum terindah di dunia.

“Bolehkah aku mengantarmu ke bandara, mengucapkan selamat jalan tapi kita akan bertemu lagi selamanya?” ucapku tulus.

“Kau baik sekali.”

Lalu ia mengangkat dirinya, meninggalkanku sendiri bersama kotak salju dan buku catatan itu. Tapi aku tidak merasa sunyi.

April 2002
*Cerita pendek, setelah membaca The God of Small Things oleh Arundhati Roy. Catatan: Velutha di buku Roy adalah laki-laki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar