Selasa, 28 Juli 2009

Review Buku: Tuhan Agamanya Apa

Miracle Man, Sebuah Novel
Judul asli River Rising
Pengarang Athol Dickson
Penerjemah Slamat P Sinambela
Penerbit Gloria Graffa Yogyakarta
Cetakan I Maret 2009
280 halaman

HALE Poser, seorang pendeta kulit hitam dari kota modern New Orleans, memutuskan pindah ke tempat sepi, Pilotville, daerah rerawa sepanjang sisi sungai Mississipi, negara bagian Louisiana, untuk suatu misi pribadi. Dia tidak keberatan bekerja menjadi pegawai rendahan dari satu rumah sakit khusus orang Negro. Pada waktu itu di rumah sakit, seorang ibu muda hamil tua tengah berjuang untuk melahirkan, begitu kesakitan hingga dokter memutuskan untuk melakukan operasi Caesar. Dorothy, orang yang menerima bekerja di rumah sakit itu, mengajak Hale menengok. Entah apa yang terjadi tapi ketika Hale menyentuh perut si ibu, ibu itu bisa melahirkan secara normal.

Dorothy bertanya-tanya apa yang dilakukan Hale. Hale merasa tidak melakukan apa-apa, hanya berdoa. Di usia dua hari, bayi itu hilang. Seluruh warga –baik kulit hitam dan kulit putih- mencari bayi itu ke kolong tempat tidur rumah sakit sampai ke rawa-rawa. Pencarian yang aneh memang. Tak sengaja Dorothy mengeluh bahwa peristiwa seperti itu pernah terjadi 19 tahun lalu di daerah itu. Di kantor sheriff, Hale menemukan banyak catatan tentang kasus kehilangan tapi tidak pernah diusut tuntas. Karena penasaran, Hale bertekad mencari tahu.

Dengan rakit sederhana ia menyusuri sungai Missisipi hingga telat Meksiko. Selama empat hari ia malah sampai di satu ladang yang luas. Sekelompok orang Negro bekerja di sana sebagai kuli petik pohon kapas. Kondisi para pekerja sangat mengenaskan. Mereka sepertinya sudah tinggal selamanya di sana, tertindas dengan amat sangat sampai-sampai hilang percaya diri, merasa sebagai manusia warga kelas dua yang tidak layak menerima kebaikan apa pun dari hidup ini. Melihat pemandangan itu Hale sungguh prihatin, berusaha menghibur, berkata kepada mereka tentang Tuhan yang sanggup melepaskan manusia dari belenggu apa pun.

“Tapi Dia (Tuhan) kulit putih, kan?” tanya Marah, salah satu pekerja perempuan Negro di tempat itu, bertanya tentang fisik Tuhan (hal 132). Pada masa itu perbedaan status kulit putih dan hitam sangat lebar. Di ladang ini orang kulit putih akan dipanggil bos dan di dalam benak mereka orang kulit putih identik dengan bengis dan pembohong. Hale berkata, “Tidak. Dia bukan kulit putih. Paling tidak bukan hanya kulit putih. Kupikir, Dia berkulit seperti semua warna kulit yang ada.” Marah tidak puas dengan jawaban itu, juga para pekerja. Kalau Tuhan berkulit putih, bagaimana Dia bisa dipercaya? Tapi, bagaimana kalau Tuhan itu berkulit hitam?
Pertanyaan semodel itu mulai dipertanyakan lagi di masa perbudakan tahun 1600-an di daratan Amerika. Pertanyaan dasar yang mempertanyakan keberadaan Tuhan ini, seakan terus berkembang dari masa-ke-masa, dan di masa sekarang, mungkin pertanyaan itu telah menjadi, Tuhan itu agamanya apa? Sejarah umat manusia di muka bumi ini menunjukkan sulit untuk “berbagi Tuhan yang sama” dengan orang-orang yang tidak disukai atau dianggap sebagai musuh.

Kebebasan Sejati
Mengambil setting tahun 1927, Athol mengungkapkan interaksi orang kulit putih, kaum imigran, dan budak-budak Negro yang didatangkan dari Afrika, diperjualbelikan di Amerika, termasuk di Louisiana. Ia membeberkan ambisi orang kulit putih mencari lahan luas untuk menetap, membangun kerajaan kecil mereka, membeli budak-budak untuk dipekerjakan di tanah mereka.

Novel berjudul asli River Rising ini pernah memenangi Christy Award 2006 untuk novel jenis suspense. Buku ini sarat dengan nilai-nilai kekristenan. Dalam ceritanya Athol memanfaatkan keadaan para budak untuk mewakili kerinduan seluruh umat manusia untuk mendapatkan kebebasan sejati. Dalam satu dialog, Athol berhasil memunculkan masalah sederhana umat manusia, yaitu soal kebebasan jiwa manusia yang seringkali dilihat hanya secara kasat mata.

“Kau bilang Yesus ini akan memerdekakan kita di luar sana! Apakah Negro di luar sana benar-benar merdeka?” Pertanyaan yang bersifat fisik. Sementara tokoh dalam buku ini, Hale, menawarkan kebebasan yang jauh lebih bernilai. “Dalam dunia Yesus, kau dapat merdeka dari dalam dirimu sendiri, tak peduli apa pun yang mereka lakukan terhadapmu.” (hal 157). Sungguh menyedihkan bila hidup serba menderita (secara fisik) di dunia fana ini dan tidak paham bahwa kebebasan manusia sejati dimulai dari pikirannya. Bukan dari apa yang tampak. Bukankah di zaman modern ini manusia lebih tertarik memandang kebebasan semu sebagai yang kekal?

Manusia Ajaib
Plot dalam novel ini lurus tak berliku. Jika diibaratkan lagu, maka pada awal bernada rendah, naik sedikit ke tengah, terus meninggi di puncak, kemudian turun perlahan lalu menghilang. Seperti seorang yang ingin memberi petunjuk kepada pencari jejak di hutan lebat, Athol bermurah hati memberi rambu-rambu di setiap sudut hutan, menandai pohon-pohon, memberi fasilitas sehingga si pencari jejak tak mungkin kesasar.

Ada beberapa penjelasan kenapa buku ini diberi judul lain oleh penerbit menjadi Miracle Man. Mungkin karena Hale, yang menjadi tokoh utama dalam cerita ini, tiba-tiba menemukan buah persimmon padahal tidak sedang musim, membuat si ibu hamil tua melahirkan normal, meredakan badai di suatu malam, membuat isi panci selalu penuh sayuran dan daging sehingga para pekerja di ladang kapas itu tak kekurangan makanan saat banjir melanda, meramal akan turun hujan tak berhenti hingga menaikkan air rawa. Judul aslinya, River Rising, menurut saya kurang pas menggambarkan keseluruhan cerita, meski peristiwa hujan tak berhenti yang menyebabkan air pasang dan membubarkan pekerjaan di ladang kapas, seolah menyimbolkan putusnya penindasan di tempat itu.

Seandainya ini adalah cerita wayang, Athol adalah dalang yang baik. Ia mengatur para tokoh dalam ceritanya sesuai dengan kebutuhan, tidak membebaskan mereka sesuai karakternya masing-masing. Tokoh Hale dibuat seperti nabi yang tidak berbuat kesalahan. Tokoh Marah yang selama bertahun-tahun tertindas di ladang kapas, tiba-tiba pintar berbicara tanpa canggung ketika membeberkan rahasia hidupnya.

Buku ini juga menghibur. Dengan jenaka Athol melukiskan ‘persaingan’ dua gereja kulit putih dan khusus Negro, yang jaraknya berdekatan, saling bersaing untuk menyanyi lebih baik, berkotbah lebih baik. Anda akan dibawa pada suasana perkebunan kapas yang luas, berkenalan dengan pepohonan rawa, ‘mendengarkan’ orang-orang Negro bernyanyi merdu. Uniknya, Rokok Lucky Strike juga disebut di buku ini. Saya jadi penasaran, tahun berapa brand itu lahir. Anda akan menemukan kejutan manis gaya Holywood di akhir cerita alasan kenapa Poser pindah ke tempat ini. Atau mungkin Anda takkan lagi terkejut karena telah menangkap rambu-rambu sebelumnya. Selamat menyusur ke masa lalu.

Ita Siregar, 29 Juli 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar