Sabtu, 07 November 2009

Aku, Rumah Kita, dan Singapura

Notes 30 Oktober -2 November 2009

Singapura. Rumah tetangga kita. Hanya satu jam empat puluh menit terbang jaraknya dari rumah kita. Tidak jauh dibandingkan bila kau terbang ke Makassar, misalnya. Juga berselisih satu jam waktu dengan kita di Indonesia bagian barat. Tampang mereka pun banyak sama dengan kita: Cina, Melayu, India, bule.

Aku mampir ke sana karena ingin menonton Luna dan Lily, saudara kita, main teater. Tetangga kita itu sedang ada festival khusus untuk penulis dan pembaca. Bapak-ibu mereka mengundang 120 penulis, baik lokal dan dari 22 negara seantero dunia. Berbahagialah kalau kau penulis. Kalian dilayani betul di sini dengan 170 acara menariknya. Tak perlu pontang-panting cari dana karena bapak-ibu mereka bertekad untuk menjadikan kota ini sebagai tempat yang nyaman bagi para penulis. Wow! Ya, tugas seorang penulis seharusnya membaca dan menulis sehingga dari dirinya lahir karya-karya indah dan berkualitas. Menurutku.

Kau tahu, tak banyak orang tersenyum di kota ini. Tak ramah seperti kita yang iseng bertanya apa saja kepada orang baru, meski tak jelas tujuannya. Tapi siang itu, saat tiba di bandaranya, aku merasa seperti pulang.

Bandaranya bagus. Tak kalahlah dengan bandara kita. Kulihat orang-orang tua bekerja. Maksudku manula. Salah satunya kulihat mendorong sederet panjang trolley, yang lain mengeluarkan isi tong sampah. Ada tanda pengenal di saku kiri kemeja mereka. Tidak ada yang tertawa-tawa bergerombol. Apalagi merokok. Menurut Melinda Loe, saudaraku yang sudah sepuluh tahun lebih bekerja dan tinggal di kota ini, bapak-ibu mereka mengharuskan manula bekerja karena kalau tidak akan berakhir di meja judi dan menyusahkan anak dan keluarganya. Alasan yang masuk akal karena apapun alasannya bekerja akan bikin otot dan ingatan tetap sehat.

Seorang gadis berwajah oriental berseragam biru melintas di depanku, berhenti ketika aku menyetopnya, bertanya, “Excuse me, where is the free telephone here?” Dia segera menunjuk tempat yang kumaksud.

Ah, kenapa aku tidak bisa melihat benda itu? Tiga telepon umum menempel di dinding, tertulis free call. Semua pesawat berfungsi. Bersih terawat. Seorang laki-laki sedang menelepon, berhenti sejenak, memberitahu seorang ibu yang terus menerus mencoba memasukkan koin ke pesawat telepon itu.

“This is free call. Free. You just press the number,” katanya. Ibu itu mengerti.

Aku menelepon Melinda, berjanji bertemu di Bugis Station. Perlu waktu empat puluh lima menit dari bandara, katanya.

Aku bertanya kepada petugas, salah satu dari manula tadi, arah stasiun MRT. Dengan sigap ia menjelaskan arah ke terminal T1 yang nanti akan membawaku ke stasiun. Petunjuk waktu listrik yang tergantung di terminal T1 memberitahu kedatangan skytrain dalam hitungan menit. Semua orang berdiri mendekat pintu otomatis ketika di sana tertulis: arr, maksudnya arriving. Teringatlah aku Trans Jakarta di rumah kita. Petunjuk jam sudah tak lagi berfungsi dan pintu-pintu otomatisnya banyak macet. Padahal, baru berapa lama bus way kita itu diresmikan gubernur?

Value life. Responsible to other creature. Kalimat dalam tiga bahasa di plang itu tampaknya dipahami betul oleh tetangga kita ini. Kulirik kiri kanan. Semua calon penumpang berdiri di belakang line kuning. Tentu saja. Mereka membaca, mengerti, percaya saran itu betul, dan mematuhinya. Sederhana saja. Tak perlu berbantah-bantah soal peraturan yang dibuat demi keselamatan. Kau tahu, bahkan kita sering tak percaya dengan peraturan-peraturan yang kita buat sendiri di rumah, bukan? Ada tanda dilarang merokok tapi kita tetap saja tergoda untuk mengepul asap.

Ingatanku melayang kala naik kereta ekonomi Bogor-Jakarta. Kau tahu betapa merananya kereta kita itu. Saudara-saudara kita pelanggan kereta itu mungkin tak pernah memedulikan masalah itu karena tujuan mereka hanyalah cepat sampai tujuan. Beberapa bahkan masuk tanpa membeli tiket karena berpikir banyak orang melakukan hal sama dan petugas kereta bisa disuap kecil-kecilan.

Pantaslah bos-bos kereta itu hanya melaporkan berita yang itu-itu saja: selalu merugi. Aku percaya pengakuan itu. Di samping penumpang yang tak berkarcis, aku pernah lihat seorang pekerja menilap sedikit uang dari tiket-tiket yang dijual. Aku hendak marah tapi mengurung niat setelah melihat tubuhnya yang hampir tak berdaging itu. Mungkin laki-laki baik itu perlu sedikit uang membeli pensil atau cokelat untuk satu dua anaknya di rumah. Berani bertaruh denganku, gajinya tak cukup untuk melewati tiga puluh hari, bahkan dengan nasi dan lauk-pauk sederhana sekalipun. Kenapa ya bapak-ibu kita pura-pura tak cakap menghitung keperluan anak-anaknya selama sebulan? Tidak sadarkah mereka itu seperti memberi jalan anak-anaknya untuk mencuri?

Lalu, cerita ini. Sepanjang kereta bergerak, seorang laki-laki muda berbaju kumal, hitam dan matanya liar, dengan rambut kusut dan tegang tanda tak keramas beberapa hari, berjongkok sambil sesekali menggeser tubuhnya, menyapu sampah yang dibuang penumpang ke lantai-lantai, sampai ke kolong tempat duduk. Pada satu titik ia menghentikan aktivitas itu, menegakkan tubuhnya, memandang wajah penumpang yang terdekat, membuka kedua telapak tangan, lalu jarinya memberi tanda seperti memasukkan sesuatu ke mulutnya.
Dia perlu makan. Meminta sedikit uang. Ia telah menyingkirkan sampah-sampah yang tidak enak dipandang mata, berpikir sekarang cukup layak untuk mendapat upah beberapa rupiah dari jasanya itu. Beberapa memberi, beberapa tidak. Mungkin penumpang pelanggan kereta bukan sekali dua kali melihat ini. Kalau kau penulis, kau mungkin bahkan tak sanggup menuliskan jenis kemanusiaan macam ini.

Tentang itu aku tak bisa berpendapat. Kupikir dia telah melakukan yang benar bagi dirinya. Dia lapar, menyingkirkan segala citra manusia, dan merendahkan dirinya sedemikian rupa untuk meminta jatah makan. Tapi ini tempat umum. Siapa sebetulnya yang harus memberi dia upah setelah menyapu sesampah itu? Kenapa pula kita sembarangan membuang sampah sehingga memberi dia kesempatan bekerja di sana? Ke mana petugas yang seharusnya membersihkan kereta? Berharap pada pemuda kumal itu? Ke mana bapak-ibu kita bersembunyi padahal wajib memberi anak-anaknya makan dan tempat tinggal? Bukanlah seorang anak layak mendapat hal-hal sederhana itu? Sudahlah, sudah.

Kembali ke Singapura. Atas saran Melinda aku beli kartu EZ-link yang bisa kupakai beberapa kali untuk ongkos MRT dan bus. Tunjukkan kartu ini ke mesin scanner, akan berbunyi ‘tet’ bila terbaca, lalu ketika turun, mesin akan langsung memotong sejumlah dolar. Tidak ada asap mengepul-ngepul dari ekor-ekor mobil, bus, motor. Tidak ada bebauan got atau timbunan sampah. Udara bersih seperti wajan what you see is what you get. Tempat minumku penuh karena air kran bisa diminum langsung. Satu kali aku makan siang sendirian di Kampong Malay CafĂ©, aku kagum ketika melihat pemandangan: tiga mobil, satu mobil di depan berhenti entah untuk apa, kucatat hampir satu menit berhenti, dan dua mobil di belakangnya menunggu dengan sangat sabar. Tak bisa kubayangkan ramai klakson menjerit-jerit kalau itu terjadi di kota kita. Belum puas, akan keluar caci maki.

Sudahlah, sudah. Kau tahu aku selalu rindu rumah kita. Betapa pun eloknya dunia di luar sana. Kunjungan empat hariku selesai. Aku akan pulang. Menemani Luna sejenak di bandara karena dalam beberapa jam dia akan meneruskan terbang ke Makassar. Dia tertawa-tawa mendengar pengalaman lucuku bertamu di tetangga kita itu. Sebaliknya dia berkisah, Lily ngambek karena terpaksa mengekornya menyebrang padahal lampu pejalan kaki masih merah. Kau tahu, Sis, mengubah kebiasaan itu sulit loh, kataku.

Kami mendorong trolley untuk mencari tempat asyik untuk duduk mengobrol dan makan.

“Pulang ke arah mana, Bu?” tanya laki-laki berseragam transportasi kepadaku.

Aku menoleh ke arahnya, menjawab, “Tidak ke mana-mana, Pak.”

Kulirik Luna. Ramah banget, kataku. Dia hanya tersenyum. Ah, aku ingat sekarang aku sudah pulang. Sis, ternyata di rumah kita sedang ramai kisah cicak dan buaya ya.

***

Ita Siregar, November 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar