Rabu, 08 Juli 2009

Proses Kreatif Catatan Perjalanan

Proses Kreatif Catatan Perjalanan
Untuk Milis Apresiasi Sastra (yang sedang mengadakan lomba menulis catatan perjalanan)

Saya hobi mencatat. Mencatat apa saja. Peristiwa diam, benda bergerak, peljenis polah manusia, emosi. Setiapnya berpotensi didaur ulang dalam bentuk cerita sehingga menjadi hidup dan nyata. Hal-hal sederhana remeh-temeh berbicara banyak kepada saya. Dan saya berusaha memberi makna pada pelbagai kejadian di dunia sekeliling saya. Yang menyenangkan atau tidak. Yang pahit atau tidak. Setiap perihal saya kira layak dicatat. Menjadi memoir. Menjadi saksi diam nan abadi. Semua tersimpan baik dalam catatan saya.

Catatan tentang manusia adalah paling paripurna. Emosi tak terduga menarik dijadikan pelajaran. Saya suka mendengar, tertarik cara orang berpikir, menyampaikan sesuatu. Diluar kebiasaan saya. Keluhan, kemarahan, kepedihan, kegagalan manusia, semua mesti dirayakan sedikitnya dalam bentuk catatan. Hidup tak mungkin salah.

Model pertama kali saya lihat mencatat adalah almarhum ayah saya. Dia pasti menulis, menekuri buku catatan hariannya setiap pagi. Ketika beliau meninggal, saya – kami – membaca tumpukan agendanya dengan beragam rasa. Dia menulis waktu dia kesal kepada almarhum ibu saya. Dia mencatat ketika dia berjalan kaki ke pasar, bertemu teman, dan membicarakan satu hal yang aneh menurut saya. Kami jadi tahu beberapa rahasianya setelah itu.

Saya juga gemar jalan-jalan. Kembali ke tempat yang sama, berkunjung ke tempat baru, sama menariknya. Tidak pernah ada yang persis sama. Selalu ada yang baru. Meskipun sudah puluhan kali saya melihat, takkan bosan mengamati.

Saya bisa menikmati jalanan macet. Saya sering mengagumi hujan. Saya mudah mencintai daun dan bunga. Saya merasai kehidupan. Saat terbang dengan pesawat pagi menjelang siang, saya bisa sangat terpesona mengagumi cahaya matahari yang kuning terang cemerlang, memberi kesan mewah pada formasi awan-gemawan, yang bergerak cepat tertiup angin, kadang diam malas di tempatnya. Tuhan pastilah sangat indah. Kreativitas yang sungguh cerdas. Tiba-tiba mata saya sudah mengembang air melihat bayi cantik yang tertawa polos memberi semangat kepada ibunya yang lelah. Terlalu banyak yang musti dicatat. Hanya saja waktu tak pernah kunjung memanjang ketika saya kehabisan menit mencatat.

Pertama kali menulis catatan perjalanan di milis Apresiasi Sastra, saya kira, adalah waktu saya nunut seorang etnolog Jerman ke Sidihoni, danau di atas danau Toba. Sekitar Mei 2005. Sigit Susanto mengumumkan di milis dan saya menanggapi bersedia. Saya cuti dari kantor. Kami bertemu di rumah seorang kenalan baru di Medan, lalu memulai perjalanan ke Tuk Tuk, menginap di hotel Carolina yang murah tapi bagus dan strategis, memutari pulau Samosir dengan sedikit teliti. Christine Schreiber, etnolog itu, yang sudah lebih lima dari belas tahun bolak-balik Jerman-Sidihoni, dan menulis secara lengkap tentang budaya dan manusia Batak, menjelaskan kepada kami pengetahuannya tentang kuburan-kuburan orang Batak, rumah, tanah, gunung, kopi, makanan lokal, penenun, lokasi, dan yang paling menarik adalah penelitiannya tentang danau Sidihoni dari masa ke masa, dalam rentang waktu yang panjang. Kami berbicara dalam tiga bahasa. Jerman, Inggris, Indonesia. Ini pengalaman yang menarik. Total perjalanan kami adalah enam hari. Sebagian dari catatan ini diminta seorang teman untuk diterbitkan di satu harian tempatnya bekerja.

Setelah itu saya menulis ke milis ini pengalaman berjalan di lorong-lorong Little India, Johor Bahru, Melaka, Kualatrengganu. Lalu setiap kali festival Ubud. Catatan-catatan diskusi buku, pertemuan dengan tokoh atau seseorang baru, perjalanan dengan bis, kereta, feri, kapal, pesawat, jalan kaki gulung-menggulung dalam kalimat.

Selama perjalanan saya mencatat di buku notes kata kunci yang ingin saya ingat waktu menulis. Sudah lama saya tak bisa lagi menulis lengkap di atas kertas. Harus duduk di depan komputer. Ada rasa tuntas. Jadi kalau dunia ini kembali ke zaman purba, saya akan benar-benar sulit menulis. (Karenanya saya kagum kepada Sanie B. Kuncoro, cerpenis yang dikenal dari majalah Anita, yang menulis cerpen-cerpen atau cerita bersambungnya dengan tangan di atas kertas folio, sampai sekarang).

Setelah kembali di Jakarta, barulah saya menulis kronologis semua. Foto dan gambar yang saya ambil menolong untuk mengingat. Di depan komputer, semua percakapan yang ingin saya ingat, pengamatan yang ingin saya tulis, bermunculan begitu saja di kepala. Saya tinggal merangkai kata saja, memperbaikinya setiap kali sehingga enak dibaca.

Setelah itu saya mencatat untuk saya biarkan dibaca lebih banyak orang. Saya mulai belajar untuk memperhatikan keutuhan cerita. Tak bisa hanya menulis simbol-simbol yang hanya saya sendiri dan Tuhan yang tahu, tidak boleh lagi ada potongan kalimat tak selesai, perlu sedikit benang merah dengan peristiwa lain kalau ingin membahas hal di luar konteks, perlu dijelaskan sehingga pembaca tidak meraba-raba kemungkinannya. Menulis di ranah publik, satu kali akan ada orang membaca dan menanggapi catatan yang kita buat, membandingkan dengan pengalamannya sendiri. Itu memberi semangat dan pengalaman yang berbeda, selain kita dapat menemukan sesuatu dalam tulisan kita yang hanya bisa dilihat orang lain. Artinya lain waktu, kita akan mempertajam apa yang dianggap orang lain kelebihan kita, mengurangi apa yang pembaca pikir terlalu berlebihan.

Beberapa teman bilang tulisan saya detail. Mungkin juga. Tapi yang sebenarnya saya mencatat satu peristiwa dengan begitu rupa sehingga terlihat lengkap. Padahal di peristiwa lain dalam waktu berdekatan saya tidak menuliskannya. Jadi sebenarnya masih banyak yang tertinggal dalam sebuah cerita.

Kebanyakan catatan saya bersifat personal. Saya jarang ketika menulis dengan sendirinya keluar dari diri sendiri. Kecuali ketika berfiksi. Saya melamun-lamun. Berusaha masuk ke dalam diri orang lain, merasa dengan cara lain, bertanya dari orang lain, lalu menuliskannya. Dalam sebuah catatan, saya menulis berdasar hasil penglihatan, pendengaran, perasa, yang berkelindan dengan pengalaman saya membaca, menulis sebelumnya.

Menulis catatan terus berproses di dalam diri saya. Saya membaca catatan perjalanan orang lain. Menikmati pengalaman mereka dan ikut memberi komentar. Sudah pasti ada yang dipetik dalam satu buku. Di satu festival Ubud ada sesi travel writing, sayangnya saya tidak ikut. Tapi dari sana saya paham bahwa menulis perjalanan adalah sebuah keterampilan yang semakin baik bila terus dipertajam.

Pengalaman menulis catatan perjalanan bisa mengantar seseorang menjadi candu dan akhirnya berprofesi serius sebagai pencatat. Buku Lonely Planet yang terkenal seantero dunia adalah contoh ekstrem. Buku yang menjadi Alkitab para backpacker dunia ini bermula dari pasangan Tony & Maureen Wheeler yang tahun 1972 melakukan perjalanan keliling dunia selama setahun. Demi keinginan mereka sendiri. Cerita mereka mendorong orang-orang dari belahan dunia mana pun pergi ke tempat-tempat sama dan bertanya ini-itu kalau ke sini-ke sana. Kenyataan itu menyadarkan pasangan Wheeler bahwa para pelancong perlu sejenis panduan perjalanan. Dari sana mereka mendirikan Lonely Planet Publication yang sekarang berkantor di tiga benua, dengan 400 pegawai, 250 penulis, dan sudah lebih dari 600 judul diterbitkan dengan penjualan lebih dari enam juta eksemplar per tahun.

Jangan terprovokasi dengan angka-angka yang mereka buat. Nikmati saja perjalanan kita, amati sebaik-baiknya apa yang kita lihat dan rasa, lalu menulislah dengan bahasa yang baik. Beri makna dan nilai pada tulisan kita dan biarkan orang lain mengambil manfaat darinya. Mari kita rayakan setiap peristiwa. Selamat menulis catatan perjalanan.

Ita Siregar, 7 Juli 2009

1 komentar:

  1. Saya suka membaca catatan perjalanan, tapi tidak semua. Cenderung selektif pada yang punya gaya orisinil, atau yang mengambil sudut pandang sedikit lain dari biasanya. Menarik juga kalau bisa membaca tulisan-tulisan peserta lomba menulis catatan perjalanan.

    BalasHapus