Mereka yang mencari surga bagi dirinya sendiri,
Mungkin tidak akan tiba pada tujuannya;
Mereka yang berjalan dalam kasih akan menempuh
segala lika-liku ,
Karena Tuhan membawanya ke tempat-tempat rahasia
di mana berkat ada.
Tanda di Langit
PADA masa Kaisar Agustus mendominasi banyak kerajaan
dan Herodes memerintah di kota Yerusalem, adalah seorang Media bernama Artaban.
Ia tinggal di kota Ekbatana, di sekitar pegunungan Persia. Ia seorang muda
bestari. Tempat kediamannya dikelilingi tujuh dinding kompleks istana yang indah
permai. Dari atap rumahnya, ia dapat memandangi loteng-loteng hitam dan putih
dan merah dan biru dan perak dan emas, terus sampai ke bukit kastil musim panas
kekaisaran Partia yang berkilau bak mahkota tujuh lapis yang berhiaskan permata.
Di sana terhampar seluas taman
yang rapi tersusun pepohonan bebuahan dan bebungaan, selalu segar karena air
dari lereng Gunung Orontes tak berhenti mengalir, menciptakan bebunyian riang seperti
nyanyian ratusan burung. Kelembutan aroma malam-malam di penghujung bulan September,
seperti bisik-bisik di kedalaman yang sunyi, yang menyimpan percik air yang bersuara
antara tangis atau tawa halus di bawah bayang-bayang. Jauh di pepucuk pohon, setitik
cahaya bersinar lemah, mengintip lewat keluk tirai kediaman tuan rumah yang
sedang mengadakan musyawarah bersama tetamunya.
Tuan rumah berdiri di dekat pintu
masuk, menyambut tamu-tamunya dengan wajah tersenyum sopan. Tubuhnya tinggi
langsing, berkulit agak gelap, pada usia 40 tahun. Kedua matanya berdekatan, bersinar
di bawah sepasang alis yang lebat, garis bibir tipisnya yang tegas; alis mata dari
seorang pemimpi dan mulut seorang tentara. Ia laki-laki berperasaan anteng namun
berkemauan keras—seseorang yang di dalam dirinya, pada usia mana pun, senantiasa
menyimpan konflik batin yang kentara dan kepala yang tak berhenti bertanya.
Jubah putih woolnya jatuh mengenai
tunik suteranya, dengan tutup kepala meruncing berwarna senada, dengan kerah
panjang pada kedua sisi telinga, rebah di rambutnya yang legam. Itulah pakaian yang
menandakan ia pendeta Magi kuno, penyembah api.
"Mari!" katanya dengan
suara rendah dan ringan, menyapa tetamunya yang memasuki ruangan—"selamat
datang, Abdus; salam damai, Rhodaspes, Tigranes, dan ayahanda Abgarus. Anggaplah
di rumah sendiri. Tempat ini menjadi hangat karena kehadiran kalian. Mari!"
Ada sembilan laki-laki umur
beragam, namun berasal dari kelas hartawan dan cendekiawan yang nampak dari beragam
sutera halus yang mereka pakai, kerah-kerah keemasan bermotif pada leher mereka,
para kaum Partia terhormat, logo lingkaran emas bersayap di dada mereka, menandakan
pengikut Zoroaster.
Mereka duduk mengelilingi
sebuah altar hitam kecil di ujung ruang. Api kecil tampak terus menyala.
Artaban, kemudian berdiri di samping altar, melambaikan sebuah barsom -ranting tamarisk (yang digunakan pendeta Zoroaster
untuk merayakan upacara sakral tertentu) di atas api, menambahkan ranting pinus
kering lalu minyak harum ke arah api. Lalu mulutnya mulai melantunkan ayat-ayat
Yasna, tetamunya ikut bergumam mengikuti ayat-ayat indah yang dipersembahkan sepenuh
hati kepada Ahura-Mazda:
Kami menyembah Roh Suci,
|
pemilik segala kebijaksanaan dan kebaikan,
|
Dan para kudus yang abadi,
|
Pemberi segala berkat dan kelimpahan,
|
Kami bersukacita atas karya tanganNya,
|
KebenaranNya dan kekuasaanNya.
|
|
Kami memuja segala yang murni,
|
CiptaanNya;
|
Pikiran-pikiran yang lurus,
|
Pekerjaan dan perilaku yang menang atas pencobaan;
|
Yang ditolong olehNya,
|
Yang karena itu kami memuji setinggi-tingginya.
|
|
Dengarlah kami, O Mazda! Engkau yang berdiam dalam
Kebenaran dan kegembiraan surgawi
|
Bersihkan kami dari segala kesalahan, dan jagalah
kami
|
Dari kejahatan dan kemelekatan pada kejahatan;
|
Curahkan terang dan sukacita Kehidupan dariMu
|
Atas kegelapan dan kesedihan kami.
|
|
Bersinarlah atas kebun dan ladang kami,
|
Bersinarlah atas pekerjaan dan alat tenun kami;
|
Bersinarlah atas seluruh umat manusia,
|
Mereka yang percaya dan yang tidak;
|
Bersinarlah atas kami sepanjang malam,
|
Bersinarlah sekarang dengan kekuasaanMu,
|
Engkaulah kobar dalam cinta suci kami
|
Serta pujian atas penerimaan penyembahan kami.
|
Api terus menyala
bersama lantunan doa, berdenyut seperti musik yang menyala musik, sampai api menyembur
sinar terang di seluruh bagian, menyatakan kealamian dan semarak.
Lantai biru tua bergaris putih
dengan pilar-pilar berwarna perak yang berjalin, tegak menghadap dinding-dinding
biru; loteng setengah lingkaran dengan jendela-jendela berhiaskan kain halus
sutera biru; kubah langit-langit yang ditutupi permata safir berbentuk dadu, serupa
tubuh surga dalam puncak kejernihan yang memanen bintang-bintang perak. Pada keempat
sudut atap bergantungan lidah-lidah para dewa yang eksotis keemasan. Pada ujung
timur, di belakang altar, tampak dua pilar porfiri –batu merah yang dihias
ornamen kristal putih; di pucuknya sebuah batu ukir pemanah bersayap, dengan
panah yang diarahkan pada benang dan jalinan pita.
Pintu keluar diapit dua pilar, yang
terbuka menghadap teras loteng, bertudung tirai tebal berwarna delima matang,
bersulam ratusan garis emas yang seperti muncul dari lantai. Anjungan serupa malam
tenang penuh bintang, bernuansa biru perak, matang kemerahan serupa ufuk matahari
di sayap timur. Sebuah paduan kemuliaan yang merupakan ekspresi karakter dan
semangat tuan rumah.
Ketika lantunan tiba pada bait terakhir,
ia memandang para tamu, mempersilakan mereka pindah dan duduk di sofa ujung barat
anjungan.
"Terimakasih atas kedatangan
kalian, para pengikut Zoroater yang setia," katanya sambil mengedarkan
pandangan, "Kita berada di sini untuk memperbaharui dan memperbaiki iman
kita kepada Allah Segala yang Murni, juga api baru di altar ini. Kita bukan
menyembah api tetapi itulah yang termurni dari seluruh benda. Api berbicara kepada
kita soal seseorang yang adalah Terang dan Kebenaran. Bukan begitu, ayahanda?"
"Tepat, ananda," suara Abgarus
tegas. "Mereka yang mendapat pencerahan bukanlah para pemuja berhala. Mereka
adalah yang mengangkat topi mereka, pergi ke kuil sejati, kepada terang dan
kebenaran baru yang sedang datang melalui tanda dan simbol-simbol purba."
"Ayahanda dan sahabatku
sekalian, bila berkenan, mohon kiranya mendengarkan apa yang akan kukatakan ini,"
kata Artaban pelan, dengan penekanan yang jelas, "aku akan memberitahu
kalian tentang terang dan kebenaran baru yang telah datang kepadaku melalui
semua tanda yang paling purba. Kami bersama telah meneliti rahasia-rahasia dan
mempelajari faedah air dan api dan segala tumbuhan. Kami sudah menekuni
buku-buku ramalan masa depan yang ditulis dalam kata-kata yang sulit dipahami. Namun
di antara semua yang kami pelajari, yang termulia adalah pengetahuan tentang
bintang-bintang. Meneliti jejak-jejak mereka adalah seperti memanasyrihkan
benang-benang misteri kehidupan awal hingga akhir. Jika kami mampu mengikuti
semua itu dengan sempurna, tak ada satu rahasia pun tersembunyi. Namun,
bukankah pengetahuan tentang itu masih belum lengkap? Bukankah masih banyak
bintang yang berada diluar pengamatan kita—terang yang hanya dipahami oleh mereka
yang tinggal jauh di tanah selatan, di antara pepohonan rempah Punt dan
tambang-tambang emas Ophir?"
Mendengar perkataan Artaban mereka
berbisik-bisik, mengiyakan.
"Bintang-bintang," ujar
Tigranes, "adalah akal budi yang Abadi. Mereka tak terhitung jumlahnya. Segala
akal budi seorang manusia dapat dihitung, seperti tahun-tahun dalam hidupnya. Kearifan
para Magi (majus) adalah yang tertinggi dari semua kemahardikaan bumi, karena
ia mampu memahami ketidaktahuan. Itulah rahasia kedigdayaan. Kita memiliki
mereka yang senantiasa mengamati dan menantikan fajar baru. Kita memahami
kegelapan yang senantiasa setara dengan terang, dan bahwa sengketa di antara
keduanya takkan pernah berakhir."
"Namun kenyataan itu tidak
memuaskanku, kawan," sela Artaban, "karena, jika penantian itu tiada
berakhir, jika dari semua itu tiada penggenapan, lantas apa makna kearifan
dalam merenung dan menanti. Kita semestinya seperti guru-guru Yunani, yang
mengatakan tidak ada kebenaran, bahwa hanya para Magi yang menghabiskan hidup
mereka demi menemukan dan memperlihatkan kebohongan-kebohongan yang dipercayai
dunia. Fajar baru pasti akan terbit pada waktunya. Bukankah buku-buku membuka
rahasia kepada kita bahwa ini akan terjadi, bahwa manusia akan melihat cahaya terang
yang paling terang?"
"Benar," kata Abgarus,
lalu melanjutkan, "setiap murid Zoroaster yang setia memahami nubuat Avesta
dan menyimpan perkataan itu di dalam hatinya. 'Pada hari itu Sosiosh the
Victorious (satu dari tiga putra Zoroaster) akan bangkit dari antara para nabi
di timur. Di sekelilingnya akan terbit yang paling terang, yang akan membuat
kehidupan abadi, tegak bermoral, kekal, yang mati akan hidup kembali.'"
"Ada kegelapan yang berbicara,"
tambah Tigranes, "yang mungkin tidak akan pernah bisa kita pahami. Lebih
baik kita mempertimbangkan hal-hal yang dekat, meningkatkan pengaruh kita di
negeri sendiri, daripada mencari-cari seorang yang mungkin asing bagi kita, dan
kita mesti mempertaruhkan kekuasaan kita kepadanya."
Pemirsa tampak setuju dengan perkataan
yang terakhir. Sebuah kesepakatan tak terucap di antara mereka telah nyata; ekspresi
yang tak dapat dilukiskan yang telah menenangkan para pendengarnya. Namun Artaban
dengan sinar di wajahnya, berpaling ke arah Abgarus, yang tertua di antara
mereka, berkata:
"Ayahanda, aku telah
menyimpan nubuat di tempat yang paling rahasia dalam hatiku. Agama tanpa
harapan adalah seperti altar tanpa api yang menyala. Dan sekarang api itu telah
menyala terang, dan oleh terang itu aku dapat membaca kata-kata lain yang juga
berasal dari sumber Kebenaran, dan berkata lebih jelas tentang munculnya Sang
Pemenang dalam segala kecemerlangannya."
Lalu ia mengeluarkan dua gulungan
kecil yang terbuat dari kain halus dari tuniknya, dan membukanya hati-hati di
atas lututnya.
"Dalam tahun-tahun yang
hilang di masa lalu, lama sebelum leluhur kita tiba di tanah Babilonia, ada
para bijaksana dari Chaldea, yang dari mereka para Magi mempelajari rahasia-rahasia
surga. Bileam putra Beor adalah satu yang terbesar. Ia mengatakan nubuat ini: 'Kelak
akan muncul bintang dari keturunan Yakub, dan tongkat dari Israel.'"
Tigranes menarik bibirnya ke bawah,
berkata:
"Yehuda telah terpenjara oleh
air Babilionia, dan putra Yakub telah takluk kepada raja-raja kita. Suku-suku Israel
telah terserak di seluruh gunung-gunung seperti domba-domba yang hilang, dan sisanya
yang tinggal di Yehuda, berada di bawah tekanan Romawi, karena itu bintang atau
tongkat tak mungkin akan muncul dari sana."
"Namun," kata Artaban
cepat, "Daniel orang Ibrani itu, seorang pengarti mimpi yang wahid, penasihat
raja-raja, Beltsazar yang bestari, yang paling dihormati dan disayangi oleh
raja agung kita, Koresh. Daniel telah membuktikan dirinya kepada bangsa kita
sebagai seorang nabi sejati dan seorang yang dapat membaca pikiran-pikiran
Allah. Dan inilah kata-kata yang dia tulis." (Artaban membacanya dari
gulungan kedua:) "’Maka ketahuilah bahwa Yerusalem akan dipulihkan, sampai
kedatangan Yang Diurapi, Seorang Raja, ada tujuh kali tujuh masa dan enam puluh
dan dua kali tujuh masa.'"
"Tetapi, ananda," sela
Abgarus, dengan suara ragu berkata, "angka-angka itu adalah simbol. Siapa
yang dapat menafsir, atau siapa yang dapat menemukan kunci untuk mengartikannya?"
Artaban menjawab: "Ayahanda,
telah ditunjukkan kepadaku dan kepada tiga rekanku—Caspar, Melchior, dan Balthazar.
Kami telah meneliti loh-loh purba orang Chaldea dan menghitung waktunya. Jatuhnya
tahun ini. Kami sudah mempelajari langit, dan pada musim semi tahun ini kami
melihat ada dua bintang besar yang berdekatan dalam bentuk Ikan, yang berada di
kediaman orang Ibrani. Kami juga melihat satu bintang baru di sana, yang
bersinar hanya satu malam setelah itu hilang. Kemudian ada dua planet besar akan
bertemu. Dan malam inilah pertemuannya. Ketiga kawanku sedang mengamati
tanda-tanda itu di Kuil kuno Tujuh Kubah di Borsippa, di tanah Babilonia, sementara
aku mengamatinya di sini. Kami bersepakat, jika bintang itu bersinar kembali, mereka
akan menungguku di Kuil selama sepuluh hari, dan dari sana kami akan ke Yerusalem,
untuk melihat dan menyembah seorang yang telah dijanjikan lahir sebagai Raja Israel.
Aku percaya tanda itu akan datang. Dan aku sudah menyiapkan sebuah perjalanan. Aku
sudah menjual rumah dan seluruh harta milikku, dan membeli tiga batu permata
ini—batu safir, baru delima, mutiara—untuk kubawa sebagai persembahan untuk
Raja itu. Dan aku memintamu untuk pergi bersamaku dalam ziarah ini, agar kita bersama-sama
bersukacita ketika menemukan Raja yang layak disembah itu."
Sementara berkata-kata, ia
memasukkan tangannya ke lipatan korset yang paling dalam dan menarik ketiga
batu pertama—satu berwarna biru cemerlang seperti langit, satu lebih merah
daripada matahari terbit, dan satu putih seperti senja di puncak gunung salju—lalu
ia menaruhnya dalam gulungan kain linen.
Seluruh kawannya menatap ganjil dan
mata yang asing. Sebuah purdah seperti telah menyungkup wajah mereka, serupa kabut
yang merayap naik ke atas dari rawa-rawa yang menutupi pebukitan. Mereka saling
berpandangan dengan penuh syak dan syafakat, seperti sekelompok orang yang baru
saja mendengar sesuatu yang mencengangkan, cerita binal tentang penglihatan, atau
usulan sebuah upaya yang musykil dilaksanakan.
Akhirnya Tigranes berkata:
"Artaban, ini adalah mimpi yang sia-sia. Mimpi yang disebabkan terlalu
banyak menatap bintang dan membesar-besarkan pikiran yang tinggi. Menurutku,
lebih bijaksana menghabiskan waktu mengumpulkan uang untuk membangun kuil api
baru di Chala. Tidak akan ada yang muncul dari ras bangsa Israel yang sudah
menyerah itu, tidak ada akhir bagi keabadian makna terang dan gelap. Orang yang
mencari-cari itu hanyalah mengejar bayangan. Karena itu, selamat tinggal, kawan."
Yang lain berkata: "Artaban, aku
tidak tahu-menahu masalah ini, dan kantorku tiap hari sibuk mengurus properti
kerajaan. Misi ini bukan untukku. Seandainya engkau akan berangkat juga, persiapkan
dirimu dengan baik."
Yang lain menambahkan: "Aku
masih pengantin baru, dan aku tidak dapat meninggalkan dia atau membawanya
bersamaku dalam perjalanan ini. Misi ini bukan untukku. Semoga perjalananmu
berhasil. Jadi, selamat tinggal."
Yang lain berkata: "Aku
sedang sakit dan tidak siap melakukan perjalanan yang sulit, tetapi aku punya
beberapa asisten yang aku bisa kirim untuk menemanimu, untuk membawa kabar tentangmu
kepadaku."
Abgarus, yang tertua dan yang
paling mengasihi Artaban, masih berada di sana ketika yang lain pergi, berkata dengan
nada murung: "Ananda, mungkin cahaya kebenaran yang muncul di langit akan
memimpinmu kepada Raja dan cahaya paling terang itu. Atau itu hanyalah bayangan
terang, seperti yang dikatakan Tigranes, dan siapa pun yang mengikuti cahaya
itu hanya akan melakukan ziarah panjang tanpa makna. Tetapi, lebih baik mengikuti
bayangan yang terbaik daripada merasa puas dengan yang terburuk. Mereka yang akan
melihat hal-hal yang menakjubkan seringkali akan siap melakukan perjalanan itu,
sendiri. Aku terlalu tua untuk perjalanan ini, tetapi hatiku akan mengikuti
ziarah ini siang dan malam, dan aku akan mengetahui akhirnya. Pergilah dalam
damai."
Lalu di ruang biru sublim dengan
bintang-bintang perak itu, hanya ada Artaban sendiri.
Ia mengumpulkan ketiga permata dan
menyimpannya di belakang sabuknya. Matanya memandang jentik api yang meletup
lalu menghilang di altar. Kemudian dia berjalan melintasi lorong, mengangkat
tirai yang berat itu, melewati pilar-pilar porfori di teras loteng.
Getar digelorakan bumi yang sedang
terlelap dan siap terjaga, angin sejuk memberitahu fajar menyingsing dari
ketinggian, jejak-jejak salju turun dari Gunung Orontes ke jurang-jurang. Burung-burung,
setengah terjaga, bangun dan bersuara riang di antara dedaunan yang berderak, aroma
ranum bebuahan anggur tercium samar dari arah rerumah tanaman yang dipenuhi
tumbuhan menjalar.
Jauh di timur kabut putih
diam-diam melebar membentuk danau yang mengambang. Di ujung barat puncak
cakrawala Zagros yang seperti bergerigi, langit tampak bersih. Planet Yupiter dan
Saturnus sedang bergulung-guling bersama dengan sinar lembut yang bergerak
perlahan, bersiap menyatu.
Ketika Artaban memperhatikannya, lihatlah,
sebuah sinar biru tampak dalam kegelapan di bawah, mengitari warna ungu, mengitari
sebidang merah, lalu bergerak ke atas dengan sinar berwarna safron dan
lembayung, lalu menjadi putih cemerlang. Kecil dan nun di sana, namun setiap
bagiannya sempurna, berdenyut dalam kubah seolah-olah tiga permata di dada
orang Magi itu, bersatu dan berubah diri menjadi sinar yang benderang.
Dia menundukkan kepalanya. Dia
menutupi alis dengan kedua tangannya.
"Inilah tandanya," gumamnya.
"Raja itu sedang datang. Aku akan ke sana untuk melihatnya."
(bersambung)
keren
BalasHapuscasino no deposit bonus 2021【Malaysia】
BalasHapuscasino no 카지노 deposit bonus 2021,【WG98.vip】⚡, casino 코인카지노 bonus no deposit bonus 2021,best live casino and sports 12bet betting odds,live casino,online mobile betting,blackjack games