Jumat, 19 Maret 2010

Acek Botak

Membaca Buku
ACEK BOTAK
Novel oleh Idris Pasaribu
Penyunting Syafruddin Azhar
Penerbit Kakilangit Kencana
Desember 2009
354 halaman

Di bukunya yang menarik History of Sumatra (Sejarah Sumatra), William Marsden, kelahiran Irlandia, mencatat secara akurat tentang kekayaan alam, letak geografis, hukum adat dan tradisi, ciri-ciri dan karakter penduduk Sumatra. Ia berada di Sumatra sekitar tahun 1771-1779 menerbitkan bukunya tahun 1783, mencatat kemenyan, kopra, kapur barus dan lada sebagai hasil utama tanah. Buku ini menjadi pedoman penting untuk perjalanan dan niaga.

Tahun 1641 kapal Belanda pertama mendarat di Deli untuk mencari budak. Tahun 1863, atas undangan Sultan Deli, Jacob Nienhuys datang ke Deli sambil membawa orang dari perkebunan tembakau Jawa Timur. Sultan Deli memberi tanah 4000 bau (1 bau=7,096m2) untuk membuka perkebunan tembakau dan konsesi 20 tahun. Kuli-kuli dari dari Cina, Jawa (Semarang dan Surabaya), India (Singapura dan India Selatan). Perkebunan maju pesat dan tembakau Deli dikenal berkualitas sangat tinggi di dunia dan sangat menguntungkan di Eropa. Tanah Sumatra disebut tanah emas. Namun kondisi kuli-kuli sangat memprihatinkan. Upah rendah dan fasilitas kesehatan buruk, membuat para kuli tergantung terus menerus pada kontrak.

Saya baca referensi untuk mengenali suasana perkebunan jaman dulu. Novel yang bersetting antara 1937-1970 ini berkisah satu keluarga Tionghoa yang mendarat di Labuhan Deli, Sumatra Utara. Bersama ratusan keluarga lain, mereka melarikan diri dari daratan Tiongkok karena kekacauan di sana dan mengadu nasib di tanah harapan ini.

Adalah Tan Bun Nyan, kepala keluarga yang bertekad keras dan punya integritas tinggi, memimpin istri dan lima anaknya, membeli dan menggarap sebidang lahan dari uang yang dibawa dari tanah air, menolak jadi kuli perkebunan tembakau. Mereka membangun rumah sederhana, menanam sayuran dan menjualnya di pasar. Acek Botak adalah panggilan sayang si sulung keluarga Bun Nyan, nama aslinya Tan Sui Tak atau dipanggil Atak, yang mewarisi kebaikan dan keuletan sang ayah, yang berhasil menjadi pedagang keliling dan nantinya berperan penting dalam mendukung perjuangan melawan penjajahan Jepang.

Dengan perhitungan yang cerdik dan berhemat setengah mati, Tan membawa keluarganya menjadi terkemuka secara ekonomi di kalangan migran Tionghoa, pribumi dan Belanda. Situasi berubah setelah Jepang mendarat ke Sumatra. Menurut desas-desus Jepang memperlakukan jajahan lebih baik dari Belanda. Namun keadaan terus memburuk. Penduduk kocar-kacir, kekacauan di mana-mana. Bun Nyan memimpin keluarganya dengan kepala dingin, memberi bantuan nyata bagi penduduk yang membutuhkan, berbaur secara pribadi dengan penduduk lokal dengan merestui perkawinan Acek Botak dengan gadis Jawa pilihannya dan merelakan anak perempuannya dilamar oleh keluarga Batak. Bun Nyan digambarkan sebagai seorang yang memiliki toleransi tinggi terhadap manusia lain, berhati-hati dalam mengambil keputusan, menghargai penduduk lokal dan memahami betul arti perjuangan.

Cerita berjalan sangat lancar dengan alur lurus. Kalimat-kalimat pendek dan jelas, mungkin dipengaruhi oleh penulis yang wartawan senior. Karena padatnya cerita, kadang-kadang terasa penulis memotong di tengah-tengah cerita dan berganti ke cerita lain.

Pembaca akan dibawa pada keadaan sosial-ekonomi real masa itu. Kesuburan tanah, suasana khas perkebunan dengan urusan mandor-kuli, masalah klasik perjudian dan pelacuran, jenis makanan, merek-merek rokok, matematis perhitungan gaji dan keuntungan, pasar (pekan) tradisional, bahasa. Semuanya jelas terlihat. Dialog-dialog dalam bahasa Cina Melayu, terdengar lucu lengkap dengan masalah pengucapan r dan l, yang umum bagi orang Cina. Buku ini mendeskripsikan keadaan sebelum dan sesudah kemerdekaan di sekitar Deli, peran TNI dalam memutuskan tindakan pada masa yang kritis waktu itu, politik busuk penjajah yang memperalat kalangan bangsawan haus kekuasaan atau orang-orang tertentu yang cari kesempatan dalam kesempitan untuk kepentingan sendiri.

Membaca buku ini saya mengerti psikologis masyarakat Cina yang mengadu peruntungan di tanah orang. Sebagai pendatang mereka betul-betul membangun ekonomi mereka dengan kejujuran dan kepercayaan. Nilai-nilai sebuah keluarga dan pentingnya memiliki integritas di tengah perang, adalah hal-hal yang dititipkan penulis pada karakter dan keluarga Bun Nyan. Buku ini juga menjelaskan bagaimana sebenarnya etnis Tionghoa berjuang dan memberi kontribusi yang tidak sedikit bagi Sumatra Timur dan Utara. Acek Botak yang kemudian diberi lencana veteran menunjukkan rasa kesetiakawanan sosial dari kawannya di luar etnis Cina.
Keluarga Bun Nyan nyaris tak mempunyai konflik internal yang berarti. Saya senang penulis memutuskan tidak mengeksploitasi keluarga ini untuk mendapat sensasi berlebihan. Ada tanda-tanda bahwa keluarga ini telah dipersiapkan bukan hanya sebagai survivor tapi juga pahlawan. Atau mungkin pada masa itu musuh bersama adalah orang luar dan pikiran masyarakat jaman itu tidak neko-neko. Masa kekacauan yang ditimbulkan oleh Jepang juga ditulis berdasar fakta dan tidak memihak.

Berbagai cerita human ditemukan di mana-mana. Penulis dengan keterampilannya menyelipkan kisah menggelikan saat Acek Botak menawarkan dagangan kepada ibu-ibu kompleks, mencipta romantisme tidak cengeng dalam percintaan A Hong dan A Ling. Saya menitikkan air liur membayangkan makanan ini dan itu. Penulis rajin menghitung rupiah pendapatan per bulan, mengurusi sifat-sifat tanah dan tanaman, gotong-royong yang dilakukan masa itu. Tokoh Barus dan Pairin menjadi bumbu cerita yang menarik.

Buku ini diluncurkan bersamaan Islamic Book Fair 2010 yang lalu. Idris Pasaribu mengungkap semangatnya merampungkan buku setelah mengumpulkan dokumentasi sekian tahun, memburu data sampai-sampai rela menjual tanah 10x10 meter untuk menukar dengan tiket ke Makassar (?). Di prolog buku Martin Aleida berharap buku berfakta sejarah ini dapat mempercepat sembuhnya ’cacat ingatan’ penguasa, sedang di bagian epilog Katrin Bandel mengomentari buku berwarna local ini yang menekankan interaksi antar-etnis.

Sayangnya saya temukan banyak kesalahan cetak yang mengganggu keasyikan saat membaca. Namun terima kasih kepada Mas Syafruddin Azhar yang sudah kasih saya buku ini (saya minta sih, hehe) tapi tak sempat meminta tanda tangan penulis.

Itasiregar, 18 Maret 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar