Jumat, 19 Maret 2010

Negeri Para Peri

Membaca buku
NEGERI PARA PERI
Oleh Avianti Armand
Andramation Publication
2009
173 halaman

Bagaimana kalau seorang arsitek yang sehari-hari bergulat dengan garis-garis tegas menuliskan perasaannya dalam karya fiksi? Hasilnya buku ini. Negeri Para Peri yang berisi 16 kisah. Cerita-cerita khas masyarakat urban. Kesibukan dan impian. Cinta terlarang dan pengkhianatan. Luka dan pesta. Alkohol dan Jimmy Choo. Juga kisah ibu-anak yang memberi ruang jeda untuk merenung.

Hampir semua konten cerita bertutur soal kekelaman. Berbagai hidup yang gelap ada di sini. Namun disaji secara prosa liris yang indah meski sendu. Bersiaplah untuk tidak merasa bahagia selama dan selesai membaca. Kesedihan yang terus-menerus ternyata memberi tekanan kepada pikiran saat membaca. Tapi saya tidak mengabaikan kalimat. Rahasia ditemukan di awal, di tengah atau di akhir cerita.

Buku yang tanpa editor tanpa penerbit ini memberi kelonggaran sepenuhnya kepada penulis. Ia bisa saja terus menulis sampai energinya habis atau berhenti kapan dia mau, karena dia sendiri yang menentukan. Saya kira penulis melakukan ini karena ia ingin bebas membuka diri dan tak mau peduli apa kata orang. Ada hal-hal tertentu dalam hidup ini yang harus kita lakukan sendiri (hal 114), kata penulis. Metafor-metafor indah namun terkadang sinis. Langit hijau, matahari putih, rumput jingga, limun ungu, pas untuk melukis kekacauan. Rumah pohon itu adalah dunia kecilku (hal 40), menyatakan wilayah pribadi. Penulis juga bibi titi-teliti. Ia hanya menatap, bukan melihat (hal 52). Baunya samar pohon pinus dan rumput basah. Puitis.

Cerpen berjudul Ayah adalah kisah seorang perempuan muda jatuh cinta kepada pacar ibunya. Mereka bertemu kembali setelah dua belas tahun terpisah. Dua orang mencoba mendapat remah-remah cinta yang disisakan orang lain, sama-sama kesepian, mencari tapi tidak tahu apa yang dicari.

Cerpen Kabut ditulis secara menarik. Beberapa bagian merupakan paradoks yang membuat batas-batas tegas di pikiran ketika membaca. Kisah perselingkuhan, cinta yang membelenggu, dan tidak membebaskan. Romantika cengeng para pemuja eros. Sampai-sampai menarik Tuhan terlibat dalam peristiwa mereka, di kalimat: jatah waktu yang boleh kita habiskan berdua. Sedang pada Ambang, dikisahkan sepasang laki-laki dan perempuan yang gagal mencintai di masa lalu karena takut terluka, namun nasib mempertemukan kembali dalam keadaan yang sungguh tak terduga. Si laki-laki menjadi calon menantu si perempuan dan mereka membahas nostalgia masa lalu mereka itu sambil menunggu si gadis memilih baju pengantinnya. What a story!

Di halaman-halaman pertama tertulis bahwa buku ini untuk Daniel. Anak laki-laki penulis. Di cerpen Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian, misalnya, diilhami tulisan pertama Daniel ketika ia belajar menulis. Ada pesan yang jelas di sini. Bahwa anak merekam setiap peristiwa hiruk-pikuk di dalam rumah. Pesan sedih, senang, takut, semua tersimpan baik-baik di kepalanya yang lunak. Maka adalah sebuah keniscayaan bila anak laki-laki tujuh tahun itu mampu membunuh ayahnya sendiri yang ia beri nama jahat.

Saya jadi ingat Dadaisme-nya Dewi Sartika yang memenangi lomba novel DKJ 2003, tentang anak schizofrenia, yang mengkomunikasikan perasaannya lewat gambar-gambar, lalu membunuh dirinya. Belum lama saya nonton serial TV Private Practice, seorang ibu mengeluhkan anak remajanya yang membunuh anjing di rumah dengan wajah datar, namun sayang tak ingat menonton lanjutannya hingga tak tahu masalah diselesaikan.

Masih soal ibu-anak, dalam Pangeran Kecil dengan gaya liris penulis mengisahkan seorang ibu yang sekarat dengan berbagai infusan dan monitor, tergeletak di ranjang rumah sakit, ditemani buah hatinya. Mereka mengobrol soal kepergian tanpa kesan. Tapi sebenarnya si ibu sedang mempersiapkan mental si kecilnya untuk melepasnya pergi kelak. Sedang dalam cerpen Aku Telah Mengenal Dia, memuat pergulatan luka batin seorang perempuan muda ketika di masa kecil ia mendapati ibunya mengambang di kolam renang di rumah mereka dan ia yang menarik tubuh mati itu naik ke atas kolam. Berkali-kali gambar itu muncul di kepalanya, ia menolak berdamai dengan diri sendiri dan berharap luka itu akan pergi begitu saja. Namun, luka itu mencari jalan untuk menjadi, merayap dalam gelap, meruap lewat retak-retak yang semakin banyak (hal 162).

Champagne adalah cerita yang unik. Perempuan bagaikan champagne, kata seorang laki-laki. Laki-laki seperti champagne, kata perempuan. Memabukkan bagi yang lain. Sedangkan Mata mengisahkan seorang perempuan yang merasa telah menemukan belahan jiwanya karena ia merasa laki-laki itu bisa melihat seperti caranya melihat. Tapi ternyata ia salah sangka. Cerpen Suara itu, Sebelum Kamu Mengatakan Tidak, menceritakan ketekunan perempuan yang tak berhenti merebut hati satu laki-laki yang selalu berkata tidak kepadanya. Sampai ia merasa kesabarannya akan berakhir, di situlah ia mendapatkan apa yang diinginkan.

Tak Ada yang Lebih Tepat Berada di Sini Selain Kamu adalah cerita yang absurd. Menyampaikan pesan cinta dan harapan lewat botol ke laut. Seperti love in a bottle. Sebegitu kuatnya perasaan si tokoh, pesan itu tiba ke tujuan, seolah berkata cinta sejati akan mencari nasibnya sendiri meski dunia tidak menerimanya.

Saya suka cerpen Perempuan. Saya membaca dua kali untuk menangkap makna. Saya berpikir, kenapa penulis beberapa kali menulis, di mana kita akan menuliskan nama kita? Apa pentingnya nama dan ditulis? Saya menduga bahwa kisah cinta sesama jenis ini berusaha mendapat pengakuan dari orang-orang sekitarnya. Mereka berusaha menuliskan nama mereka di tempat-tempat hingga membuat hubungan mereka terbuka. Di udara. Di debu matahari. Di atas angin. Helai-helai daun. Embun. Pada air. Di tiap ujung mata angin. Tapi tetap tak ada tempat untuk memberitahu dunia bahwa mereka ada. Lalu dalam keputusasaan mereka mengembalikan kepada Sang Pencipta, seolah menunjuk bahwa Dialah penyebab semua ini.

Lalu cerpen Pesta. Coktail dan punggung terbuka. Rokok dan gosip. Mabuk dan musik. Iri dan saling kerling. Laki-laki dan perempuan. Perempuan dan perempuan. Laki-laki dan laki-laki. Semua berusaha menjadi yang paling diinginkan orang lain. Menyesali ketidakmampuan diri menarik perhatian. Mensyukuri kebodohan orang lain. Tapi tidak menertawakan diri sendiri. Dikotomi yang menarik. Tempat mencari kepuasan tapi tidak pernah puas. Pesta adalah keriuhan sesaat yang mengantar seseorang kembali pada sepi yang yang lain dan tak tertahankan.

Cerita Negeri Para Peri, yang juga jadi judul buku dengan kaver putih ini, adalah resepsi pesimis penulis tentang kota dan manusia yang berinteraksi di bawahnya. Sayang, halaman cacat, hampir tak terbaca seperti kehabisan tinta. Di halaman-halaman tertentu ada ilustrasi berwarna hitam putih seolah mewakili si kelam tadi. Tapi, bravo! Saya tak temukan salah-salah ketik di dalamnya.

Itasiregar, 19 Maret 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar