Jumat, 19 Maret 2010

Peri Kecil di Sungai Nipah

Membaca Buku
Peri Kecil di Sungai Nipah
Sebuah Novel oleh Dyah Merta
Penyunting Damhuri Muhammad
Penerbit Koekoesan
September 2007
292 halaman


Saya membaca impresi Ibu Melani Budianta di kaver novel dan beliau menyebut karya lain untuk membandingkan karya ini, yaitu The House of the Spirits oleh penulis asal Peru Isabel Allende dan The God of Small Things oleh Arundhati Roy. Kedua karya itu saya mengaguminya.

Saya membaca buku Allende yang lain dan/tapi menonton The House of the Spirits dua kali untuk memahami alur cerita yang padat itu. Adegan-adegan mencekam dan tak terduga dan acting Meryl Streep dan Glenn Close sangat mempengaruhi kesan saya setiap menonton film mereka yang lain. Saya baca The God of Small Things versi bahasa Inggris dua kali secara keseluruhan, sesekali membaca kembali bagian-bagian tertentu untuk mengingatkan saya bagaimana Roy mendeskripsikan detail kisah dan menciptakan rima tertentu dalam paragraf-paragrafnya. Gila betul, saya takjub dengan kerja keras mereka.

Lalu episode pertama Gora dan Kuda. Peristiwa makan malam bersama. Saya berkenalan dengan nama-nama dan suasana yang asing. Karyo Petir, Dalloh, Dagu, Gora, Kasemi, pekerjaan yang tidak umum: pande besi. Hanya sekitar meja makan, soal denting sendok mengenai piring, mulut Karyo Petir yang mengecap saat makan, kenyataan bahwa Karyo Petir sudah mati di sini, suasana mistis Dalloh yang merasa terus menerus didatangi suaminya sampai 40 hari setelah kematian, dialog-dialog untuk memperkenalkan karakter masing-masing. Tiba-tiba saya ingat pengalaman membaca Cala Ibi, Nukila Amal, yang tidak saya mengerti tapi saya menikmati pembacaan, banyak tercenung kala membaca Cala Ibi waktu itu, terhibur dengan review Damhuri Muhammad satu kali, bahwa maknanya kosong dan bukan bahan perhitungan Nukila. Setelah membaca buku itu pada waktu-waktu tertentu saya baca ulang nukilan buku hanya untuk mengingat kembali cara Nukila menulis.

Di babak-babak berikutnya, Karyo Petir dihidupkan kembali, kisah demi kisah diungkap, diceritakan lapis demi lapis seperti mengupas bawang, demi mengungkap kondisi psikologis anggota keluarga, bahkan keadaan kampung secara umum, bagaimana hubungan tidak harmonis Karyo Petir dan Dollah dibangun, ketidakberdayaan Karyo Petir menjadi kepala keluarga yang disegani, memilih menyayangi anak perempuannya Gora daripada Dagu anak laki-lakinya, pengkhianatan Karyo Petir atas perkawinannya yang dilupakan begitu saja, namun anak gelap hasil perselingkuhannya tiba-tiba muncul, dan emosi khas perempuan Dalloh. Satu persatu situasi yang rumit dan menumpuk sehingga menjadi chaos yang tak terhenti. Seperti Babel. Atau Kingdom of Heaven.

Keluarga tradisional namun dengan kekuatan ekonomi yang cukup. Karyo memiliki studio sendiri untuk menempa besi, memiliki lahan tebu yang luas, laki-laki yang berhasil tapi tidak dalam hal berkomunikasi dengan istrinya. Saya terbata-bata juga memahami potongan-potongan cerita tapi pengetahuan penulis yang luas telah menggantikannya.

Gora, masa kecilnya ceria meski dia menerima gangguan psikologis pertama di usianya yang muda ketika berlibur keluarga ke luar kota, mendapat perhatian ayah sepenuhnya, tumbuh menjadi perempuan muda kenes sekaligus liar, membiarkan dirinya jatuh cinta kepada si anak hasil perselingkuhan ayahnya dan percintaan-percintaan mereka yang mendebarkan dan penuh gairah. Gora dilukiskan mendapat pendidikan yang cukup di kota, lalu bekerja di rumah sebagai penerjemah, dimanjakan dengan kamar mandi khusus dengan bathtub (di buku salah tulis bath tup) oleh ayahnya agar dia betah tinggal di kampung. Kenakalannya setelah dewasa, mengajari inang pengasuhnya sejak kecil cara menyenangkan diri sendiri yang konyol tapi ia merahasiakan banyak hal dari ibunya atau tidak berusaha berempati dengan keadaan ibunya, kalau dilihat dari sisi keperempuanannya.

Lalu tokoh Kulung, si anak jadah, yang terus menerus disebut anak babi oleh Dalloh, ibu tirinya. Masa dalam kandungan ia sudah merasa penderitaan dan rasa malu ibunya, ditinggal mati oleh kemiskinan dan ketidakberdayaan, tercerabut akar dirinya ketika ia tidak diterima oleh keluarga ayahnya, berniat kembali tapi ia mendapati rumahnya sudah rata dengan tanah, menyimbolkan kasta rendah dalam masyarakat tidak diindahkan sebelah mata oleh masyarakatnya. Saya terbayang tokoh Larung yang tak terduga dalam buku Larung Ayu Utami.

Keputusan Kulung untuk menjadi gagu karena pembunuhan karakter dirinya oleh keluarga barunya, terutama Dalloh, saya lagi-lagi ingat Meryl Streep yang memutuskan tidak bicara kepada suaminya setelah satu peristiwa pengkhianatan. Kulung menimbun dendam dari sehari ke sehari kepada sang ayah yang sama sekali tidak menggubris keberadaannya di dunia ini. Sampai kemudian dalam sunyi yang mendalam dia harus memenuhi panggilan jiwanya yang gelap untuk membinasakan Dagu, saudara tirinya sendiri yang pernah bermain-main di masa kecil mereka. Dia menikam jantung ayahnya dengan membuka rahasia bahwa dia meniduri Gora berkali-kali, yang menyebabkan Karyo Petir pahit hati yang sangat hingga mengantarnya ke kematian, sementara itu pun melukai hati Kulung karena di lubuk hatinya dia memuja Gora.

Keadaan yang rumit dan cerita yang padat. Itulah mungkin yang menyebabkan penulis memutuskan untuk bercerita dengan struktur spiral, seperti kata Ibu Melani. Itu memungkinkan penulis berfokus pada adegan demi adegan, seperti pada The God of Small Things. Masyarakat desa Sangir yang digambarkan tidak spiritual, perselingkuhan dan balas dendam, kejahatan kelamin dari kelompok yang lebih berkuasa, industri yang ditawarkan pemerintah kepada masyarakat local yang justru semakin memperburuk keadaan (dosa para penguasa yang tidak pernah selesai mengisap darah rakyat), kematian Wong di sungai Nipah, produksi rumahan sirup srikaya lokal Nenek Siwuh yang dicaplop industri, kematian 150 orang buruh yang tidak diketahui jawabannya, serta kematian Dagu yang mengenaskan. Adakah iklim yang lebih kusut dari situasi itu?

Daya tahan pengarang mengatur emosi menulis adegan demi adegan yang padat saya acungi jempol. Tapi penulis terlalu asyik mengurus Gora, kurang mengeksplor pertumbuhan Dagu, dan Kulung, bagi saya bagian paling eksotis, kurang terjelaskan alasan memilih menghabisi Dagu sebagai balas dendam kepada ayah dan ibu tirinya, misalnya. Saya googling untuk mencari tahu perkebunan tebu di Sangir, menemukan di Goodreads teman yang menulis setting cerita ini sekitar tahun 1960-an (?). Saya temukan kata bapak sementara di lain halaman ayah, beberapa salah ketik masih ada.

Terbayang dokumen riset yang menggunung untuk memeras menjadi sekian halaman novel. Saya membaca nama penulis di Festival Ubud 2008 tapi sayang saya tidak mendengar sesi-sesinya. Saya akan menanti dengan sabar riset dan penulisan novel berikutnya, kali ini dari kampung halaman penulis di Ponorogo (?). Akhirnya, salut, Dyah, untuk cerita lokal yang mengesankan ini.

Itasiregar, 17 Maret 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar