Rabu, 02 Juni 2010

dari Pre-Festival Penulis & Pembaca Kristiani 2010

Pre-Festival Penulis & Pembaca Kristiani 2010
Newseum café, 28 Mei 2010

Pengantar
Komunitas PENJUNAN (Penulis & Jurnalis Nasrani) adalah komunitas yang berdiri tahun 2001, mewadahi penulis (& pembaca) dan jurnalis untuk saling berbagi pengalaman dan meningkatkan keterampilan menulis para anggotanya. Komunitas maya ini telah menggelar temu darat untuk melakukan berbagai kegiatan latihan menulis, menulis buku bersama, bertukar pikiran.

Dua tahun belakangan kami bolak-balik ngobrol, mencetuskan keinginan untuk membuat satu kegiatan asyik yang mempertemukan penulis, pembaca, penerbit. Waktu itu belum terbayang seperti apa dan bagaimana acaranya. Terpikir sebuah konperensi, seminar, tetapi rasanya terlalu serius dan hanya melibatkan orang-orang tertentu saja. Konsep festival muncul dengan bayangan sebuah perayaan literature dengan acara-acara yang dirancang dibuat cair dan relaks, melibatkan setiap komponen masyarakat termasuk anak-anak. Lalu lahirlah Festival Penulis & Pembaca Kristiani 2010 ini, sebagai facilitator yang mempertemukan ketiga unsur penulis, pembaca, dan penerbit tadi.

Festival dilatarbelakangi sejarah literature Kristen yang telah cukup tua di nusantara, dimulai tahun 1600-an, ketika pedagang VOC dari Belanda dan menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Melayu dan menerbitkannya. Tahun 1913 Penerbit Kristen pertama berdiri yaitu Kalam Hidup di Bandung. Baru kemudian tahun 1922 Penerbit Kanisius, Penerbit Gandum Mas, Penerbit Gunung Mulia, yang berdiri atas kesadaran bahwa kemerdekaan Indonesia tidak hanya soal politik tetapi nilai-nilai spiritual juga perlu ditanamkan. Tahun 1967 Penerbit Immanuel lahir, disusul tahun 1980-an Penerbit Andi Yogya, tahun 1990-an Penerbit Gloria, Metanoia, Kharisma. Di tahun 2000 lahir Pioner, Jaya, Visi, dan lain-lain.

Rencananya Festival akan digelar 26-28 November 2010 di Jakarta dengan tujuan akan tercipta budaya diskusi yang kritis dan sehat antar umat terhadap berbagai peristiwa di tanah air sekaligus menemukan peta literatur kristiani dalam berbagai bentuk kesenian di Indonesia.

Tema yang diangkat tahun ini adalah ‘Baca jadilah bijak, tulis jadilah berkat’. Tema yang tidak asing mengingat membaca dan menulis, yang melibatkan kata dan bahasa, sejak awal merupakan inisiasi Sang Pencipta untuk berkomunikasi dengan manusia. Peristiwa menara Babel memisahkan kelompok manusia karena terjadi kekacauan bahasa. Namun keterampilan berbahasa pula yang kemudian menjadi bekal sederhana namun menukik dalam rangka menyebarkan kabar baik ke segenap penjuru, menyampaikan pesan budaya masyarakat tertentu, menghargai keberagaman etnis dan kelompok, dan menciptakan saling pengertian dalam perbedaan.

Dalam rangka sosialisasi program ke publik yang lebih luas, Festival akan melakukan kegiatan regular setiap bulan hingga bertemu November. Strategi ini dilakukan dalam rangka mendapat dukungan masyarakat tentu saja dan melempar berbagai issue mendesak di antara penulis, pembaca, penerbit untuk menjadi perhatian bersama.

Pre-Festival Perdana
Bulan Mei Festival menghadirkan Monolog Luna Vidya dan bincang santai. Acara diadakan di Newseum Cafe di Jalan Veteran Jakarta Pusat yang dikelola budayawan Taufik Rahzen. Diskusi menghadirkan nara sumber Mula Harahap, editor dan pengurus YAKOMA (Yayasan Komunikasi Massa) PGI, Arie Saptadjie, penulis dan anggota KOMPEN, dan Sri Anggoro Seto dari penerbit BPK Gunung Mulia. Sebagai moderator adalah Handaka Mukarta, pembaca dan penikmat sastra.

Luna Vidya datang ke Jakarta dari Makassar bersama Abdi Karya, penata panggung, salah satu tim Makkunrai Project. Makkunrai didirikan Luna bersama sahabatnya Lily Yulianti Farid tahun 2008 untuk memvisualkan cerpen-cerpen Lily namun kemudian berkembang menjadi program yang mengangkat isu tentang kesadaran gender melalui sastra dan pertunjukan monolog.

Balada Sumarah yang naskahnya ditulis oleh Tentrem Lestari, pernah dipentaskan Luna dua tahun lalu di Pasar Malam Paris, Prancis. Sumarah adalah gugatan getir seorang anak bangsa yang dibuang sang ibu pertiwi yang melahirkannya karena status melekat seumur hidup karena ayah seorang PKI. Sumarah membela diri dan berjuang mendapat hak hidupnya di tengah masyarakat munafik, yang keputusannya dapat dibeli dengan uang.

Luna lebih emosional malam itu. Air matanya tampak mengalir pada beberapa adegan. Abdi yang menekuri naskah di sudut sana membantu dengan memberi efek bunyi dan suara dan menyanyi lagu-lagu lirih yang membuat suasana suram. Ekspresi sedih dan keterpurukan Sumarah mempengaruhi keseluruhan atmosfer ruang, sampai-sampai Mita dan Agus, yang duduk paling depan, mengaku tegang menyaksikan penampilan Luna, disamping ini adalah pengalaman pertama mereka menyaksikan monolog.

”Saya hampir tak bisa bernapas rasanya,” kata Mita sambil tertawa selepas acara.

Luna tampil dengan baik meski saya merasa Luna agak terburu-buru kali ini. Ketika memasuki panggung, mental penonton belum siap menerima satu pesan, tiba-tiba muncul setting pembelaan Sumarah di depan hakim. Pada beberapa bagian juga suara Luna kurang jelas terdengar hingga mungkin menyebabkan beberapa penonton tertinggal beberapa plot.

Diskusi ’Baca jadilah bijak, tulis jadilah berkat’
Bincang santai mendiskusikan tema ’Baca jadilah bijak, tulis jadilah berkat’ berjalan hangat dan melebar. Handaka mengarahkan pertanyaan-pertanyaan mendasar yang mengangkat isu yang ada di kalangan penulis, pembaca, penerbit dan buku-buku Kristen yang ada di pasar.

Mula Harahap membuka dengan pengakuan masa kecil yang tidak menyukai buku-buku yang diterbitkan penerbit Kristen karena tidak menarik. Ketika kemudian dia memasukkan buku petualangan Tintin di perpustakaan gereja, seorang majelis, ”Memangnya itu bacaan Kristen?” Bagi Mula label bukan yang utama, yang lebih esensi adalah menumbuhkan minat baca dulu. Pengalamannya membaca di masa kecil, sambil menyebutkan Si Kuncung sebagai majalah sastra anak terbaik masa lalu, telah memberinya de javu dalam perjalanan Surabaya ke Yogya, perasaan pernah melewati perkebunan tebu itu, padahal itu hanyalah sebuah impresi yang didapat ketika membaca satu buku.

Sri Anggoro berbagi tentang penerbit BPK yang mengalami pasang surut pasar tetapi dalam lima tahun terakhir sudah berdiri sendiri. Namun juga hal positif ini belum merupakan tanda meningkatnya minat baca di kalangan Kristen. Saut Poltak Tambunan curhat soal masalah klasik penulis-penerbit dalam bagi-bagi prosentasi dan menceritakan fenomena menarik ketika dia membuat pelatihan menulis dengan biaya tertentu dan peminat banyak, sedangkan tawaran sama gratis kepada kalangan gereja tidak disambut baik. Saut juga melihat hadirnya facebook telah menciptakan revolusi dalam melahirkan penulis-penulis baru. Dan bahwa sekarang siapa pun dapat menerbitkan tulisannya menjadi buku dengan biaya sendiri. Pengamatan Mula sendiri melihat banyak penerbit bergiat menerbitkan buku-buku sampah, yaitu buku-buku instan menjadi kaya atau menjadi ini dan itu dalam waktu singkat, yang mungkin akan berakhir di sudut rumah.

Taufik Rahzen memberi pandangan menarik, bahwa di negara-negara maju, keterbukaan masyarakat agama atau tradisi dalam membaca dan menulis lebih banyak pada agama-agama Yahudi, Kristen, Confusius. Agama Kristen ortodoks, Katolik dan Islam berada di sisi sebaliknya, sementara Hindu dan Buddha ada di tengah-tengah. Di Indonesia awalnya alasan literasi adalah keinginan orang Belanda untuk melakukan pribumisasi dan lingkungan sosial. Beberapa waktu lalu penulis Kristen menulis tulisan-tulisan yang membumi sesuai iman dan kegiatan sehari-hari, sedangkan Islam banyak mengangkat topik surga neraka. Sebaliknya yang terjadi di masa kini, penulis Islam sedang merayakan kebebasan mereka dalam mengekspresikan keyakinannya dalam berbagai bentuk tulisan sementara penulis Kristen masa kini kembali berkutat pada ide-ide surga neraka tadi. Taufik melihat Festival ini sebuah momen yang tepat untuk menyusuri kembali penulis, pembaca dan penerbit Kristen.

Sayangnya diskusi hangat ini harus diakhiri pukul 2200. Tetapi yang hadir malam itu masih duduk ngobrol dan foto bareng sampai 2230. Festival akan kembali dengan pre-Festival di bulan Juni 2010. Untuk melihat program festival bisa lihat di www. fppk. penjunan. com. Sampai jumpa di pre-Festival Juni.

Itasiregar, 3 Juni 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar