Jumat, 24 April 2009

Sehari Bersama Tuhan Yang Seru

Jumat malam. Kami berjanji bertemu pukul 20.00 di kantor Eka di bank Danamon, Gran Melia Hotel. Kak Krisna dengan sabar menunggu saya jemput ke rumahnya. Saya baru berhasil keluar dari pertemuan pada jam yang sama. Janji jam 8 berangkat jam 8. Itulah kisah kasih karunia dalam hidup.

“Kami makan dulu,” teks saya ke Ruth, yang bertanya posisi kami. Ruth yang sedianya sudah di apartemen Semanggi, musti balik ke rumah gara-gara ponsel tertinggal. Di atas jam 21.00, kami hanya berhasil menemukan Hoka Hoka Bento di Pancoran, yang menyisakan yakiniku suam-suam kuku, saus sambal, dan mayones. Akua. Tak apalah. Yang penting perut terisi dan tidak kembung nantinya. Kak Krisna makan es sarang burung yang legit-manis.

Eka sudah melintas di tol Jagorawi Sentul ketika Devi menelepon saya, memberitahu bahwa mereka baru akan berputar karena Ruth kebablasan nyetir sampai Jatiwaringin. Rupanya alam bawah sadar Ruth berpikir dia akan mampir di rumah Bang Edu. Ahaha. Kebablasan yang lain, Kak Uti.

Kami berhenti di MM Juice, naik sedikit sehabis keluar tol Ciawi. Tak lama mobil Ruth muncul. Eka membiarkan Ruth memimpin. Sampai Cilember. Tapi hampir di jalan Pesantren, Ruth salah belok. Kecurigaannya pasti setelah melihat turunan jalan yang kelewat curam.

“Mau kemana, Neng?” tanya sekumpulan tukang ojeg.

“Ke rumah Pak Siregar,” jawab Ruth.

“Oh, jalan Pesantren. Masih satu jalan lagi, Neng. Mau diantar?”

Tukang ojeg yang baik. Terimakasih, Mang.

Kami mengobrol apa saja hingga hampir pukul 2 dini hari. Tawa abis tengah malam. Menertawakan apa saja. Kak Krisna yang hanya rela kasih 5 ribu saja waktu ditilang polisi. Atau Ruth yang merasa heran kapan persisnya dirinya diangkat sebagai mediator oleh keluarga. Hehe. Tapi, waduh. Mata sudah tidak bisa kompromi, bo!

Saya terbangun karena sinar keputihan di balik gorden jendela. Jam 7. Waktu tidur cukup. Satu per satu kami bangun. Menyisir rambut karena akan menyalami Pak Siregar, yang sudah duduk rapi membaca buku politik-nya Pak Yakob Tobing. Lalu entah bagaimana kami meneruskan mengobrol sambil ngemil kacang goreng tepung bumbu dan cheestik di salah satu sudut di luar rumah.

“Kok makannya gitu?” tegur Pak Siregar. Petik sayur, makan makanan sehat, tutur beliau. Betul, ladies. Kenapa kita lupa ya soal itu?

Selesai berdiskusi satu babak pagi itu, kami mandi. Segar. Saya membuat kopi. Pagi yang sangat cerah. Udara bersih sudah sejak tadi menyentuh dinding paru-paru yang sudah terbiasa dengan polusi Jakarta. Adik Pak Siregar datang. Dua Siregar bertegur sapa. Ruth, mediator keluarga, nimbrung. Kami memutuskan untuk membeli-pesan makan siang, melewatkan sarapan. Nasi timbel komplet. Dua Siregar tidak turut makan karena akan berkunjung ke kebun anggrek Mr. Taiwan. Ruth bilang, mereka biasa dimasakkan makanan segar hasil kebun bila mampir ke sana. Itu lebih otentik. Percayalah. Daripada nasi pulen timbel.

Sebelum makan siang tiba, gerombol kedua tiba. Lima orang. Bersama beragam kotak berisi makanan yang sudah disiapkan Anse untuk kami ber-15 selama sehari-semalam di sini. Tak lama rombongan lain juga tiba. Dari kejauhan, Kak Linda, sang supir, segera tampak dengan rambutnya yang merah bersemangat. Kami saling sapa, tertawa. Aha, kita bertemu lagi di sini, teman. Selamat datang!

Ruang keluarga jadi ramai dan hangat. Anse dengan gesit menyiapkan meja makan. Naning yang baik dan Tuti salah satu dari si kembar warga Cikarang ikut membantu. Ade sibuk mencatat lagu-lagu. Anita belum mau memasang keyboardnya. Ruth memasang VCD Hymm Songs. Beberapa lagu sendu, beberapa bersemangat. Kami menunggu kwartet ganteng menyanyikan ‘It is well with my soul’. Yes, it is well with my soul. Anita menceritakan historis lagu itu. Corrina memandang saya, berkata setengah tak percaya, “Ini kwartet yang ganteng itu teh?”

Kami tak terburu-buru menikmati makan siang. Sup buntut yang lezat-gurih. Udang campur kentang balado. Pangsit goreng. Ditutup semangka merah yang manis. Aku pesan ke ibu kantin di kantor, begitu Anse, menjawab pertanyaan, “Kamu yang masak?” Ada sunquick di dapur. Tentu saja. Ada Anse, ada Sunquick.

Setelah dua Siregar meninggalkan rumah kembali ke Jakarta, kami ber-merenge 30 menitan. Lumayan berkeringat. Badan jadi lebih ringan beberapa kilo. Devi sudah ‘mencuri’ start SBT lebih dulu. Semedi di kamar. Ade memilih lagu. Anita berlatih kunci nada.

Sore mendung. Angin bertiup dingin-segar. Beberapa kami duduk di beranda. Menghadap ke hamparan rerumputan yang rapi tertata. Hijau. Tanah yang berundak tak rata. Pandangan patah. Di ujung sana tampak kabut tipis. Lalu hujan. Ade sudah turun melihat kolam renang. Airnya tak terlalu bersih, katanya. Untunglah. Jadi ada alasan tak berenang. Anse menggoreng lumpia isi sayuran-daging di dapur. Dengan rawit pedas. Aduh, sedapnya. Boleh ambil lebih dari satu ya? Saya bikin kopi cangkir kedua.

Pukul 7 kami berkumpul melingkar. Kak Damaris mengarahkan suasana. Berbagai peristiwa terjadi dalam kehidupan kita. Sedih dan gembira. Berhasil dan gagal. Tapi, apakah kita melihat Allah dalam setiap peristiwa itu? Mari kita sama-sama membaca. Mazmur 63 yang indah. Syair yang diciptakan dari semesta seorang raja Israel yang merindukan Allahnya di gurun Yehuda yang sepi dan lengang. Dalam satu syairnya, sang raja mengungkap pernyataan hasil sebuah perenungan panjang, “Sebab kasih setia-Mu lebih baik daripada hidup.” Oh Tuhan, apa artinya hidup tanpa kesetiaan-Mu? “Tubuhku rindu kepada-Mu, seperti tanah yang kering dan tandus, tiada berair.” Oh Tuhan, seorang raja saja berkata, apa artinya hidup tanpa kesetiaan-Mu? Engkaulah Raja di setiap peristiwa 2008 kami.

Malam itu saya merasa sendu. Menahan diri tak menangis tapi menangis. Tuhan itu baik. Tak pernah tak ada di sekitar kita. Teman sekelompok diskusinya kecilku, -Kak Uli, Tuti, Kak Krisna, terus berjuang bersama janji-janji Allah. Kami telah belajar berbagi hidup. Belajar mengatasi apa saja yang mampir dalam kehidupan.

Malam itu ditutup dengan menyanyi sukarela. Riuh rendah. Lagunya mulai dari Sio mamae sampai Sepanjang jalan kenangan. Kak Krisna penyanyi kami yang tangguh. Entah bagaimana kami harus membayar honornya nanti. Lagu yang dinyanyikan cukup banyak. Setelah lagu kemesraan, kami menutup malam. Tak ada suara-suara setelah masuk kamar. Atau saya yang segera terlelap? Ya, antara itulah.

Pukul 6 saya saat teduh dan menulis beberapa catatan. Juga Eka. Kami akan lebih dulu turun ke Jakarta karena ada urusan. Berlima dengan Devi, Kak Ati, Corrina. Selesai sarapan kami berangkat. Setelah membayar iuran dunk! Mang Pepeng membawakan kami singkong. Aduh, udah pulang duluan, dapet singkong pula, seru K Damaris.

Malam pukul 20.00. Ruth menyapa lewat YM. Katanya SBT lanjutan siang itu berlangsung seru. Sehabis sharing mampir ke kebun anggrek. Kak Linda dan Kak Damaris beli beberapa varian. Turun ke Jakarta baru pukul 1730. Wah, itu betulan seru. Yang lalu-lalu paling lama kami turun jam 4. Bagaimana serunya, Kak Uti? Aduh, capek! Nanti aja ceritanya hari Kamis di Cikini. Ya, jangan lupa nanti ada Mbak Nurendah juga. Sampai jumpa di cerita berikutnya ya!

Gong Xi Fa Chai 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar