Pagar di Rumah Siantar
Pematang
Siantar berjarak 80 km arah selatan dari kota Medan. Pohon palem, lada, teh
tumbuh baik di sini. Penduduknya mungkin seperempat juta orang. Tak padat
memang. Orang pun berkendara santai di sepanjang sudut kota tanpa menemui
kemacetan. Kota kecil yang hujan turun lebih sering dari sebutan kota hujan
negeri ini, adalah kampung halaman Adam Malik. Banyak jagoan Medan dan kota
besar lain tahu apa artinya jagoan
Siantar. Sebelum tahun 1907, kerajaan Pematang Siantar dipimpin marga
Damanik dari Batak Simalungun. Kini wajah-wajah Tionghoa dan Melayu Keling banyak
tampak di sini.
Leo
memilih tinggal di kota ini meski secara resmi ia berkantor di Medan. Rasa
bahagianya kurang memahami keruwetan kota besar. Alasan lain adalah romantisme
masa lalu. Ia pernah melewatkan banyak kali liburan semester di sini, bertemu dan
berdiskusi dengan para aktivis, pekerja, petani dan siapa pun di jalanan.
Siantar
tak banyak berubah sejak terakhir dia tak lagi mampir. Lima tahun dia
tinggalkan. Kota ini kerap memanggilnya pulang. Sapaan khas, manusia-manusia
unik dan suka berkelakar, membuatnya rindu kembali. Di pajak (pasar) Horas, pemandangan
lelaki dewasa bergerombol duduk mengobrol sambil minum kopi atau teh susu
sambil mengepulkan asap rokok, adalah sebuah dinamika. Di kedai-kedai pajak, perdebatan
dimulai dan diakhiri. Mereka mengutuk atau memuji para pemimpin negeri ini
dalam sekali hisap sigaret. Meski tanpa uang di kantong mereka bertahan
mengobrol sampai lewat tengah malam.
Di sudut
lain sekumpulan penyanyi setengah matang menarik suara dalam empat nada, menembangkan
lagu-lagu sendu yang bersyair tentang ibu, kekasih, atau hidup yang tak lagi
berpihak kepadanya, dengan petikan gitar seadanya. Penjual martabak india,
bandrek, mi dan bihun goreng, sibuk melayani pelanggan. Becak menaik-turunkan
penumpang.
Beberapa
minggu setelah kedatangannya, ia sudah memikirkan akan menuruti saran ayahnya:
membangun rumahnya sendiri di sini. Pikirannya berkata ia akan tinggal lama di
kota ini. Itu sebabnya dia perlu sebidang tanah kosong untuk mewujudkannya.
Ditemani Udan
dan sebagai navigator, dengan motor besarnya, mereka melintas masuk-keluar
jalan-jalan kecil, daerah kota sampai pinggiran, jalanan menaik dan menurun, dari
kampung ke kampung. Ia memperhatikan air dan pepohonan, orang-orang di
sekitarnya. Dua minggu ia berkeliling belum juga didapatinya tanah yang kena di
hati.
Satu kali
Udan mengajaknya bertemu seorang kawan di daerah Dipinggol-pinggol. Di sana ia
terpikat seluas tanah perladangan milik Ompung Siburian. Kakek tua itu bukan
seorang yang ramah tetapi hatinya lurus. Ia juragan tanah.
“Aku tak
menjual tanah ini. Aku akan kasih kepada anakku nanti,” ujar Ompung Siburian
ketus.
Leo sedikit
kecewa. Ia merasakan kimia yang menarik ketika melihat dan melintasi tanah itu.
Kalau Ompung Siburian mau menjual tanahnya, ia akan bertetangga dengan PNS,
teman Udan itu, seorang pengarang, dan keluarga Ompung Siburian.
Leo belum menyerah.
Beberapa kali berkunjung ke sana dan berbincang dengan Ompung Siburian dan
mengobrol apa saja. Si Ompung mulai terpikat ceritanya ketika ia bilang kedatangannya
ke Siantar untuk menetap dan bahwa beberapa tahun ke belakang dia rutin ke
Siantar tiap kali liburan semester. Mereka berbagi sigaret. Si Kakek tertarik
mencoba rokok putih anak muda itu. Tanah sudah hampir dilepas. Dan pada waktu
yang tak disangka-sangka orangtua itu melepas tanah dan ladangnya kepada anak
muda yang diajaknya bicara itu. Bukan main senangnya Leo.
Ia meminta
tolong kawan arsitek membuatkan gambar rumah yang diingininya. Tak perlu rumit.
Ia hanya perlu semua keperluan sebuah rumah terakomodir di sana. Ia memilih jenis
bahan. Setahun lamanya rumah itu didirikan, molor dari yang direncanakan, karena
beberapa kali ia berubah pikiran.
Rumah itu
cukup luas dengan tiga kamar tidur, dua kamar mandi, satu ruang tamu yang indah.
Di ruang ini ada lemari kaca indah yang memajang piring-piring antik zaman
Belanda yang pinggirannya berlapis emas murni. Dia punya dapur yang cukup luas
dan halaman belakang yang beratap langit. Dinding dibuat tebal dengan maksud pengamanan
yang kemudian dirasanya terlalu berlebihan untuk kota sekecil Siantar. Tak
banyak laporan kejahatan di sini. Di ruang tamu ia menempatkan televisi ukuran
cukup besar dengan sudut yang pas agar dia bisa berselonjor dari sofa
panjangnya. Ia melengkapi kamar mandinya dengan pemanas air dan pancuran buatan.
Dapurnya
bersih dan rapi. Ada penghisap uap panas, kompor listrik, dan pemanggang. Dia
sangat bangga dengan sebuah kamar khusus di belakang, tempatnya menyimpan
segala perkakas kerja laki-laki seperti obeng, gergaji, pemotong listrik.
Lampu-lampu taman dan lampu sorot bersinar kuning pada malam yang gelap.
Halaman bisa memuat dua mobil parkir bersisian.
Ibunya
menanam mawar di rumah mereka di Jakarta. Dan tak sengaja ia pun membuat kotak
berdiameter lebar yang diisi tanah dan bibit. Di sanalah ia menumbuhkan mawar
kuning, merah, putih, yang berbunga lebar. Pada bagian dalam pagar berjejer
bunga kertas, kawinan warna antara fuschia dan putih. Seakan belum puas dengan
tanaman mawar, di halaman belakang ia buat kotak dua panjang berisi tanah untuk
ditanami mawar. Ia berburu bibit mawar terbaik dari kota Berastagi, di sisi
danau Toba.
Tetangga-tetangganya
tiap kali melihatnya memandangi rumah itu, berseru sambil tertawa, belum siap
kau menghiasi rumahmu, lae. Di sekitarnya, baru rumah itulah yang seluruhnya
berdinding beton.
Lalu
bangunan itu selesailah. Ia puas. Rumah pertama yang dia inginkan. Bila tak
sedang bertugas ke luar kota, ia akan tinggal di rumahnya, memeriksa apa saja
tanpa istirahat. Kadang-kadang ia merasa seperti laki-laki rumahan. Tetapi ia
pun bisa menjadi orang jalanan saat menyusuri jalan dengan motor atau
mobilnya.
Pada sisi
kiri rumah masih ada lahan seluas 400 meter. Pada sisi tanah yang berbatasan
dengan rumah, ia tutupi dengan rumput gajah yang selalu pendek dan hijau. Telah
lama ia pelajari segala hal bercocok tanam dari seorang petani, ketika ia dulu
bolak-balik ke dana. Ia masih ingat petani itu memotong rumput dengan cara
mengikis dengan cangkul. Dan ia bangga bisa meniru cara itu dengan baik.
Sesuai
dengan harapannya, ia menanami tanah itu dengan tetumbuhan jahe, serai,
lengkuas, kunyit, jeruk limau, jeruk nipis, beberapa bumbu dapur. Pada barisan
depan ia menanam kopi dan jagung.
Bercocok
tanam memberinya keseimbangan yang lain. Ia berkomunikasi dengan makhluk hidup
itu. Ketika tumbuhan itu sudah ajeg di tempatnya masing-masing, setiap bulan
pasti ia panen jahe, lengkuas, cabai merah, atau tomat. Tiap tiga atau empat
bulan kopi atau jagung. Itulah masa paling membuatnya bahagia. Ia selalu tak
sabar memanen hasil tanah, dibantu atau tidak dibantu dua asistennya, lalu membagi-bagikan
panen merata ke tetangga-tetangga terdekat.
Bila
didekati ketika sedang mengerjakan tanahnya, Ompung Siburian akan dengan murah
hati memberi saran-saran praktis untuk bercocok tanam atau membersihkan tumbuhan
yang tidak lagi tumbuh dengan baik. Sehabis pulang kerja tangannya sudah gatal
untuk membersihkan kebun kopinya dengan cangkul. Ia tahu betul apa yang ada dan
terjadi di dalam rumah dan halaman rumahnya.
Sore-sore
ia akan duduk di beranda depan, sendirian, menunggu sekumpulan elang terbang
pulang. Ia takjub melihat rombongan makhluk hidup itu melintas di atas
rumahnya. Ia anggap itu sebagai bonus ia tinggal di sana karena hal itu tak
pernah diketahuinya.
“Sudah
lama nya mereka terbang kayak itu tiap sore. Sebelah selatan rumah, dua ratus
meter dari sini, ada sarang burung elang. Sekarang tak ada lagi orang yang
menyadari kehadiran mereka kecuali kau,” kata Ompung Siburian sambil
menghembuskan asap rokoknya tak peduli.
Sebelum
langit menggelap, mereka terbang rendah dengan anggun, melewati atas teras
depan rumahnya, seolah menyapa. Sore itu ia bisa membaui rumput dan ilalang
yang dibakar oleh petani. Baunya khas. Suara anak-anak yang bermain di halaman
rumah. Jeritan ibu-ibu yang memanggil anak-anaknya masuk ke rumah. Semua itu
memberinya perasaan dekat dan nyaman. Ia berada di rumah.
Malam
turun, langit sudah benar-benar gelap, suasana berganti lengang. Sesekali telinganya
masih mendengar suara seorang bapak yang memarahi anggota keluarga, mungkin
anaknya yang malas belajar, yang disahut malas oleh bunyi jangkrik yang ramai
dalam kegelapan. Hujan tak bosan turun di Siantar. Ramah dan akrab. Kalau
dihitung-hitung, seluruhnya hujan turun selama sebelas bulan dari dua belas
bulan tiap tahun. Dan malam akan menjadi sangat dingin ketika angin
menghembuskan rinainya.
Ompung
Siburian membantunya mencari dua pemuda untuk membersihkan rumah tiap dua kali
seminggu. Satu orang membersihkan bagian dalam rumah. Yang lain menyapu halaman
dan kebun, dari daun-daun yang jatuh dan ranting-ranting yang patah.
Kegiatannya
sehari-hari selain bekerja adalah bersosialisasi dengan tetangga atau
pengunjung kedai. Setiap hari temannya bertambah karena ia tidak pilih-pilih dalam
berteman. Teman akan memperkenalkan kepada teman yang lain, begitu seterusnya.
Tujuh
kilometer dari rumahnya di Sipinggol-pinggol, ada mata air Sibatu-batu. Mata
airnya keluar dari sumur alam, berdiameter satu setengah meter. Airnya bening
dan jernih. Segala apa di bawahnya tampak seperti kaca. Uniknya, mata air keluar
dari tanah lebih atas, seperti air terjun, lalu turun ke bawah seperti kolam.
Orang boleh berenang di luar sumur sumur dan meminum airnya. Air belum pernah
dikabarkan habis atau keruh. Musim hujan atau musim panas airnya tidak
berkurang atau bertambah.
Trisno,
seorang Jawa yang sudah lama merantau di Siantar, orang pertama yang memberitahu
mata air itu kepada Leo. Setelah itu mereka berenang bersama, disusul oleh
Amirudin Barus yang rumahnya dekat dengan rumahnya. Setelah itu mereka akan
makan malam dengan nikmatnya sehabis merasa dingin di dalam air. Mata air itu
seperti candu bagi mereka yang pernah datang meninjau ke sana
Makanan khas
Tapanuli seperti sangsang, arsik ikan mas, dekke na niura, umum disediakan di
sini. Leo paling gembar babi panggang Karo yang dicuil dengan sambal hijau
andaliman. Beberapa kedai menjual soto ikan gurami yang dagingnya manis dan
segar. Bosan menyusur kedai-kedai itu, dia akan makan ayam goreng Kentucky atau
masak sendiri di dapurnya. Tiap kali ia bisa membeli telur dan telur asin ke
tetangganya.
Sayuran di
pajak-pajak Siantar segar dan tidak memakai zat kimia. Ikan mas dan segala ikan
hidup dijual dan rasanya manis setelah dimasak. Pertama kali dulu, tiap hari ia
makan ikan gurami dan mujair yang beratnya satu kilo seekor. Air diminum
langsung dari keran. Hidup sederhana mendekat ke surga.
Sesekali ia
memanggil kawan-kawannya untuk masak di rumahnya dan makan bersama. Setelah
perut kenyang mereka duduk-duduk di beranda belakang, menunggu burung-burung elang
pulang. Bunga-bunga mawar bergantian berbunga dengan indahnya yang meruapkan
harum yang lembut di sekitar ruangan. Ia punya banyak persediaan teh, kopi,
biskuit. Tak ada kesibukan lain setelah itu selain mengobrol, tertawa lucu
saling menertawakan, dan mengawal sore berganti malam.
Malam-malam
sendirian ia akan membaca atau menulis atau menonton. Ia meminta buku-buku baru
dikirim dari Jakarta. Kekurangan di Siantar adalah tidak adanya toko buku
sastra atau buku-buku penting lain untuk dibacanya kala senggang. Ia seorang
soliter sejati yang bahagia bisa menikmati malam di halaman rumahnya, memandangi
kebun mawar atau ladangnya atau langit hitam bertaburan bintang.
Ketika ia
memandangi bentuk rumah yang sudah dibangunnya, tiba-tiba ia sadar bahwa rumah
itu persis rumah mereka di Jakarta. Ayahnya membangun rumah itu dengan sistem
pengamanan yang tinggi. Dinding halaman rumah mereka ditaruh kawat gulung yang
menyulitkan keisengan orang masuk ke dalam rumahnya. Ia menjadi lebih sadar
ketika melihat sekelilingnya, rumahnya tergolong mewah dan megah.
Apakah
perlu seperti ini, pikirnya sambil tersenyum menyeringai lalu
menggeleng-gelengkan kepalanya.
*
Bersambung ke bagian 10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar