Sabtu, 06 Juni 2015

Tangan Kiri Tuhan (Cerber #11-Selesai)

Kawan atau Lawan
Sipinggol-pinggol. Pukul setengah dua dini hari Leo tiba di rumahnya yang berpagar tinggi. Suasana sepi dan hening. Tak satu pun makhluk bergerak tampak. Angin malam di Pematangsiantar selalu menghembuskan udara es. Dingin yang menyengat.
Tanpa diperintah bulu kuduknya merasakan sesuatu ketika ia akan menggembok pagar selesai membawa motor besarnya masuk garasi. Ia menatap berkeliling, hanya gelap yang ia tangkap, tetapi ia merasa ada sesuatu di sana, dan ia tak tahu apa. Ia tetap tenang dan mengurungkan niatnya mengunci gembok. Dengan sengaja ia membiarkan mata gembong terurai.
Tangannya mengunci pintu rumah baik-baik. Perasaan tak enak hatinya kian kuat tetapi ia tak mempedulikannya. Ada hal penting yang harus ia lakukan sekarang, yaitu memberi makan arwanyanya di akuarium. Di beranda belakang ia melihat masih ada pakan cacing darah beku dan ikan kecil-kecil di kotak kaca. Ia mengambil jaring plastik, menangkap beberapa ikan kecil. Ia memang lebih suka memberi ikan atau hewan segar sebagai makanan si Naga. Biasanya ia menyuruh Togi mencari jangkrik atau menangkap kecoa utnuk disimpan di kotak makan ikan dan ia bisa mengambilnya kapan-kapan untuk si suluk merah.
Si Naga seakan tahu tuannya akan memberi makan, berenang lebih cepat dengan gerakan anggun dan berayun, memperlihatkan tubuhnya yang bersisik emas. Ekor merahnya bergerak mempesona. Leo sangat suka ikan jenis suluk merah ini yang menurut mitologi Tionghoa sebagai pembawa hoki yang kuat. Ikan agresif ini pantang disatukan ikan jenis lain. Ia lebih suka berenang sendirian dalam akuarium sebesar. Ia ingin bebas menguasai wilayah tempat tinggalnya. Dan Leo merasa ikan itu sebagai perwujudan karakternya yang cenderung soliter dan penyendiri. 
Tangan kirinya mengangkat pembatas tutup akuarium, dan baru tangan kanannya hendak melemparkan ikan-ikan kecil itu ke dalam akuarium, si Naga keburu melompat, terlalu ceria, sehingga ia terjatuh ke lantas. Bunyinya sangat keras, bruk! Dengan segera ia menuangkan ikan-ikan kecil itu, kemudian memperhatikan si Naga. Lantai basah seketika, Leo mengutuk.
“Apa-apaan kau, Naga? Lapar sih lapar, tetapi jangan begitu caranya!” bentaknya keras sambil menangkap tubuh licin itu dengan saringan lebih besar, lalu menenggelamkannya ke dalam air, membiarkan si Naga berenang keluar dari sana.
Dengan anggun ia menari-nari, mengejar ikan-ikan kecil, lalu dilahapnya. Jelas saja karena dua hari perutnya belum diisi makanan sedikit pun. Mata Leo memandang si Naga puas, menutup penutup akuarium, kemudian dia menunggu. Tubuhnya merasa siap menanti kedatangan siapa pun.
Betul saja. Tak lama terdengar suara klonteng dari arah pagar, kemudian suara pagar didorong sedikit lebar, dan detap-detap kaki melangkah. Ia ingat tadi dibiarkannya pagar tak bergembok. Tetapi dia masih tak peduli.
Ia duduk di ruang tengah menghadap televisi, menghidupkan televisi, menunggu, seakan-akan tak ada sesuatu pun dalam pikirannya. Ia hanya sendirian di rumah. Lalu telinganya seperti mendengar suara-suara orang berbisik, dan sesuai hitungannya.
Terdengar ketukan pada pintu. Mereka yang di luar pastinya sana tahu bahwa orang yang di dalam rumah belum lagi tidur dan lampu masih menyala.
Ia  mengangkat dirinya, berjalan ke pintu depan, menyibak gorden. Ia melihat ada beberapa sosok berdiri di sana. Lampu-lampu taman yang remang menghalanginya melihat jelas.
Ia memutar kunci, membuka pintu. Di depannya seorang laki-laki sekitar 156 meter, agak kerempeng dan berambut ikal. Di belakangnya tiga orang yang berdiri sambil mengangkat sedikit dagunya. Dua orang berkacak pinggang.
Orang yang berdiri paling depan itu sepertinya sang pemimpin dan tampaknya dia sedikit mabuk. Matanya agak sayu. Sebenarnya Leo sudah tahu siapa dia karena pernah melihatnya di pajak Horas. Tetapi dia memutuskan untuk pura-pura tidak tahu.
Derman adalah preman yang ditakuti di Pematangsiantar. Dia dikenal bisa dipakai oleh tokeh-tokeh atau mereka yang punya uang untuk menggertak orang. Kulitnya hitam. Meski tubuhnya kecil tetapi ototnya terlatih. Dia dikenal sakti. Beberapa kali hendak dibacok oleh musuhnya tetapi ia terus selamat. Seharusnya dia sudah mati berkali-kali.
“Siapa kau?” tanyanya tegas.
“Derman aku,” sambut si tamu tak diundang tak kalah tegas.
“Kau bertamu tak pada waktu yang tepat,” ujarnya dingin.
‘Aku mau lihat surat-suratmu dulu, bah! Kau kan baru tinggal di sini.”
“Sudah dua tahun aku di sini. Baru tahu nya kau?”
“Tapi kau kan bukan dari kampung sini.”
“Apa urusanmu?”
Derman yang sedikit mabuk itu tak bahagia dengan dialog panjang itu. Ia melangkah satu dua langkah sampai sekitar satu meter di depan Leo, berhenti, dan dengan gerak menipu, kakinya menendang tungkai Leo namun terlalu lamban, sehingga keburu ditangkis.
Bagaimana pun, jam terbang takkan menipu. Meski sudah agak terhuyung, sempat pula kaki Derman melayang dan mengenai tulang kering kaki lawan. Leo mundur ke belakang. Ketika tangan Derman hendak mengambil sesuatu di balik pinggang, dengan gerak cepat Leo menendang dan mendorongnya keras. Tubuh itu mundur beberapa langkah, ditahan oleh dua anak buahnya. Ketika yang satu akan maju membantu bosnya, dicegah oleh Derman.
“Biarkan dia, tungkik! Kau tunggu balasanku, kurang ajar!”
Kemudian Derman mengajak tiga anak buahnya berlalu dari halaman rumah Leo. Leo memandang Derman dan anak buahnya pergi. Dibiarkannya pintu gerbang terbuka lebar. Ia mengunci pintu dan merasa gembira karena ia tak merasakan sesuatu pun di tulang keringnya.
Ia sudah mendengar bahwa Derman seorang yang sakti. Beberapa kali dia digebuki tetapi tidak mempan. Menurut kabar angin, ia berguru ke gunung, berendam di danau Toba. Ternyata dia tak sesakti yang kukira, pikir Leo sambil mematikan televisi karena tak ada acara yang menghiburnya.
Ia masuk kamar dan memutuskan untuk mansi. Ia suka berada di bawah shower yang menyemprotkan air hangat, panas sebenarnya, untuk memanaskan lehernya sampai kemerahan. Saat itulah dia merasa rileks. Ia menggosok badannya dan mengguyur tubuhnya bersih-bersih dengan air bersuhu sedikit panas.
Sesaat kemudian ia sudah mengeringkan diri, mengenakan baju tidurnya, dan berbaring di tempat tidur dengan sprai rapi berwarna biru muda.
Sejenak ia memikirkan kejadian yang baru menimpanya, tetapi dia tidak mau memikirkannya, dengan cepat ia terlelap seperti bayi. Napasnya halus.    
Esok paginya Leo merasa kakinya sakit. Ditariknya selimut untuk melihat keadaan tulang keringnya. Ia kaget karena ia melihat baret biru di sana dan membengkak. Seketika ia percaya bahwa Derman memang makhluk sakti. Dengan mabuk saja dia bisa menendang dan membuat kakiku biru seperti ini, pikirnya. Siapa yang mengirimnya?
Leo berjalan keluar kamar sambil berpikir-pikir. Ia merasa tidak pernah mencari musuh tetapi orang-orang yang memusuhinya tiap hari kian tampak. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia sedikit heran kenapa orang selalu senang berperkara dengan dia. Ada-ada saja masalahnya.
Sore harinya si Derman muncul lagi. Kali ini dia ditemani abangnya, Bongguk. Leo mengutuk dalam hati. Kenapa mereka tidak bisa membiarkan hidupku tenang. Tetapi diam-diam dia merasa bangga melihat mata Derman tampak lebam. Itu karena bogem mentah kirimannya yang semalam dia layangkan ke pelipis preman pasar itu. Dan sepertinya rahangnya agak mencong. Apa mungkin engselnya lepas dan dia meminta pertanggungjawabanku sekarang, pikir Leo. Seorang preman takkan melakukan itu kecuali dia seorang yang tidak memiliki harga diri.
“Apa yang lakukan semalam itu, Leo?” bentak si Bongguk.
“Apa rupanya?” balik Leo bertanya.
“Si Derman hanya mau lihat surat-surat kau. Kenapa kau malah pukul dia?”
“Kau tak ada urusan denganku, Bongkuk. Ini urusanku aku dengan adik kau. Jangan coba-coba kau ikut campur di sini.”
Karena sore itu masih terang, beberapa tetangga menyaksikan peristiwa itu meski tidak bisa melakukan apa-apa. Bertepatan pula Rico dan Lazuarti dan Mindo Napitupulu mampir ke rumahnya Karena itu mereka berdua langsung kabur.
Tetapi malam berikutnya, Leo pulang ke rumah kira-kira pukul sepuluh. Kedatangannya sudah dinantikan tiga motor dan lima orang. Leo menghentikan motor besarnya di depan pintu gerbang, sementara kelima orang itu mengawasi gerakannya.
Leo mengutuk dalam hati. Apa lagi mereka ini. Tak bisakah mereka membiarkanku hidup tenang, pikirnya sambil menarik kunci motor, dan berdiri menghadap mereka.
“Apa mau kalian?”
“Gini, Lae. Kami tak terima kawan kami kau gimbal,” ujar yang satu.
“Jadi maumu apa? Kau mau main keroyok?” tanya Leo.
Satu orang tampak turun dari motor dan langsung berjalan mendekati Leo. Badan Leo yang besar itu juga tidak menyia-nyiakan waktu, menendang satu orang yang duduk di atas motor dan langsung jatuh ngejoprak. Pertarungan itu adalah pertarungan laki-laki. Bagus juga karena orang Batak biasanya berkelahi dengan cara jentelmen. Mereka berani berkelahi satu lawan satu.
Sampai lurah, camat soleh, turun tangan, sampai asisten 1, walikota turun tangan, untuk mendamaikan. Caranya dinasihati, derman dan kawan2nya. Mereka salahkan kawan2ku. Lebih jahat dan brengsek yang jahat. Aku juga ada pergaulan di luar.
Di siantar ada tokoh masyarakat, tokoh pemuda, orang2. Mereka turun lagi. Artinya, aku melakukan itu karena pembelaan diri. Perkelahian karena dia datang ke rumahku. Yang kedua, ketika aku mau masuk ke jalan rumah. aku naik motor juga. Kota kecil ke aman2 lebih cepat naii motor. Tidak main keroyok. Kalau seorang yang jentelmen. Itu cara2 pengecut tikam2 belakang. Jawa itu. Tangan lawan tangan. Senjata lawan senjata.
Prinsipnya, jangan ganggu dia. Tantang gua. Aku layanin. Mau berantam pukul2an biasa, salah satu cacat atau salah satu mati.
Pukul 8 malam lonceng pagar rumah Leo berbunyi. Dia pikir itu adalah Trisno karena setelah pulang kantor jam 5 tadi, dia sudah mengajak kawannya berenang di Sibatu-batu itu ke luar untuk makan malam. Leo membuka pintu dan melihat segerombolan orang di luar pagar rumah. Ada 13 orang ditambah seorang anak kecil. Siapa mereka? Jangan-jangan mereka salah masuk rumah, pikir Leo.
“Ya, ada apa?”
“Ini, masalah kau dan Derman, Nak Leo. Saya mamaknya Derman,” sahut seorang ibu tua.
“Oh...,” jawab Leo sambil membuka pagar yang belum dikunci. Karena dia seorang Jawa, Leo tak perlu bertanya untuk dipanggil inang, namboru, nantulang, atau ompung.
“Silakan masuk. Aku panggil Ibu saja?
“Ya, ibu saja.”
Mereka semua masuk ke dalam rumah. Sebagian berdiri di halaman. Rupanya mereka datang untuk minta maaf atas perbuatan anaknya, Derman.
“Tidak apa-apa, Bu. Kita manusia ada kesilapan. Manusia sempurna karena ketidaksempurnaannya. Itulah yang diberi tuhan.”
Setelah itu datang lagi delapan orang di antaranya tokoh masyarakat. Ternyata Derman juga ada. Mukanya merah sehabis minum. Usianya sudah 45 tahun dan tidak kawin-kawin. Mamaknya memanggil dia masuk untuk minta maaf. Ada tokoh masyarakat.
Akhirnya mereka berdamai sebagai teman dan saudara. Ibu tak usah kecil hati dengan derman. Abangnya juga bilang, adik saya memang gitu. Residivis.
*
 Selesai - tamat 


Tangan Kiri Tuhan (Cerber #10)

Catur
Orang Batak pemain ulung dan penggemar fanatik catur se-Tanah Air. Di Siantar orang bermain catur di kedai-kedai. Kedai itu semacam kios kayu, lebar empat dan panjang enam meter ke belakang. Orang menjual teh, kopi, pisang goreng, bubur nasi di kedai. Kalau sarapan tersedia tambahan telur ayam kampung setengah matang. Tak ada mi rebus seperti warung-warung di Jawa. Kedai kadang bernama kadang tidak, biasanya nama pemilik kedai dijadikan nama kedai.
Laki-laki Batak bicara politik lokal kota, nasional, internasional. Mereka pintar mengomentari pejabat di kota mereka, rakan perang antar negara, sepakbola dunia, Mulutnya membahas yang negara yang bermilyar-milyar dimakan oleh koruptor tetapi kadang-kadang untuk segelas kopi pun tak ada uang untuk membayar.
Ibu-ibu dan bapak-bapak kelas tani biasa ke ladang. Siang hari mereka pulang untuk makan di rumah atau di kedai. Setelah itu mereka berangkat lagi ke ladang. Mereka yang bekerja sebagai pegawai negeri pun, jam 10 pagi sudah nampak di kedai, duduk-duduk. Tiap hari begitu. Mereka memahas togel, politik, main catur, marbada.
Pemandangan umum kedai di pajak Horas adalah orang bermain catur. Kedai biasanya menyediakan papan caturnya. Orang kedai senang orang bermain catur di kedainya karena mereka akan duduk berlama-lama sambil terus menambah kopi. Karena Leo punya riwayat asam lambung tinggi, ia tidak minum kopi tetapi teh susu dingin. Air teh kental dicampur susu bendera kental manis dengan batu es.
Kedai berpintu papan-papan kayu yang sudah diberi nomor agar pas saat memasang ulang. Di dalam kedai ada meja dan kursi-kursi bulat dari plastik atau kayu. Selain bermain catur orang bisa ke kedai sekedar baca koran atau menghitung togel.
Satu malam Leo mengajak kawannya ke pajak Horas untuk minum bandrek. Bandrek racikan Pakcik Amar terkenal enaknya di seluruh Siantar. Anaknya, Amar Taufiq, teman baik Leo. Pakcik asli Pakistan-Afganistan. Malam itu Pakcik Anwar bermain catur dengan Makmur Nasution. Leo biasa memanggilnya Om Makmur. Pemain catur kedai biasa menekan mental lawan sambil bercanda, memanfaatkan berita yang sedang hangat di televisi untuk menghantam lawan. 
“Ngapain pula kuda kau itu ngintip-ngintip, Makmur?”
“Ah, jangan bikin barang kau itu ngetem-ngetem, Amar?”
“Oh begitu nya cara kau main? Aku majukan yang ini. Ayo, mainkan.”
“Hancur Kandahar!”
“Hancur Lebanon!”
“Kutembakkan dulu rudal itu, bah!
“Rusak sudah Palestina.”
Om Makmur berani mengorbankan bidak-bidak pentingnya –kuda atau gajah- untuk menghancurkan pertahanan lawan. Strategi permainannya sangat rapat dan tak lengah. Paling biasa Om Makmur menang dalam pertandingan catur melawan Pakcik Amar. 
“Ajari aku main catur, Om!”
“Kau harus bersiap jadi pecundang main catur denganku, anak muda!”
Makmur Nasution seorang yang unik. Ia seniman jalanan yang kelihatannya tak peduli dengan hidupnya. Ia tak pernah menikah sampai setua itu, mencari uang dari menyanyi dari kedai ke kedai di Pajak Horas, tanpa musik. Biasanya kedua tangannya bertepuk sebagai nada mengiringinya menyanyi. Ia seperti orang normal ketika bermain catur, tetapi kurang lurus pikiran atau terganggu jiwanya jika sedang melamun tidak melakukan apa-apa.
Om Makmur senang menyanyikan lagu-lagu Rahmat Kartolo, terutama Patah Hatiku Jadinya, seperti biasanya pria-pria Batak menyanyikan lagu-lagu sendu dengan syair yang mengagungkan kasih ibu. Ketika Rahmat Kartolo diberitakan meninggal dunia, Om Makmur meraung-raung, menyanyikan lagu penyanyi itu berulang-ulang. Tak seorang pun berani menghentikan Om Makmur menyanyi. Dia akan berhenti menyanyi dengan sendirinya ketika keletihan.
Orang di pajak Horas bilang Om Makmur punya kenangan manis dengan perempuan yang disukainya, yaitu Sorta Sitanggang. Sorta adalah pedagang di dekat pajak, yang usianya sudah tidak muda lagi. Satu kali Sorta Sitanggang memandang Om Makmur bermain catur dengan Leo, dan sambil tertawa dia bilang menyukai Leo. Om Makmur kesal mendengar itu tetapi dia tetap memainkan bidak-bidak caturnya. Leo berusaha menghiburnya.
“Om Makmur, Sorta sudah punya umur seperti Om. Dia itu lebih cocok kawin sama Om Makmur daripada aku. Om kawinlah dengan dia.”
Om Makmur senang diberitahu seperti itu tetapi kenyataannya dia tidak pernah bisa merebut hati pedagang perempuan itu.
Karena sering bermain catur bersama sampai jauh malam, Leo mengantar Om Makmur ke rumahnya di ujung jalan. Pertama kali melihat rumah Om Makmur, Leo sedih karena tempatnya kecil dan sumpek. Hiburan Om Makmur selain bermain catur adalah ayam jantan petarungnya yang bagus. Tiap malam dia membawa ayamnya tidur di atas tilamnya.
Leo membelikan tilam baru dari pajak Horas untuk Om Makmur. Beberapa kemejanya yang masih bagus dan celana panjangnya ia berikan kepada Om Makmur. Tiap kali mereka main catur ia yang menraktir makan nasi campur. Sesekali Leo menyelipkan sedikit uang untuk Om Makmur membeli apa saja yang disukainya. Satu hal yang disukai Leo dari Om Makmur adalah orangtua itu tidak pernah rewel meminta sesuatu darinya meski dia sudah merasa dekat.
Satu kali Leo memboncengnya ke Siantar dan ia melarikan motor sampai 90 km per jam. Ia heran karena celana panjangnya basah. Ia pikir hujan turun tetapi ternyata Om Makmur terkencing-kencing di belakangnya.
“Om Makmur kencing di motorku?” teriak Leo.
“Siapa suruh kau ngebut tadi?” sungut Om Makmur.
Leo segera minta maaf ketika menyadari wajah Om Makmur pucat ketakutan. Dia begitu ketakutan di belakang sana sampai tidak bisa mengatakannya kepada Leo. 
Setelah berhasilkan mengalahkan Om Makmur beberapa kali, Leo lebih percaya diri untuk mencari lawan main catur yang baru, yaitu Ali Napiah Siregar, orang pintar yang lahir di India tetapi kembali ke tanah air untuk mengabdi si sini. Pertama main dia kalah tetapi setelah itu dia selalu menang. Leo terus bermain catur dan menantang para jago catur Siantar seperti Lokap Pasaribu, Eston Panjaitan, Simanik dan banyak lagi. Sampai akhirnya dia sendiri dinobatkan sebagai jago catur antar kedai.
Setelah pulang kerja, kalau tidak perlu membersihkan lahannya, Leo akan menghabiskan waktu senja bermain catur. Ia datang saja ke kedai, dan mengintip siapa yang ada di sana. Selain di pajak Horas, Leo mengadu catur di kedai Pajak Hongkong, antara Jalan Diponegoro dan Jalan Surabaya. Tapi ia paling senang mampir ke kedai Si Zul karena dia membuat teh susu yang paling enak.
“Eh, ngapain kau di sana? Ayolah kita main dulu sepukul dua pukul.”
“Kopi dululah, Lae.”
“Ah, gampanglah itu.”
“Leo, lihat pertahananmu itu, bah? Coba rasakan ini kalau kau tak mencret.”
Bagi mereka, memenangkan catur di kedai lebih membanggakan daripada menang antar kecamatan atau kelurahan. Jagoan catur yang sesungguhnya tidak akan ikut perlombaan, tetapi untuk menyenangkan hati sambil sedikit mabuk tuak. 
Leo merasa permainan caturnya yang dulu mengalahkan Prandi belum apa-apatidak sebanding dengan permainan catur jalanan di kedai-kedai kopi di Siantar.
*

Bersambung ke bagian 11 

Tangan Kiri Tuhan (Cerber #9)

Pagar di Rumah Siantar 
Pematang Siantar berjarak 80 km arah selatan dari kota Medan. Pohon palem, lada, teh tumbuh baik di sini. Penduduknya mungkin seperempat juta orang. Tak padat memang. Orang pun berkendara santai di sepanjang sudut kota tanpa menemui kemacetan. Kota kecil yang hujan turun lebih sering dari sebutan kota hujan negeri ini, adalah kampung halaman Adam Malik. Banyak jagoan Medan dan kota besar lain tahu apa artinya jagoan  Siantar. Sebelum tahun 1907, kerajaan Pematang Siantar dipimpin marga Damanik dari Batak Simalungun. Kini wajah-wajah Tionghoa dan Melayu Keling banyak tampak di sini.
Leo memilih tinggal di kota ini meski secara resmi ia berkantor di Medan. Rasa bahagianya kurang memahami keruwetan kota besar. Alasan lain adalah romantisme masa lalu. Ia pernah melewatkan banyak kali liburan semester di sini, bertemu dan berdiskusi dengan para aktivis, pekerja, petani dan siapa pun di jalanan.
Siantar tak banyak berubah sejak terakhir dia tak lagi mampir. Lima tahun dia tinggalkan. Kota ini kerap memanggilnya pulang. Sapaan khas, manusia-manusia unik dan suka berkelakar, membuatnya rindu kembali. Di pajak (pasar) Horas, pemandangan lelaki dewasa bergerombol duduk mengobrol sambil minum kopi atau teh susu sambil mengepulkan asap rokok, adalah sebuah dinamika. Di kedai-kedai pajak, perdebatan dimulai dan diakhiri. Mereka mengutuk atau memuji para pemimpin negeri ini dalam sekali hisap sigaret. Meski tanpa uang di kantong mereka bertahan mengobrol sampai lewat tengah malam. 
Di sudut lain sekumpulan penyanyi setengah matang menarik suara dalam empat nada, menembangkan lagu-lagu sendu yang bersyair tentang ibu, kekasih, atau hidup yang tak lagi berpihak kepadanya, dengan petikan gitar seadanya. Penjual martabak india, bandrek, mi dan bihun goreng, sibuk melayani pelanggan. Becak menaik-turunkan penumpang.  
Beberapa minggu setelah kedatangannya, ia sudah memikirkan akan menuruti saran ayahnya: membangun rumahnya sendiri di sini. Pikirannya berkata ia akan tinggal lama di kota ini. Itu sebabnya dia perlu sebidang tanah kosong untuk mewujudkannya. 
Ditemani Udan dan sebagai navigator, dengan motor besarnya, mereka melintas masuk-keluar jalan-jalan kecil, daerah kota sampai pinggiran, jalanan menaik dan menurun, dari kampung ke kampung. Ia memperhatikan air dan pepohonan, orang-orang di sekitarnya. Dua minggu ia berkeliling belum juga didapatinya tanah yang kena di hati.
Satu kali Udan mengajaknya bertemu seorang kawan di daerah Dipinggol-pinggol. Di sana ia terpikat seluas tanah perladangan milik Ompung Siburian. Kakek tua itu bukan seorang yang ramah tetapi hatinya lurus. Ia juragan tanah.
“Aku tak menjual tanah ini. Aku akan kasih kepada anakku nanti,” ujar Ompung Siburian ketus.
Leo sedikit kecewa. Ia merasakan kimia yang menarik ketika melihat dan melintasi tanah itu. Kalau Ompung Siburian mau menjual tanahnya, ia akan bertetangga dengan PNS, teman Udan itu, seorang pengarang, dan keluarga Ompung Siburian.   
Leo belum menyerah. Beberapa kali berkunjung ke sana dan berbincang dengan Ompung Siburian dan mengobrol apa saja. Si Ompung mulai terpikat ceritanya ketika ia bilang kedatangannya ke Siantar untuk menetap dan bahwa beberapa tahun ke belakang dia rutin ke Siantar tiap kali liburan semester. Mereka berbagi sigaret. Si Kakek tertarik mencoba rokok putih anak muda itu. Tanah sudah hampir dilepas. Dan pada waktu yang tak disangka-sangka orangtua itu melepas tanah dan ladangnya kepada anak muda yang diajaknya bicara itu. Bukan main senangnya Leo.
Ia meminta tolong kawan arsitek membuatkan gambar rumah yang diingininya. Tak perlu rumit. Ia hanya perlu semua keperluan sebuah rumah terakomodir di sana. Ia memilih jenis bahan. Setahun lamanya rumah itu didirikan, molor dari yang direncanakan, karena beberapa kali ia berubah pikiran.
Rumah itu cukup luas dengan tiga kamar tidur, dua kamar mandi, satu ruang tamu yang indah. Di ruang ini ada lemari kaca indah yang memajang piring-piring antik zaman Belanda yang pinggirannya berlapis emas murni. Dia punya dapur yang cukup luas dan halaman belakang yang beratap langit. Dinding dibuat tebal dengan maksud pengamanan yang kemudian dirasanya terlalu berlebihan untuk kota sekecil Siantar. Tak banyak laporan kejahatan di sini. Di ruang tamu ia menempatkan televisi ukuran cukup besar dengan sudut yang pas agar dia bisa berselonjor dari sofa panjangnya. Ia melengkapi kamar mandinya dengan pemanas air dan pancuran buatan.
Dapurnya bersih dan rapi. Ada penghisap uap panas, kompor listrik, dan pemanggang. Dia sangat bangga dengan sebuah kamar khusus di belakang, tempatnya menyimpan segala perkakas kerja laki-laki seperti obeng, gergaji, pemotong listrik. Lampu-lampu taman dan lampu sorot bersinar kuning pada malam yang gelap. Halaman bisa memuat dua mobil parkir bersisian.
Ibunya menanam mawar di rumah mereka di Jakarta. Dan tak sengaja ia pun membuat kotak berdiameter lebar yang diisi tanah dan bibit. Di sanalah ia menumbuhkan mawar kuning, merah, putih, yang berbunga lebar. Pada bagian dalam pagar berjejer bunga kertas, kawinan warna antara fuschia dan putih. Seakan belum puas dengan tanaman mawar, di halaman belakang ia buat kotak dua panjang berisi tanah untuk ditanami mawar. Ia berburu bibit mawar terbaik dari kota Berastagi, di sisi danau Toba.
Tetangga-tetangganya tiap kali melihatnya memandangi rumah itu, berseru sambil tertawa, belum siap kau menghiasi rumahmu, lae. Di sekitarnya, baru rumah itulah yang seluruhnya berdinding beton.    
Lalu bangunan itu selesailah. Ia puas. Rumah pertama yang dia inginkan. Bila tak sedang bertugas ke luar kota, ia akan tinggal di rumahnya, memeriksa apa saja tanpa istirahat. Kadang-kadang ia merasa seperti laki-laki rumahan. Tetapi ia pun bisa menjadi orang jalanan saat menyusuri jalan dengan motor atau mobilnya. 
Pada sisi kiri rumah masih ada lahan seluas 400 meter. Pada sisi tanah yang berbatasan dengan rumah, ia tutupi dengan rumput gajah yang selalu pendek dan hijau. Telah lama ia pelajari segala hal bercocok tanam dari seorang petani, ketika ia dulu bolak-balik ke dana. Ia masih ingat petani itu memotong rumput dengan cara mengikis dengan cangkul. Dan ia bangga bisa meniru cara itu dengan baik.
Sesuai dengan harapannya, ia menanami tanah itu dengan tetumbuhan jahe, serai, lengkuas, kunyit, jeruk limau, jeruk nipis, beberapa bumbu dapur. Pada barisan depan ia menanam kopi dan jagung.
Bercocok tanam memberinya keseimbangan yang lain. Ia berkomunikasi dengan makhluk hidup itu. Ketika tumbuhan itu sudah ajeg di tempatnya masing-masing, setiap bulan pasti ia panen jahe, lengkuas, cabai merah, atau tomat. Tiap tiga atau empat bulan kopi atau jagung. Itulah masa paling membuatnya bahagia. Ia selalu tak sabar memanen hasil tanah, dibantu atau tidak dibantu dua asistennya, lalu membagi-bagikan panen merata ke tetangga-tetangga terdekat.
Bila didekati ketika sedang mengerjakan tanahnya, Ompung Siburian akan dengan murah hati memberi saran-saran praktis untuk bercocok tanam atau membersihkan tumbuhan yang tidak lagi tumbuh dengan baik. Sehabis pulang kerja tangannya sudah gatal untuk membersihkan kebun kopinya dengan cangkul. Ia tahu betul apa yang ada dan terjadi di dalam rumah dan halaman rumahnya.
Sore-sore ia akan duduk di beranda depan, sendirian, menunggu sekumpulan elang terbang pulang. Ia takjub melihat rombongan makhluk hidup itu melintas di atas rumahnya. Ia anggap itu sebagai bonus ia tinggal di sana karena hal itu tak pernah diketahuinya.
“Sudah lama nya mereka terbang kayak itu tiap sore. Sebelah selatan rumah, dua ratus meter dari sini, ada sarang burung elang. Sekarang tak ada lagi orang yang menyadari kehadiran mereka kecuali kau,” kata Ompung Siburian sambil menghembuskan asap rokoknya tak peduli.
Sebelum langit menggelap, mereka terbang rendah dengan anggun, melewati atas teras depan rumahnya, seolah menyapa. Sore itu ia bisa membaui rumput dan ilalang yang dibakar oleh petani. Baunya khas. Suara anak-anak yang bermain di halaman rumah. Jeritan ibu-ibu yang memanggil anak-anaknya masuk ke rumah. Semua itu memberinya perasaan dekat dan nyaman. Ia berada di rumah.
Malam turun, langit sudah benar-benar gelap, suasana berganti lengang. Sesekali telinganya masih mendengar suara seorang bapak yang memarahi anggota keluarga, mungkin anaknya yang malas belajar, yang disahut malas oleh bunyi jangkrik yang ramai dalam kegelapan. Hujan tak bosan turun di Siantar. Ramah dan akrab. Kalau dihitung-hitung, seluruhnya hujan turun selama sebelas bulan dari dua belas bulan tiap tahun. Dan malam akan menjadi sangat dingin ketika angin menghembuskan rinainya.
Ompung Siburian membantunya mencari dua pemuda untuk membersihkan rumah tiap dua kali seminggu. Satu orang membersihkan bagian dalam rumah. Yang lain menyapu halaman dan kebun, dari daun-daun yang jatuh dan ranting-ranting yang patah.  
Kegiatannya sehari-hari selain bekerja adalah bersosialisasi dengan tetangga atau pengunjung kedai. Setiap hari temannya bertambah karena ia tidak pilih-pilih dalam berteman. Teman akan memperkenalkan kepada teman yang lain, begitu seterusnya.
Tujuh kilometer dari rumahnya di Sipinggol-pinggol, ada mata air Sibatu-batu. Mata airnya keluar dari sumur alam, berdiameter satu setengah meter. Airnya bening dan jernih. Segala apa di bawahnya tampak seperti kaca. Uniknya, mata air keluar dari tanah lebih atas, seperti air terjun, lalu turun ke bawah seperti kolam. Orang boleh berenang di luar sumur sumur dan meminum airnya. Air belum pernah dikabarkan habis atau keruh. Musim hujan atau musim panas airnya tidak berkurang atau bertambah.
Trisno, seorang Jawa yang sudah lama merantau di Siantar, orang pertama yang memberitahu mata air itu kepada Leo. Setelah itu mereka berenang bersama, disusul oleh Amirudin Barus yang rumahnya dekat dengan rumahnya. Setelah itu mereka akan makan malam dengan nikmatnya sehabis merasa dingin di dalam air. Mata air itu seperti candu bagi mereka yang pernah datang meninjau ke sana
Makanan khas Tapanuli seperti sangsang, arsik ikan mas, dekke na niura, umum disediakan di sini. Leo paling gembar babi panggang Karo yang dicuil dengan sambal hijau andaliman. Beberapa kedai menjual soto ikan gurami yang dagingnya manis dan segar. Bosan menyusur kedai-kedai itu, dia akan makan ayam goreng Kentucky atau masak sendiri di dapurnya. Tiap kali ia bisa membeli telur dan telur asin ke tetangganya.
Sayuran di pajak-pajak Siantar segar dan tidak memakai zat kimia. Ikan mas dan segala ikan hidup dijual dan rasanya manis setelah dimasak. Pertama kali dulu, tiap hari ia makan ikan gurami dan mujair yang beratnya satu kilo seekor. Air diminum langsung dari keran. Hidup sederhana mendekat ke surga.  
Sesekali ia memanggil kawan-kawannya untuk masak di rumahnya dan makan bersama. Setelah perut kenyang mereka duduk-duduk di beranda belakang, menunggu burung-burung elang pulang. Bunga-bunga mawar bergantian berbunga dengan indahnya yang meruapkan harum yang lembut di sekitar ruangan. Ia punya banyak persediaan teh, kopi, biskuit. Tak ada kesibukan lain setelah itu selain mengobrol, tertawa lucu saling menertawakan, dan mengawal sore berganti malam.
Malam-malam sendirian ia akan membaca atau menulis atau menonton. Ia meminta buku-buku baru dikirim dari Jakarta. Kekurangan di Siantar adalah tidak adanya toko buku sastra atau buku-buku penting lain untuk dibacanya kala senggang. Ia seorang soliter sejati yang bahagia bisa menikmati malam di halaman rumahnya, memandangi kebun mawar atau ladangnya atau langit hitam bertaburan bintang.
Ketika ia memandangi bentuk rumah yang sudah dibangunnya, tiba-tiba ia sadar bahwa rumah itu persis rumah mereka di Jakarta. Ayahnya membangun rumah itu dengan sistem pengamanan yang tinggi. Dinding halaman rumah mereka ditaruh kawat gulung yang menyulitkan keisengan orang masuk ke dalam rumahnya. Ia menjadi lebih sadar ketika melihat sekelilingnya, rumahnya tergolong mewah dan megah.
Apakah perlu seperti ini, pikirnya sambil tersenyum menyeringai lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.

*

Bersambung ke bagian 10 

Tangan Kiri Tuhan (Cerber #8)



PEMATANG SIANTAR

Ke Aceh 
Burung besi akan menerbangkan Leo Suwandi di udara selama dua jam, dari Jakarta ke Medan. Siang nanti ia dijadwalkan bertemu orang-orang penting di perusahaan yang meminangnya bekerja di sana. Mereka sudah menanti kehadirannya.
Segalanya terasa baru baginya. Dua hari lalu sampai empat tahun sebelumnya, dia masih berjalan bersama orang-orang yang berbicara dalam bahasa yang paling indah di dunia, di kota paling romantis sedunia.
Seperti komputer yang sedang membuka catatan-catatan pengalaman masa lalu di Sumatera Utara, perasaan girang dan masygul bergantian menampakkan diri. Peristiwa demi peristiwa muncul seperti deretan film. 
Sekarang ia di ruang tunggu bandara, menunggu panggilan petugas mempersilakan penumbang naik pesawat. Ia tak suka membaca dalam situasi seperti ini. Kegiatan yang disukainya di tempat seperti ini hanyalah duduk, mungkin dengan secangkir teh atau segelas cokelat panas di tangan, mengawati orang berlalu-lalang, yang menekuni urusannya sendiri. Ia memandangi mereka diam-diam dengan gerak leher yang luwes, karena dia merasa harus bertindak sopan dalam hal ini, agar orang tak menangkap matanya yang celamitan ingin tahu.
Ia sungguh terhibur hanya dengan memandangi laki-laki dan perempuan dan anak-anak tampil seadanya, dengan gerak tertentu dan ekspresi biasa-bosan-kesal-cemberut-manyun-menyebalkan-bersemangat menempel pada wajah mereka.
Sering sekali ia berpikir orang-orang itu adalah dirinya sendiri. Ia paham orang lain pun bisa memperhatikan dirinya seperti ia mengawasi mereka sekarang, dan memberi penilaian. Terkadang ia tersenyum dalam hati memperhatikan gerak lucu atau saraf ingin tahunya naik menunggu bagaimana orang menyelesaikan persoalannya saat itu. Karena itu saraf-saraf di tubuhnya bisa merileks atau menegang. Ia akan berpura-pura melengoskan kepalanya ke arah lain agar tak kendara dia sedang mengamati. Tetapi begitu dia kembali, adegan sudah berganti atau hilang sama sekali, dan hatinya merasa tertinggal. Akan ke mana semua orang ini?
Orang berada di bandar udara untuk maksud pergi ke satu destinasi. Tiket sudah di tangan sebagai syarat terjadinya kepindahan itu. Kemungkinan yang ada setelah itu adalah, apakah destinasi yang dituju nantinya akan akan membuatnya lebih bahagia dari keadaan sekarang? Tak satu pun tahu kedalaman rasa seseorang. Tak satu mengira apakah penampilan wajah itulah yang ada di hatinya. Apakah orang-orang ini akan bahagia dengan kepergian itu atau tidak? Pertanyaan itu juga dia tujukan kepada dirinya sendiri.  
Ketika dia masih bersama orangtua, ia tak memikirkan destinasi. Ia menuruti apa yang diperintahkan untuk diikuti. Bertahun-tahun sekolah, ia pergi dari rumah ke sekolah, dari sekolah ke rumah. Pada akhir pekan, ke restoran untuk makan malam bersama. Pada kali libur, ia ke rumah saudara atau ke luar negeri. Ia tak perlu mengkhawatirkan ke mana mereka pergi. Tubuhnya menurut saja karena ia mempercayai orangtuanya. Orangtua takkan membawa anak-anaknya ke tempat yang berbahaya. Mereka akan memastikan tempat tujuan itu sesuatu yang menyenangkan dan baik untuk anaknya.
Setelah dewasa, tiap kali ia akan bergerak, dia sendiri harus menimbang, apakah betul destinasi itu yang ingin ditujunya? Apakah keputusan itu akan membawanya pada harapan yang ingin dikejarnya.
Medan. Medan bukan kota yang asing baginya. Ketika ia dan teman-temannya aktif menggerakkan kelompok-kelompok di kampung-kampung sekitar Sumatera Utara, ia juga melintas ke kota ini. Ketika sekolah di Kuala Lumpur, tiap libur semester dia berada di bandara Polonia, naik bus ke Siantar, atau dijemput kawan-kawan seperjuangannya. Medan seharusnya tidak lagi asing baginya, seperti dirinya bagi kota itu. 
Ingatannya pada kota ini membuatnya serndu. Ketegasan dan kekerasan hati penduduknya, sedikit banyak sesuai dengan caranya. Penampilan yang teguh dan keras kepala di luar tetapi hati yang mudah jatuh di dalam, juga mendekati karakternya. Penduduk Medan bukan sedang bertingkah kasar atau tidak sopan. Tetapi, begitulah mereka.  
Di bandara, ia dijemput kawan yang ditemuinya ketika di satu tempat ia duduk memandangi rumput dan domba-domba di desa kecil itu. Sebenarnya ia tak suka diperlakukan seperti itu tetapi temannya mendesak. Di kantor, ia memperkenalkan Leo kepada seluruh pegawai sebagai Manager Baru urusan hubungan keluar, yang kekuasaannya setara Pengambil Keputusan Tertinggi di sana. Suara Leo akan turut menentukan satu tindakan atau keputusan kantor.  
Leo tidak terlalu terkesan dengan perkenalan yang kedengarannya hebat itu. Ia pun tak terlalu peduli di mana dia duduk, bentuk kursi yang akan dia duduki, arah pintu masuk ke ruangannya, kendaraan yang akan dia pakai. Dia belum melakukan apa-apa jadi belum terbukti apakah dia mampu bekerja seperti yang dikatakan oleh kawannya saat memperkenalkan tadi. Perasaan mampu tak sama dengan kenyataan di lapangan. Keberhasilan manusia ditandai dengan pekerjaan kecil yang sudah dikerjakan tangannya bukan dengan rencana besar yang masih dalam angannya.
Perusahaan dengan cepat menyerahkan berkas-berkas menjadi gunung di meja kerja Leo. Gunung itulah sebanyak persoalan yang mereka miliki terkait tanah dan masyarakat lokal. Bukan dibiarkan dengan sengaja tetapi seperti menunggu ratu adil yang berhadapan dengan tetua adat, pejabat lokal, pemilik tanah, menyelesaikan persoalan, bukan tambah memperpanjang urusan. Reputasi Leo memotivasi gerakan akar rumput dan keberanian menjawab gertakan level penguasa serta kemurnian semangat mudanya, dianggap sesuai untuk pekerjaan ini. Dia bisa menjadi jembatan dan panutan. Jangan menganggap enteng kemudaan seseorang. Sekali ia bertekad apa pun dia berikan kecuali satu pertimbangan.
Leo tak suka membuang waktu. Ia dengan cepat memetakan posisi perusahaan dan keseluruhan masalah yang dihadapinya. Dengan segera pula ia merencanakan tindakan pemulihan. Perkebunan luas milik perusahaan membentang dari Aceh, Medan, Sibolga, Nias, Padang, Pekanbaru.   
Ia akan mulai dengan Aceh, daerah yang menurutnya genting. Penduduk dan tanah mereka dikenal keras dan liat. Pemerintah dibuat terpontang-panting melakukan upaya damai dengan mereka. Ia belum tahu apa yang akan dia lakukan tetapi ia punya keyakinan itu di dalam dirinya. 
“Pekan depan saya ke Aceh,” kata Leo setelah dua minggu menelisik gunung persoalan. 
“Kamu perlu seorang untuk mendampingi ke sana.”
“Tak perlu. Saya hanya perlu kendaraan yang bisa diandalkan.”
“Untuk mengarahkan jalan?”
“Saya akan tahu.”
“Atau didampingi aparat sehingga ...?”
“Tidak. Tujuan saya berbicara dengan mereka. Bukan menjelaskan posisi kita. Saya akan mendengarkan mereka, dari situ, kita tahu apa yang harus kita lakukan.”
“Mereka biasanya  ... .”
“Ya, saya mengerti.”
Perusahaan menyiapkan kendaraan Land Cruizer untuk perjalanan itu. Sekali lagi Leo memeriksa kondisi mobil, ban, radio dan tape, sabuk pengaman, kunci sentral, dan semua mesin berfungsi baik. Ia menepuk tubuh mobil dengan satu kekuatan tertentu seolah berkata bahwa ia mempercayainya dan agar ia mendampinginya sampai di lokasi dan dapat diandalkan. Dia memang memutuskan berangkat sendirian tetapi sama sekali tak berniat melakukan perjalanan konyol yang membahayakan dirinya.
Bila mobil ini mengecewakan pada perjalanan pertama ini, maka itu adalah kebersamaan mereka yang pertama dan terakhir. Ia ingin segala sesuatu yang bersatu dengan dirinya, memiliki kualitas yang sedikitnya sama. Memiliki ketahanan dan dapat diandalkan. Ia tak ingin menyerahkan diri kepada sesuatu yang tak dikenalnya, tak diyakininya. Sekarang dirinya telah mempercayai mobil putih itu, sepenuhnya. Ia tahu tiap kali instingnya benar. 
Ia tersenyum mengingat romantisme yang ia miliki atas barang-barang yang dimilikinya. Di tangannya, barang bertahan dalam kondisi baik sampai masa pengabdiannya selesai. Seperti manusia, ia yakin benda memiliki masa aktif dan istirahat. Tak selamanya barang yang ada padanya, akan selalu ada. Saat memiliki barang, pada saat sama ia merasa tidak memiliki barang itu. Barang itu bukan miliknya, tetapi milik dirinya sendiri. Manusia memperoleh izin menggunakan barang itu sampai ia menentukan nasibnya sendiri: mati.  
Aceh adalah Serambi Mekkah. Tanahnya kaya, alam dan airnya memberi kehidupan. dan tanah, berkah dari Yang Mahakuasa, yang bila dikelola sebaik-baiknya oleh tangan manusia-manusia berhati lurus, akan mengembalikan kepada anak-anak yang lahir di atasnya, menjadi sejahtera. Namun , manusia seringkali keliru menempatkan diri bila ia pada posisi tertentu, mengira diri lebih berhak mendapat lebih banyak daripada yang seharusnya. Berpikir Alam Semesta tak bermata tak bertelinga, berpikir segala sesuatu akan berjalan seperti pikirannya, yang sesat. Manusia akan menjadi manusia bila dia berlaku sebagai manusia atau tubuhnya manusia tetapi jiwanya binatang.  
Leo memandang dirinya. Ia berkulit terang dan rambutnya lurus. Orang yang akan dia temui berkulit gelap dan berambut ikal. Bahasa mereka beda. Keyakinan mungkin tak sama. Tetapi ia tak khawatir dengan perbedaan itu. Ia percaya manusia sejati memiliki keluhuran budi dan kejernihan hati yang berprinsip sama.
Ia sudah menghubungi orang kontak perusahaan di sana. Dia percaya orang itu akan tahu apa yang harus dilakukan.
*
Hampir pukul delapan malam ia meninggalkan rumah kontrakannya. Ia akan melewati jalan lintas timur trans Sumatra. Pertama menuju Tebing Tinggi, Binjai, lalu Stabat, Pangkalan Brandan, Langsa, dan berakhir di Lhok Seumawe. Perjalanan 900 km ini akan ditempuhnya selama 12 jam. Dia menyiapkan diri dengan beberapa botol air minum dan makanan kecil dan rokok. Ia merasa kekuatannya penuh. Seluruh tubuhnya siap melakukan perjalanan panjang ini. Kesadaran dirinya berada dalam puncak terbaiknya.  
Mobilnya berlari dengan kecepatan 100 km per jam. Tiba di luar batas kota, ia menambah kecepatan ke angka 120 bahkan 140 km. Meski mobil melesat seperti terbang tetapi tubuhnya tetap tenang. Ia menguasai kemudi sambil mendengarkan lagu-lagu tahun 80-an yang disukainya. Ia mengunci seluruh lunci mobil dan merasa aman. Saat-saat seperti ini ia sering menyadari bahwa dirinya ternyata seorang soliter, yang menyukai kesendirian, tanpa memerlukan pertimbangan orang lain.  
Melewati perkampungan ia masih melihat lampu-lampu yang menyala suram dari rumah-rumah sederhana penduduk. Saat tak ada lagi secercah cahaya, dia memastikan di kiri-kanan jalan hanyalah deretan pepohonan belum bernama, tanah keras yang membukit, atau jurang yang dalam.
Kendaraan lain mulai sepi melintas. Sesekali mobilnya berpapasan dengan kendaraaan atau truk atau motor. Terkadang pengemudi sopan membunyikan klakson saat mereka berdekatan, seakan berkata: hati-hati menyetir, dan Leo akan membalas dengan klakson, menjawab, terimakasih.
Lautan kegelapan dan keheningan tiba pada puncaknya. Matanya tak bisa lagi menatap dahan atau pepohonan, hanya akan terpaku pada selurus jalan yang dibuka lampu sorot mobilnya. Tangan bekerja akan mengikuti lekuk-lekuk jalan, sepenuhnya ia tergantung pada cahaya penunjuk jalan.
Ia dan mobilnya sendirian meluncur, tenang. Suara musik di mobilnya ia biarkan seperti berbisik. Angin malam di luar sana pasti lebih dingin menusuk karena ia bisa merasakannya sampai di dalam mobil, tanpa penyejuk udara tetapi terasa sejuk. Jaket yang memeluk tubuhnya lekat sampai leher. Ia menikmati keadaan betul-betul sendirian meluncur dalam ketidakpastian membelah malam. Hatinya bersih dan tak bersyak wasangka. 
Pukul dua pagi dia tiba di wilayah Gayo. Peta yang dia bawa sepertinya memberitahukan keberadaan itu. Hutan Leuseur adalah belantara yang dilindungi pemerintah. Jalanan kecil dan rusak, berkelok-kelok naik turun. Sore pukul enam pun suasana gelap-gulita.
Ia menjadi awas karena sekonyong-konyong di belakangnya ada mobil, sepertinya Kijang Innova. Instingnya mengatakan mobil itu mengejarnya. Untuk membuktikannya ia harus menguji. Ia memperlambat laju kendaraan, mobil di belakangnya mengikuti, berjalan lebih pelan. Saat itulah dia tahu mobil itu memburunya.
Mau bermain denganku, ayo! hatinya mengeras. Ia tancap gas, kekuatan mobilnya melesat seperti setan. Kedua mobil tidak siap dengan tindakan itu, berlari mengikuti berlari. Leo harus siapa karena bagaimana pun mereka sudah tahu medan sementara dia masih meraba-raba. Mereka pun menyetir sampai mobil terdengar mendecit.
Pada satu tikungan, salah satu mobil tiba-tiba muncul dari balik kegelapan ke jalan, lalu satu jendela terbula dan salah seorang melempar jangkar dengan kecepatan kilat. Otomatis Leo menginjak gas, tetapi salah ujung jangkar bercabang empat dan ujung-ujungnya diganduli besi itu, mengenai kaca mobil depan kanan, retak. Leo lega karena mobilnya tak tertangkap. Jangkar yang biasanya diikat ke pohon itu, terlepas. Tetapi kalau sampai terjadi jangkar itu mengurung mobil yang dijeratnya, mobil akan terguling masuk perangkap.
Setelah terbebas, kakinya terus menginjak gas dan tak beranjak dari sana. Ketika harus membelok ke kiri atau kanan di jalanan kecil itu, ia membanting setir dengan ban belakang. Begitulah kebiasaan yang dia tahu dari para sopir trans Sumatra yang terkenal kelincahannya melewati jalan berkelok di tepi-tepi jurang.
Matanya melirik speedo meter menunjukkan angka 160 km. Seketika telinganya bisa mendengar decit suara ban. Kesadarannya penuh dan matanya berwaspada, tetapi kepalanya dingin. Dalam beberapa menit ia menunggu kemudian ia memastikan mereka tak mungkin menyusulnya.
*
Fajar belum merekah ketika ia tiba di satu desa. Masih sepi. Ia membuka jendela mobil, udara dingin menusuk, berhembus masuk. Langsung ia tutup kembali. Pintu-pintu rumah masih tertutup. Tidak ada gerakan atau tanda-tanda kehidupan. Dia memperlambat laju sambil melihat ke kiri-kanan. Dia merasa perlu beristirahat sejenak, sekedar mengumpulkan kekuatannya dengan segelas teh panas.
Pada satu jalan, berjarak lima meter darinya, ia melihat seseorang sedang membuka tutup warung sederhana. Melihat itu ia gembira. Ia berhenti dekat warung, laki-laki itu berdiri menatap mobilnya, menunggu. Leo mematikan lampu sorot, mesin mobil, lalu ia turun, meregangkan tubuhnya. 
“Pagi, Pak.”
Laki-laki itu berwajah gelap, hampir tidak bisa dikenali gurat-gurat pada wajahnya. Ia berdiri enggan, tak menjawab.
“Saya menuju ke Takengon. Masih jauh dari sini?”
“Tidak lagi. Satu jam dari sini.”
“Ada teh di warung ini?”
“Ya. Tapi kami belum merebus air.”
“Saya perlu teh panas, bisa? Saya akan menunggu,” kata Leo dengan suara lunak.
Laki-laki itu mengangguk, kemudian pergi, cepat kembali dengan bangku kayu panjang dan ditaruhnya di depan mulut warung. Leo tetap berdiri, menggerakkan tubuhnya, mengeluarkan rokok putih dari sakunya. Dia memantik pemantiknya, mengisap rokok dengan nikmatnya.
“Dari mana?” tanya laki-laki itu.
“Siantar.”
Laki-laki itu mengangguk, kemudian menghilang lebih lama. Harum teh lebih dulu muncul baru laki-laki-laki itu. Ia membayangkan kesegaran teh akan menghangatkan jantungnya yang kedinginan. Ia menghirup aroma teh ke dalam dirinya, meniup asap sekilas kemudian memonyongkan mulutnya, menyeruput airnya dengan nikmat, membasahi bibirnya yang nyaris beku dalam AC mobil. Laki-laki itu memperhatikan gerak-gerik Leo tanpa suara.
“Sudah lama tidak hujan, Pak?” Leo bisa merasakan dari debu di sepatunya.
“Ya, lama sekali. Adik mau ke mana?”
“Takengon.”
“Menengok keluarga?”
“Bukan, urusan pekerjaan.”
Lelaki itu bukan jenis orang yang terlalu ingin tahu. Mereka mengobrol cuaca tapi itu pun sekedarnya saja. Selesai mengisap tiga rokok putih, ia pamit. Ia tertegun mendengar laki-laki itu menyebut lima ratus sebagai biaya segelas teh panas panas yang nikmat. Ia menyerahkan uang lima ribu, menunggu kembalian, dan berterima kasih. Sebenarnya ia ingin laki-laki itu menyimpan sisa uang tetapi khawatir tindakannya akan membangkitkan harga dirinya teracam. Dia tak ingin jadi pahlawan kesiangan. Laki-laki itu sudah melihat kaca depan kanan mobil yang retak tetapi tidak tertarik bertanya. Leo pun tak merasa perlu menjelaskan. Dia pamit sekali lagi dengan bunyi klaksonnya.
“Hati-hati,” ia mendengar suara bersahabat dari laki-laki itu.
Leo membunyikan klakson sekali lagi.
Sejam kemudian seorang bocah kurus berwajah gembira dengan sigap memberitahu rumah Haji Abdullah, rumah ketua adat, tempat pertemuan mereka saat itu. Senang melihat anak pintar itu, Leo menawarkan sekotak susu cokelat dan sebungkus Oreo kepadanya. Bocah itu tak malu-malu menerima pemberian Leo, mengucapkan terimakasih sambil berlari menjauh.
Tepat pukul 7 ia berbelok dan matanya melihat beberapa orang berdiri di depan satu rumah. Pasti itulah rumah yang dimaksud si bocah. Sekitar 30 orang berdiri berkelompok-kelompok. Di depannya tersedia kursi-kursi plastik seperti acara khitanan.
Mereka sudah siap membicarakan masalah lahan 20 hektar mereka, batin Leo. Ia memarkir mobilnya dalam jarak tatap pandang mereka, di tempat yang menurutnya aman, sambil ia berpikir-pikir kata apa yang pertama kali akan diucapkannya nanti. Assalamualaikum, batinnya pasti.
Dia melirik sekilas ke kaca spion sebelum turun dari mobil. Ia melangkah dan berusaha mengingat lagi bagaimana mengucapkan assamualaikum dengan benar. Tetapi ketika ia mengangkat wajahnya, seseorang sedang berjalan ke arahnya dengan langkah lebar.
Seketika ia merasa terselamatkan karena itu pastilah Syarif, orang kontak perusahaan yang sudah dia telepon beberapa waktu lalu.  Ia mengenakan baju koko tipis berwarna putih pecah. Kumis tipis menghias wajahnya yang berisi dan sehat. Ia masih muda dan cerdas. Senyumnya yang sudah terbit dari kejauhan menunjukkan kesiapannya. 
“Selamat datang di desa kami, Pak Leo. Saya Syarif,” kata orang itu mengulurkan tangannya.
Leo tersenyum, segera menyambut tangan itu, menjabatnya erat sambil menatap kedua mata hitam di depannya. Ia membungkukkan lehernya karena Syarif hanya setinggi dadanya. Genggaman tangan Syarif yang menutup telapak tangannya baik-baik memberinya harapan. Dia suka orang yang berjabat tangan dengan kesungguhan hati seperti itu.
“Saya sudah mengira Pak Leo setinggi ini. Dari suaranya yang besar,” katanya tertawa.
Leo ikut tertawa renyah. Otot-otot tubuhnya makin rileks.
“Jadi hanya sendirian menyetir dari Siantar? Dua belas jam?”
“Iya, Pak.”
“Wah, hebat sekali. Pak Leo sangat awas dan sehat sekali, ya. Sekarang pun masih kelihatan segar. Bagaimana di perjalanan tadi?”
Sembari menunjukkan kaca mobilnya yang retak di sebelah kanan, ia menceritakan ia mulai dibuntuti dua mobil ketika memasuki Gayo. Setelah itu kakinya terus menginjak gas dan tetap di gigi satu.
“Mereka cekatan melempar jangkar. Hampir kena saya. Untung saya hantam terus gas,” kata Leo. 
“Kami beberapa kali mendengar berita itu, Pak Leo. Syukurlah Pak Leo selamat.”
Syarif mengajak Leo masuk ke rumah pertemuan. Rumah itu dindingnya terbuat dari papan dan setengahnya seng, juga atapnya. Tak tampak langit-langit, hanya tulang-tulang kayu yang menopang rumah tampak jelas. Bagian dalam rumah tampak terang karena semua lampu menyala. Rumah berbentuk segi empat itu luas dan serba lapang.
Leo menyalami mereka satu per satu sambil menyebutkan namanya dengan jelas. Sesekali ia mengomentari mereka yang ia salami. Akibat tindakan itu, semua yang belum bersalaman dengannya, berdiri, menunggu tangan mereka disalami wakil perusahaan dari Medan itu. Tuan rumah, Haji Abdullah, menyerukan sesuatu ke bagian belakang rumah, setelah itu tak lama piring-piring pisang goreng dan bergelas-gelas kopi panas diedarkan.  
“Enaknya saya panggil apa kepada bapak-bapak ini? Saya tak mau salah memanggil orang. Saya sendiri, bapak-bapak banyak, saya takut dikeroyok,” canda Leo. Semua orang tertawa.
Pagi itu berlangsung santai. Wajah-wajah memperlihatkan senyum. Pemandangan itu membuat Leo melupakan perjalanan malamnya yang berbahaya. Ia tidak merasa letih atau mengantuk padahal semalaman ia terjaga.
Sambil menikmati pisang goreng, ia mendengarkan Syarif berdiri di tengah-tengah mereka, menjelaskan siapa Leo dan maksud kedatangannya. Setelah itu ia mempersilakan Leo menggantikan tugasnya berdiri di depan mereka. Leo menampilkan senyum yang paling segar pagi itu. Ia mendengarkan sambil mengangguk-anggukkan kepalanya meski dia sudah tahu permasalahan mereka dengan perusahaan. Sementara dia masih mencari-cari apa yang akan dia lakukan setelah ini. Jujur dia belum ada sesuatu di kepalanya kecuali ingin mendengar langsung dari warga, apa di dalam hati mereka. Hanya yang dia tahu, pertimbangan terhadap konflik ini adalah bahwa dia perlu menegakkan keadilan dalam beberapa rupa kemungkinan.
“Silakan utarakan uneg-uneg hati bapak-bapak di sini, mumpung saya ada di sini. Saya mendengarkan dan kita akan sama-sama mencari solusi yang baik untuk perusahaan dan Bapak-bapak di sini,” katanya.
Perusahaan telah menggunakan tanah mereka dijadikan perkebunan sejak beberapa tahun lalu. Mereka galau karena berpikir tanah mereka takkan kembali ke tangan mereka karena tanah ulayat itu tak bersurat tak bersertifikat. Kekuatan hukumnya lemah dan mereka tidak punya bukti apa-apa untuk mempertahankan tanah itu. Padahal itulah satu-satunya milik mereka.
Kesimpang-siuran antar mereka tentang masalah ini, juga adanya provokasi dari orang-orang yang ingin mengambil keuntungan dari kekisruhan ini, menambahkan panas hati penduduk. Mereka mengancam menghancurkan ladang dan merusak panen. Selama ini aparat yang didelegasikan tugas –aparat itu sebenarnya adalah juga penduduk lokal, untuk menjaga ladang perkebunan itu selalu memihak kepada pihak perusahaan dan menganggap enteng keresahan warga serta melakukan tindak kekerasan kepada siapa saja yang berani menyerang perkebunan. Suasana panas ini bikin rumit dan panas situasi. 
Setelah itu Syarif memimpin diskusi dan tanya jawab yang ditujukan kepada Leo sebagai wakil perusahaan. Tiba-tiba seorang bapak berdiri dan mendekati Leo, meminta izin mencoba rokok putihnya. Leo tertawa karena dia sedikit waswas dengan gerakan itu. Dengan senang hati dia menaruh dua bungkus rokok putih di atas meja. Setelah itu hampir orang yang ada di sana mencoba rokok itu. Setelah itu mereka tertawa karena mengisap rokok putih itu tidak bermakna apa-apa bagi mereka.
Setelah tiga jam ia merangkum semua hasil pembicaraan dan atas nama perusahaan ia menawarkan mereka bahwa perusahaan akan membuatkan sertifikat, sehingga masing-masing akan memiliki surat resmi kepemilikan atas tanah itu. Mereka setuju dengan usul itu. Selain itu Leo berkata bahwa perusahaan akan menerima tenaga kerja kurang-lebih 70% dari daerah mereka, khusus di perkebunan wilayah mereka. Sebanyak 30% adalah pekerja luar daerah.
Masalah selesai saat itu juga, semua orang senang. Haji Abdullah yang tampaknya biasa berbicara dengan tangan yang bergerak sibuk, mengajak Leo dan semua yang hadir makan siang. Selesai, dia memerintahkan Syarif dan beberapa orang mengantar Leo keliling kampung. Walhasil Leo tinggal di sana selama dua hari karena tak sampai hati menolak permintaan mereka melihat ini dan itu, makan bersama, dan mencicipi banyak warung kopi. Saat itu temannya di perusahaan menelepon untuk memastikan semuanya baik-baik saja. Leo menjawab semuanya baik-baik saja.
Orang-orang kampung menghadiahi segala macam makanan, tas Muslim yang dibuat oleh perempuan-perempuan mereka, senjata rencong yang pegangannya gading gajah yang halus dan keras, kepada Leo. Baginya, itu sebuah kehormatan dan penerimaan yang dalam tak basa-basi dari penduduk asli. Ia melihat itu dan hatinya tergerak, merasa tidak bisa ia menerima semua kebaikan itu. 
Di kantor, ia berbagi pengalaman berkunjung ke Aceh. Semua mendengarkan tidak percaya. Keberhasilan pertama itu membesarkan hati mereka yang mendengar. Pemimpin perusahaan mendukung sepenuhnya apa pun yang diperlukan berikutnya. Leo menyelesaikan masalah perusahaan seperti hantu, kata mereka.
*

Bersambung ke bagian 9

Tangan Kiri Tuhan (Cerber #7)

Kembali untuk Bekerja
Leo kembali ke tanah air untuk bekerja di Agroindo Global Medan, Sumatra Utara. Saat itu dia sudah berpikir pulang setelah empat tahun di negeri orang. Sekolah dan bekerja.  
Koko sudah menikah dan memutuskan tinggal di Kanada dengan Desi, istrinya. Dede baru menyelesaikan kuliahnya di Melbourne,  akan meneruskan S2, dan sudah jatuh cinta pada kota itu, berencana akan menetap, dan berupaya menjadi penduduk permanen di sana.
Orangtua mereka mendukung anak-anak mendapat pendidikan setinggi yang mereka mau. Hidup di belahan dunia mana saja bukan masalah asalkan mampu mengekspresikan diri sebagai manusia yang bermanfaat. Hidup bukanlah hidup sekedar tetapi hidup meninggalkan kesan baik dan menjadi contoh bagi generasi selanjutnya, begitu orangtua mereka berkata.
Sementara Leo belum menentukan di mana ia akan menetap nantinya. Kadang-kadang jauh di lubuk hatinya ia memilih tinggal di tanah yang sudah melahirkannya. Pikiran itu sudah mengikutinya ke mana pun ia pergi. Ia merasa beberapa sisi dalam hidupnya tersembunyi dari pengetahuan orangtuanya, ketika ia ke pertemuan-pertemuan itu, yang membakar semangatnya untuk berjuang bagi rakyat kecil. Namun selama ini seperti yang ia ketahui, orangtuanya memiliki nilai kemanusiaan yang tinggi dan suka membantu sesamanya.
Berjuang bagi orang lain berarti dia akan memberikan diri seumur hidupnya. Kalau kita berhasil, kita bisa bertemu di mana saja di dunia ini, jarak tidak soal, kata ayahnya. Aku belum memutuskan, masih akan memikirkan, di mana aku tinggal dan menetapkan diri, begitu kata batinnya berkali-kali. 
Pada akhir pekan ia biasa pergi ke desa-desa berbeda dan melihat kehidupan di sana. Ia suka menyetir sendirian di jalanan yang panjang dan sepi dan memikirkan apa saja yang mampir di kepalanya. Ia membiarkan angin keluar masuk dari jendela mobilnya yang terbuka lebar.
Udara di negeri empat musim jarang berdebu dan selalu mengesankan. Ia bisa membaui rumput atau bunga atau pepohonan yang dibawa angin. Ia akan membiarkan dirinya tersesat dan menemukan tempat baru yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya. Hal-hal sederhana itu membuat hatinya bahagia dan bersemangat. Ia kurang suka terlalu lama berada di kota besar yang ramai dengan orang berlalu-lalang dan sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia sulit menikmati kehidupan malam di cafe atau pub yang menyajikan musik-musik keras atau lembut sepanjang malam. Dadanya cepat merasa sesak dan terkungkung. Meski sesekali ia mau juga diajak ke tempat-tempat seperti itu. Teman-teman dekatnya tahu benar sifatnya ini dan mereka tidak memaksa.
Leo tahu ia seorang penyendiri dan kadang-kadang pemalu. Ia senang mengerjakan segala sesuatu sendiri, tak perlu bantuan orang, meski ia meminta bantuan orang. Ia seorang yang setia kawan, bisa diandalkan oleh kawan-kawannya. Namun hanya kepada lingkungan terdekatnya saja ia bisa bercerita apa saja, melucu di depan mereka, menghadirkan hiburan gratis yang menghibur. Rasa percaya dirinya penuh. Ia jarang menyesali masa lalu kecuali seharusnya ia bisa bertindak lebih baik lagi. 
Inilah cerita akhir pekannya. Bertemu warga desa dan melihat hidup yang sederhana. Banyak penduduk desa menyewakan satu atau dua kamar mereka kepada turis domestik atau orang asing tinggal di rumah mereka karena penginapan-penginapan kecil seringkali penuh pada akhir minggu. Fasilitas yang tersedia hanya sarapan makan dan air panas. Selebihnya mengatur diri sendiri. Mendengarkan petani-petani menceritakan pengalaman puluhan tahun dari alam mereka, adalah kesukaan Leo. Apa yang mereka kerjakan, itulah yang mereka hasilkan. Mereka tak peduli apa yang terjadi di dunia yang lain dan tak merasa perlu informasi terbaru tiap saat.
Saat itu Leo duduk di satu restoran kecil untuk makan siang. Rumah makan itu dikerjakan oleh sepasang suami istri dan harus menunggu cukup lama untuk satu hidangan lengkap. Tetapi suami-istri itu pasangan yang ramah dan mereka berdua suka memasak. Sayuran dan bahan makanan termasuk bumbu mereka ambil dari kebun sendiri dan tetangga-tetangga mereka. Baru satu menit ia duduk di sana, seorang berwajah Asia yang lembut mendorong pintu depan dan masuk. Ia menoleh ke arah orang itu ketika mendengar orang itu tidak masuk untuk makan tetapi bertanya apakah dia bisa menumpang buang air kecil. Saat itulah tatapan mereka bertemu.
“Hai, Leo. Di sini kamu rupanya selama ini?”
Mereka berjabat tangan erat sambil tertawa girang karena pertemuan tak sengaja ini. Pemilik rumah makan ikut bergembira tempatnya menjadi reuni sepasang kawan lama. Ia menghadiahi bir cuma-cuma kepada sepasang sahabat lama itu. Teman itu mengosongkan isi kemihnya kemudian duduk berhadapan dengan Leo, makan siang bersama, sampai teman baiknya itu mengeluhkan masalah yang tak kunjung berakhir yang merongrong perusahaannya.
Saat itu juga ia merasa Leolah  orang yang paling tepat yang mereka cari selama ini. Mendengar itu Leo tertawa saja. Dia tidak menjawab apa pun. Sebelum kembali ke tanah air, teman itu bertemu Leo sekali lagi di Paris, kali ini dia memohon lebih serius dan meminta Leo betul-betul mempertimbangkannya. Dia berjanji akan menyediakan apa saja yang diperlukan Leo untuk kembali ke Tanah Air.
“Pertemuan kita pasti sudah diatur oleh Tuhan. Kamu harus datang ke perkebunan kami dan menyelamatkan perusahaan itu.”
Leo tersenyum mengingat temannya itu seorang Katolik yang tiap kali mengaitkan segala sesuatu dalam hidup dengan Tuhan. Bahwa tak satu titik pun peristiwa di dunia ini terjadi tanpa izin-Nya. Tuhan memberi makan burung-burung di udara dan mereka tidak pernah kekurangan meski tak pernah menabur benih dan menuai, katanya.
Perusahaan itu memiliki perkebunan jagung di beberapa tempat di Sumatra dan mempekerjakan dua ribu orang. Momok besar kantor adalah anah warga lokal yang dipakai sebagai perkebunan dan komunikasi yang mentok dengan penduduk lokal. Sampai sekarang ada puluhan masalah pelik belum diselesaikan karena tak seorang pun sanggup berbicara dengan masyarakat adat. Apa yang mereka lakukan sekarang hanyalah menyelesaikan konflik-konflik yang muncul tetapi tidak membereskan masalah akarnya. Mendengarkan temannya menceritakan masalah mereka, hatinya tergerak. 
Berbicara dengan para petani dan pemilik tanah desa adalah makanan sehari-harinya ketika pertama ke Siantar dulu. Meski mereka orang sederhana tetapi pikiran mereka jernih dan mereka tahu apa hak dan kewajiban mereka. Mereka mengenal tanah yang mereka garap, dengan baik. Mereka berbicara dengan bahasa yang sederhana, sesederhana ia makan nasi setiap hari. Begitu nyata dan ada. Mereka mengatakan kebiasaan dan sifat alami tanah, apa yang bagus dan yang tidak bagus untuk. Mereka memperlakukan tanah seperti tanah itu adalah anak mereka sendiri, atau bahkan ibu mereka.
Leo melihat cara mereka memperlakukan tanah mereka, berbicara kepada tanah, tentang tanah, dan kepercayaan mereka, bahwa tanah akan berbalik menumbuhkan apa yang diharapkan pemiliknya. Tanah adalah ibu. Ia tonggak penting yang menyokong segala kehidupan di dalam dan di atasnya. Tanah tak akan berkhianat. Dia diam di sana, tak bergerak tak bicara, hanya menyerahkan diri sebaik-baiknya kepada siapa pun yang memercayainya. Ia bertahan dalam masa kering dan masa basah, keras dan gembur. Ia memampukan pepohonan memberi buah sesuai takdirnya. Ia mendengarkan segala pujian yang diberikan kepada segala tumbuhan karena kebaikan yang dihasilkan.
Tanah bekerja diam-diam. Ia mengumpulkan air dan mencari makanan bagi akar-akar yang menjulur dalam perutnya. Namun demikian tanah juga perlu istirahat sedikit waktu. Ia perlu bermeditasi sekian lamanya, agar dapat membersihkan diri dari keburukan yang mencoba ikut tinggal di dalamnya. Ia akan membersihkan diri dan kembali pada fitrahnya: menjadi sumber kehidupan segala tumbuhan. 
Di dalam tanah tersimpan segala kekayaan yang akhirnya diperebutkan manusia. Tanah menyimpan misteri. Siapa menguasai tanah, menguasai sumber alam. Siapa menguasai sumber alam, dia memiliki segalanya. Bagi orang desa, tanah adalah segalanya. Lebih daripada mata pencaharian. Dari tanah mereka hidup dan menyandarkan harapan hidup.
Di sana, pertama kali Leo menyentuh fisik tanah dengan tangannya. Ia merasa kelembutan dan penyerahan sebongkah tanah, sepenuhnya, ketika tangannya meremas pelan, membuat tanah itu terurai, terburai. Baginya, itu tanda sebuah kerendahhatian, yang mau membuka diri, dan membiarkan dirinya dibaca. Seorang petani mengerti bagaimana sifat dan kondisi tanah. Tanah itu sendiri berbicara tentang dirinya, berkomunikasi kepada manusia tentang kesedihan dan kegembiraan, yang digambarkan dengan buah yang dihasilkan. Tanah yang menumbuhkan segala bahan makanan. Baik dan buruk.
Setelah itu Leo belajar menghargai tanah dan segala filosofi yang menyertainya. Ia membayangkan tanah menumbuhkan padi, padi berubah gabah, gabah menjadi beras, ditanak menjadi nasi, yang ia makan tiap hari. Tanpa kecuali. Lalu ia membayangkan nasi berubah darah, yang mengalir di seluruh tubuhnya, ada di dalam dirinya, tanpa perlu membicarakannya. Tubuhnya senantiasa berteriak ‘nasi’. Ia bisa merasakan kerinduannya mengunyah rasa nasi di mulutnya, jika dalam dua hari saja ia tidak memakannya. Nasi telah menjadi satu dengannya, di dalam dirinya. Ia merasakan romantika sentimentil yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Bagaimana kalau tanah tak lagi sanggup menumbuhkan apa pun di atasnya? Apa jadinya padi bila tak lagi tumbuh di tanah? Seandainya tangan petani tak lagi terampil membaca tanah yang digarapnya, bagaimana memberi nama kehidupan? Siapa memastikan semua akan berjalan dengan sendirinya, seperti biasa, tanpa keingkaran?
Selama hidup belum pernah ia memahami gagasan seperti itu. Ia berpikir hidup hanyalah hidup dan sudah seharusnya demikian. Matahari dan bumi akan berputar pada porosnya dan semua akan baik-baik saja. Sekarang dia mengerti apa kaitan dirinya dengan segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Pada setiap tindakan yang ia berikan, itulah respons terhadap apa yang dia terima. Pada saat itu dia sadar, di mana ia memutuskan untuk berdiri, di situ akan menentukan sikap dan respons yang akan diberikan. Selamanya ia tak mungkin terpisah dengan tanah yang menumbuhkan padi, menjadi beras, menjadi nasi, menjadi darah, di nadinya.
Lalu sejak itu, dengan seluruh jiwa raganya, ia mengikatkan diri dengan tanah, yang sudah membesarkan dirinya, menumbuhkan pemahamannya, menuntut penyerahan dirinya. Ia takkan berpaling, takkan berbuat khianat, kepada tanah yang telah melahirkannya. Bahkan untuk memikirkannya, takkan sanggup. Tiap kali mengingatnya, hatinya tergetar. Saat itu tanah memanggilnya kembali. Jangan pikir aku tak mengerti. Jangan pikir aku tak memikirkan semua itu, batinnya. Sekalipun dirinya berada jauh di seberang samudra, tetapi hatinya tertinggal di sini, di tanah ini, tanah yang menopangnya tumbuh, menjadi manusia yang buahnya manis, bijaksana, penuh welas asih.
“Aku bersedia,” ujar Leo mantap seperti ia berjanji di altar pernikahan.
“Kami menunggumu kedatanganmu dengan senang hati,” jawab temannya bahagia.  
*
Hari Minggu pagi ibunya sudah sibuk menyiapkan makan siang dari dapurnya. Leo pamit untuk keluar rumah sebentar, untuk menyusuri jalanan Jakarta setelah ia menghabiskan semangkuk bubur nasi yang kental, rasa yang dia inginkan untuk menghadirkan masa kecilnya yang penuh kebahagiaan.
“Jangan buat orang terlalu lama menunggumu,” pesan ibunya.
Jalan protokol tidak padat pada hari libur mingguan seperti ini. Tak lama mobilnya sudah berada di sekitar Kelapa Gading. Sebenarnya dia tak pernah tahu di mana sebenarnya gadis berambut hitam lurus panjang itu tinggal. Yang jelas di salah satu rumah di sana. Entah di bagian tengah, di ujung, di belakang. Rumah berpagar atau dengan taman yang indah. Tidak ada sesuatu pun tertinggal di kepalanya karena ingatan tentang itu dia tak pernah miliki. Dia tak tahu kapan persisnya ia  berdamai dengan semua yang pernah menarik relung-relungnya begitu kuat.
Ia kerap berpikir gadis itu selalu menunggunya untuk kembali ke Jakarta. Dan ketika bertemu muka dengan muka gadis itu akan bertanya kepadanya, ke mana saja kamu selama ini? Lalu sambil memandang ke dalam matanya, ia akan menjawab dengan sabar, menunggu.
“Menunggu apa?” desak gadis itu.
“Menunggu saat seperti ini,” jawabnya berusaha tenang padahal setengah mati ia ingin mendekap gadis itu erat dengan dua tangannya, lalu memastikan dengan berkata, aku tak pernah pergi dari sini, kamu tak pernah tahu soal itu, kan?
Kenapa dunia selalu menyaji kerinduan yang tertunda? Kenapa dunia berusaha mewujudkan romansa terbaik di celah gagalnya kemustahilan? Apalah cinta teruji oleh tabir yang menyelubunginya? Tetapi tak ada yang perlu dibuktikan di sini. Semuanya selesai. Ia hanya beperkara dengan dirinya. Dan dia akan menyelesaikannya di sini, sekarang, agar masa lalu tak lagi menjadi bayang-bayang dalam benaknya. Baginya, cinta bagaikan dinding yang tak pernah diketahui sesuatu pun di baliknya.
Dia menghela napas panjang, menggeret mobilnya menjauh dari kompleks perumahan itu. Tak ada yang terbawa bersama dirinya. Kenangan itu tertinggal di sini, baik-baik. Dia menarik napas dan menahannya, sambil menekan gas dengan kakinya, mengganti perseneling dan meluncur lebih cepat. Ibunya sudah menunggu. Dan kerabat dan keluarga dekat. Perutnya pun sudah memanggil-manggil untuk diisi setelah sarapannya tadi pagi.
Udara Jakarta masih hangat, sehangat hatinya. Ia tiba di rumah pada waktu yang tepat, rumah sudah penuh orang. Semua wajah memandang ke arahnya ketika ia muncul dari pintu. Beberapa sepupu dekatnya menghambur memeluknya, memukul perutnya pelan, dan tertawa sambil memeriksa wajahnya yang memerah karena tak ada sesuatu pun yang ingin dikatakannya.
“Lihatlah anak itu! Senyumnya tak berubah, seakan tak ada satu pun masalah dia pikirkan,” seru satu suara yang dikenalnya dengan baik.
Leo melebarkan senyumnya memandang wajah orang yang bersuara itu. Ia tertawa dengan suara keras. Ia ingat dialah yang bertanya kepadanya, apakah dia akan menjadi ikan besar di samudera yang luas. Para orangtua memandangnya dan tertawa senang. Ia bertanya kabar setiap orang. Ia menjawab pertanyaan apa saja dengan hati ringan. Makanan yang tersedia siang itu semuanya enak terasa.
Heran juga tak seorang pun bertanya kepadanya soal pasangan. Ia menyaksikan ibunya berada di mana-mana, berjalan berkeliling sambil tersenyum, dan menawarkan siapa saja keluarganya untuk makan lebih banyak, menghabiskan isi meja makan. Hari itu berlalu dengan tenang dan manis. Tak satu pun perlu dikhawatirkan.


Bersambung ke bagian 8